3. Anak perempuan dari yang menyusukan;
4. Anak perempuan dari bapak sesusuan;
5. Saudara perempuan dari ibu sesusuan;
6. Anak perempuan dari anak laki-laki sesusuan, dan
7. Anak perempuan dari saudara perempuan sesusuan.
26
3. Karena Ikatan Perkawinan Mushaharah
Mushaharah adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dengan ini menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu mencakup hal-
hal sebagai berikut: 1
Istri ayah haram dinikahi oleh anak ke bawah, semata-mata karena adanya akad nikah, baik sudah dicampuri atau belum;
2 Istri anak laki-laki haram dikawini oleh ayah ke atas, semata-mata karena
adanya akad nikah; 3
Ibu istri mertua wanita dan seterusnya ke atas adalah haram dikawini hanya semata-mata adanya akad nikah dengan anak perempuannya, sekalipun belum
dicampuri; 4
Anak perempuan istri anak perempuan tiri jika ibunya sudah dicampuri.
2. Batal tidak mutlak
26
Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006, h.236.
Batal tidak mutlak yaitu batal yang tidak untuk selama-lamanya atau tang bersifat hanya sementara. Artinya perkawinan seperti ini masih dapat diperbaiki.
Batalnya suatu perkawinan ini disebabkan salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi. Perkawinan seperti ini salah satunya adalah menikahi wanita yang
bersuami. Berdasarkan firman Allah SWT di dalam Q.S. an-Nisa: 24, yang
berbunyi:
☺
☺
...
ءﺎ ا :
˻˽
Artinya: “Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu milik...”.
an-Nisa: 24 Maksud dari ayat di atas ialah diharamkan atas kamu wanita-wanita yang
bukan kerabat namun mereka telah bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. Artinya, budak-budak yang kamu miliki melalui penawanan, maka halal
bagimu umtuk mencampuri mereka jika kamu telah memandangnya bebas.
27
”Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah SWT menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga ahshana
farji-farji kemaluan mereka dengan menikah.
28
27
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Kastir, jilid I, Jakarta: Gema Insani, 2005, h.685.
28
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 2003 h.119.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah
bermakna wanita merdeka al-haraa`ir, tetapi wanita yang bersuami dzawaatul azwaaj
. Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan:
“Wanita-wanita yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka
karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan
bersamanya.
29
Dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 40 yang menyatakan, bahwa:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria
lain;
29
Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, Juz I, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, h.184
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Dan pernyataan yang sama juga diatur dalam pasal 9 UUP, yaitu: “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tiak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang- undang ini”.
3. Pihak-Pihak Yang Dapat Membatalkan Pernikahan