Akar Historis dan Definisi Fundamentalisme Islam

diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan. 45

C. Akar Historis dan Definisi Fundamentalisme Islam

Karena tidak pernah dikenal dalam Islam, penerapan istilah fundamentalisme pada kaum Muslim seringkali menimbulkan kontroversi. Perdebatan banyak dimulai dari implikasi istilah ini yang memperburuk citra Islam, dan bahkan ketika digunakan untuk menggambarkan orang Kristen sekalipun. Dikatakan oleh sebagian orang bahwa istilah ini memiliki konotasi kebodohan dan keterbelakangan, dan dengan demikian menghina gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang absah. 46 Pada tahun 1970-an kebanyakan analisis Muslim menolak istilah fundametalisme sebagai label bagi gerakan kebangkitan Islam. Akan tetapi, pada tahun 1990-an analis fundamentalisme Muslim mulai menggunakan istilah ini dalam perdebatan politik dan ilmiah. 47 Terlepas adanya pro dan kontra terhadap fundamentalisme dalam Islam, ternyata, dari akar historisnya ada beberapa gerakan Islam yang dianggap berciri fundamentalistis. Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: pertama, gerakan Khawarij yang muncul kurang lebih pada dua dasa warsa sesudah kematian Nabi Muhammad. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Kaum 45 Lihat Martin E. Marty dan R. Acott Appleby, Fundamentalism Comprehended, The University of Chicago Press, 1995 dan Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana, dan Politisasi, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi, No. 13 Tahun 2003. 46 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 2000 Jilid 2, h. 84. 47 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, h. 84.. Khawarij mula-mula menjadi pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang menjadi Khalifah tahun 661 M. Kemudian mereka memisahkan diri dari Khalifah Ali Ibn Abi Thalib karena tidak setuju dengan sikapnya yang menerima keputusan kompromi dalam menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Muawiyah Ibn Sufyan. Dengan anggota sekitar dua belas ribu orang, mereka membentuk kelompok sendiri di bawah pimpinan Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi. 48 Gerakan Khawarij bergerak dalam bidang politik dan teologi. Bidang politik terlihat dalam keterlibatan mereka menentang atau mendukung penguasa yang berkuasa. Sedangkan dalam bidang teologi terlihat dalam pengawasan mereka secara ketat terhadap pelaksanaan syari’ah. Selain itu, gerakan ini juga cenderung radikal, nyaris tanpa kompromi, dan eksklusif. Dalam pandangan mereka, siapapun yang dipandang kafir termasuk anak dan istri layak dibunuh. 49 Secara umum, ajaran- ajaran pokok golongan khawarij adalah: pertama Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir. Kedua, kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase termasuk yang menerima dan membenarkannya dihukumi kafir. Ketiga, khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar. 50 48 Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Kristen dan Islam, Yogyakarta: Kalika, 2003, Cet. I, h. 60. 49 Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Kristen dan Islam, h. 6. 50 Khawarij, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, diakses 5 Juni 2007 dari http: id.wikipedia.org. Kedua, Ikhwanul Muslimin. Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna pada tahun 1928 di Mesir. Adapun tujuan dari didirikannya gerakan ini adalah untuk menciptakan dan bahkan mendirikan suatu negara Muslim yang teokratik Islamic State. Gerakan ini berupaya untuk mengaplikasikan doktrin-doktrin Islam. Selain itu dalam mencapai tujuannya mereka memperkenalkan cara-cara pembunuhan dan revolusi meliter. 51 Fundamentalisme Islam mendapat tempat di kalangan Barat, dan mulai populer berbarengan dengan terjadinya revolusi Iran pada 1979, setelah Ayatullah Khomaeni secara sensasional menumbangkan kekuatan rezim Syah Iran, yang kemudian memunculkan kekuatan Muslim Syiah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the Great Satan, Amerika Serikat. 52 Khomaeni bahkan berjanji mengekspor revolusinya itu ke negara-negara Islam di seluruh dunia. Setelah terjadi Revolusi Islam Iran, istilah fundamentalisme Islam menyebar dan digunakan secara luas oleh banyak kalangan akademis, serta digunakan untuk mengeneralisasi berbagai gerakan Islam yang muncul dalam gelombang yang sering disebut sebagai ”kebangkitan Islam” Islamic Revivalism. 53 Meski gerakannya bersifat radikal dan pemikiran keagamaan cenderung terkebelakang, fudamentalisme Islam tidak harus diidentikkan dengan konservatifme. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa tokoh-tokohnya juga memanfaatkan sarana-sarana modern, bahkan mengadopsi teknik-teknik 51 Chaider S. Bamualim dan Ridwan al-Makassary, Nexus antara Fundamentalisme Islam dan Terorisme, Jurnal Millah, Vol. VI, No.1, Agustus 2006, h. 40. 52 Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Ulumul Qur’an, h. 18. 53 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme hingga Post- Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996 Cet.I, h. 107. kebangkitan modern dalam gerakannya. Mereka menyerukan pula kepada kaum muslimin untuk belajar sains dan teknologi. Bruce Lawrence dan Juergenmensyer melihat bahwa munculnya fundamentalisme Islam terkait erat dengan kegagalan proses-proses modernitas dan negara-bangsa nation-state. Pada dasarnya, mereka berdua melihat bahwa kaum fundamentalis tidak menafikan modernitas dalam pengertian ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang ditolak kaum fundamentalis adalah ideologi sistem ide-ide di balik itu; yaitu sekularisme, westernisme dan materialisme. Karena itu, pernyataan Ira M. Lapidus bahwa kaum fundamentalis tidak sedang memperjuangkan tatanan sosial yang pernah ada dalam sejarah Islam, namun mengupayakan suatu rekonstruksi identitas dalam bidang sosial dan politik baru yang diperoleh dari ajaran-ajaran agama, mungkin lebih rasional dan logis. 54 Fundamentalisme Islam di era modern menjadi perdebatan banyak kalangan, antara lain; apakah fundamentalisme Islam itu khas modern atau tidak? R. Hrair Dekmejian, dan John O. Voll berpendapat bahwa sepanjang sejarah Islam selalu muncul dan ada gerakan aktivis yang menyerukan ”kembali ke asas-asas agama”. Pendapat ini tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Marthin Marty, R. Scott Apleby pimpinan proyek fundametalisme Akademi Sains dan Amerika, dan Bruce Lawrence bahwa fundametalisme merupakan produk zaman modern sekalipun tampaknya memiliki anteseden historis. Menurut padangan ini 54 Tarmidzi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam buku Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998, h. 31-32. kondisi modernitas itu unik, dan fundametalisme adalah tanggapan religius terhadap tantangan modernitas. 55 Definisi fundametalisme Islam adalah sesuatu yang elusif sulit dipahami, dan tidak ada persepsi yang tunggal mengenai apa itu fundamentalisme Islam. Karenanya penting penulis memberikan ilustrasi pandangan tokoh-tokoh tentang fundamentalisme Islam seperti berikut ini: Menurut Musa Keilani fundamentalisme Islam adalah sebagai suatu gerakan sosial dan keagamaan yang menyerukan umat Islam kembali kepada “Prinsip-prinsip Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikannya secara positif [dengan doktrin agama], kembali kepada keseimbangan hubungan antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan kepribadiannya sendiri”. 56 Sedangkan menurut Jan Hjarpe, mengartikan fundamentalisme Islam adalah sebagai “Keyakinan kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma- politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, untuk menciptakan masyarakat yang baru”. 57 Fundamentalisme Islam, menurut Norman Daniel, adalah universalisme yang absolut, visi tatanan dunia yang didasarkan pada Islam. Karena alasan inilah –dan bukan karena “kebencian terhadap Islam”--perdebatan tentang fundamentalisme dan politik dunia, harus dipusatkan di sekitar Islam dan Barat. Secara tradisional, dua pihak itu telah memiliki kesan yang bermusuhan satu sama 55 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, h. 84. 56 Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h. 16. 57 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam, h. 16. lain. 58 Sedangkan Freed Halliday mendeskripsikan fundamentalisme Islam, dengan melihat kasus Iran dan Tunisia, sebagai “a revolt against the intrusive secular state. 59 Sementara Bassam Tibi mendefinisikan fundamentalisme Islam adalah bukan sebagai kepercayaan spiritual keislaman, melainkan sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan di muka bumi. 60 Definisi ini dapat memberikan inspirasi untuk memetakan bahwa salah satu tujuan dari gerakan fundamentalisme Islam adalah berkehendak untuk memformalisasikan syariat Islam dalam sebuah negara, cita-cita kaum fundamentalis meniscayakan hubungann antara agama dan negara berjalan harmonis. 61 Terutama demi terbentuknya lembaga dan institusi yang berlabelkan Islam, seperti isu negara Islam dan formalisasi syari’at Islam. Pada tingkat tertentu mereka juga berupaya untuk menyatukan kembali dunia Islam dalam satu kepemimpinan Khilafah. Sistem Khalifah dianggap sebagai trademark politik Islam yang harus ditegakkan sebagai sebuah sistem berbangsa dan bernegara. Runtuhnya sistem kekhalifahan di Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk pada 1924 dianggap sebagai titik hancurnya sistem pemerintahan Islam. Oleh karena itu, untuk mengangkat kembali cita-cita 58 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Penerjemah Imron Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, Cet. I, h. 8. 59 Valerie J. Hofman, Muslim Fundamentalists: Psyhosocial Profiles, dalam Fundamentalism Comprehended, ed. Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, Chicago: the University of Chicago Press, 1995 h. 207. 60 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politi, h. 23. 61 Persepsi kaum fundamentalis tentang harmunisasi hubungan antara agama dan negara , tidak seluruhnya terrealisir. politik Islam, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menegakkan kembali sistem Khalifah Islam. Terlepas dari utopia yang ada dalam gerakan tersebut, romantisme politik demikian hampir menjadi cita-cita semua gerakan fundamentalis. Meskipun terdapat variasi dalam menentukan strategi gerakan, namun secara umum gerakan fundamentalis menghendaki adanya penyatuan agama dan negara sebagai manifestasi dari keyakinan bahwa Islam din wa Daulah Islam adalah agama dan negara. Berpijak pada kerangka berpikir tentang fundametalisme Islam di atas secara umum, dapat digambarkan tujuan politik fundamentalisme Islam adalah Islamisasi masyarakat dengan merebut kekuasaan baik melalui cara-cara kudeta ataupun dengan proses-proses demokrasi, untuk menempatkan dan menjalankan praktik fundamentalis sebagai penyelenggara tatanan Tuhan di muka bumi.

BAB IV PEMIKIRAN BASSAM TIBI

TENTANG FUNDAMENTALISME ISLAM

A. Fundamentalisme Islam: Gejala Ideologisasi Agama

Di mata Bassam Tibi fundamentalisme bukanlah merupakan kepercayaan spiritual, melainkan sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Selanjutnya, menurutnya, ideologi kaum fundamentalis bersifat eksklusif, dalam arti bahwa ia menolak opsi-opsi yang bertentangan, terutama terhadap pandangan-pandangan sekuler yang menolak hubungan antara agama dan politik. Jadi sesuai dengan wataknya fundamentalisme bersifat absolut, dan ia tampak sedang menempatkan jejaknya di atas panggung politik dunia. 62 ”Religious Fundamentalism not as a spiritual faith, but as a political ideology based on the politicizing of religion for sociopolitical and economic goals in the pursuit of establishing a divine order. By definition, then, this ideology is exclusive, in the sense that it attacks opposing options, primarily those secular outlooks that resist the linking of leligion to politic”. 63 Kemunculan fundamentalisme Islam di pentas panggung politik dunia dapat ditelusuri sejak runtuhnya tembok Berlin di Jerman. Runtuhnya simbol komunisme itu, agaknya membuat Barat, terutama Amerika Serikat kehilangan musuhnya, dan karenanya sejak itu pula Barat sedang mengintai musuh baru, 62 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Penerjemah Imron Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, Cet. I, h. 35. 63 Bassam Tibi, The Challenge of Fundametalisme Political Islam and the New World Disorder, University of California Press: 1998 Cet. 1, h. 20.