Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini dunia dikejutkan dengan menyeruaknya fenomena teror dan kekerasan atas nama agama yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, terutama di dunia Islam, dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah hingga Indonesia. Di tengah fenomena kekerasan tersebut muncul kelompok-kelompok Islam seperti Jihad Islam di Mesir, Hamas di Palestina, Jemah Islamiyah, dan Al- Qaedah yang jaringannya kuat dan meluas dimana-mana. Pengeboman tragis atas gedung World Trade Center dan Pentagon 11 September 2001 di Amerika Serikat, adalah salah satu contoh bagaimana agama dan kekerasan terkait satu dengan lainnya. Kelompok-kelompok yang seringkali menjustifikasi kekerasan atas nama agama ini sering kali dikenal dengan kelompok fundamentalisme. Tidaklah heran mengapa gerakan fundamentalisme agama acap kali dilihat sebagai faktor ataupun aktor di balik munculnya aksi-aksi terorisme. Ini mudah dimengerti sebab di banyak kalangan fundamentalisme Islam, semisal Fron Jihad dan Jamaah Islamiyah di Mesir sejak lama telah secara ekstrem menjustifikasi kekerasan dengan doktrin jihad sebagai rukun Islam yang ke enam. 1 1 Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, Jakarta: LSP, Oktober 2004, Cet. I, h. 88. Namun fundamentalisme bukan monopoli Islam semata. Pengamat agama terkemuka, Karen Amstrong, misalnya, melihat fundamentalisme agama menjadi fenomena global yang dapat terjadi kapanpun dan di manapun, serta mungkin saja didukung oleh siapapun. 2 Bahkan ketika dilihat dari kacamata agama-agama, gerakan fundamentalisme tidak hanya terjadi dalam agama Islam, Yahudi, Kristen, tetapi juga di seluruh agama-agama lainnya. Menurutnya, fundamentalisme agama adalah ajaran yang secara kuat menekankan pentingnya kembali ke ajaran fundamental agama, serta berupaya menegakkan kembali kejayaan agama di masa lampau, agar dapat kembali diwujudkan di masa sekarang. Lebih jauh Armstrong berpendapat, bahwa fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar agama sebagaimana dimaksud, tetapi juga merupakan gerakan yang mencoba melawan modernisasi dan westernisasi. 3 Itulah sebabnya, mengapa kelompok fundamentalisme cenderung dipahami sebagai kelompok yang anti-Barat dan modernitas. Karena aksi-aksinya yang ekstrem dan nekat, oleh banyak kalangan pemerintahan di Barat, kelompok ini seringkali dikaitkan dengan terorisme. Peristiwa dahsyat 11 September 2001 membuat stigma ini menjadi tak terbantahkan. 4 Sebagai gejala sosial-keagamaan, fundamentalisme sebenarnya pertama kali muncul di kalangan penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat AS, sekitar tahun 1910-an. Istilah fundamentalisme digunakan kalangan ini untuk 2 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi Bandung: Mizan, 2000 Cet. I, h.IX. dan lihat juga Zuhairi Misrawi, Fundametalisme; Memenjarakan Perempuan, Jurnal Perempuan No.31, 2003, h. 65. 3 Amstrong, Berperang Demi Tuhan, h. X. 4 Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, International Institute of Islamic Thought Indonesia September 2003, h.13. membedakan kelompoknya dengan kaum Protestan yang liberal yang oleh mereka dituduh telah merusak keimanan Kristen. Kelompok ini ingin menegakkan kembali dasar-dasar fundamental tradisi Kristen, yakni suatu tradisi yang oleh mereka didefinisikan sebagai pemberlakuan panafsiran secara harfiah terhadap kitab suci. Banyak pengamat melihatnya secara berbeda-beda. Yang jelas, fundamentalisme adalah kenyataan global yang muncul pada semua keyakinan keagamaan. Tak terkecuali dalam Islam, paham ini pun berkecambah luas di berbagai agama: Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Ada yang melihatnya sebagai kritik dan protes terhadap berbagai masalah-masalah sosial dan moral yang dimunculkan modernitas. Bagi kelompok fundamentalis, arus modernisasi dinilai telah keluar jauh dari nilai-nilai agama sehingga menimbulkan kemerosotan moral-sosial dalam masyarakat maupun pemerintahan. Negara sekular juga dituduh gagal melindungi nilai-nilai luhur agama, bahkan agama dipinggirkan dari percaturan politik, ekonomi dan sosial budaya; suatu domain publik yang telah dirampas dan dikuasai secara hegemonik agen-agen modernitas. 5 Dalam konteks Islam, fenomena muculnya gerakan fundamentalisme Islam, secara umum, dapat dilihat sebagai respon terhadap krisis modernitas, dominasi Barat, kemorosotan moral umat Islam dan kegagalan negara-bangsa dalam mengintegrasikan program-program ekonomi, politik dan 5 Lihat Karen Armstrong, Islam A Short History Sepintas Sejarah Islam, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002 h.193. Lihat juga Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad: Antara Otentisitas dan Ambiguitas, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003, Cet. I, h. 2. budaya dengan sistem nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 6 Oliver Roy, pengamat politik Islam asal Perancis, melihat bahwa fundamentalisme Islam mempunyai dua agenda besar yang berpusat pada syari’at dan bersifat antikolonialisme, anti imperialisme, yang kini menjadi gerakan anti barat. 7 Bagaimana Bassam Tibi memandang fenomena fundamentalisme Islam? Menurutnya, fundamentalisme Islam hanyalah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia. Gerakan ini merepresentasikan suatu ideologi politik, dan bukan agama sebagai budaya, dan bahkan terjebak dalam perangkap benturan antar peradaban dalam konteks sosial politik. 8 Sejalan dengan Tibi, prof. di bidang politik Islam Din Syamsuddin, menilai bahwa gerakan fundamentalisme cenderung hendak menemukan kembali jati diri Islam dan memasukkan asas-asas Islam ke dalam kehidupan nyata sosial-politik mutakhir. 9 Dalam bahasa yang lebih tegas, Tibi mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan gejala ideologis dari ide clash of civilizations benturan peradaban. 10 Karenanya, bagi Tibi adalah penting untuk membedakan antara Islam sebagai sebuah agama dan peradaban dan Islam sebagai ideologi politik fundamentalisme. 11 Menurut Bassam Tibi, Islam merupakan sistem budaya, dan karenanya penting untuk menganalisis bagaimana sistem budaya ini dipolitisasi 6 Chaider S. Bamualim, Fundamentalisme Islam dan Jihad, h. 21. 7 Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 1996 Cet. I, h. 5. 8 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Penerjemah Imron Rosyidi dkk, Yogyakarta: November 2000, Cet. I, h. 5. 9 Lihat Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002 Cet. II, h. 190. 10 Dalam hal ini benturan peradaban yang dimaksud adalah benturan antara Islam dan Barat, Barat melihat Islam sebagai musuh utama yang mengancam eksistensiya dalam perpolitiikan dunia, pernyataan ini bisa dilihat juga dalam, Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, h. 26. 11 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, h. 5. untuk melakukan perubahan sosial social change. Demikian halnya, penting untuk mencermati bagaimana suatu ideologi politik dikembangkan dari sistem budaya Islam melalui pendekatan gerakan fundamentalis yang cenderung anarkis dengan mengatasnamakan Islam. 12 Memperhatikan uniknya fenomena ‘manipulasi’ agama sebagai sistem budaya dengan ideologi politik kaum fundamentalis atas nama Islam, adalah penting bagi kita untuk mengkaji pemikiran Prof. Bassam Tibi. Penulis berharap, pembahasan ini dapat memberi kontribusi bagi studi-studi fundamentalisme Islam yang telah ada. Studi ini juga perlu mengingat pentingnya pengaruh dan reputasi Prof. Bassam Tibi baik di kalangan sarjana Barat maupun sarjana Islam. Apalagi hingga kini belum ada yang membahas secara mendalam pandangan-pandangan Bassam Tibi menyangkut fundamentalisme Islam sebagai gerakan ideologi politik di dunia Islam.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah