Fundamentalisme Islam, Negara Islam dan Implimentasi Shari’ah

jihad itu sendiri. Karena itu pula, praktik-praktik jihad kekerasan yang sering dipertontonkan kaum fundamentalis adalah tidak berdasar. Menurut Bassam Tibi Jihad dilakukan untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang benar. Dalam doktrin klasik, penggunaan kekuatan untuk penyebaran Islam bukanlah perang tetapi lebih merupakan Jihad. Menurut mereka fundametalis jihad Islam yang benar adalah jihad dengan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. 83 Karena itu adalah sulit untuk memberikan penjelasan kepada pembaca Barat mengenai makna jihad Islam sebagai sebuah perdamaian yang diusung untuk kemanusiaan. Bahkan sebaliknya Barat melihat Jihad sebagai perang. 84 Menurut Bassam Tibi kaum fundamentalis terjadi miskonsepsi terhadap doktrin jihad, keliru memaknai jihad dengan harus melakukan kekerasan dan terorisme. Harusnya tegas Bassam Tibi Jihad dilakukan bukan untuk bunuh membunuh tetapi bagaimana menuntut perjuangan Islam melawan kemiskinan, kebodohan dan penyakit juga melawan keterbelakangan. Karena itu Mereka harus menyebarkan Islam dengan cara damai bukan dengan cara kekerasan. 85

C. Fundamentalisme Islam, Negara Islam dan Implimentasi Shari’ah

Negara merupakan persekutuan hidup tertinggi, paling mulia dan paling luhur, bila dibandingkan dengan tujuan persekutuan hidup lainnya. 86 Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa salah satu tujuan didirikannya negara bukan untuk 83 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 104. 84 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 93. 85 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 103. 86 Dr. J.H. Rapar, Th.d, P.hd, Filsafat Politik Aristototeles, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, Cet. II, h. 39 negara itu sendiri melainkan untuk manusia yang menjadi warganya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tujuan utama pembentukan negara adalah untuk manusia. 87 Untuk itu bagaimana mungkin gerakan fundamentalisme Islam berupaya membangun Islam sebagai ideologi politik yang bisa diterima oleh semua golongan dan tidak hanya untuk golongan tertentu, yaitu Islam atau bahkan untuk kelompok Islam mereka sendiri? Perbedaan mendasar antara fundamentalisme dengan sekularisme adalah: kaum fundamentalisme menghendaki pelaksanaan syari’ah secara total, yaitu penerapan syari’ah yang cenderung ditafsirkan secara rigid dan literalis. Sebaliknya kaum sekular adalah memandang kemajemukan sebagai suatu hal yang positif, dan optimal bahwa kemajemukan akan membawa kepada kebaikan . 88 Di tengah kemajemukan itu, kaum sekuler meyakini kaum Muslimin adalah ummatan wasathan yang menjadi penengah di antara kecendrungan ekstrimitas golongan-golongan lain. 89 Salah satu karakter pokok ideologi fundamentalis adalah cara pandang baru yang diwakili dengan istilah al-islam al-siyasi. 90 Seruan kaum fundamentalis di antaranya adalah bagaimana membangun dan memperbaharui kehkhalifahan dan bagaimana menemukan konsep baru tentang Daula Islamiya negara Islam yang dapat menjalankan nizam Islami sistem pemerintahan Islam. Sementara, cita-cita daulah Islammiyah sesungguhnya bukan sebuah Islamisasi 87 Rapar, Filsafat Politik Aristototeles, h.40 88 Yusril Ihza Mahendra, Maududi dan Jama’at -I-Islami Pembentukan dan Tujuan Partai Fundamentalis, Ulumul Qur’anNo. 3, Vol.IV, 1993, h. 43. 89 Yusril Ihza Mahendra, Maududi dan Jama’at -I-Islam, h. 43. 90 Politik Islam adalah istilah yang digunakan dan dipilih oleh kaum reformis Muslim untuk mengidentifikasi fundamentalisme agama. demokrasi, bukan juga negara sempurna yang dibangun dalam filsafat politik kaum nasionalis Islam abad pertengahan, terutama Abu Nasr al-Farabi. 91 Model negara yang diinginkan kaum fundamentalisme Islam pada dasarnya adalah bentuk kekuasaan totalitarian. Pandangan al-Awwa tentang negara Islam mewakili mainstream politik Islam. Muatan yang paling konkret dari kontribusinya terhadap persoalan ini adalah idenya bahwa legitimasi sistem ini berasal dari shari’a . 92 Terlepas dari bagaimana implementasinya, pernyataan ini menfokuskan seruan implementasi shari’a Islam sebagai substansi pemerintahan Islam. Dalam kenyataannya, shari’a adalah konstruksi pasca-Qur’anik, yang pada dasarnya bertujuan untuk mengatur, semacam hukum sipil yang berkaitan dengan urusan warisan, perkawinan dan semacamnya. Dalam sejarah Islam, shari’a tidak pernah menjadi konstitusi kekhalifahan Islam tradisional, yang sebenarnya adalah “monarki yang absolut”. Dewasa ini, kaum fundamentalis mereka-reka hadits tentang shari’a sebagai konstitusi negara Islam. Inilah interpretasi din wa dawla yang berasal dari hadits buatan kaum fundamentalis. 93 Menurut Husain al-Najjar tidak ada suatu teks otentik dalam sumber shari’a Islam klasik yang mendukung formula din wa daula: “Kami tidak yakin bahwa Muhammad mendirikan sebuah kerajaan maupun negara, dia hanyalah seorang Rasul dan Nabi bagi semua manusia. Islam tidak mengharuskan umat manusia untuk tunduk pada misi 91 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 274 92 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285 93 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285 ini, karena dalam Al-qur’an diungkapkan tidak ada paksaan dalam agama” QS. Al-Baqarah:256. 94 Ajaran politik Islam hanyalah terbatas pada pemberian bobot etika bagi pemerintahan, dan bukan perintah teknis untuk mendirikan pemerintahan dalam sebuah negara Islam. Dalam pandangan al-Najar, hanya Nabi dan dua khalifah, Abu Bakar dan Umar tidak termasuk Ustman dan Ali yang memerintah dengan spirit etika Islam. Dalam sejarah, hanya bay’a Muslim terhadap dua khalifah yang dapat dibandingkan dengan para penguasa hasil pemilu modern. 95 Menurut Bassam Tibi, jika ada klaim yang mengatakan bahwa shari’a merupakan konstitusi negara yang suci, maka klaim semacam itu adalah khas klaim kaum fundamentalis seperti al-Awwa. Namun jika ada yang memandang syariah sebagai etika, maka ia adalah seorang reformis liberal seperti al-Najjer. Para sarjana hukum Islam menyadari fakta bahwa tidak ada ketentuan hukum yang homogen, terdefinisi dan terbatas yang kita katakan sebagai shari’a. 96 Ide tentang negara Islam adalah konsep yang kabur atas dasar politisasi, dan cenderung membangkitkan kembali kesewenang-wenangan dengan menyeleksi komponen-komponen doktrin Islam tanpa menyadari bias modern ke dalam sejarah dan pemikiran Islam klasik. Pendeknya, anggapan Islam sebagai din wa dawla dan shari’a adalah konstitusi negara Islam, merupakan tradisi yang 94 Husain Fawzi al-Najjer, al-Islami wa al-siyasa: Bahth fi usul al-nazariyya al-siyasiyya wa nizam al-hukm fi al Islam, h. 141 dan dapat dilihat juga Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 285 95 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 288 96 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 290 dibuat-buat dan tidak ada rujukannya dalam sejarah Islam klasik maupun sumber- sumber kitab suci yang otoritatif. 97 Bassam Tibi tidak setuju dengan pendirian negara Islam, karena menurutnya sekulerisasi untuk modernisasi merupakan satu-satunya alternatif bagi pembangunan dunia ke depan dan kemajuan Islam di masa yang akan datang. Sekularisasi menurutnya adalah manifestasi sampingan dari perubahan pada sistem budaya, namun bukan proses akomodasi kultural yang aktual untuk perubahan yang dibutuhkan pada masing-masing fase sejarah. 98 Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bassam Tibi di atas, Abdullahi Ahmed An-Na’im seorang pakar HAM, Hukum Islam, dan Hukum Internasional di Emory University USA mengatakan bahwa syariat Islam tidak bisa dilaksanakan melalui hukum positif, tetapi harus tetap diberlakukan sebagai sumber normatif keagamaan. Secara konseptual, lanjut An-Na’im, negara Islam merupakan sesuatu yang tidak mungkin diterapkan. Sebagai institusi politik, suatu negara tidak bisa dicirikan sebagai Islam atau tidak Islami, dan usaha untuk melaksanakan syariat dalam hukum positif akan menanggalkan Islam dalam hukum normatifnya. Negara, tegas An-Naim merupakan otoritas politik dan kekuasaan, memberlakukan syariat melalui negara dalam situasi sekarang harus melalui badan legislatif ataupun pemerintahan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaanya akan sangat bergantung pada kemauan politik dan interpretasi 97 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik, h. 291 98 Bassam Tibi, Arab Nasionalism: A Critical Inquiry, Trans. Marion Faraouk Stuglett Peter Sluglett, New York: St. Martin Press, 1971, h. 4, ini juga dikutip oleh Jaenal Aripin, Pemikiran Pembaharuan: analisa Terhadap Gagasan Sekular Bassam Tibi, hasil penelitian Penelitian Lemlit IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001, h. 6 orang-orang yang berada dalam kekuasaan baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. 99 Dalam tradisi Islam tidak ada sistem hukum yang konsisten dan koheren, apakah shari’a atau yang lain. Lebih lanjut Bassam Tibi mengatakan bahwa shari’a lebih merupakan metodologi hukum dan sebagai etika, bukan sebagai hukum itu sendiri. Merujuk pada pandangan-pandangan di atas, kecenderungan kaum fundamentalis untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat sebagai konstitusi adalah sesuatu yang mengada-ada karena tidak punya dasar dan legitimasi kuat, baik dalam Quran dan Hadis, maupun dalam sejarah Islam klasik.

D. Fundamentalisme Islam dan Benturan Peradaban