Pencatatan Perkawinan LANDASAN TEORI PERKAWINAN

4. Berakal 5. Dapat mendengar dan melihat paham akan maksud akad nikah e. Syarat ijab Kabul 1. Ada ijab pernyataan mengawinkan dari pihak wali 2. Ada qabul pernyataan penerimaan dari calon suami 3. Memakai kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”. 4. Antara ijab dan qabul bersambungan tidak boleh terputus. 5. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak dalam keadaan haji atau umrah. 6. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi. 17 Syarat dan rukun tersebut harus dipenuhi agar perkawinan yang dilakukan tidak batal.

B. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawian adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri. 18 17 M. Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, h.57-58. 18 Muhammad Zein Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, cet. 1, Jakarta: Graha Cipta, 2005, h.36. Pencatatan perkawinan memang tidak pernah diatur di dalam al-qur’an dan hadits, berbeda dengan muamalah yang yang pencatatannya diatur di dalam al- qur’an. Tetapi, dengan berkembangnya zaman dan demi kemaslahatan, kemudian hukum islam di Indonesia mengaturnya. Suatu perkawinan sudah dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan hukum agama baik berupa syarat maupun rukun dari perkawinan itu sendiri. Seperti yang disebutkan dalam UUP pasal 1 ayat 1 bahwa: “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya kepercayaannya itu” . Selain perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun agama, perkawinan harus juga dicatatkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Negara ini , yaitu Indonesia. Mengingat perkawinan merupakan perbuatanperistiwa hukum yang secara otomatis akan menimbulkan akibat-akibat hukum baru, maka diperlikan adanya kepastian hukum. Untuk mewujudkan kepastian hukum tersebut maka perkawinan harus dicatatkan. Namun, pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan telah dianggap sah jika syarat dan rukunnya telah terpenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini sudah terjadi dalam masyarakat, sehingga masih ditemukan perkawinan di bawah tangan perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah. Kenyataan masyarakat seperti ini merupakan hambatan dalam pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. 19 Dalam pasal 5 dan 6 KHI mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut; Pasal 5 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 tahun 1945. Pasal 6 1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian mitsaqan galidzon 19 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.27. perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. 20 Bukti perkawinan yang telah dicatatkan adalah berupa Akta Nikah yang dapat dijadikan bukti otentik, bila suatu waktu di dalam perkawinan terjadi masalah. Ahmad Rofiq berpendapat setidaknya ada dua manfaat dari pencatatan perkawinan yaitu manfaat refresif dan manfaat preventif. Manfaat refresif dari pencatatan perkawinan adalah terbentuknya kesempatan itsbat penetapan bagi suami isteri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah lihat pasal 7 ayat 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam. Manfaat preventif dari pencatatan perkawinan ialah untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut hukum agama maupun hukum perundang-undangan. Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 mengaturnya dalam pasal 2 yang berbunyi: 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 20 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h.107. 3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alas an yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Kemudian dalam pasal 5 berbunyi 1. Pegawai pencatat yang menerima pemberithuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang. 2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat 1 pegawai pencatat meneliti pula: a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengannya. b. Keterangan mengenai nama, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; Ketentuan dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 di atas memberi manfaat yaitu: pertama, memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif dari Pegawai Pencatat Nikah. Kedua, menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan seperti identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Oleh karena itu, ketelitian Pegawai Pencatat Nikah sangat diperlukan dan menjadi faktor penentu tidak terjadinya penyimpangan.

C. Pembatalan Perkawinan Fasakh