Modernisme dan fundamentalisme Islam (studi kasus pada mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta)

(1)

MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME ISLAM

(Studi Kasus Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos)

Oleh:

Dede Eka Nurdiyansah

NIM : 104032201019

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dede Eka Nurdiyansah NIM : 104032201019

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Modernisme Dan

Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan aturan jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 28 September 2012 Yang menyatakan


(5)

ABSTRAK

Nama : Dede Eka Nurdiyansah

NIM : 104032201019

Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik

Jurusan : Sosiologi

Dengan sejarahnya yang panjang Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta telah menjadi salah satu ikon universitas Islam di Indonesia.

ini di tandai dengan modernisasi pendidikan yang begitu intens dilakukan oleh

para pimpinan UIN Syahid dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, dengan tujuan lebih mengembangkan Islam secara sosiologis daripada sekedar kental warna normatifnya. Efek dari modernisasi ini, dengan cara salah satunya pengintegrasian berbagai disiplin keilmuan, membuat

khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya “para

pembaharu”.

Akan tetapi, hal ini seakan kontras, dengan ditemukannya beberapa beberapa mahasiswa dan alumni UIN Syahid Jakarta dalam kasus terorisme di Indonesia belakangan ini. Seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi,

dan alumni UIN Syahid Jakarta Fajar Firdaus, ketiganya terbukti

menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme Muhammad Sahrir dan Saefuddin Zuhri di kamar kosan-nya di Jl Semanggi II, Ciputat, pada akhir tahun 2009 dan masing-masing dijatuhi vonis empat tahun enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kecenderungan di kampus Islam UIN Syahid Jakarta yang lebih mengedepankan Islam yang modern, rasional dan kompatibel seolah linear dengan yang terjadi di perguruan tinggi umum seperti di Universitas Sriwijaya Palembang, yang menurut Kasinyo Harto yang dalam kesimpulan penelitiannya ternyata corak pemikiran keagamaannya cenderung fundamnetalis/radikalis.

Masalah inilah yang kemudian menggerakkan penulis untuk mengetahui kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, apakah mahasiswa UIN Syahid Jakarta pemikiran keagamaannya modernis atau lebih bersifat fundamentalis. Kajian pustaka pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam menggunakan kajian modernisme dan fundamentalisme

dalam buku Yusril Ihza Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam

Politik Islam”. Untuk memecahkan masalah ini, penulis menggunakan pendekatan studi kasus, dengan metode kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif. Pendekatan studi kasus digunakan untuk menjelaskan perbedaan pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam masalah ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Selanjutnya metode kualitatif untuk menghasilkan data, berupa kata-kata dari informan. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan informan sebanyak delapan orang mahasiswa UIN Syahid Jakarta yang tersebar di 11 fakultas.


(6)

Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa:

Pertama, berkaitan dengan hal acuan atau dasar dalam membangun masyarakat berdasarkan Al-Quran dan hadis, sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat dengan sebagian kecil mengatakan dengan pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, Al-Quran dan hadis tidak bisa dipakai sebagai landasan dalam membangun masyarakat dan sisanya masih dilematis yaitu dalam masalah ibadah bisa Al-Quran dan hadis dijadikan pedoman tapi dalam masalah horizontal (hubungan sesama manusia/muamalah) masih dilematis.

Kedua, berkaitan dengan ijtihad, dalam hal hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita, mahasiswwa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme Islam bahwa ayat-ayat Al-Quran seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita harus terus diijtihadkan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, ayat-ayat Al-Quran tersebut sudah jelas maknanya jadi memang tidak perlu diijtihadkan lagi.

Ketiga, berkaitan dengan tradisi zaman awal Islam dalam hal hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan atau tidak menurut mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat dengan modernisme Islam bahwa tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita tidak relevan lagi untuk diterapkan dimasa sekarang. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang.

Keempat, Berkaitan dengan ijma dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat dengan fundamentalisme Islam bahwa seorang muslim harus memberikan

apresiasi-peghargaan terhadap ulama-ulama jaman para tabiin dan tabi l-tabi‟in.

Akan tetapi sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menyatakan bahwa ijma-ijma terdahulu dapat diperbaharui hal ini cenderung bersifat modernis karena aliran modernis memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatarbelakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi.

Kelima, berkaitan dengan pluralisme, dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini cenderung memandang positif terhadap pluralisme, dan hal ini selaras dengan modernisme Islam.

Keenam, berkaitan dengan hikmah (kebijaksanaan) dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam


(7)

penelitian ini cenderung bersifat modernis Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dan mereka juga cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan

mengakulturasi prnsip-prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan


(8)

KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabaraakatuhu

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang telah memberikan segala kenikmatan-Nya kepada penulis, baik itu nikmat iman, sehat , dan waktu serta nikmat kemudahan jalan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Besar umat manusia Muhammad SAW, yang membawa risalah Allah SWT dan mengajarkannya kepada manusia sehingga terhindar dari zaman kebodohan. Shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan

pula kepada para keluarga nabi, sahabat nabi, tabi‟in, tabi-tabi‟in, dan para

pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis melakukan penelitian ini untuk memenuhi persyaratan akan kelulusan penulis untuk memperoleh gelar sarjana sosial di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi

Agama. Dan alhamdulillah penelitian ini dapat penulis selesaikan.

Dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua Orang tuaku, kakak dan adiku tercinta, terima kasih atas segala

dukungannya dan ridhonya baik dari segi moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku pembimbing utama. Terima kasih

atas segala bimbingan, pendapat dan waktu yang diberikan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, Dr. Hendro Prasetyo. MA, dan seluruh staf

dekanat, terimakasih atas waktu yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

4. Dosen-Dosen UIN Jakarta FUF dan FISIP Reguler yang telah mengajar dan

mendidik penulis selama menjadi mahasiswa di FUF dan sekarang di FISIP Reguler UIN Jakarta, terima kasih atas pengorbanan waktu dan ilmu yang diberikan kepada penulis dan kawan-kawan mahasiswa lainnya. Semoga Allah


(9)

SWT mencatat semuanya sebagai amal ibadah yang tak akan terputus hingga akhir zaman. Amin.

5. Mahasiswa/i UIN Syahid Jakarta, yang telah bersedia menjadi responden

dalam penelitian penulis. Terimakasih sekali lagi atas partisipasinya.

6. Keluarga besar penulis nenek teragung Hj. Nurnas, paman, bibi dan anak-anak

yang diridhoi Tuhan ”Agung, Yudha dan Salwa”, Bpk Hj. Sobari, istri dan anak-anaknya, Bpk. Adang beserta keluarga, dll yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu disini, terima kasih atas doa dan motivasinya ya...!!!

7. Untuk Mahasiwa Sosiologi Agama FUF angkatan tahun 2004, terima kasih,

atas persahabatan dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.

Dalam penelitian ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang dilakukan penulis. Oleh karena itu penulis akan membuka diri untuk menerima kritik dan saran dari semua pihak terkait penelitian ini sehingga penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan penelitian ini. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pihak terkait.

Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 28 September 2012


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Metodologi Penelitian ... 14

1. Pendekatan ... 14

2. Metode... 14

3. Subjek ... 14

4. Jenis Data ... 15

5. Teknik Pengumpulan Data ... 15

6. Teknik Analisis Data ... 17

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KERANGKA TEORI A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam ... 19

B. Landasan Historis Modernisme dan Fundametalisme Islam ... 21

C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundametalisme Islam ... 28

1. Ijtihad ... 30


(11)

3. Ijma ... 38

4. Pluralisme Dan Hikmah ... 40

BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN MAHASISWA UIN SYAHID JAKARTA A. Sejarah Singkat Lahirnya UIN Syahid Jakarta... 43

B. Visi, Misi Dan Tujuan ... 54

C. Motto Dan Arah Pengembangan ... 56

D. Kerja Sama Dan Pengembangan Jaringan ... 58

BAB IV ANALISIS DATA MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME MAHASISWA UIN SYAHID JAKART A. Acuan Atau Dasar Dalam Membangun Masyarakat ... 60

1. Ijtihad ... 66

2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam ... 76

3. Ijma ... 82

4. Pluralisme ... 87

5. Hikmah ... 92

BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan ... 97

2. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Dengan sejarahnya yang panjang dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia dan perkembangan modernisasi pendidikan dilingkungan internal kampus, UIN Syahid Jakarta telah memainkan peranan penting dan strategis dalam spectrum pendidikan Islam di Indonesia dan sekarang ini telah menjelma

mejadi salah satu ikon universitas Islam terkemuka di Indonesia. Hal ini tidak

terlepas dari para perintis dan pemimpin UIN Syahid Jakarta sendiri, salah satunya Harun Nasution. Ia merupakan salah satu pionir pembaharuan pendidikan di UIN Syahid Jakarta. Ketika menjabat sebagai rektor pada tahun 1973 sampai 1984, Harun Nasution memfokuskan tentang pentingnya umat Islam untuk berpikiran modern dalam mengembangkan keilmuan serta memahami khazanah Islam, salah satunya, yaitu mengembangkan suasana dialogis antara berbagai disiplin ilmu di lingkungan universitas, baik antara disiplin “sekuler” dengan agama maupun diantara cabang-cabang ilmu agama itu sendiri. Basis penggunaan pendekatan integrasi keilmuan ini untuk lebih mengembangkan Islam secara

sosiologis daripada sekedar kental warna normatifnya1. Gagasan integrasi

keilmuan Harun Nasution, kemudian dilanjutkan pada masa kepemimpinan-kepemimpinan selanjutnya seperti Quraish Shihab, Said Agil Al-Munawar, dan Azyumardi Azra. Menurut Raudah Agustiar:

1

Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran


(13)

“Integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah dalam pengertian adanya keterpaduan yang utuh antara ilmu-ilmu (termasuk nilai-nilai) keislaman dengan ilmu pengetahuan,

sains, dan teknologi, dengan menjadikan Al-Qur‟an dan Al-Hadis sebagai

sumner landasan yang utama2”.

Efek dari paradigma pendidikan yang dikembangkan oleh UIN Syahid Jakarta, mempengaruhi cara mahasiwanya dalam menanggapi berbagai fenomena kehidupan yang mereka hadapi. Seperti yang di kemukakan oleh Bachtiar Effendy bahwa,:

“Mahasiswa UIN Jakarta pada awal 1980-an seperti Fachry Ali, Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, Mansoer Faqih, Kurniawan

Zulkarnaen dan lain-lain, mereka sering menggunakan “ilmu-ilmu lain”

dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam atau sejumlah persoalan sosial politik yang berkembang di tanah air. Kegairan intelektual seperti ini sempat menimbulkan penilaian bahwa mahasiswa IAIN lebih menekanan “ilmu-ilmu sekuler” daripada “ilmu-ilmu Islam”. Menurt Bachtiar, diskursus intelektual yang mereka bangun lebih sarat dengan rujukan-rujukan berbahasa inggris daripada berbahasa arab. Inilah yang memicu rekan-rekan mereka dari PT-PT umum untuk menganggap

mahasiswa IAIN Jakarta mempunyai kecenderungan yang “sekularistis”.3

Selanjutnya, tindak lanjut dari proses modernisasi paradigma pendidikan Islam di lingkungan IAIN, adalah dengan melakukan pengiriman para dosen dan para calon dosen dari seluruh Indonesia ke McGill University, yang kemudian

menjadi pionir untuk modernisasi studi Islam khususnya di UIN Syahid Jakarta4.

Menurut M. Amin Abdullah, selain peran Harun Nasution dan pengiriman tenaga pengajar ke McGill University, bahwa:

“Negara juga sangat berperan dalam peralihan tipe pendidikan Islam dari

peran dakwah ke akademik, yaitu dengan melakukan berbagai perubahan

2

Raudah Agustiar, Perubahan IAIN Menjadi UIN Jakarta: “Antara Kenyataan dan

Harapan”, Jurnal Mimbar Agama Dan Budaya, Vol. XXX, No. 2, 2004, h. 175 3

Komarudin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN “Antologi

Pendidikan Tinggi Islam”, (Jakarta, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam Dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, 2000), h. 103-114

4

Kusmana, Eva Nugraha dan Eva Fitriati, Paradigma Baru Pendidikan Islam “Rekaman Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007, (Jakarta, IISEP, 2008), hal. 3.


(14)

yang didorong oleh berbagai kebijakan seperti mengakui pendidikan yang dikembangkan masyarakat sendiri seperti pesantren dan lembaga pendidikan swasta, pengalihan status dari lembaga pendidikan swasta ke negeri, kebijakan arah pendidikan nasional, kebijakan perbaikan kurikulum dan kelembagaan sampai kebijakan transformasi kelembagaan

dari institute ke universitas5.

Modernisasi pendidikan dengan pengintegrasian disiplin keilmuan, pengiriman tenaga pengajar ke “Barat” dan kebijakan tipe pendidikan Islam, membuat khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya “para pembaharu” dan hal ini kemudian dikuatkan dengan Pola Ilmiah Pokok (PIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri yaitu pembaharuan dalam Islam dengan menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan

keindonesiaan6. Dari uraian singkat diatas, kita dapat melihat bahwa UIN Syahid

Jakarta telah “mensimbolkan” dirinya sebagai institusi pendidikan keislaman yang dapat menghasilkan sarjana muslim yang memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan global. Dalam pandangan teori interaksionisme simbolik, apa yang dilakukan UIN Syahid Jakarta ini merupakan proses “simbolisasi bahasa”, yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan dunia sosial diluar diri mereka. Dan penggunaan simbol-simbol ini menurut pandangan teori unteraksionisme simbolik salah satunya berfungsi untuk berhubungan dengan dunia material dan sosial dengan membolehkan “mereka” memberi nama,

membuat kategori, dan mengingat objek-objek yang “mereka” temukan dimana

saja, dan dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting, dan

5

Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan “Restropeksi dan Proyeksi

Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta, IIESP, 2008), hal. 35. 6

Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset,(Jakarta,UIN Press,2006),h. 111.


(15)

menurut pandangan teori interaksionisme simbolik bahasa merupakan sistem

simbol yang mahabesar7.

Akan tetapi, “simbolisasi” UIN Syahid Jakarta seolah sudah berubah dan

mendapat tantangan dengan ditemukannya beberapa beberapa mahasiswa dan alumni UIN Syahid Jakarta, seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi,

dan alumni UIN Syahid Jakarta Fajar Firdaus, ketiganya terbukti

menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme yaitu Muhammad Sahrir dan

Saefuddin Zuhri8. Gagasan dan cita-cita kampus Islam UIN Syahid Jakarta yang

lebih mengedepankan Islam yang modern, rasional dan kompatibel seolah linear dengan yang terjadi di perguruan tinggi umum seperti di Universitas Sriwijaya Palembang, yang menurut Kasinyo Harto yang dalam kesimpulan penelitiannya

ternyata corak pemikiran keagamaannya cenderung fundamnetalis/radikalis9.

Dalam melihat fenomena ini, penting untuk melihat pandangan William James salah satu pemikir interaksionisme simbolik yang mengembangkan konsep tentang „self‟ (diri). Ia mengatakan bahwa:

“Manusia mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagai objek. Dalam kemampuan itu, ia bisa mengembangkan suatu sikap dan persasaan terhadap terhadap dirinya sendiri. Lebih lanjut ia juga dapat membentuk tanggapan-tanggapan-tanggapan terhadap perasaan-perasaan dan

sikap-sikap itu. James menyebutkan kemampuan-kemampuan ini sebagai „self‟.

Dan dia mengakui pentingnya kemampuan-kemampuan ini dalam

membentuk cara-cara seseorang menanggapi dunia di sekitarnya”10.

7

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta, Prestasi Pustakakarya, 2007), hal. 110 8

http://news.detik.com/read/2010/08/03/192306/1413027/10/tiga-mahasiswa-uin-jakarta-divonis-4-tahun-6-bulan-penjara

9

Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis Di Perguruan Tinggi Umum “Kasus Gerakan

Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008)

10


(16)

Dan karena kemampuan untuk mengerti arti dan simbol-simbol, menurut Herbert Blumer maka manusia bisa melakukan pilihan terhadap tindakan-tindakan yang diambil. Manusia tidak perlu menerima begitu saja arti-arti dan simbol-simbol yang dipaksakan kepada mereka. Sebaliknya mereka bisa bertindak berdasarkan interpretasi yang mereka buat sendiri terhadap situasi itu. Dengan kata lain, manusia mempunyai kemampuan untuk memberikan arti baru kepada

situasi itu11. Dalam melihat fenomena diatas, penting menyimak pendapat George

Herbert Mead tentang pranata sosial (sosial institutions). Menurutnya:

“Pranata didefinisikan sebagai “Tanggapan Bersama Dalam Komunitas” atau “Kebiasaan Hidup Komunitas”. Proses ini disebut “Pembentukan Pranata”. Kita membawa kumpulan sikap yang terorganisir ini kedekat kita, dan sikap kita itu membantu mengendalikan tindakan kita, sebagian besar melalui keakuan (me). Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor. Pendidikan adalah proses yang essensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya hingga mereka mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas. Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotif, dan

ultrakonservatif–seperti gereja–yang dengan kekakuan, ketidaklenturan,

dan ketidakprogresifannnya, menghancurkan atau melenyapkan

individualitas. Tetapi mead cepat-cepat menambahkan: “tidak ada alasan

yang tak terelakan mengapa pranata sosial harus menindas atau konservatif, atau mengapa mereka itu tak selalu lentur dan progresif, lebih membantu perkembangan individualitas keetimbang menghalanginya. Menurut Mead pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi individualitas dan kreativitas”.12

Fenomena fundamentalisasi atau radikalisasi agama yang muncul belakangan ini, menurut beberapa pengamat adalah salah satu bentuk aliran

11

Ibid, h. 112 12

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta,Prenada Media Group,2007), h. 237-238


(17)

pemikiran dan gerakan Islam yang ingin berusaha melahirkan arus penegasan kembali identitas dan ideologi muslim dan berupaya mewujudkan cita-cita politiknya kepentas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia belakangan ini. Dalam melihat fenomena ini, menurut Mambaul Ngadimah:

“Pemikiran dan gerakan Islam adalah fenomena sejarah sekaligus budaya yang beragam, yang perkembangannya sangat terkait dengan latar sosiobudaya dan politik tertentu dari suatu masyarakat Islam yang hidup di kawasan tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Dan permasalahan yang menimbulkannya adalah pergumulan Islam dn modernitas, khususnya di negara-negara belahan Dunia Ketiga, terutama sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad ke 18. Persoalan ini menurut Mambaul Ngadimah, telah menyita banyak energi kalangan intelektual Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini boleh dikatakan belum ada suatu pembahasan yang tuntas baik dalam bentuk solusi maupun antisipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas. Ketegangan teologis ini secara tidak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum muslimin berupa aliran-aliran pemikiran keagamaan yang kemudian memperkaya khazanah intelektual-keagamaan Islam. Diantaranya, apa yang terkenal dengan sebutan Modernisme Islam, Fundamentalisme Islam,”13

.

Perdebatan antara kalangan modernis dan fundamentalis tentang bagaiman mensinergikan Islam dalam kondisi dewasa ini, telah memancing perdebatan dan persaingan yang terus menerus, di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia. Contohnya adalah di Pakistan. Di Pakistan kalangan nodernis dan fundamentalis berdebat tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam pada zaman aslinya, dan semangat zaman modern, hal ini berakibat pada persoalan serius dalam mendefinisikan ke-Islaman-nya sejak berdiri pada 3 Juni 1947. Konflik antara kalangan modernis dan fundamentalis ini juga terjadi di Afghanistan isunya adalah sama yaitu tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam ditengah kondisi modern. Di Indonesia sendiri, penerapan syariat Islam di daerahnya menimbulkan krisis konstitusi karena dipandang bertentangan dengan

13


(18)

undang-undang yang lebih tinggi14. Menurut Yusril Ihza Mahendra, perbedaan pendapat dalam bagaimana mensinergikan antara Islam dan modernitas di kalangan modernis dan fundamentalis Islam merupakan akibat dari kecenderungan penafsiran dalam memahami doktrin agama yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi yang dijadikan acuan dalam membangun tatanan masyarakat. Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama

berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk

membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud

doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu. Namun

demikian meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Para modernis Islam cenderung

menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para

fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis.”15

Dijelaskan kembali oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa:

“Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami berbagai masalah, khususnya

masalah-masalah yang berhubungan dengan (a) itjihad; (b) preseden zaman awal,

serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan) dan (e) hikmahi.”16

Aliran pemikiran dan gerakan kebangkitan Islam muncul dan mendapat perhatian besar saat pada masa tiga kerajaan besar (Turki Utsmani, Safawai dan Mughal), yang merupakan simbol kekuatan politik Islam yang tersisa, mengalami kehancuran dan kemunduran yang berpuncak pada abad 18 dan sekarang semakin menunjukkan intensitasnya dan mengkristal setelah negara-negara Muslim

14

Untuk memahami tentang perdebatan modernis dan fundamentalis dalam penerapan syariat Islam di berbagai belahan dunia Muslim, baca Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam “Dari Indonesia Hingga Nigeria”, (Jakarta, Alvabet, 2004), h. 138-168.

15

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 29.

16


(19)

terpecah kedalam negara–bangsa. Hancurnya kekuatan Islam sebagai sistem sosial, ekonomi dan politik, menurut Azyumardi Azra:

“Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa

kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan “kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi, sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim

merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena

Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”17

Dan selanjutnya akibat dari krisis yang muncul di negara-negara Muslim, menurut Tarmizi Taher :

“Krisis yang muncul dalam negara-negara baru ini memberi ruang bagi

sementara kalangan agamawan untuk membentuk gerakan-gerakan radikal. Mereka berusaha menolak tatanan yang ada, baik sistem negara, hukum dan kebudayaan, untuk kemudian diganti dengan sistem Islam. Penolakan mereka sangat radikal, dan begitu juga konsep kehidupan yang mereka tawarkan. Berbeda dengan kaum revivalis yang sekedar ingin mengembalikan kemurnian Islam atau kaum modernis yang bertujuan

memodernisasi Islam, kalangan fundamentalis mempercayai

kesempurnaan Islam bagi seluruh dimensi kehidupan. Oleh karenanya, mereka terus berusaha mengganti semua institusi sosial, ekonomi, budaya,

dan politik dengan model Islam”.18

Aliran-aliran modernisme dan fundamentalisme Islam, selalu ditandai dengan perdebatan persepsi dan pola berpikir, perbedaan-perbedaan itu tidak jarang berujung pada kekerasan yang berlumuran darah, manakala kepentingan politik terlibat didalamnya, namun kadangkala perbedaan-perbedaan itu seakan menjadi tidak penting ketika kelompok-kelompok Islam tersebut merasa sedang berhadapan dengan musuh bersama, atau pada masing-masing kelompok terasa tidak berbenturan. Dari realitas diatas, menurut penulis yang menarik untuk di cermati dan diteliti dalam kehidupan beragama pada umumnya tak terkecuali

17

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”,(Jakarta, Paramadina, 1996), h. vi.

18

Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, Dalam, Radikalisme Agama, Peny, Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), h. 30


(20)

kehidupan beragama Islam adalah fenomena dan kenyataan yang menunjukkan bahwasannya kehidupan umat beragama-baik kaum awam maupun intelektual-dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah sangat tergantung dan ditentukan oleh teks-teks, nash-nash dan kepustakaan keagamaan yang mereka miliki, baik yang terkait dengan persoalan ibadah semata, maupun tata hubungan sosial keagamaan, sosial-ekonomi, dan budaya. Jika timbul persoalan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya, mereka tidak segera menyelesaikan persoalan tersebut secara “spontan” dengan menggunakan commensense tetapi selalu merujuk terlebih dahulu darip ada wejangan uraian, petuah, nasehat/fatwa ustadz ulama, bhiku, pendeta, pastor atau organisaasi-organisasi, pemuka-pemuka masyarakat dan orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat. Para tokoh agama kemudian berkonsultasi dahulu dengan teks-teks dan kitab keagamaan yang mereka miliki dan yang pernah mereka telaah dan pelajari dahulu, tanpa mempertimbangkan lebih jauh dalam onteks dan situasi apa dan bagaimana teks-teks, kitab-kitab,

fatwa-fatwa dahulu tersebut di tulis. Maka dari itu, penulis sangat tertarik untuk

mempelajari aliran-aliran pemikiran keagamaan Islam, dan kecenderungan gagasan-gagasan pemikiran Islam yang berkembang di perguruaan tinggi Islam, khusunya Universitas Islam Negari (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan

tema “Modernisme dan Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta). Peneliti sangat yakin bahwa, sangatlah penting untuk mendalami aliran-aliran pemikiran keagamaan dalam masyarakat, seperti pemikiran-pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam Islam, dan kemudian meminta reaksi atau tanggapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, hal ini di karenakan UIN Syahid Jakarta dikenal Pola Ilmiah Pokok (PIP) UIN Syarif


(21)

Hidayatullah Jakarta sendiri yaitu pembaharuan dalam Islam dengan menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan.

B. Pertanyaan Penelitian

Sesuai dengan pernyataan masalah diatas, maka dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta jika dilihat dari kerangkan pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam religio-kultural Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan, untuk mengidentifikasi kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam kerangka aliran pemikiran keagamaan modernisme dan fundametalisme dalam religio kultural Islam.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan memiliki manfaat, akademis dan praktis sebagai berikut:


(22)

a. Memberikan informasi mengenai kecenderungan pemikiran mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah dalam kerangka pemikiran keagamaan aliran modernisme dan fundamentlisme Islam.

b. Memberikan gambaran arah kecenderungan mahasiswa apakah bersifat

modernis atau fundamentalis dalam kaitannya dengan doktrin agama.

c. Manfaat bagi peneliti, menambah khazanah pengetahuan tentang ragam

pemikiran keagamaan dalam Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, cukup banyak studi secara khusus yang

membahas kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang terhadap pemikiran modernisme dan fundamentalisme Islam. Berikut adalah, penelitian tentang modernisme dan fundamentalisme Islam dalam kaitannya dengan doktrin agama yang kemudian digunakan untuk menganalisis berbagai arah kecenderungan individu atau institusi sosial. Berikut adalah beberapa penelititan modernisme dan fundamentalisme Islam.

1. Disertasi Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme

Dalam Politik Islam. Dalam Disertasi ini Yusril mencoba menghubungkan kaitan pemahaman keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam dalam pengaruhnya terhadap pembentukan partai politik Masyumi di Indonesia dan partai Jama‟at Islami di Pakistan. Yusril mengatakan bahwa modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas, karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama berbeda-beda. Perbedaan ini kemudian, mengakibatkan perbedaan masalah dalam


(23)

melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Pandangan-pandangan dasar tersebut mempengaruhi tipologi organisasi dan tipologi program partai modernis (Masyumi) dan partai

fundamentalis (Jama‟at-i-Islami). Dari disertasi ini, penulis mengambil

kerangka awal perbedaan modernisme dan fundamentalisme Islam. Bahwa modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas, karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama berbeda-beda. Perbedaan ini kemudian, mengakibatkan perbedaan masalah dalam melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Disertasi Yusril Ihza Mahendra ini, merupakan pijakan awal penulis dalam memetakan modernisme dan fundametalisme Islam untuk melihat arah kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang, apakah kecenderungannya bersifat modernis atau fundamentalis yang dilihat dari

bagaimana seseorang memaknai masalah ijtihad, preseden zaman awal

serta tradisi Islam, ijma, pluralisme dan hikmah.

2. Tesis Rihlah Nuraulia, Fundamnetalisme Islam Di Indonesia Studi Atas

Gerakan Dan Pemikiran Hizbut Tahrir. Dalam tesis ini Rihlah Maulia ingin menggali pola-pola gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir yang dikelompokkan dalam kalangan Islam fundamentalis. Dalam tesisnya ini, Rihlah Nuraulia mengatakan bahwa, ciri utama fundamentalime adalah

pandangannya yang khas mengenai kedudukan ijtihad. Kaum

fundamentalis hanya membenarkan ijtihad yang dilakukan sepanjang syariah tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah tertentu. Selain itu harus ada preseden dari tradisi awal


(24)

Islam, ataupun pendapat para fuqoha terkemuka dari jaman silam tentang persoalan-persoalan itu. Jika ijtihad dilakukan, ia hanya boleh dilakukan oleh para mujtahid yaitu alim ulama yang telah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan ijtihad. Konsensus, meskipun diakui sebagai salah satu sumber hukum Islam, tetapi terbatas pada ijma dari jaman para sahabat nabi. Ijma pada zaman itu tidak boleh dihapuskan oleh ijma yang disepakati oleh generasi-generasi yang hidup dijaman kemudian.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus

dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif19.Pendekatan

ini dipilih untuk dapat menjelaskan kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid dalam kerangka pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam.

2. Metode

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskirpsikan tentang pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme mahasiswa UIN Syahid Jakarta, sehingga dapat dilihat arah kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang. Maka metode yang akan digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan

19

Sanafiah Faisak, “Format-Format Penelitian Sosiali”, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001), h. 22.


(25)

Taylor, metode penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari orang-orang

dan perilaku yang teramati20.

3. Subjek

Untuk teknik pencarian Informan dalam penelitian ini menggunakan teknik pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan (Purposif Sampling), merupakan tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh

dengan menggunakan pertimbangan tertentu21. Informan dalam penelitian ini

adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah menyelesaikan proses perkuliahan, yaitu semester 9, 10, 11, 12 13, dan 14. Dikarenakan mereka sudah disosialisasikan tentang kajian-kajian keagamaan dalam religio-kultural Islam, dan dianggap sudah banyak terlibat dalam diskusi-diskusi keagamaan di UIN Syahid Jakarta.

4. Jenis Data

Penjelasan Pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme

Islam, diperlukan data sebagai berikut; Pertama, data primer, data ini diperoleh

langsung dari sumbernya, terutama orang yang dipilih sebagai informan yang akan diajak wawancara. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini

merupakan data mengenai unsur-unsur keagamaan modernisme dan

fundamentalisme Islamm. Kedua, data sekunder merupakan data yang diperoleh

secara tidak langsung, yaitu dengan cara mengutip atau mencatat dari buku-buku, dokumen-dokumen berupa arsip UIN Syahid Jakarta (sejarah berdiri, Visi-misi

20

Febri Anwar, Kekuasaan Pemilik Modal Dan Resistensi Pemulung Dalam Hubungan

Kerja “Studi Kasus Pada Pemulung Di Pondok Pinang Jakarta selatan”, (Jakarta, FISIP UIN Jakarta, 2012), h 11.

21


(26)

dan tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan jaringan).

5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu wawancara, dan telaah pustaka. Berikut adalah penjelasan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.

1. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab. Jenis wawancara yang digunakan penelitian adalah wawancara tak terstuktur, yaitu adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancaran yang telah disusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar pemasalahan yang akan

ditanyakan22. Wawancara ini akan menggali informasi tentang

pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Wawancara menggunakan alat perekam elektronik. Infroman yang di wawancarai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Nama Fakultas Jenis Kelamin Waktu Wawancara

SHI Ilmu Sosial dan Politik Laki-Laki 10- September-2012

IHN Dirasat Islamiyah Laki-Laki 11- September- 2012

DNU Syariah dan Hukum Laki-Laki 11-September- 2012

ISN Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Laki-Laki 12-September- 2012

IBL Ushuluddin dan Filasat Laki-Laki 13-September-2012

ROS Tarbiyah dan Keguruan Laki-Laki 14-September-2012

SPY Adab Laki-Laki 15-September-2012

IHM Tarbiyah dan Keguruan Laki-Laki 15-September-2012

22


(27)

2. Telaah pustaka yaitu dengan membaca, memahami, dan menginterpretasikan buku-buku, jurnal-jurnal, laporan penelitian yang berkaitan dengan pembahasan ini. Buku seperti, Modernisme

Dan Fundamentalisme Islam; “Perbandingan Partai Masyumi

(Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" Karya Yusril Ihza Mahendra.

6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas. Data dianalisis dengan menggunakan

tiga tahap yaitu: Pertama, reduksi data (data reduction), mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting, terhadap data yang terkait dengan perbedaan pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam masalah-masalah ijtihad, preseden tradisi zaman awal

Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Kedua, penyajian data (display data), dengan

mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami kecenderungan unsur-unsur, kedalaman dan arah pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid

Jakarta. Ketiga, penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification) dengan

melakukan penyimpulan terhadap data tentang ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah, dan mengaitkannya dengan kerangka teori sehingga dapat dipahami fenomena pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dan juga menjawab pertanyaan penelitian.

7. Sistematika Penelitian

Dalam penulisan daftar pustaka literatur yang digunakan, peraturan kutipan dan cara-cara mengutip serta tata cara penulisan skripsi ini mengacu pada


(28)

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: skripsi, tesis, dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang termuat dalam buku panduan akademik program strata 1 2011/2012. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka. Bab ini berisi kajian modernisme dan fundamentalisme Islam yang terdiri dari kontroversi istilah, landasan historis modernisme dan fundamentalisme dan pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam

Bab III Merupakan gambaran umum lokasi penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tinjau dari sejarah berdiri, Visi-misi dan tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan jaringan.

Bab IV Merupakan hal yang beruhubungan dengan hasil penelitian mengenai pernyataan pandangan keagamaan mahasiswa dalam hal, ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah.


(29)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam

Membicarakan istilah modernisme dan fundamentalisme di dalam Islam terasa lebih sulit daripada di dalam Protestan, apalagi kedua istilah ini memang selalu dikaitkan dengan tradisi Kristen Protestan. Menurut Asep Syamsul M Romli:

“Dalam tradisi Kristen, Fundamentalisme sering dilawankan dengan “modernisme”, yakni aliran (pemikiran) yang mengutamakan setiap yang baru dari hal lama. Fundamentalisme merupakan oposan dari gerejawan ortodoks terhadap sains modern, manakala sains modern (dianggap) bertentangan dengan cerita atau ajaran bibble. Para aktivisnya menamakan diri “fundamentalis”. Mereka adalah kaum oposisi yang menentang liberalisme dan modernisme. Pihak fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai perusak agama Kristen dan mengorbankan bibble demi

kepentingan sains modern23”.

Mengenai hal ini hemat penulis penting untuk menyimak pendapat dari Yusril Ihza Mahendra:

“Modernisme dan fundamentalisme bukanlah istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam bahasa masyarakat-masyarakat muslim. Kedua istilah itu dimunculkan oleh kalangan akademisi barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. Modernisme pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan modern. Fundamentalisme diartikan sebagai reaksi terhadap modernisme. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang

23

Asep Syansul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta,Gema Insani Press, 2000), h. 30


(30)

berpegang teguh pada “fundamen” agama kristen melalui penafsiran

terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis24”.

“Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh sarjana-sarjana orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan barat untuk membedakam dua kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam agama kristen itu, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim. Sungguhpun demikian dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan masa kini, baik ilmuwan barat maupun ilmuwan muslim telah menggunakan istiah yang tidak sama dalam mengategorikan kedua aliran

tersebut. Istilah modernisme sering juga di ganti dengan istilah- istilah

lain, seperti “reformism”, reawakening, renaissance, dan renewal. Sedangkan istilah fundamentalisme sering pula di ganti dengan istilah-istilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan reconstruvtionsm. Dalam diskursus teoritis, sebagaimana biasanya, para penulis bukan saja saling berbeda dalam menggunakan istilah, tetapi istilah yang sama, sering pula didefinisikan dengan maksud yang berbeda”25

.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memang terdapat perbedaan konteks dan aplikasi konsep modernisme dan fundamentalisme dalam Kristen dan Islam. Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa masalah modernisme dan fundamentalisme dalam Islam telah menjadi konsep yang mapan dan diterima masyarakat luas, terutama untuk memotret fenomena orientasi ideologis aliran pemikiran dan gerakan Islam. Meski secara terminologi modernisme dan fundamentalisme masih diperdebatkan karena konteks munculnya khas Kristen Protestan, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi agama, istilah tersebut telah dianggap mapan dan diterima untuk menganalisis gejala

perkembangan aliran pemikiran dan gerakan agama26. Untuk itu penulis, akan

24

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 5-6

25

Ibid. 5-6 26

Untuk lebih mengetahui perdebatan istilah modernisme dan fundamentalisme, diterangkan lebih lanjut oleh Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme


(31)

tetap mempergunakan istilah ini dalam penulisan kerangka teori penulisan ini. Dan sedapat mungkin, kedua istilah itu akan di gunakan secara netral. Penulis sadar bahwa pemilihan istilah tekhnis dalam suatu kajian ilmiah memang akan dihadapkan pada resiko-resiko tertentu yang tidak seluruhnya dapat di hindari. Penggunaan modernisme dan fudamentalisme sebagai istilah tekhnis dalam kerangka teori ini akan di perinci secara lebih jelas dala pembahasan pandangan keagamaannya.

B. Landasan Historis Modernisme dan Fundamentalisme Islam

Sebagaimana di ketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi “negara-agama”, selanjutnya membesar pada masa khalifah, dan menjadi kekuatan politik internasional yang tidak kecil pengaruhnya pada masa Dinasti Umayah, dan Abasiyah. Dalam proses perkembangannya itu, Islam membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia dengan cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad 12-13 M. Di masa inilah khususnya Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan ke-Islam-an berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang kajian agama, science, dan arsitektur. Di jaman itu pula para

dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2003: 95-115.


(32)

pemikir muslim dihasilkan, sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai kebudayaan Islam. Masa keemasan ini kemudian hancur, setelah jatuhnya Kota Baghdad (Ibukota Dinasti Abbasiyah) pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa Mongol, yang bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Setelah Khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis.

Setelah hancurnya Dinasti Abbasiyah, Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Hancurnya tatanan masyarakat muslim itu semakin terasa saat tiga kerajaan besar Islam pengganti Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan simbol masyarakat muslim secara ekonomi, politik dan militer mengalami kehancuran. Dijelaskan oleh Akber S. Ahmed, bahwa luluh lantahnya kejayaan Islam disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketidakharmonisan tiga kerajaan Islam terakhir yaitu Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan kelanjutan dari dinasti Islam sebelumnya yaitu Umayyah dan Abasiyah, menurutnya :

“Tidak ada kesatuan simbolik baik dalam sikap keagamaan, maupun politik, satu sama lain tidak pernah akur, dan dalam rangka

memperluas kekuasaan, mereka tidak hanya menyerang serta

menaklukkan serta menaklukkan bangsa-bangsa non-muslim, tetapi juga menganeksasi wilayah-wilayah muslim. Utsmani, misalnya, yang berbasis di Turki terus memperluas wilayahnya dengan menundukkan Siria, dan Irak sebagaian besar Afrika Utara. Sikap yang sama juga dilakukan oleh dua kerajaan lainnya dengan cara menundukkan wilayah disekitar


(33)

mereka. Maka wajar kalau hubungan antarketiga kerajaan tidak harmonis dan konflik internal di dalam wilayah masing-masing kerajaan sangat tajam. Ketika kekuatan Eropa masuk kedalam wilayah muslim,

penguasa kerajaan-kerajaan tersebut tidak lagi bisa berbuat banyak.”27

Selain faktor yang disebutkan diatas, menurut Azyumardi Azra:

“Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan “kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi, sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim

merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena

Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”28

Dilain sisi lain masyarakat muslim mengalami kehancurannya,

Sementara itu di pihak lain, dunia Barat setelah belajar dari Timur (muslim) dengan menterjemahkan buku-buku karya muslim dari bahasa arab ke bahasa latin bangkit dan memasuki era Renaisance yang di warnai oleh revolusi-revolusi: ketatanegaraan, gereja, ilmu pengetahuan, industri dan berlanjut ke revolusi sosial. Arah bandul kebudayaan yang pada abad-abad sebelumnya, berayun dari Timur ke Barat, kemudian beralih dari Barat ke Timur. Dunia muslim pun karena kebekuaan dan kelemahnnya menjadi mangsa empuk bagi

dunia Barat sejak abad 1729. Di lukiskan oleh John L. Esposito pergeseran besar

dominasi Islam dalam bidang kekuasaan, sebagai akibat kemerosotan nasib muslim, kemudian terjadilah hubungan yang sebaliknya antara pihak Islam dan pihak Barat, yaitu dari gerakan ekspansif yang demikian meluas pada masa

27

Dalam Tarmizi Taher dkk, Radikalisme Agama, Peny, Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, h. 10

28

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”, h. vi.

29

Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World Of Islam), terj. Mulyadi Djoyomartono dkk, (Jakarta, Gunung Agung, 1966), hal. 29.


(34)

sebelumnya kepada posisi bertahan30. Menurut John L. Esposito, kemunduran dan kehancuran tatanan masyarakat muslim ini, disebabkan oleh tiga hal yaitu pemberontakan-pemberontakan dan kekalahan-kekalahan militer, merosotnya otoritas pusat yang kuat, dan kemunduran ekonomi yang dipengaruhi oleh

kompetisi Eropa dalam perdagangan dan industri31. Selain faktor-faktor yang

sudah disebutkan diatas, menurut William Montgomery dalam bukunya “Fundamentalisme Islam Dan Modernitas”:

“Kemunduran lembaga keagamaan di dunia muslim merupakan fakor yang penting. Menurutnya, pada permulaan abad ke 19 lembaga ini masih memiiki kekuasaan yang cukup besar di kesultanan Turki Utsmani (yang merupakan kawasan terbesar di dunia Islam) dan memiliki kekuasaan yang lumayan di berbagai dunia Islam lainnya, tetapi antara 1850 dan 1950 sebagian besar kekuasaan tersebut telah musnah, serta sejak 1950 peningkatan kekuasaan lembaga ini hanya bersifat pinggiran (terbatas). Menurutnya, hilangnya kekuasaan tersebut sebagian besar disebabkan ulama tidak ingin melakukan konsesi dalam bidang-bidang yang berada di bawah kendalinya-perumusan hukum, pengelolaan peradilan, pendidikan-untuk mengatasi hal-hal yang dipandang para negarawan sebagai sebagai masalah mendasar dewasa ini. Tanpa perlu secara resmi mengebiri kekuasaan ulama, para negarawan menciptakan lembaga-lembaga alternatif secara bertahap mengambil alih sebagian besar pekerjaan yang sebelumnya dijalankan ulama.”32

Dan menurut Gazalba, dalam bukunya “Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi ” bahwa:

“Akulturasi dua kebudayaan yang berbeda tingkatannya, akan mengakibatkan pola akulturasi yang politis yaitu penguasaan terhadap kebudayaan yang tingkatannya rendah atau tradisional. Dan hal ini terjadi ketika Islam kontak dengan masyarakat Barat. Yang terjadi waktu itu menurutnya, adalah tumbuhnya nilai-nilai Barat dalam segi sosial,

30

John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal. 56 31

Lihat John L. Esposito, Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (Al -Shirat Al-Mutaqim)”, (Jakarta, Paramadina, 1998), hal. 145.

32

William Montgomery, Fundamentalisme Islam Dan Modernitas, Terj Taufik Adnan Amal, (Jakarta, Grafindo Persada, 1997), hal. 51-87.


(35)

ekonomi, poitik, seni, filsafat, disamping nilai-nilai modern (ilmu dan teknologi). Dalam masyarakat Islam menurut Gazalba hal ini bermakna bahwa pandangan, faham, ideologi yang lahir dalam kebudayaan Barat ikut tersemai dalam masyarakat Islam, antara lain: materialisme,

individualisme, sekularisme, agnositisme, kapitalisme, ateisme,

sosialisme, komunisme dan kristenisasi. Dan kalau Di pandang dari kacamata sosiologis, menurut Gazalba tantangan-tantangan dari luar inilah yang menghantam masyarakat Islam. Sedangkan tantangan dari dalam umat Islam sendiri, Gazalba merangkum ada 12 faktor yaitu: rusaknya perimbangan antara agama dan kebudayaan dalam addin, pembekuan itjihad, masjid kehilangan fungsi, keawaman terhadap Islam, kelemahan politik dan ekonomi, keterbelakangan sosial, ilmu, tekhnologi, pendidikan, kesenian dan alam pikiran, dan tidak ujudnya masyarakat Islam.”33

Faktor-faktor diatas inilah yang kemudian, menurut Azyumardi Azra menimbulkan apa yang disebut dengan “ketegangan teologis” diantara kaum muslim yaitu antara keharusan memegangi doktrin dengan dengan keinginan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut. ketegangan theologis itu pada gilirannya tidak hanya menciptakan barrier psikologis bagi mereka yang peduli terhadap posisi islam vis-avis realitas sosial-kultural, tetapi juga konflik

theologis, intelektual dan sosial di antara kaum muslim secara keseluruhan34.

Perubahan besar yang terjadi di masyarakat muslim pada akhirnya membuat tidak ada satu sistem budaya Islam pun yang mampu melindungi diri dari persaingan yang diperkenalkan oleh sistem dari luar “Barat”. Bahkan, Khilafah Utsmaniah, yang paling prestisius dan merupakan dinasti paling kuat saat itu, selain Dinasti Safawi dan Mughal, merombak semua sistem politik sosial dan budayanya dengan cara “Barat”, dan cenderung kearah sekuler. Contoh dari masuknya pengaruh Barat di dunia Islam sendiri, dimulai pada abad ke-19, dilaksanakan pertama kali

33

Sidi Gazalba, Masyarakat Islam “Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi”, (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), hal. 302-309.

34

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”, h. ii.


(36)

oleh kekhalifahan Utsmani di bawah Sultan Mahmud II (1808-1839). Menurut Azyumardi Azra :

“Upaya modernisasi awal ini tidak meluas sampai seluruh bidang kehidupan kaum muslim. Modernisasi model Barat dilakukan secara terbatas pada lembaga birokrasi-militer negara. Perubahan tersebut diadopsi negara dan implementasikan hanya oleh sekelompok elite. Dengan kata lain reformasi diprakarsai, dirumuskan, untuk kemudian dipaksakan dari atas, yakni dari elite penguasa. Mereka memberikan respon terhadap ancaman eksternal, yakni ekspansionisme Eropa, bukan terhadap tekanan internal yang datang dari masyarakat mereka sendiri yang menghendaki perubahan”.35

Tetapi mulai paruh abad ke-19, modernisasi dengan cepat merambah bidang-bidang kehidupan lain. Upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkokoh pertahanan miiter dengan segera diikuti oleh program modernisasi yang lebih luas dalam wilayah kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Sultan Abd al-Majid (1839-1861) dan Abd al-Hamid II (1879-1909). Modernisasi bertahap yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II dikembangkan dan disistematisasi oleh anaknya, Abd al-Majid, lewat serangkaian program reformasi ambisius yang disebut “Tanzimat” (reorganisasi)”36

. Puncak modernisasi Turki Utsmani, pada akhirnya mengarah pada sekularisasi dibawah pimpinan Mustafa Kemal At Taturk. Ia adalah Bapak Sekulerisme dalam dunia perpolitikkan di negeri-negeri Islam. Dialah yang menghapuskan kekhilafahan dari Turki Ustmani atas bantuan Inggris. Kecintaannya terhadap peradaban Barat modernlah yang menyebabkannya melakukan modernisme diberbagai bidang kehidupan, dengan Barat sebagai kiblatnya. Menurutnya, jika kemajuan ingin dicapai oleh kaum muslimin maka

35

Ibid, h. 8 36


(37)

tidak ada jalan lain selain mengambil keseluruhan nilai Barat tersebut37. Pembaharuan besar-besaran yang dilakukan para elite penguasa pada abad-abad XVIII-XIX khususnya yang memerintah Turki yang mengarah pada sekularisasi, dan sikap menuding, kaum muslim yang bersifat tertutup dan menolak perkembangan kebudayaan pada unsur ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak. Keruntuhan supremasi Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan ekonomi, yang menenggelamkan dunia Muslim sampai ke titik nadirnya, kemudian memunculkan pemikiran dan gerakan-gerakan keagamaan yang mencoba menegakkan dan mengembalikan kejayaan Islam. Menurut Mambaul Ngadimah:

“Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu permasalahan paling krusial yang di hadapi oleh kaum muslim. Hal itu mengemuka terutama sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad 18. Persoalan ini telah menyita banyak energi kalangan intelektual Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini boleh dikatakan belum ada satu pembagasan yang tuntas baik dalam bentuk solusi maupun antsipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas. Modernisme yang berangkat dari prinsip-prinsip dasar bahwa perjalanan waktu adalah linear; pandangan-dunia antroposentris; idea of progress; benar-benar bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tradisional Islam yang memahami bahwa waktu berjalan siklikal; pandangan-dunia teosentris dan; nasib manusia selalu berada dalam kehendak tuhan (teisme). Uniknya, ketegangan teologis ini secara tidak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum muslim berupa aliran-aliran keagamaan yang kemudian memperkaya pemikiran dan khazanah intelektual Islam. Diantaranya apa yang terkenal dengan sebutan modernisme Islam, Tradisionalisme Islam, Fundamentalisme Islam,

neo-modernisme Islam, neo-fundamentalisme Islam38”.

37

Dhabith Tarki Sabiq, Ar Rajul as Shanam Kamal At Taturk, Terj. Abdullah Abdurrahman, (Jakarta: Senayan Publishing, 2008). Cet. 1, hlm. 11-24.

38


(38)

Dan menurut John L Esposito bahwa, maraknya perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan dalam Islam merupakan merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri, dalam mempertahankan eksistensi agama dari berbagai serangan baik dalam masyarakat agama tersebut maupun dari luar seperti kolonialisme Eropa (Barat). Seperti yang digambarkannya:

“Sebagaimana halnya agama-agama besar dunia lainnya, Islam telah melewati sejumlah fase perkembangan. Lewat sejarahnya yang panjang, umat Islam harus merespon ancaman-ancaman internal dan eksternal demi mempertahankan kehidupan dan vitalitasnya. Sebagai akibatnya, Islam memiliki tradisi pembaharuan dan reformasi agama yang panjang, membentang dari zaman terawal sejarahnya sampai sekarang. Dan Abad ke 18 terbukti menjadi titik balik dalam sejarah Islam. Kekuatan, kemakmuran, dan ekspansi dinamis umat dan peradaban Islam harus berjuang mempertahankan hidupnya di hadapan kekuatan-kekuatan pribumi dan ancaman politik dan religio-kultural dari kolonialisme Eropa”.39

Dari pemaparan singkat diatas kita melihat bahwa, secara teologis, Islam

adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah – dan karena itu sekaligus

bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menjaman dan menjagatraya (universal), tetapi juga mengejewantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi, dinamika ruang dan waktu.

C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundamentalisme Islam

Dalam menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan keagamaan aliran modernis dan fundamentalis Islam, penulis mendasarkannya pada buku Yusril Ihza

39

John L. Esposito, Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (Al-Shirat Al-Mutaqim)”, h. 3.


(39)

Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”. Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama

berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk

membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud

doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu”.40

Dari arti dan tujuan aliran pemikiran fundamentalis dan modernis, kita

dapat melihat bahwa keduanya bersepakat tentang bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah

Nabi dapat digunakan sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan masyarakat muslim. Namun demikian, menurut Yusril Ihza Mahendra meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting.

“Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis”.41

Senada dengan Yusril Ihza Mahendra, Akh. Minhaji dalam buku “Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme Dan Modernisme”, menggunakan istilah yang berbeda namun mempunyai makna yang sama dengan yang dituturkan Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya ada dua model pendekatan dalam menafsirkan doktrin agama dalam Islam, yaitu pertama, model normatif-deduktif (ilahiyah, theocentris subjective theological transendentialism) dan kedua, empiris deduktif (insaniyah, antropocentris, rational-empirical justification). Menurut Akh. Minhaji:

40

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 29

41


(40)

“Pendekatan normatif-deduktif cenderung di dominasi oleh aristotelian yang bercirikan dichotomous logic atau dalam bahasa John Dewey in pairs of dichotomies, lebih bercirikan eternalistic-absolutistic-spiritualistic logic. Dengan model logika demikian maka kajian Islam cenderung mendekati masalah secara hitam-putih, benar-salah, halal-haram, dan yang

semacamnya akibatnya pemikiran yang ada bersifat sempit, kaku dan

menolak nuansa-nuansa yang berada di luar dua kubu ekstrim tersebut”.42

“Pendekatan empiris-deduktif menunjukkan gejala yang berbeda. Model ini bernuansa hegelian logic yang bercirikan dialectical logic. Berdasarkan logika Hegel ini maka “every one of them was (and is) right within it‟s own field”. Artinya kebenaran itu bersifat relatif dan dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dasar yang di anut dan juga dialektika sosial yang terjadi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah temporalistic-relativisti materialistic logic dengan demikian hasil pemikiran ajaran Islam dengan pendekatan model yang demikian bersifat relativ dan diyakini bersifat luwes, fleksibel sekaligus di pandang mampu mengikutu denyut dan perkembangan masyarkat”.43

Perbedaan kecenderungan corak penafsiran doktrin agama antara modernisme dan fundamentalisme Islam, kemudian menghasilkan perbedaan pula dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi

Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan) dan (e) hikmah.”

1. Ijtihad

Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan

hadis. Namun, hasil ijtihad tetap tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Hadis yang menunjukkan bolehnya berijtihad adalah hadis nabi yang mengisahkan tentang sahabat Mu‟adz bin Jabal ketika di utus ke Yaman44

.

42

Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme dan Modernis), (Jakarta, Yayasan Indonesia Tera, 2001), hal. xvi-xvii

43

Ibid, h. xvi-xvii. 44

Abu Yasid, Islam Akomodatif “Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama


(41)

نع

ن ح مَس ه ع هَ ا َص هَ ا س َّأ عم

قف نم ا إ هثعب

ك

ع ّإ عن ت ف ك

م ّإف ق هَ ا تك ف مب ضقأ ق ء ضق

ن

هَ ا َص هَ ا س ةَنسبف ق هَ ا تك ف

م ّإف ق مَس ه ع

هَ ا س ةَنس ف ن

آ أ تجأ ق مَس ه ع هَ ا َص

ق

ص مَس ه ع هَ ا َص هَ ا س ضف

َا هَ مح ا ق َمث

هَ ا س س قَف

هَ ا س ض م مَس ه ع هَ ا َص

َص

مَس ه ع هَ ا

Artinya :“Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz

ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra‟yu ku dan aku tidak akan

menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi

Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah”

Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti

mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Adapun menurut istilah, al-ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau beberapa orang ulama tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu atau beberapa perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya

secara eksplisit dan positif, baik dalam Al-Qur‟an maupun al-Hadis45. Dan secara

terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.

45

Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 55


(42)

Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, perbedaan kecenderungan penafsiran dalam melihat doktrin agama aliran pemikiran modernisme Islam yang cenderung elastic dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang cenderung rigid dan literalis dalam melihat doktrin agama, menghasilkan perbedaan dalam memaknai masalah ijtihad. Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Sesuai dengan kecenderungan penafsiran yang elastic dan

fleksibel terhadap doktrin, modernisme Islam melihat bahwa dalam

masalah-masalah mu‟amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberi

ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus

digalakkan. Itjihad memunggkinkan corak pengaturan doktrin yang

berisi ketentuan-ketentuan umum itu dapat diimplementasikan

kedalam suasana konkret, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu

zaman dan tempat terentu.”46

Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra Fundamentalisme Islam melihat bahwa:

“Kaum Fundamentalis seiring dengan kecenderungan

penafsirannya terhadap doktrin yang bersifat rigid dan literalis, fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin

yang serba mencakup itu. Karena itu itjihad dengan sendirinya di batasi

hanya kepada masalah-masalah diantara doktrin tidak memberikan

petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan.”47

Dari uraian diatas, antara modernisme dan fundamentalisme keduanya bersepakat tentang perlunya ijtihad dalam membuat dan merumuskan hukum-hukum Islam (syariah Islam) sesuai dengan doktrin agama. Namun ada perbedaan

tentang doktrin agama (Al-Qur‟an dan hadis) mana saja yang perlu dilakukannya

46

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 29

47


(1)

dibandingkan perempuan. itu sudah adil nanti kalau kita bekeluarga pun yang saya rasakan pasti seperti itu, nanti juga hartanya laki-laki juga hartanya perempuan.

 Perlu kita lihat kenapa syih harus laki-laki untuk jadi pemimpin gituh banyak temuan yang menjelaskan bahwa sesungguhnya untuk laki-laki kenapa dijadikan pemimpin bahasa gampangnya itu dia laki-laki lebih mempunyai memakai logika daripada perasaan gampangnya seperti itu dibandingkan perempuan yang lebih mengutamakan perasaannya sehingga untuk masalah kepemimpinan bisa jadi laki-laki lebih tegas dibandingkan perempuan . kita melihat paradigmanya sekarang adalah banyak sebenarnya perempuan itu sudah jadi pemimpin tapi bukan pemimpin rumah tangga ia adalah pemimpin kepala sekolah ketua jurusan iyakan tidak menutup kemungkinan wanita jadi pemimpin tapi sekali lagi porsinya itu dibedakan antara laki-laki dan perempuan dimana untuk mengambil suatu kebijakan pun seorang kajur seorang, kepala kantor pasti akan membutuhkan masukan dari laki-laki begitu juga pihak laki-laki ketika jadi pemimpin toh kita juga perlu masukan dari perempuan karena sekali lagi yang di pimpin bukan hanya laki-laki saja sama perempuan juga sama yang dipimpin bukan hanya perempuan. Tapi Allah memang lebih mengistimewakan laki-laki daripada perempuan. Dari beberapa ilmu mengatakan seperti itu bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan. kalau menurut saya Allah mempunyai porsi yang istimewa untuk laki-laki bukan berarti lebih baik tapi porsi istimewa untuk laki-laki dibandingkan perempuan.

Nama Preseden Tradisi Zaman Awal Islam

IHM  Kalau menurut saya sangat relevan, kenapa karena banyak ibrohnya sebeanarnya. Kita lihat dari sisi potong tangan, ketika itu memang sudah klimaks, dan itu merupakan sebuah aib jadi ketika akan melakukannya lagi, menurut saya kemungkinannya lebih kecil daripada hukum yang sekarang penjara gitu kan hanya beberapa tahun sudah bebas gitu kan efek jeranya kurang apa lagi di penjara dengan fasilitas yang mewah jadi kurang adil.

 Karena gak ada lagi nanti perselisihan adil gak adil. Yang paling jelas itu adalah waris sampai ukurannya pun ada sampai cucunya pun bisa dapet sampai segitunya itu jelas banget kalau dirubah itu bagi saya kurang relevan jadinya. Karena sudah jelas Allah bilangnya seperti itu rasul juga jadi enggak ada perselisihan jadi menurut saya sangat baik menggunakan hukum waris Islam. Karena itu sangat adil.

 Kalau yang pemimpin jatuhnya itu musyawarah, maksudnya ketika memang sudah tidak ada pilihan lain baru kemudian


(2)

permpuan tapi karena laki-laki punya porsi istimewa yang allah berikan. Tapi bukan berarti laki-laki lebih baik.

Nama Ijma

IHM  Apresiasi itu penting karena bagian dari menghargai hasil karya orang lain dan yakinlah ketika ulama-ulama itu melakukan suatu ijma, itu memerlukan proses yang lama gak mungkin serta merta menurut saya kayak gini enggak kan pasti itu ada prosesnya dan enggak sembarangan orang yang menguasai.

 Itukan mengqiyaskan kondisi dulu ke jaman sekarang. Bisa jadi pendapat dulu belun ada disekarang gituh contohnya uang pada zaman rasulullah itu kan adanya dinar sama dirham tapi kita memakai uang kertas gitu kan ini merupakan suatu proses yang panjang pake uang kertas. Jadi bukan diperbaharui bahasanya tapi bukan diperbaiki juga sebenarnya dirubahpun enggak tapi menurut saya tetap haru mengacu kepada ijma yang sudah ada ditetapkan. Ijma itu kan mengikuti kondisi dan tempat sebenarnya, tapi mengan catatan mengikuti ijma yang sebelumnya. Jadi ijma yang dulu gak kepakai dan diganti dengan ijma yang baru.

 Intinya menurut saya ada di menutup auratnya itu. kalau kemudian ada perbedaan batas tutupan itu gak masalah. Tapi itu landasannya kan muka dan telapak tangan. Jadi gak boleh asal-asalan juga yang penting itu tadi aurat.

Nama Pluralisme

IHM  Kalau saya memberikan salam itu kepada non-muslim gak usah. Tapi kalau kita gak tahu ya gak apa-apa. Tapi lebih baik gak usah.  Prinsipnya sama dalam memilih pemimpin perempuan ketika

memang sudah tidak ada lagi laki-laki yang memimpin pada akhirnya kan perempuan naek sama seperti dengan pemimpin non muslim kalau memang sudah tidak ada kriteria yang bagus dikalangan muslim yang gak jadi masalah, yang jelas selama dia tidak serta merta menghalangi umat islam untuk menjalankan syariat islam, untuk berdakwah dan apabila itu dilarang itu baru bahaya. Tapi ketika ada yang islam milih yang islam saja

 Gak apa-apa ibrohnya soalnya banyak yang terkandung dalam gotong royong dan kerja bakti itu. dan rasulullah memang menyuruh kita untuk melakukan itu, asal itu tadi tidak keluar dari batas-batas yang ditetapkan oleh Quran dan hadis.


(3)

Nama Hikmah

IHM  Ada banyak nilai-nilai Barat yang sesuai dengan Islam. Dan saya pribadi kalau diberikan kesempatan mau untuk belajarr ke Barat ke Harvard contohnya gituh.

8. Hasil Wawancara SHI

Nama Ijtihad

SHI  Al-quran dan hadis itu kan banyak penafsirannya, para ulam itu banyak berbeda-beda. Terus pemahaman ulama mana sebenarnya yang akan dijadikan landasan? Apa kita bikin pemahaman sendiri. Nah kalau pemahaman pemerintah gak sama dengan salah satu ulama terkenal bagaimana? Nanti kan jadi cek-cok. Ketika al-Quran akan dijadikan UU pasti banyak pertentangan enggak akan selalu mulus dan proses dalam menjadikan landasan al-Quran itu justru tidak membawa kebaikan itu akan mempersulit, memperumit dan akan menambah masalah sendiri bagi pemerintah. Tapi secara personal bisa maksudnya tiap orang kan punya keyakinan untuk menerapkan kebaikan. Tapi ketika dijadikan undang-undang kepemerintahan itu kemudian yang akan jadi bermasalah. Karena memang sejak dulu selalu bermasalah ketika al-Quran itu dijadikan landasan dan masalahnya bukan pada isi al-Quran-nya, tapi ketika diterapkan pada konteks tertentu itu ada yang menyatakan itu baik atau enggak? Apakah sudah sesuai pemahaman terhadap al-Quran untuk menerapkan kebaikan. Menurut saya dalam memahami al-Quran itu banyak beraneka ragam dan penerapannya pun selalu beragama dan itu akan menambah maasalah sendiri dan solusinya tidak selalu berada dalam al-Quran, karena kalau kita selalu melihat bahwa yang mengatakan semua solusi ada dalam Quran itu salah, karena al-Quran hanya menerapkan landasan-landasan kebaikan.

 Fleksibel. Karena yang paling dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur‟an itu hati nurani, untuk bagaimana penerapan dari al-Quran itu bisa membawa kebaikan bagi orang banyak jadi tujuan yang paling penting itu tujuan itu. Karena al-Quran sebagai rahmatan lilalamin untuk menyebarkan kebaikan. Jadi apakah yang akan kita terapkan dalam al-Quran akan membawa kebaikan, itu kan harus ditinjau ulang, enggak ada satu tinjau saja, harus ditinjau apakah penerapannya seseuai dengan kebaikan umum? Kalau tidak sesuai berarti, bukan al-Quran-nya yang salah, kita harus melihat konteks atau penerapannya. Karena saat rosul kan memang berdasarkan al-Quran waktu itu tapi ya begitu Rasul itu selalu memperbaiki diri untuk disejajarkan dengan konteks maka dari itu rosul tidak langsung punya otoritas untuk memberikan solusi, rosul selalu bermusyawarah kepada sahabatnya, ketika ada sebuah permasalahan. Kalau ada yang bilang al-Quran dan hadis


(4)

sudah cukup, apa fungsi harus bermusyawarah dengan sahabatnya.Landasan kebaikan ada dalam al-Quran dan hadis ia sama dengan pancasila, UUD 45 itu islami juga kedua-duanya, tapi untuk kebijakan solusi ga ada dalam al-Quran.

 Tidak bisa hukum potong tangan, ini masalah kebijakan bukan prinsip. Tapi lebih pada kebijakan atau peraturan, ya mungkin bisa bagi orang-orang tertentu tapi. Potong tangan itu harus dilihat pada konteksnya, asbabun nuzulnya. Karena setahu saya ayat ini sudah tidak berlaku saat Umar dengan beberapa alasan bahwa ayat ini tidak sesuai lagi dengan konteks ayat itu. Pada zaman rasul umar setuju. Di Indonesia harus diuji lagi apalah hukum potong tangan akan memberikan kebaikan yang lebih luas tidak, karena yang mencuri itu kebanyakan terpaksa tapi kalau koruptor saya setuju potong tangannya, mereka itu sudah kaya tapi masih nyomot-nyomot uang negara. Tapi kalau orang miskin mencuri karena terpakasa, bagaimana ia mencari nafkah? Malah membubuh dia dong.

 Waris konteksnya juga harus di kaji lagi. Ya karena untuk kebaikan tidak ada yang pasti. Ga bisa dipukul rata, karena setiap orang punya kondisi dan akan selalu beragam untuk solusinya. Rasul waktu itu masih dalam lingkungan terbatas untuk saat itu, tapi untuk kebijakan memang harus ditafsirkan ulang.

 Kepemimpinan wanita. Ya iya, tapsirnya ini sudah beragam. Bagi saya konteks itu lebih penting dari hanya pemahaman teks. Konteks dan hati nurani. Boleh wanita itu mimpin mimpin negara, kenapa enggak. Tapi harus teruji dulu kepemimpinannya. Laki-laki dan perempuan gak ada bedanya. Jadi intinya pemerintah, organisasi, dan anggotanya harus bekerjasama. Pemimpin ini bisa enggak memberikan sumbangan yang besar atau hasil maksimal.

Nama Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam SHI  Yang jelas setiap daerah punya perbedaan masing-masing karena

setiap daerah punya masalahnya masing-masing. Satu masalah ya satu solusi. Ya saya berani mengatakan itu hukum potong tanga, saol wanita dipimpin ama laki-laki dan hukum waris tidak relevan. Karena zaman modern solusinya harus ditemukan benar-benar,.mengatasi tidak bisa oh ini diterapkan di masa Rosul pasti benar ini gak bisa. Kalau gitu caranya ya sama kayak jaman raja pokoknya manut-manut aja sama pemimpinnya ga ada solusi yang diberikan.

Nama Ijma


(5)

 Ya lah penghormatan harus. Ya karena ulama itu kan pintar orang yang diunggulkan dia yang ditauladani dia yang menjadi tulang punggung masyarakat untuk memberi solusi-solusi baru.

 Jelas bisa. Kalau dulu orang-orang yang memberikan ijma solusi itu ulama-ulama keagamaan tapi sekarang bukan, ijma itu bukan hanya ahli agama karena pemasalahan tidak hanya datang dari agama, permasalahan itu datang dari masalah sosila, teknologi dan yang ahli dalam bidang itu juga harus dilibatkan terhadap ijma karena kalau ahli agama itu gak mungkin dan enggak akan menghasilkan solusi kalau masalahnya bukan dari agama sebenarnya. Itu bagaimana kiai-kiai ulama-ulama memberikan solusi? padahal mereka bukan ahlinya makanya harus mengandalkan orang-orang yang punya kompetensi dalam bidang itu kalau dalam masalah kemiskinan sosiologi ya harus dilibatkan dalam ijma itu bukan MUI. Ijma itu bukan hanya ulama-ulama MUI.

 Ya gak bisa lah kondisi di arab ma kita jauh banget. Dan juga kondisi masyarakatnya juga beda. Dan satu hal lagi nabi kan pernah bilang bahwa perbedaan di umatku itu adalah rahmat. Jadi ya gak.

Nama Pluralisme

SHI  Setahu saya paham tentang keanekaragaman bukan hanya soal budaya, adat istiadat, tapi pemikiran juga.

 Oh beda kalau toleransi lebih ke siap untuk menghargai atau pluralisme tadi .

 Boleh gak apa-apa baik itu

 Ya gak apa-apa selama non muslim itu bisa dan tidak diskriminatif, kenapa tidak?

 Apa lagi ini fardu ain

Nama Hikmah

SHI  Ada banyak, misalnya penghormatan terhadap akal pikiran, itu sesuai dengan Islam karena di kita tuhan memang mewajibkan kita untuk melakukan itu.

 Perlu malah harus agar muslim bisa berkembang dan tidak dianggap warga kelas dua.


(6)