Ketelitian pegawai pencatat nikah terhadap data calon pengantin di KUA Kecamatan Cimanggis depok : studi kajian terhadap putusan no. 563/pdt.g/2007/pa.depok

(1)

(Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

HELMIYANSYAH NIM: 106044101399

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:

HELMIYANSYAH NIM: 106044101399

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Prof. Dr. H. A. Sutarmadi NIP: 194008051962021001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Pengantin Di KUA Kecamatan Cimanggis Depok (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”, telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 17 Juni 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama.

Jakarta, 17 Juni 2010

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, MM Nip: 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Prof. Dr. H. A. Sutarmadi Nip. 194008051962021001

(...)

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH Nip. 197202241998031003

(...)

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Sutarmadi Nip. 194008051962021001

(...)

4. Penguji 1 : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lcs, M.A 195507061992031001

(...)

5. Penguji 2 : Drs. Djawahir Hajazziey, SH, M.A Nip. 195510151979031002


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Juni 2010 M 04 Rajab 1431 H


(5)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat iman, Islam dan atas rahmat serta dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Ketelitian Pegawai Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin Di KUA Kecamatan Cimanggis Depok (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”.

Lantunan shalawat dan salam tak lupa penulis kepada Nabi besar kita Muhammad Saw semoga selalu tercurahkan, yang telah membawa umat-Nya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang dengan dien yang diridhai oleh Nya.seperti yang dirasakan Ummat-Nya saat ini.

Penulis menyadari, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah tangan penulis sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktunya dan memberikan inspirasi kepada penulis, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat:


(6)

ii

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA selaku Ketua Program Studi Muamalat dan Azharuddin Lathief, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Muamalat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. H. A. Sutarmadi. Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Para penguji yang telah memberikan masukan atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

5. Segenap Ibu dan Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi ilmu yang tidak ternilai kepada penulis.

6. Seluruh Staf Kantor Urusan Agama Kecamtan Cimanggis terutama kepada Bapak Drs. H. Badruzaman selaku Kepala KUA dan H. Abd. Hasan., S.Ag selaku penghulu yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Instansi tersebut.

7. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis.

8. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta kakak-kakak tersayang yang telah memberikan motifasi dan do’a kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S1.

9. Kepada semua sahabat-sahabatku yang telah memberikan dukungan dan supportnya kepada penulis. Yang selalu meluangkan waktu, tenaga, dan


(7)

iii

pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, atas segala bantuan, informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terima kasih yang mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan serta bantuan baik moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah membalas semua amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis, mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin.

Jakarta, 17 Juni 2010 M 04 Rajab 1431 H


(8)

iv

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

D. Landasan Teori... 10

E. Metode Penelitian... 11

F. Tinjauan Studi Terdahulu... 13

G. Sistematika Penulisan... 14

BAB II LANDASAN TEORI PERKAWINAN A. Gambaran Umum Perkawinan... 16

B. Pencatatan Perkawinan... 25

C. Pembatalan Perkawinan... 29

D. Iddah... 40

BAB III GAMBARAN UMUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN CIMANGGIS A. Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama... 45


(9)

v

C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan

Cimanggis... 50

BAB IV ANALISIS TENTANG KETELITIAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH TERKAIT DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk A. Prosedur Pencatatan Perkawinan... 53

B. Tinjauan Fiqh dan Undang-Undang Terhadap Pernikahan Yang Salah Satu Pihak Masih Terikat Perkawinan... 58

C. Tinjauan Tentang Ketelitian Pegawai Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 74

B. Saran-Saran... 74

DAFTAR PUSTAKA... 76


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah salah satu sunnatullah yang lazim terjadi pada setiap ciptaan Allah SWT, syariat perkawinan ditetapkan Allah SWT pada saat keadaan masih diliputi suasana jahiliyah. Tujuannya adalah agar manusia membuka hati dan pikiran dihadapan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga bisa mencapai kebahagiaan bagi manusia yang menyadari makna dan hakikat perkawinan, sebagaimana disyariatkan ajaran Islam, mengandung nilai yang teramat besar, karena menyangkut esensi nurani manusia.1

Selain itu, nikah atau perkawinan adalah aqad (ijab/qabul) antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditentukan oleh syara’.

Pengertian perkawinan yang lainnya, diantaranya menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan (yang selanjutnya disebut UUP), “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2

1

Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tata Cara Meminang Dalam Islam, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), h.5.

2


(11)

Dari pengertian perkawinan menurut UUP di atas, jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan keluarga yang bahagia, Inilah cita-cita dan idaman bagi tiap-tiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja kebahagiaan itu tidak bisa ditebak, kadang sering datang dan kadang sering pergi, kadang ketika kebahagiaan yang diharapkan, namun kadang juga ternyata kekecewaan yang datang.

Di dalam buku ”Hukum Perkwinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan” yang ditulis Soemiyati. Ia menjelaskan sebagai berikut: ”tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan-keturunan yang telah diatur oleh syari’ah”.3

Di samping itu, dengan ditetapkannya perkawinan, manusia dapat menurunkan generasi penerusnya. Dan ini berarti manusia dapat melestarikan kelangsungan hidup berikutnya dan kesinambungan keluarga dapat terjamin serta kebanggaan keluarga dapat diteruskan.4

3

Nya Soemiyati. Hukum Perkwinan Islam dan Undang-UndangPerkawinan. (Yogyakarta: Liberti,1997) h.12.

4


(12)

Pada dasarnya pernikahan itu berasaskan monogami, monogami menjadi salah satu asas akan tetapi terdapat pengecualian. Pengecualian itu diatur oleh UUP pasal 3 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Untuk terjaminnya pernikahan yang sejahtera dan bahagia, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada kebahagiaan tanpa adanya perkawinan yang sah. Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju’). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah:

1. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah. Talak, dan Ruju’ bagi orang yang beragama Islam;

2. Kantor Catatan Sipil (Burgerlijk Stand).5

5

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.1.


(13)

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 (yang selanjutnya disebut PP) pasal 3 ayat (1) menjelaskan bahwa “setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.6 Hal ini menerangkan bahwa setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan harus melaporkan atau memberitahukan kehendaknya agar perkawinannya dicatatkan dan memiliki kekuatan hukum.

Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975 bahwasanya Pegawai Pencatat Nikah meneliti apakah syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut hukum munakahat ataupun perundang-undangan yang berlaku.7

Kendati demikian, ada saja perkawinan yang dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada baik syarat, rukun dan hal-hal yang meyebabkan penikahan itu rusak atau fasid, dengan kata lain perkawinan yang dilakukan dengan semaunya saja. Seperti pernikahan yang dilakukan akibat suatu perceraian yang belum sempurna sehingga wanita itu tanpa disadari menikah lagi dalam keadaan belum bercerai.

6

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h.74. 7

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.126.


(14)

Berdasarkan masalah di atas, maka hubungannya dengan sistem peradilan di Indonesia, perkawinannya dapat dibatalkan. Seperti yang dicantumkan dalam UUP pasal 22 yaitu: “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Dan di dalam pasal 9 berbunyi: “Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini”.

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan seperti dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya disebut KHI) pasal 73 ayat 3 adalah: “Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang”.8

Perkawinan seperti ini pernah terjadi pembatalannya di Pengadilan Agama Depok dengan putusan Nomor 563/Pdt.G/2007/PA.Dpk, yaitu: seorang wanita bernama Aminah (Tergugat I) telah berpisah dengann suaminya bernama Yanto sekitar kurang lebih 1 tahun, kemudian Aminah menikah kembali dengan seorang laki-laki lain bernama Udin (Tergugat 2). pernikahan antara Aminah dan Udin dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimaggis Kota Depok pada tanggal 8 april 2006 dengan Akta Nikah No. 10/9/46/2006.

Akad nikah tersebut dilangsunglkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah KUA Cimaggis Kota Depok yang bernama Abdurrahman (Penggugat). Sebelum

8

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h.131.


(15)

dilangsungkan pernikahan, kedua mempelai datang ke KUA Kecamatan Cimaggis Kota Depok untuk memberitahukan kehendaknya untuk menikah. Kemudian saudara Abdurrahman selaku penghulu KUA Kecamatan Cimaggis melakukan pemeriksaan, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penandatanganan akta nikah sesuai ketentuan UU No. 22 Tahun 1946 jo. Pasal 6 s/d 13 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 14 s/d 29 Kompilasi Hukum Islam

Berdasarkan hal itu, maka KUA Kecamata Cimanggis mengeluarkan Kutipan akta nikah. kendati demikian, setelah pernikahan itu telah berlangsung kurang lebih 1 tahun, dan Yanto mengetahui pernikahan itu ia pun langsung melaporkan ke Kepolisian Sektor Cimanggis dengan modus Operandi (pelaku menikah tanpa sepengetahuan suami). Selanjutnya pihak kepolisian mengintrogasi saudari Aminah dan saudara Udin ditemukan fakta bahwa perkawinan mereka dinyataka cacat hukum karena saudari Aminah masih terikat dalam pernikahan dengan orang lain dan proses perceraiannya masih berjalan di Pengadialn Agama Depok.

Kemudian pihak kepolisian meminta agar saudara Abdurrahman selaku pegawai pencatat nikah yang berwenang menikahkan saudari Aminah dan saudara udin untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Depok karena merupakan kewenangan Pengadilan Agama setempat. Gugatan ini diajukan bertujuan agar perkawinan saudara Aminah dengan saudara Udin dibatalkan.

Gugatan seperti ini seperti diatur dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 37, yaitu: “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”.


(16)

Dan pasal 38 ayat 1: “permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri”.9 Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, maka Pengadilan Agama Depok memiliki wewenang untuk mengadili perkara yang diajukan oleh penggugat.

Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah tersebut di atas, maka penulis akan meneliti dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Depok dengan judul “KETELITIAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH TERHADAP DATA CALON PENGANTIN DI KUA KECAMATAN CIMANGGIS DEPOK (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”. B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk memudahkan penulis dalam pembahasan ini, maka penulis membatasi ruang lingkup permasalahan agar tidak meluas. Pembatasan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Ketelitian Petugas Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin yang mana calon pengantin yang masih terikat perkawinan, menyebabkan batalnya perkawinan.

2. Perumusan Masalah

9

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.18-19.


(17)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut: “Dalam ajaran agama teristimewa Islam, baik dalam al-Quran, Hadits, kitab-kitab fiqih, Undang-undang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam, pernikahan yang salah satu pihaknya masih terikat perkawinan itu dilarang, sehingga bila dilanggar perklawinan menjadi batal”.

Kemudian di dalam putusan pengadilan dinyatakan bahwa sebelum dilangsungkannya pernikahan, penggugat selaku petugas/penghulu KUA Kecamatan Cimanggis telah melakukan pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan penanda tanganan akta nikah sesuai UU No.22 tahun 1946 jo. pasal 6 s/d 13 UUP jo. Pasal 14 s/d 29 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, pada kenyataannya pernikahan seperti ini masih saja terjadi yang calon pengantin masih terikat perkawinan dengan orang lain sesuai dengan putusan pegadilan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk, maka akad nikah dalam perkawinan itu menjadi batal.

Dari tema di atas, penulis memperinci permasalahan – permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara permasalahannya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana cara Pegawai Pencatat Nikah melakukan penelitian terhadap data calon pengantin?

2. Bagaimana penyelesaian pernikahan yang salah satu pihaknya masih terikat perkawinan dengan orang lain?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian tentang pernikahan seseorang laki-laki dengan wanita yang masih berstatus istri laki-laki lain.

Adapun yang menjadi tujuan penelitian penulis dalam masalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana cara Pegawai Pencatat Nikah melakukan penelitian terhadap data calon pengantin.

2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian pernikahan yang salah satu pihaknya masih terikat perkawinan dengan orang lain.

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Dapat menambah ilmu pengetahuan.

2. Dapat menambah kepustakaan dari penulis.

3. memberikan acuan refrensi dan saran pemikiran bagi kalangan akademisi dalam menunjang penulisan selanjutnya yang akan berguna sebagai bahan perbandingan bagi penulis lain

4. Memberikan informasi mengenai gambaran bagaimana Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meneliti data calon pengantin.


(19)

D. Landasan Teori

a. Menurut Drs. H.Abd.Rahman Ghazaly dalam bukunya mendefinisikan batalnya perkawinan adalah rusaknya atau tidak sahnya statu perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama.10

b. Menurut prof. Dr. Syarifudin Amir dalam bukunya menjelaskan bahwa fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan. Dalam arti termologi ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam KBBI, berikut:

“Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum perniikahan”.11

c. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di dalam pasal 9 yang berbunyi: “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini”.

d. Kompilasi hukum Islam pasal 5 ayat 1 dan 2 bab II tentang dasar-dasar perkawinan yang menyebutkan sebagai berikut:

10

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.141. 11


(20)

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyrakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 tahun 1954.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sehubungan dengan wilayah sumber data yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, sebagaimana telah diuraikan diatas, maka jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kasus.

Penelitian kasus yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu, yang hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit tetapi memiliki sifat penelitian kasus yang lebih mendalam.12

Secara lebih jelas penulis tegaskan di sini bahwa penelitian kasus yang di maksud di sini adalah sebatas pada wilayah kasus atau masalah Ketelitian Petugas Pencatat Nikah terhadap data calon pengantin di KUA Kecamatan Cimanggis Depok, yakni kajian terhadap putusan No: 563/Pdt.G/2007/PA.Dpk.

12 Suharsimi Arikunto,

Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.142.


(21)

2. Metode Penelitian

Di dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian Studi Lapangan (field research) dengan cara sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara kepada Pegawai Pencatat Nikah yang bertugas ketika perkawinan tersebut dilangsungkan atau ketua KUA Kecamatan Cimanggis Depok. Wawancara ini dilakukan secara struktur yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu secara cermat dan sistematis daftar pertanyaan yang akan diajukan. Kemudian berdasarkan daftar ini penulis berusaha memperoleh data-data yang akurat seputar permasalahan ini.

Data-data yang diperoleh dari teknis di atas akan diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Hal ini bertujuan agar hasil yang diperoleh dapat diuraikan secara jelas dan akurat sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan

2. Jenis Data

Jenis data yang digunakan penulis dalam kegiatan penelitiannya dibedakan menjadi 2 jenis:

1. Data primer

Data ini diperoleh dengan pengamatan langsung dilapangan terhadap cara kerja para Petugas Pencatat Nikah KUA Kecamatan Cimanggis Depok. Namun data yang diperoleh jumlahnya sedikit, mengingat masalah pokok penelitian terbatas pada proses pengumpulan data. Oleh karena itu, untuk memperlengkap


(22)

data, penulis mengambil data penunjang dengan menggunakan data sekunder yang meliputi kepustakaan.

2. Data sekunder

Data ini diperoleh dari berbagai bahan bacaan yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Data ini juga diperoleh dari kepustakaan yang meliputi buku-buku, bahan dokumenter dan lain-lain.

F. Tinjauan Pustaka Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, di antaranya adalah sebagai berikut:

Inna Zunia Fauziana menyusun skripsinya yang berjudul “Peranan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Dalam Administrasi Perkawinan (Studi Pada Kua Kecamatan Karawaci Tangerang), yang ditulis pada tahun 2006. Di sini ia hanya menceritakan seberapa besar peranan atau fungsi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah terhadap administrasi perkawinan.

Kemudian, Nuria Ningsih yang mengambil judul skripsi “Relevansi Pencatatan Perkawinan Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat”, yang ditulis pada tahun 2005. Ia menyatakan bahwa pentingnya pencatatan perkawinan karena kepastian hukum perkawinan menjadi jelas dan jika suatu waktu terjadi masalah atas perkawinannya maka mereka memiliki bukti yang otentik.

Setelah melakukan analisa dari kedua skripsi diatas, penulis rasa bahwa pembahasannya berbeda dengan judul penulis: “Ketelitian Petugas


(23)

Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin Di KUA Kecamatan Cimanggis Depok (Suatu Kajian Terhadap Putusan No.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk)”. Di sini penulis mencoba menerangkan tentang ketelitian yang harus dijaga agar calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, agar tidak terjadi perkawinan yang calon pengantinnya masih terikat perkawinan dengan orang lain.

G. Sistematika Penulisan

Bab pertama ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Masalah, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka Terdahulu, Sistematika Penulisan

Bab kedua ini menjelaskan tentang Landasan Teori Perkawinan yang meliputi: Gambaran Umum Perkawinan, Pencatatan dan Pembatalan Perkawinan.

Dalam bab ketiga ini berisikan tentang Gambaran Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis Depok, dengan menguraikan Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama, Gambaran Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis, Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis.

Bab Keempat berisikan tentang Analisis Tentang Ketelitian Pegawai Pencatat Nikah Terkait Dengan Putusan Nomor.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk,


(24)

dengan menguraikan, Prosedur Pencatatan Perkawinan, tentang Tinjauan Fiqh dan Undang-Undang Terhadap Pernikahan Yang Salah Satu Pihak (Isteri) Masih Terikat Perkawinan, Tinjauan Tentang Ketelitian Pegawai Pencatat Nikah Terhadap Data Calon Pengantin.

Bab Kelima yaitu uraian tentang penutup, yang berisi kesimpulan dan implikasi dari keseluruhan pembahasan yang telah diteliti. Dan saran yang dapat mendukung kesempurnaan skripsi.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI PERKAWINAN A. Gambaran Umum Tentang Pernikahan

1. Pengertian

Kata nikah atau zawaj yang berasal dari bahasa Arab dilihat secara makna

etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan ungkapan lain

bermakna “aqad dan setubuh” yang secara syara’ berarti aqad pernikahan. Secara

terminologi (istilah) nikah atau zawaj adalah:

1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari

seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

2. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang laki-laki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara

keduanya.1

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal

dari kata nikah (

حﺎﻜ

) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)2.

Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan percampuran.

Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan

1

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, cet.I, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006 ), h.1.

2


(26)

wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti

akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi

(metafora)3. Berdasarkan firman Allah SWT:

)....

ءﺎ ا

:

˻˾

(

Artinya: “…Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka...”. (an-Nisa’: 25)

Definisi nikah yang lain menurut pendapat para ulama adalah sebagai

berikut:

ﺰ ا

و

جا

ْﺮ

ه

ْﻘﺪ

و

ا

رﺎ

ع

ْﺪ

ْ

ْ ا

ﺘْ

عﺎ

ﺮ ا

ﺎْ

ْﺮ

أة

ئ

و

ا

ْﺘ

ْﺘ

عﺎ

ْا

ْﺮ

ةأ

ﺮ ا

.

4

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya pereempuan sengan laki-laki.

1. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa

اﺪ

ﺔﻌﺘ ا

ﺪﻘ

حﺎﻜ ا

.

5

Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan

2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa

ﺎ هﺎ ﻌ

وأ

وﺰ

و

حﺎﻜ إ

ءطﻮ ا

ﻦ ﺘ

ﺪﻘ

حﺎﻜ ا

.

6

3

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h.3.

4

Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, cet. Ke-3, (Beirut: dar al-fikr, 1989), h.29.

5

Abd. ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Mazzahib al-Arba’ah, cet. Ke-1, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2002), h.3.

6


(27)

Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan (wathi`) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna.

3. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa nikah adalah

ﺔ دﺄ

ذﺬ ﺘ ا

ﺔﻌﺘ

دﺮ

ﺪﻘ

حﺎﻜ ا

.

7

Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.

4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa nikah adalah

وﺰ

وأ

حﺎﻜ إ

ﺪﻘ

حﺎﻜ ا

عﺎﺘ ﺘ ﻹا

ﺔﻌ

.

8

Nikah adalah akad dengan lafazd nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.

Menurut Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi

mendefinisikan nikah adalah “sebuah akad yang mengandung kebolehan berjima’

dengan lafadz inkah atau tazwij yaitu akad kepemilikan intifa’ bukan kepemilikan manfaat”.9Menurut Taqiyyudin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Damsyiqy

mengartikan nikah adalah “suatu ibarat dari sebuah akad yang masyhur yang

mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat, dimutlakkan atas akad dan dimutlakkan atas wathi` secara bahasa”.10

7

Abd. ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Mazzahib al-Arba’ah, h.5

8

Abdul Basit Mutawally, Muhadharah al-Fiqh al-Muqaran, (Mesir: t.p, t.t), h.120.

9

Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi, Hasyiatani Qolyubi Wa Umairah, Juz III, (Surabaya: PT. Irama Minasari, t.t), h.206.

10

Taqiyyudin Abu Bakar Ibn Muhammad al-Damsyiqy, Kifayatul Akhyar Fi Hilli Ghoyatil Ikhtishor, Juz II, (Semarang: Maktabah Toha Putra, t.t), h.36.


(28)

2. Dasar Hukum Pernikahan

1. Syari’at Nikah

Dasar hukum dianjurkannya perkawinan dalam agama Islam terdapat

dalam firman Allah SWT dan hadits-hadits nabi Muhammad SAW.

a. Menurut firman Allah SWT

Adapun syariat nikah berdasarkan Firman Allah SWT, yaitu:

)

رﻮ ا

:

˼˻

(

Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(an-Nur: 32)

)

ا ءﺎ

: ˼ (

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(an-nisa’: 3)


(29)

b. Menurut hadits Nabi Muhammad SAW

ْﻌ

ا

بﺎ

ْ ا

عﺎ

ْﻜ

ا

ءﺎ

ة

و

ْج

،

ﻏأ

و

ْﺣأ

ْ

ْﻦ و

،جْﺮ

ْﺘ

ْ

ْ

ْﻮ

م

،

و

ءﺎ

)

اور

(

.

11

Artinya: “Hai golongan pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup kawin, kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih memelihara faraj (kemaluan), dan barangsiapa tidak sanggup, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat (HR. Muslim)”.

ا

جوﺰ أو

ﺮﻄْأو

مْﻮ أو

،مﺎ أو

ﻰ أ

ﺎ ا

ﻦﻜ

ْ

ﻰﺘ

ْﻦ

ﻏر

ْﻦ

،ءﺎ

)

اور

(

.

12

Artinya: “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin. Barangsiapa tidak menyukai perjalananku (sunnahku), ia bukan ummatku (HR. Muslim)”.

2. Hukum Nikah

1. Mubah: merupakan asal hukum dari perkawinan, sesuai dengan firman Allah Q.S. an-Nur: 32. Dalam hal ini hukum nikah mungkin akan menjadi wajib,

makruh ataupun haram, sesuai dengan keadaan orang yang akan kawin.13

2. Sunnah: Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada juga keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak

11

Imam Abi Husain Muslim Ibn Hujaz al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1425 H/2004M), h.557.

12

Imam Abi Husain Muslim Ibn Hujaz al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim , h.558.

13

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.23.


(30)

dikhawatirkan dirinya terjerumus kepada perbuatan zina, maka sunnah

baginya menikah.

3. Wajib: Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga, ada keinginan untuk berkeluarga dan takut terjerumus kedalam perbuatan

zina, maka baginya diwajibkan nikah. Sebab, menjaga diri jatuh ke dalam

perbuatan haram, wajib hukumnya.

4. Haram: Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin (impoten), haram

baginya menikah, sebab akan menyakiti perasaan wanita yang dinikahinya.

5. Makruh: Orang yang tidak dapt memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak sampai menyusahkan wanita itu, kalau dia orang berada dan kebutuhan

biologis pun tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu

dimakruhkan menikah. Sebab, walaupun bagaimana nafkah lahir batin

menjadi kewajiban suami, diminta atau tidak oleh istri.14

3. Perinsip-Perinsip Perkawinan

Perinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari quran dan

al-hadits, yang kemudian dituangkan ke dalam garis-garis hukum melalui

14

M. Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.7-10.


(31)

undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI tahun 1991 mengandung

7(tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:

1) Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Suami dan istri saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual

dan material.

2) Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan

kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat

oleh petugas yang berwenang.

3) Asas monogami terbuka.

Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila

lebih dari seorang maka cukup seorang saja.

4) Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan

perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.

5) Asas mempersulit terjadinya perceraian.

6) Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat.

7) Asas pencatatan perkawinan.15

4. Rukun Nikah dan Syarat Sahnya Nikah

15


(32)

Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena dalam setiap aktifitas ibadah di

dalamnya pasti ada rukun dan syarat. Syarat itu merupakan cara yang harus

dipenuhi sebelum suatu perbuatan itu dilaksanakan, sedangkan rukun merupakan

suatu hal yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan itu dilaksanakan.

Karena perkawinan merupakan suatu ibadah maka di dalamnya terdapat rukun dan

syarat, yaitu sebagai berikut:

1) Rukun nikah

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab dan qabul

Kelima rukun tersebut, masing-masing harus memenihi syarat: 16

a. Syarat Calon Suami

1. Beragama islam

2. terang (jelas) bahwa calon suami betul Laki-laki.

3. orangnya diketahui

4. calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri

5. calon mempelai laki-laki tahu/kenal dengan calon istri serta tahu betul

bahwa calon istrinya halal baginya.

16


(33)

6. calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.

7. tidak sedang melakukan ihram.

8. tidak memiliki istri yang haram dimadu dengan calon istri.

9. tidak sedang memiliki istri empat.

b. Syarat Calon mempelai wanita:

1. Beragama islam atau ahli kitab

2. terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)

3. wanita itu tentu orangnya

4. halal bagi calon suami

5. wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih masa iddah.

6. tidak dipaksa/ikhtiyar

7. tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

c. Syarat wali nikah:

1. Laki-laki

2. Muslim

3. Baligh

4. Berakal

5. Adil (tidak fasik)

d. Syarat saksi nikah:

1. Dua orang Laki-laki

2. Muslim


(34)

4. Berakal

5. Dapat mendengar dan melihat (paham) akan maksud akad nikah

e. Syarat ijab Kabul

1. Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali

2. Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami

3. Memakai kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”.

4. Antara ijab dan qabul bersambungan tidak boleh terputus.

5. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak dalam keadaan haji

atau umrah.

6. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orang

yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai

wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.17

Syarat dan rukun tersebut harus dipenuhi agar perkawinan yang dilakukan

tidak batal.

B. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawian adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh

pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat

nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad

perkawinan antara calon suami dan calon istri.18

17

M. Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, h.57-58.

18

Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, cet. 1, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h.36.


(35)

Pencatatan perkawinan memang tidak pernah diatur di dalam al-qur’an

dan hadits, berbeda dengan muamalah yang yang pencatatannya diatur di dalam

al-qur’an. Tetapi, dengan berkembangnya zaman dan demi kemaslahatan, kemudian

hukum islam di Indonesia mengaturnya.

Suatu perkawinan sudah dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi

ketentuan hukum agama baik berupa syarat maupun rukun dari perkawinan itu

sendiri. Seperti yang disebutkan dalam UUP pasal 1 ayat (1) bahwa: “perkawinan

sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya kepercayaannya itu”. Selain perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun agama,

perkawinan harus juga dicatatkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku di

Negara ini , yaitu Indonesia.

Mengingat perkawinan merupakan perbuatan/peristiwa hukum yang

secara otomatis akan menimbulkan akibat-akibat hukum baru, maka diperlikan

adanya kepastian hukum. Untuk mewujudkan kepastian hukum tersebut maka

perkawinan harus dicatatkan.

Namun, pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan telah

dianggap sah jika syarat dan rukunnya telah terpenuhi, tanpa diikuti oleh

pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi seperti ini sudah terjadi dalam masyarakat,

sehingga masih ditemukan perkawinan di bawah tangan (perkawinan yang

dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa


(36)

dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah).

Kenyataan masyarakat seperti ini merupakan hambatan dalam pelaksanaan

Undang-undang Perkawinan.19

Dalam pasal 5 dan 6 KHI mengenai pencatatan perkawinan

mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut;

Pasal 5

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan

harus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22

tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 tahun 1945.

Pasal 6

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus

dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selain itu, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan galidzon)

19


(37)

perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah

tangga.20

Bukti perkawinan yang telah dicatatkan adalah berupa Akta Nikah yang

dapat dijadikan bukti otentik, bila suatu waktu di dalam perkawinan terjadi

masalah.

Ahmad Rofiq berpendapat setidaknya ada dua manfaat dari pencatatan

perkawinan yaitu manfaat refresif dan manfaat preventif.

Manfaat refresif dari pencatatan perkawinan adalah terbentuknya

kesempatan itsbat (penetapan) bagi suami isteri yang karena suatu hal

perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah (lihat pasal 7 ayat (2) dan

(3) Kompilasi Hukum Islam).

Manfaat preventif dari pencatatan perkawinan ialah untuk menanggulangi

agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat

perkawinan baik menurut hukum agama maupun hukum perundang-undangan.

Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 mengaturnya dalam pasal 2

yang berbunyi:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan

akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10

hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

20


(38)

3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan

sesuatu alas an yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati

Kepala Daerah.

Kemudian dalam pasal 5 berbunyi

1. Pegawai pencatat yang menerima pemberithuan kehendak melangsungkan

perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan

apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai

pencatat meneliti pula:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.

Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat

dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan

asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang

setingkat dengannya.

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan

tempat tinggal orang tua calon mempelai;

Ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat yaitu:

pertama, memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif dari

Pegawai Pencatat Nikah. Kedua, menghindari terjadinya pemalsuan atau

penyimpangan seperti identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka.

Oleh karena itu, ketelitian Pegawai Pencatat Nikah sangat diperlukan dan menjadi


(39)

C. Pembatalan Perkawinan (Fasakh)

1. Pengertian.

Batalnya perkawinan adalah rusaknya atau tidak sahnya statu perkawina

karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah asta rukunnya, atau sebab lain

yang dilarang atau diharamkan oleh agama.21

Kemudian pengertian lain, fasakh menurut bahasa adalah,

ْ ا

ﺪْﻌﻘْا

وأ

ﺮْ ﻷا

ْﻘ

ﻮه

22

Fasakh adalah merusakkan pekerjaan atau akad

Menurut istilah syar’i fasakh berarti:

Fasakh akad (perkawinan) adalah membatalkan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami istri.23

Jadi, pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami isteri

setelah dilangsungkannya akad nikah.

2. Bentuk Pembatalan Perkawinan

Perkawinan yang batal adalah perkawinan yang melanggar

ketentuan-ketentuan agama yang sifatnya abadi, yaitu sesuai dengan pasal 70 Kompilasi

Hukum Islam yang berbunyi:

Perkawinan batal apabila:

21

Abdrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.141.

22

Abu Yahya Zakaria Anshori, Fathu Al-Wahab Syarah Minhaj Al-Thullab, (Indonesia: dar al-Ihya, t.t), h.48.

23

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h.52


(40)

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah

karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari

keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.

b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.

c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak

olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain

yang kemudian bercerai lagiba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah

habis masa iddahnya.

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah

semenda dan sesusuan sampai drajat tertentu yang menghalngi perkawinan

menurut pasal 8 UUP, yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke

atas.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara

seorang dengan saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bu

atau ayah tirinya

4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesususan,

saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri


(41)

Perkawainan yang dapat dibatalakan adalah sebagai berikut, sesuai

dengan pasal 71 KHI:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

2. Perempuan yang dikawini, ternyata diketahui masih menjadi istri orang

lain yang mafqud;

3. Perempuan yang dikawini masih dalam iddah suami;

4. Perkawinan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan

dalam pasal 7 undang-undang No.1 tahun 1974;

5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang

tidak berhak;

6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Untuk mempermudah pengertian pembatalan perkawinan, maka akan

dijelaskan terlebih dahulu mengenai macam-macam larangan perkawinan, yaitu:

1. Larangan disebabkan melanggar ketentuan hukum agama dalam hal

perkawinan. terbagi menjadi dua, yaitu:

a) Larangan yang bersifat abadi. Misalnya larangankawin sebagaimana

yang disebut dalam pasal 8 UU perkawinan atau Q.S. an-Nisa: 22-23

dan sebagainya

b) Larangan yang bersifat sementara. Misalnya seperti Perempuan yang

dikawini, ternyata diketahui masih menjadi istri orang lain yang


(42)

2. Larangan disebabkan karena melanggar ketentuan-ketentuan administrasi

(Pasal 12 UU Perkawinan) dan sebagainya.

Perkawinan yang melanggar larangan –larangan pada angka 1 point (a

dan b) maka mutlak harus dibatalkan atau batal demi hukum. Sedangkan larangan

pada angka (2) maka dapat dibatalkan atau diteruskan. Hal ini tergantung pada

pertimbangan Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Perlu diperhatikan bahwa

pengertian kata ”dapat” pada pasal 22 UUP memiliki dua pengertian yaitu ”bisa

batal” dan ”bisa tidak batal”, bila mana menurut ketentuan agamanya

masing-masingtidak menentukan lain.

1. Batal Mutlak

Batal mutlak artinya pernikahan yang dilakukan karena melanggar

ketentuan yang sudah ditetapkan oleh agama baik di dalam al-quran ataupun

hadits. Ketentuan tersebut berdasarkan firman Allah SWT di dalam Q.S. an-Nisa:

23.


(43)

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.( an-Nisa: 23)

Ayat di atas merupakan ayat yang mengharamkan wanita yang disebut

muhrim karena pertalian nasab, susuan maupun mushaharah (persemendaan).

1. Larangan Karena Pertalian Nasab

Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita tersebut di bawah ini haram

dikawini karena hubungan nasabnya:

1) Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu

2) Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau

anak perempuan, hingga keturunan di bawahnya

3) Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah

dan seibu.

4) Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek


(44)

5) Saudara perempuan ibu, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek

dari pihak ibu, dan seterusnya.

6) Anak-anak perempuan saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.

7) Anak-anak perempuan saudara perempuan hingga keturunan di

bawahnya.24

2. Larangan Karena Sebab Susuan

Larangan karena sebab susuan berdasarkan firman Allah SWT, “Dan

ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan”. Dari ayat ini

dapat diambil hukum haram kawin karena susuan ialah, ibu yang menyusukan dan

saudara satu susuan. Yang lain ditetapkan dengan jalan kias atau ”fahw

al-khithab”. Secara umum Nabi Muhammad SAW bersabda:

ﺣﺮ ا

مﺮ

ﺔ ﺎ ﺮ ا

مﺮ و

25

Artinya:“Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena perhubumhan darah (kerabat)”.

Dengan keterangan hadis ini ternyata, kerabat perempuan yang

menyusukan ini menjadi kerabat anak yang menyusu, tapi tidak sebaliknya yaitu

kerabat anak yang menyusu tidak menjadi kerabat perempuan yang menyusukan.

Diharamkan sebab susuan itu ada 7 orang, yaitu:

1. Ibu yang menyusuinya dan ibu dari ibu yang menyusuinya;

2. Saudara perempuan yang satu susuan;

24

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, cet. 22, (Jakarta: Lentera, 2008), h.326.

25

Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abu Bakar al-Syuti, Jami’u al-Shogir Fi Ahadits Basyiran Nazir, Bab huruf “ى”, (Kairo: Dar al-Katib, 1967), h.241.


(45)

3. Anak perempuan dari yang menyusukan;

4. Anak perempuan dari bapak sesusuan;

5. Saudara perempuan dari ibu sesusuan;

6. Anak perempuan dari anak laki-laki sesusuan, dan

7. Anak perempuan dari saudara perempuan sesusuan.26

3. Karena Ikatan Perkawinan (Mushaharah)

Mushaharah adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan

yang dengan ini menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu mencakup

hal-hal sebagai berikut:

1) Istri ayah haram dinikahi oleh anak ke bawah, semata-mata karena adanya

akad nikah, baik sudah dicampuri atau belum;

2) Istri anak laki-laki haram dikawini oleh ayah ke atas, semata-mata karena

adanya akad nikah;

3) Ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas adalah haram dikawini hanya

semata-mata adanya akad nikah dengan anak perempuannya, sekalipun belum

dicampuri;

4) Anak perempuan istri (anak perempuan tiri) jika ibunya sudah dicampuri.

2. Batal tidak mutlak

26


(46)

Batal tidak mutlak yaitu batal yang tidak untuk selama-lamanya atau tang

bersifat hanya sementara. Artinya perkawinan seperti ini masih dapat diperbaiki.

Batalnya suatu perkawinan ini disebabkan salah satu syarat dan rukunnya tidak

terpenuhi. Perkawinan seperti ini salah satunya adalah menikahi wanita yang

bersuami.

Berdasarkan firman Allah SWT di dalam Q.S. an-Nisa: 24, yang

berbunyi:

...

)

ءﺎ ا

:

˻˽

(

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu milik...”.( an-Nisa: 24)

Maksud dari ayat di atas ialah diharamkan atas kamu wanita-wanita yang

bukan kerabat namun mereka telah bersuami kecuali budak-budak yang kamu

miliki. Artinya, budak-budak yang kamu miliki melalui penawanan, maka halal

bagimu umtuk mencampuri mereka jika kamu telah memandangnya bebas.27

”Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah SWT

menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga (ahshana)

farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.28

27

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Kastir, jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.685.

28 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,

an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, (Beirut : Darul Ummah, 2003) h.119.


(47)

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang

menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah

bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul

azwaaj).

Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan:

“Wanita-wanita yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka

karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak

perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan

bersamanya.29

Dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 40 yang

menyatakan, bahwa:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita karena keadaan tertentu:

1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria

lain;

29


(48)

2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Dan pernyataan yang sama juga diatur dalam pasal 9 UUP, yaitu:

“seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tiak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini”.

3. Pihak-Pihak Yang Dapat Membatalkan Pernikahan

Pembatalan perkawinan terjadi apabila perkawinan sudah dialngsungkan.

Dalam ketentuan UUP pasal 22 menegaskan “perkawinan dapat dibatalkan

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.30

Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan diserahkan menurt

hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang ingin melangsungkan

perkawinan, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUP,

yaitu: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan itu”.

Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut UUP

pasal 21 adalah:

30

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta, Citra Grafika, 2007), h.12.


(49)

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;

2. Suami atau isteri;

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

4. Pejabat yang ditunjuk sebagaimana disebut dalam ayat (2) pasal 16 UUP

dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap peerkawinan tersebut, tetapi hanya setelah itu perkawinan itu

putus.

Meskipun demikian, Hubungan antara anak dengan orang tuanya tidak

akan putus meskipun orang tuanya telah berpisah akibat dari pembatalan

pernikahan, hal ini berdasarkan pasal 75 dan 76 KHI yang berbunyi:

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

1. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;

2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperolaeh hak-hak dengan beri’tikad

baik, sebelum keputusan pembatalanperkawinan mempunyai kekuatan

hukum tetap.

Pasal 76


(50)

dengan orang tuanya.

D. Iddah

a. Pengertian

Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata ‘adda ya’uddu

-‘iddatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi) berarti:

“menghitung” atau “hitungan”.31 Secara umum ulama mendefinisikan iddah

sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau

diceraikan oleh suami yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.32

Di samping itu, menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib dalam

kitabnya Mugnil Muhtaj, mendefinisikan iddah adalah “Masa menunggu bagi

seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih

atas meninggal suaminya”.33 Dan sayyid Sabiq juga memberikan pengertian iddah

yaitu “suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak

ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal

dunia”.34

b. Macam-Macam Iddah

31

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.303.

32

Abdul al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Araba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986).

33

Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib, Mughnil Muhtaj Bab II, (Mesir: Mustafa Babil Halabi), Jilid VII, h. 384.

34


(51)

1. Iddah masa kehamilan, yaitu masa iddahnya sampai masa melahirkan

kandungan yang dikarenakan thalaq bain dan thalaq raj’i dalam keadaan

hidup atau wafat. Berdasarkan firman Allah SWT QS.at-thalaq:4

...

...

)

قﻼﻄ ا

:

٤

(

Artinya:“...Perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya....”(at-Thalaq: 4)

2. Iddah muthalaq (masa perceraian), yaitu masa iddah yang terhitung masa

haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa suci).

...

)

ةﺮﻘ ا

:

٢٢٨

(

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru'...”. (al-Baqarah: 228)

3. Perempuan yang tidak terkena haidh (monopause), yakni masa iddahnya

adalah selama 3 bulan.

...

)

قﻼﻄ ا

:

˽

(

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan...”.( At-thalaq :4)


(52)

4. Istri yang ditinggal suaminya karena wafat, yaitu 4 bulan 10 hari,

)...

ةﺮﻘ ا

:

˻˼˽

(

Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari....”( al-Baqarah:234)

c. Larangan Pada Masa Iddah

Selama masa iddah, isteri tidak boleh melakukan beberapa perbuatan

antara lain:35

1. Menerima khitbah

2. Menikah

3. Keluar rumah

4. Berhias

d. Tujuan Iddah

Adapun tujuan iddah adalah sebagai berikut:36

1. Untuk memberikan kesempatan kepada hak suami untuk berfikir kembali

untuk merujuk isterinya kembali, karena dalam masa iddah suami masih

35

http://alamanah1429.wordpress.com/2009/01/23/adab-seorang-isteri-selama-masa-iddah/, Adab Seorang Isteri Terhadap Masa Iddah, di akses pada 18 Juni 2010.

36

http://addariny.wordpress.com/2009/07/16/masa-iddah-istri-ringkasan-shahih-muslim/, Masa Iddah Isteri, oleh Addarny, di akses pada 18 juni 2010.


(53)

memiliki kewajiban terhadap nafkah istri seperti sandang, pangan dan

papan.

2. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iaddahnya ini diadakan

untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.

3. Untuk menjunjung tinggi masalaha pernikahan, agar tidak menganggap

sepele masalah pernikahan

4. Untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari benih yang

ditinggalkan mantan suaminya.

e. Hikmah Iddah

1. Agar tidak ada keragu-raguan tentang kesucian rahim seorang isteri,

sehingga tidak ada keraguan tentang anak yang dikandung oleh mantan

isteri apabila ia telah kawin lagi dengan laki-laki lain.

2. Apabila putus perkawinannya karena perceraian, yang mantan suaminya

masih berhak untuk rujuk kembali dengan mantan isterinya.

3. Apabila perceraian itu karena seorang suami meninggal dunia maka masa

iddah itu untuk menjaga agar jangan timbul rasa tidak senang dari pihak

suami yang telah meninggal dan kepada para pihak isteri yang ditinggal.

f. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah

1. Hak Istri pada Masa Iddah

a) Mendapatkan nafkah selama masa iddah


(54)

c) Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali, sedangkan kewajiban

istri adalah masa berkabung bila ia ditinggal mati suaminya

2. Kewajiban suami pada masa iddah istri

a) Suami wajib memberikan nafkah pada istri

b) Suami wajib memberikan perumahan pada istri


(55)

BAB III

GAMBARAN UMUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN CIMANGGIS DEPOK

A. Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama

1. Mengawasi, mencatat Nikah, Talak, dan Rujuk serta mendaftar cerai talak dan gugat atau dalam bidang NTCR.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 2 tahun 1990 pasal 2 ayat (1), “ PPN adalah tugasnya mengawasi dan atau mencatat nikah dan rujuk serta mendaftarkan cerai talak dan cerai gugat di bantu oleh pegawai KUA kecamatan.

Mengenai tugas KUA Kecamatan juga tertulis dalam UU No. 22 tahun 1946 pasal 1 ayat (2) “ yang berhak melakukan pencatatan dan pengawasan atas nikah dan pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk untuk itu.

2. Menerima pemberitahuan kehendak nikah, meneliti persyaratan nikah (surat keterangan untuk nikah (N1). Surat keterangan asal-usul (N2), surat persetujuan mempelai (N3), surat keterangan tentang iorang tua (N4).1

3. Dalam hal meneliti dan memeriksa data-data calon pengantin maka PPN harus memeriksa selain data yang masuk dari Kelurahan juga memeriksa data-data

1


(56)

lama atau mengkroscek ulang data-data yang sudah dilaksanakan pernikahannya agar tidak terjadi kesalahan terhadap pemeriksaan data.

4. Tidak dibolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan pernikahan apabila mengetahui adanya pelanggaran yang dilakukan oleh calon mempelai. Apabila setelah dilakukan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Baik persyaratan menurut hukum islam ataupun persyaratan menurut perundang-undangan yang berlaku, maka PPN harus menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alasannya.

5. Kepala KUA kecamatan adalah juga sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW).

6. Tugas KUA sebagaimana dijelaskan dalam PMA No. 2 tahun 1990 tentang kewajiban PPN, pasal 9 ayat (1-6) dan pasal 10 (1-3), yaitu:

1. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dan ditandatangani oleh PPN atau pembantu PPN dan mereka yang berkepentingan dalam daftar pemeriksaan nikah menurut model NB.

2. Pembantu PPN membuat daftar pemeriksaan nikah rangkap dua, sehelai dikirim kepada PPN yang mewilayahi beserta surat-surat yang diperlukan dan sehelai lainnya disimpan.

3. Calon suami, calon isteri dan wali nikah yang masing-masing mengisi daftar pemeriksaan nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada


(57)

ruang II, III dan IV sedang ruang yang lainnya diisi oleh PPN atau pembantu PPN.

4. Apabila mereka tidak dapat menulis, maka ruang I,III dan IV sebagaimana dimaksud ayat (3) diisi oleh PPN.

5. Pengiriman lembar pertama daftar p-emeriksaan nikah sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 15 hari sesudah akad nikah dilangsungkan.

6. Apabila lembar pertama daftar pemeriksaan nikah itu hilang, maka oleh pembantu PPN dibuat salinan dari daftar kedua dengan berita acara sebab-sebab hilangnya lembar pertama tersebut.

7. Melakuakan pencatatan itsbat nikah 8. Berwenang menjadi wali hakim

B. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cimanggis Kota Depok

Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) Cimanggis memang sudah ada Sebelum Depok ini dipisah dari Kabupaten Bogor, namun masih dalam wilayah kabupaten Bogor. Dan sekarang Kecamatan Cimanggis sudah berada di luar wilayah Kabupaten Bogor, tetapi sudah berada di wilayah kota Depok.

Sebagai ujung tombak dari kinerja Departemen Agama, tugas Kantor Urusan Agama (KUA) berhubungan langsung dengan masyarakat dalam pelayannnya di bidang keagamaan. Tugas pokok Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis yakni dalam bidang agama Islam.


(58)

Dengan adanya pergeseran dan perubahan nilai-nilai agama di lapisan masyarakat yang diakibatkan oleh berkembangnya zaman yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kaidah agama Islam, sehingga kerap sekali terjadi perceraian, nikah di bawah tangan dan lain-lain yang berhubungan dengan perkawinan.

Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) di tenganh-tengah masyarakat sangat membantu dalam menangani hal-hal tersebut di bidang perkawinan yang merupakan tugas utama dari Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga dapat terwujud suatu rumah tangga yang sakinah,mawaddah wa rahmah.

1. Kondisi Geografis Kecamatan Cimanggis a. Letak dan Jumlah Penduduk

Luas Kecamatan Cimanggis adalah 53,54 Km² dengan jumlah penduduk 314.727 jiwa dan kepadatan penduduknya adalah 5.878 jiwa/ Km². Keberadaan KUA Cimanggis berada di wilayah Kelurahan Cisalak Pasar tepatnya di komplek Permata Puri, dan pada awalnya keberadaan Cimanggis ini terdiri dari 13 Kelurahan sebelum diadakan pemekaran dengan Kecamatan Tapos. Namun setelah diadakan pemekaran maka Kecamatan Cimanggis terdiri dari 6 Kelurahan dengan jumlah penduduk, yaitu:

Jumlah Penduduk Nama Kelurahan

Laki-laki Perempuan

Curug 6.746 6.884

Pasir Gunung Selatan 13.489 13.735


(59)

Cisalak Pasar 9754 7.558

Harja Mukti 8.855 7.838

Tugu 39.638 38.630

Jumlah 94.506 90.332

Pemekaran tersebut dilakukan pada tanggal 30 oktober 2009 dan diresmikan pada tanggal 1 januari 2010, namun dalam pelaksanaan perkawinan Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis masih tetap menangani 7 Kelurahan lainnya yang mana masuk dalam lingkup Kecamatan Tapos, hal ini berdasarkan data dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis. Adapun 7 kelurahan yang mana masuk dalam lingkup Kecamatan Tapos dalah sebagai berikut:

Jumlah Penduduk Nama Kelurahan

Laki-laki Perempuan

Sukatani 15.525 15.502

Sukamaju baru 16.903 17.480

Jatijajar 10.531 10.530

Tapos 4.299 4.013

Cimpaeun 7.046 7.155

Leuwinanggung 5.595 4.202

cilangkap 12.262 14.585

jumlah 72.161 73.464

b. Sistem Kepercayaan

Berdasarkan agama yang mereka anut sesuai dengan jumlah penduduk dari seluruh Kelurahan yaitu 13 Kelurahan adalah sebagai berikut:

No Agama Jumlah Pemeluk

1 Islam 275.901

2 Katolik 9.677


(60)

4 Hindhu 2.681

5 Budha 3.209

C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimanggis

Untuk lebih memudahkan dalam menjalankan program kerja KUA, maka dibentuklah susunan formasi dan struktur organisasi. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di KUA Cimanggis terdapat susunan badan kepengurusan KUA Cimanggis, yaitu:

NO JABATAN NAMA

1 Kepala KUA Drs. H. S. Badruzaman

NIP. 196808271992031001

2 Tata Usaha

1. Muhammad Isnendi

NIP. 150 331 957

2. Hj. Nani irianingsih

NIP. 150 226 319

3. Aminah

NIP. 150 228 764

4. Muslichah

NIP. 150 331 298

5. Sujaya

NIP. 150 250 655

6. Anita Nurulia

NIP. 150 330 925

3 Penghulu

1. Ubaidillah Halim, SHi

NIP. 150 219 349


(61)

NIP. 150 215 978

3. H. Abd. Hasan, SAg

NIP. 150 214 226

4. Drs. H. Sayadi

NIP.150 264 391

5. Drs. R. Suriana

NIP. 150 250 911

6. Moh. Irfan, SHi

NIP. 150 299 182

4 Keluarga Sakinah BP4

1. H. Abd. Hasan, SAg

NIP. 150 214 226

2. Effendi winata, SHi

NIP. 150 215 978

3. H. Azhari

NIP. 150 231 546

4. Moh. Irfan, SHi

NIP. 150 299 182

5 Zakat Wakaf

1. H. Abd. Hasan, SAg

NIP. 150 214 226

2. Effendi winata, SHi

NIP. 150 215 978

3. Ubaidillah Halim, SHi

NIP. 150 219 349

4. Muhammad Isnendi

NIP. 150 331 957

6 Produk Halal

1. H. Abd. Hasan, SAg

NIP. 150 214 226

2. Ubaidillah Halim, SHi

NIP. 150 219 978


(62)

NIP. 150 231 546

4. Drs. H. Sayadi

NIP. 150 264 391

5. Dede Napis SHi

NIP. 150 257 877

7 Binsik _______

8 Rukyat Hisab

1. H. Azhari

NIP. 150 264 391

2. H. Abd. Hasan, SAg

NIP. 150 214 226

3. Ubaidillah Halim, SHi

NIP. 150 219 978

4. Drs. R. Suriana

NIP. 150 250 911

5. Drs. H. Sayadi


(63)

BAB IV

ANALISIS TENTANG KETELITIAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH TERKAIT DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

NO.563/Pdt.G/2007/PA.Dpk A. Prosedur Pencatatan Perkawinan

Setiap tahap pada pencatatan perkawinan, diperlukan ketelitian dari pihak

pejabat yang berwenang seperti pemalsuan identitas, dalam hal ini adalah Pegawai

Pencatat Nikah yang bertanggung jawab atas data calon pengantin. Andaikata

terjadi pemalsuan identitas, hal ini jarang sekali terjadi namun pernah terjadi

seperti kasus yang diputus di Pengadilan Agama Depok. Adapun prosedur atau

tata cara pencatatan perkawinan yang berlaku diseluruh KUA khususnya di KUA

Kecamatan Cimanggis yaitu, para calon mempelai melapor melalui ketua RT, RW

dan Kelurahan untuk membuat persyaratan nikah dengan mengisi formulir Model

N1, N2, N3, N4.1 Kemudian jika semuanya telah diisi lalu dibawa ke KUA untuk

diadakan pemeriksaan. Adapun prosedur/tata cara secara garis besar atau secara

formal meliputi pemberitahuan nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak

nikah dan penandatanganan akta nikah serta pembuatan kutipan akta nikah.

1. Pemberitahuan Kehendak Nikah

Tahapan pertama adalah pemberitahuan kehendak nikah, yang mana

dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan

kehendak menikah disampaikan kepada PPN, di wilayah Kecamatan tempat

1


(64)

tinggal calon isteri dengan membawa surat-surat yang diperlukan serta mengisi

formulir pemberitahuan yang dilengkapi persyratan sebagai berikut:

a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama lainnya.

b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan

asal-usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya.

c. Persetujuan kedua calon mempelai.

d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala

desa/pejabat stingkat.

e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi caon mempelai yang belum

mencapai usia 21 tahun.

f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya

sebagaimana dimaksud huruf “e” di atas tidak ada.

g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur

19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun.

h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelaijika calon

mempelai anggota TNI/POLRI

i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih

dari seorang.

j. Kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang

perceraiannya terjadi sebelum berlakunya undang-undang Nomor 7 1989


(65)

k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat oleh

Kepala Desa/Lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda.

l. Izin untuk menikah dari Kedutaan/Kantor Perwakilan Negara bagi warga

negara asing.

2. Pemeriksaan Nikah

Pemeriksaan terhadap calon suami, calon isteri dan wali nikah sebaiknya

dilakukan secara bersama-sama, tetapi tidak ada halangan jika pemeriksaan itu

dilakukan sendiri-sendiri. Bahkan dalam keadaan yang meraguka, perlu dilakukan

pemeriksaan sendiri-sendiri. Pemeriksaan dianggap selesai apabila ketiga-tiganya

selesai diperiksa secara benar.

Apabila pernikahan tersebut diawasi oleh PPN, maka:

a. Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan nikah (Model NB);

b. Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi ruang II,

III dan IV dalam daftar pemeriksaan nikah dan ruang lainnya diisi oleh

PPN;

c. Dibaca dan dimana jika perlu diterjemahkan, maka diterjemahkan dengan

bahasa yang dimengerti oleh orang yang bersangkutan;

d. Setelah dibaca, kemudian ditandatangani oleh yang bersangkutan, jika

tidak bisa membubuhkan tandatangan dapat digantio dengan cap jempol;

e. Untuk tertibnya administrasi dan memydahkan ingatan, PPN membuat


(66)

f. Pada ujunng model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama dengan

nomor urut model N10 dan kode desa serta tahun;

g. Surat-surat yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu dengan model NB

dan disimpan dalam sebuah map bersama-sama dalam buku khusus.2

3. Pengumuman Kehendak Nikah

Setelah persyaratan dipenuhi, PPN mengumumkan kehendak nikah

seperti dijelaskan dalam PMA nomor 3 tahun 1975 Pasal 19 yang berbunyi:

1. Pegawai Pencatat Nikah mengumumkan pemberitahuan kehendak nikah

setelah segala persyartan/ketentuan dipenuhi dengan menempelkan

pengumuman menurut model Ne;

2. Pengumuman dilakukan:

a. Di kantor pencatatan perkawinan di tempat pernikahan akan dilangsungkan

b. Di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman

masing-masing calon mempelai

3. Penempelan surat pengumuman itu dilakukan pada tempat yang mudah dibaca

oleh umum.3

PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum 10 hari kerja sejak

pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam pasal 3 ayat (3) PP No. 9 tahun

1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting, misalnya salah seorang

2

Dirjen Bimas Islam, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan, (Jakarta: Depag RI, 2009), h.509-511.

3


(1)

aturan-aturan umum mengenai register atau akta catatan sipil, mengenai tata cara sebelumnya perkawinan atau pelaksanaan perkawinan”.16

Berdasarkan pasal di atas denda yang dikenakan sudahlah sangat tidak relevan jika diterapkan pada zaman sekarang, kemungkinan denda seribu lima ratus rupiah sama dengan satu juta lima ratus ribu rupiah.

Oleh karena itu, penulis berpendapat, bahwa pihak KUA/PPN yang bertugas menangani hal itu kurang teliti dalam melaksanakan tugasnya, yaitu dalam memeriksa dan meneliti data-data calon pengantin, sehingga menimbulkan permasalahan tersebut yang mengakibatkan batalnya perkawinan antara tergugat 1 dan tergugat 2. Hal ini disebabkan karena proses perceraian antara tergugat 2 dan suami pertamanya masih berjalan di Pengadilan Agama Depok dan tergugat 2 secara hukum masih berstatus isteri orang lain. Dan agar tidak terjadi lagi perkawinan seperti ini, maka PPN yang bertugas dapat dikenakan sanksi pidana atas pelanggaran tersebut.

16


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Adapun cara Pegawai Pencatat Nikah meneliti data-data calon pengantin adalah dengan meneliti dan memeriksa data-data berdasarkan surat-surat yang diterima dari Kelurahan. Dan pada dasarnya pihak KUA menerima berkas yang sudah diselesaikan dari pihak Kelurahan. Namun seharusnya pihak KUA tidak hanya memeriksa dan meneliti data yang masuk dari kelurahan tetapi mengkroscek ulang data-data lain yang ada di KUA atau salah satu pihak KUA mendatangi tempat kediaman calon istri dengan cara menanyakan kepada tetangga ataupun orang-orang yang mengenal calon pengantin tersebut. Agar dalam pelaksanaan perkawinan tidak terjadi penyimpangan terhadap identitas maupun status perkawinan.

2. Adapun penyelesaian pernikahan yang salah satu pihaknya terikat perkawinan adalah dengan mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atau pihak KUA yang menangani pernikahan itu ketika mengetahui terdapat masalah dalam pernikahan itu. Sesuai dengan pasal 23 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam.

B. Saran-Saran

1. KUA merupakan lembaga yang mempunyai tujuan suci diantaranya

menyatukan tali kasih diantara manusia dan untuk mensejahterakan umat di dalam bidangnya. Oleh karena itu, KUA haruslah serius, memiliki kejelian


(3)

dan ketelitian dalam menjalankan tugasnya agar tidak terjadi kesalahan dalam memeriksa data-data yang ada.

2. Dalam menjalankan lembaga tersebut haruslah didukung dengan fasilitas yang layak, seperti situs internet yang berlaku untuk seluruh KUA di Indonesia, karena agar data-data dari calon pengantin terimput dan terakomodir baik di dalam KUA di satu Keluruhan maupun sampai tingkat Propinsi, agar tidak terjadi pemalsuan identitas khususnya masalah status perkawinan.

3. Bagi masyarakat, pengetahuan akan tata cara ataupun mekanisme perkawinan menurut undang-undang perdata ataupun Kompilasi Hukum Islam harus dijadikan pijakan ataupun sebagai landasan supaya terhindar dari segala sesuatu yang tidak diinginkan seperti kasus yang dipaparkan penulis pada skripsi ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim dan Terjemahnya, cet. Ke-4 Jakarta: Depag RI Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, 1984

__________, Undang-Undang Perkawinan Dengan Peraturan Pelaksanaannya. Cet. VI, Jakarta:Pradnya Paramita, 1980.

Abbas, Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan, cet. I, Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

Al-Damsyiqy, Taqiyyudin Abu Bakar Ibn Muhammad, Kifayatul Akhyar Fi Hilli Ghoyatil Ikhtishor, Juz II, Semarang: Maktabah Toha Putra, t.t.

Ali, Zainudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Al-Jawi, Muhammad Shiddiq. artikel diakses pada 16 April 2010 dari

http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=3 37&Itemid=3.

Al-Jaziri, Abd. ar-Rahman, al-Fiqh ‘Ala al-Mazzahib al-Arba’ah, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 2002

Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, Mughnil Muhtaj Bab II, Jilid VII, Mesir: Mustafa Babil Halabi.

Al-Syuti, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abu Bakar, Jami’u al-Shogir Fi al-Ahadits Basyiran Nazir, Kairo: Dar al-Katib, 1967

Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, cet. Ke-3, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989.

Amir, Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

An-Nabhani, Syaikh Taqiyuddin, an-Nizham al-Ijtima’i Fi al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 2003.

An-Naisaburi, Imam Abi Husain Muslim Ibn Hujaz al-Qusyairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1425 H/2004M.


(5)

Anshori, Abu Yahya Zakaria, Fathu Al-Wahab Syarah Minhaj Al-Thullab, Indonesia: Dar al-Ihya, t.t.

Arikunto, Suharismi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, Jakarta: Gema Insani, 2005.

Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Penerjemah Abu Bakar Muhammad, juz III, Jakarta: Al-Ikhlas, 1995

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, Cet. II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Dirjen Bimas Islam, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta: Depag RI,

1984/1985.

Dirjen Bimas Islam, Himpunan Peraturan Perundng-Undangan Perkawinan, Jakarta Depag RI, 2009.

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989.

Ghazaly, Abd.Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003. Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP, cet. Ke-13, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.

Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2006

Tentang Perubahan Atas Undag-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Dirjen Badan Peradilan Agama, 2006.

Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006.

Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003.

http://alamanah1429.wordpress.com/2009/01/23/adab-seorang-isteri-selama-masa-iddah/, Adab Seorang Isteri Terhadap Masa Iddah, di akses pada 18 Juni 2010.


(6)

http://addariny.wordpress.com/2009/07/16/masa-iddah-istri-ringkasan-shahih-muslim/, Masa Iddah Isteri, oleh addarny, di akses pada 18 juni 2010.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, cet. 22, Jakarta: Lentera, 2008. Mutawally, Abdul Basit, Muhadharah al-Fiqh al-Muqaran, Mesir: t.p, t.t.

Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2006.

Qolyubi, Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah, Hasyiatani Qolyubi Wa

Umairah, juz III, Surabaya: PT. Irama Minasari, t.t

Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Citra Grafika, 2007.

Sabiq,Sayyid, Fiqh Sunnah, jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Soemiyati., Nya. Hukum Perkwinan Islam Dan Undang-UndangPerkawinan.

Yogyakarta: Liberti,1997.

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Syafi’i, Imam, Ahkamul Qur`an, Juz I, Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. V. Jakarta: UI-Press. 1986. Ulwan, Abdullah Nashih, Tata Cara Meminang Dalam Islam, Jakarta: Qisthi Press,

2006.

Wantjik Saleh, K., Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Galia Indonesia, 1976 Wawancara Pribadi dengan H. Abd. Hasan. Depok 09 Februari 2010

Zein, Muhammad dan Mukhtar al-Shadiq, Membangun Keluarga Harmonis, cet. 1, Jakarta: Graha Cipta, 2005