Perintah untuk Berkomunikasi dengan Baik atau Diam

BAB IV ANALISIS TENTANG ETIKA KOMUNIKASI DALAM AL-

QUR’AN

A. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Baik atau Diam

Berkomunikasi dengan baik adalah suatu keniscayaan bagi seorang muslim. Namun demikian, cara berkomunikasi yang baik niscaya timbul dari budi yang baik. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholih niscaya perkataan yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah berkata jelek. Dalam al-Qur’an ayat yang berkenaan dengan masalah ini terdapat pada surat al-Isra’ ayat 53. Allah Swt. berfirman: ٥ ٣ “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik benar. Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” 1 QS. Al-Isra: 53 Berdasarkan ayat tersebut, umat Islam diharuskan untuk selalu berbuat kebaikan dalam segala kondisi agar dapat menuai hasil pahala kebaikan pula, baik untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara untuk menggapai pahala tersebut adalah dengan berkomunikasi secara baik, sebab berkomunikasi baik kepada orang lain akan mendatangkan kemashlahatan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Sebaliknya, cara komunikasi yang tidak baik akan mendatangkan kemadaratan dan permusuhan, sebab bersumber dari 1 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 5, hal. 497. hasutan syaitan yang selalu berusaha agar manusia selalu mengikuti jalannya dengan berbagai cara, sehingga manusia terperangkap di pelukannya. Menurut Ibn Katsir, dalam ayat tersebut Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar berkata baik atau menggunakan kata-kata terbaik ketika berkomunikasi atau ketika memerintahkan sesuatu kepada sesama. Jika mereka tidak berbuat demikian, maka di antara mereka akan terkena hasutan syaitan yang akan berdampak pada perbuatan mereka, sehingga akan terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. 2 Senada dengan tafsiran ayat tersebut, Imam Qurtubi berpendapat bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. agar menyuruh umatnya untuk berkomunikasi dengan baik, atau menggunakan kata-kata yang terbaik ketika mereka sedang berkomunikasi atau memberikan petuah kepada sesama mereka. 3 Berdasarkan beberapa penafsiran tersebut, jelaslah bahwa berkomunikasi dengan baik merupakan perintah dari Allah Swt. hanya saja, munculnya ucapan baik yang dilontarkan seseorang ternyata berkaitan pula dengan keteguhan iman seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang imannya kuat dipastikan akan selalu berusaha untuk berbuat kebaikan, termasuk dalam berkomunikasi. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: ٢ ٤ 2 Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir , Beirut: Dar al-Fikr, 14121992, Jilid. 3, hal. 59. 3 Muhammad bin Yazid bin Jarir bin Khalid at-Thabari Abu Ja’far, Tafsir al-Qurtubi, Beirut: Dar al-Fikr, 1984, juz . 15, hal. 180. “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki pula kepada jalan Allah yang Terpuji. 4 ”QS. Al-Hajj: 24 Menurut Hamka 5 , perkataan yang baik niscaya timbul dari budi yang baik dan sopan santun. Orang yang beriman kepada Allah dan beramal sholeh niscaya perkataannya yang keluar dari mulutnya adalah baik, dan tidak akan pernah berkata jelek. Orang yang memberikan bimbingan untuk bisa bersikap seperti itu tiada lain adalah utusan-utusan Allah Swt sendiri. Pendapat tersebut bisa dipahami dikarenakan seorang hamba yang beriman kuat, tentu saja akan terus berusaha untuk menguasai nafsunya dan mengendalikan jiwanya, sehingga segala perkataan dan perbuataannya tidak bertentangan dengan ketentuannya Tuhannya. Ia selalu merasa bahwa dimanapun ia berada, Allah Swt Senantiasa mengawasi dan memperhatikannya, sehingga tidak ada celah sendikit pun baginya untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan-Nya, termasuk dalam komunikasi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang yang selalu berkata baik akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: ١ ٠ “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.” 6 QS. Fathir: 10 4 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 6, hal. 375. 5 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000, Cet. Ke-3, Juz. 17, hal. 156. 6 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 8, hal. 141. Menurut Hamka, maksud dari “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya”. Artinya bahwasannya terlontar dari mulutnya kata-kata yang baik, dia pun diangkat keatas, kemartabat yang lebih tinggi oleh amal shaleh. Dan itulah izzah atau kemuliaan sejati. 7 Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa siapa saja yang menginginkan kejayaan di dunia dan di akhirat, maka hendaklah ia selalu taat kepada Allah Swt. Ketaatanlah yang akan menjadikan seorang hamba memperoleh kejayaan, sebab kejayaan semata-mata milik Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat. Di antara ketaatan adalah berkata baik, sebab Allah Swt. akan menerima perkataan- perkataan yang baik, seperti tauhid, dzikir, dan bacaan al-Qur’an. 8 Oleh karena itu, umat Islam sudah semestinya memandang penting untuk berkata baik, tidak asal bicara, apalagi mempengaruhi orang lain untuk berbuat kejelekan. Orang yang berkata jelek, tentu saja tidak akan mendapatkan pahala, sebab perkataan yang mengandung pahala adalah perkataan yang mengandung kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: ١ ١ ٤ “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. 9 ” QS. An-Nisa: 114 7 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000, Cet. Ke-3, Juz. 22 , hal. 219. 8 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1382H1962M, Jilid. 8, hal. 112-123. 9 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 263. Dengan demikian, selain harus berkata baik seorang muslim pun harus selektif dalam menerima bisikan dari orang, sebab tidak semua bisikan yang datang kepadanya layak diceritakan kembali kepada orang atau ia praktikkan dalam perbuatan, sebab tidak menutup kemungkinan bisikan yang datang kepadanya akan menjerumuskannya. Begitu pula bisikan jelek yang diterima seseorang kalau disebarkan kepada orang lain tidak menutup kemungkinan hanya akan mendatangkan kemadaratan bagi orang lain. Menurut ayat tersebut, perkataan seseorang semestinya mengandung ajakan untuk berbuat kebaikan agar menghasilkan kebaikan pula, baik bagi dirinya maupun orang lain. Bahkan dalam ayat lain Allah Swt. menegaskan: ١ ٠ ٤ “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” 10 QS. Ali-Imran: 104 Berkaitan dengan keutamaan berkata baik, Rosulullah Saw. Bersabda: : Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a katanya, “ Nabi Saw telah bersabda, pada setiap hari terdapat sedekah disetiap sendi manusia ketika matahari terbit. 10 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 2, hal. 13. Kemudian Rosulullah Saw. Bersabda: “berlaku adil diantara dua orang manusia adalah sedekah, membantu seseorang naik keatas binatang tunggangannya atau mengangkat barang-barangnya keatas belakang tunggangannya juga adalah sedekah”. Rosulullah Saw. Bersabda lagi: perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah menuju sembahyang adalah sedekah dan membuang sesuatu yang berbahaya di jalan adalah sedekah. 11 HR. Bukhori Berdasarkan hadits tersebut jelas sekali bahwa berkata baik sangat menguntungkan orang mu’min, karena akan semakin menambah banyak pundi- pundi amalnya untuk bekal kelak di akhirat. Dalam hal ini tentu saja lebih baik diam dari pada berkata baik berkata tidak karuan yang memudhorotkan bagi orang lain. Ibnu Hajar 12 berpendapat, yang dimaksud dengan penyataan bahwa perkataan yang baik adalah sedekah, yaitu perkataan seseorang yang membuahkan pahala dari Allah Swt. Baginya, sebagaimana Allah Swt pun telah menjanjikan kepada orang yang mengeluarkan sedekah. Ia juga mengutip hadits dari Adi bin Hatim yang menyatakan, “Jagalah diri kalian walaupun dengan biji kurma. Jika kalian tidak memilikinya, maka dengan perkataan yang baik”. Dalam hadits yang lain, Rosulullah Saw. Bersabda: : 11 Muhammad bin Ismâîl bin al-Mughîrah al-Bukhârî, Sahîh Bukhâri, Beirût: Dar Ibn Katsîr, 1987, Juz.10, hal. 163. 12 Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Fadhl al-‘Asqalani al-Syafi’I, Fath al-Bari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379, Juz. 10, hal. 449. “Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah bercerita kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Husain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah. Ia berkata bahwa Rosulullah Saw, telah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Rosulullah Saw dan hari akhirat, hendaklah berkata baik atau diam saja. Dan telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus dari A’Masy dari Abu Shaleh, dari Abu Hurairah. Ia berkata bahwa Rosulullah Saw, telah bersabda sebagaiman hadits dari Abu Hushain tersebut. Hanya saja, beliau bersabda: Hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.”HR. Muslim 13 Menurut Imam an-Nawawi, maksud ungkapan , bahwa jika seseorang akan berkata sesuatu, maka hendaklah berpikir dahulu, jika perkataannya mendatangkan pahala baginya, baik berkaitan dengan perkara wajib maupun sunah maka katakanlah. Sebaliknya, apabila perkataannya tidak akan mendatangkan pahala, baik secara zhahir berkaitan dengan perkara yang makruh maupun haram, maka hendaklah ia tahan perkataannya. 14 Dengan kata lain, diam adalah lebih utama dibandingkan banyak bicara tetapi tidak bermakna dan hanya mendatangkan kemudhorotan. Menurut Yusuf Qardhawi, banyak bicara akan membuat orang melakukan banyak kesalahan karena lidah lisan tidak terlepas dari berbagai kekeliruan. Seperti yang dikatakan Imam al-Ghazhali, lidah mempunyai dua puluh penyakit, antara lain: berdusta, ghibah, namimat mengadu domba, bersaksi palsu, bersumpah palsu, 13 Muslim bin al-Hajjâj Abu al-Hasan al-Qusyaîrî an-Naisabûri, Sahih Muslim , Beirût: Dar al-Fikr, 1993, Juz. 1, hal. 164. 14 Abu Zakariya Yahya bib Syaraf al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1392, Juz. 2, hal. 19. memperbincangkan kesalahan orang, membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah, mencemooh orang lain, menghina, dan lain-lain. 15 Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara baik mendapat perhatian penting dalam Islam dan diperintahkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya. Bahkan seseorang dianjurkan untuk berdiam jika tidak bisa berkata baik, sebab diam adalah lebih baik daripada berkata-kata namun tidak baik dan juga ada ungkapan bahwa diam itu emas, dari sekian banyak petunjuk agama yang yang mendorong agar seseorang selalu menimbang-nimbang segala apa yang di ucapkannya, karena seperti dalam Al-Qur’an: ١ ٨ Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekat pengucap-nya Malaikat Pengawas yang selalu hadir mencatat ucapan-ucapan tersebut. 16 QS. Al-Qaaf: 18 17 Setiap orang beriman harus berusaha agar setiap perkataan yang dilontarkannya mengandung kebaikan, sehingga akan mendatangkan pula bagi pendengarnya. Dengan kata lain, berusaha untuk melontarkan kata-kata yang baik dan berusaha pula untuk selalu menyimak dan mendengarkan perkataan yang baik, maka hidupnya akan dipenuhi dengan kebaikan, dan hanya mengikuti jalan kebaikan. Dalam al-Qur’an juga membahas masalah berkomunikasi dengan menggunakan kalimat yang baik dan menjauhi kalimat yang buruk, ayat yang berkenaan dengan masalah ini terdapat pada surat az-Zumar ayat 18; Ibrahim ayat 15 Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, terj. Ahmad Qasim, dkk, Bandung Trigenda Karya, 1996, hal. 113. 16 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 9, hal. 453. 17 M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994, hal. 283. 24, 25, 26; surat an-Nur ayat 26; dan surat al-Qashash ayat 55. Allah Swt. berfirman: ١ ٨ “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. 18 ” QS. Az-Zumar: 18 Sebab turunnya ayat ini : Jawaibir meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah yang berkata, “ ketika turun ayat 44 surat al-Hijr, ‘Jahanan itu mempunya tujuh pintu,” datanglah seorang laki-laki dari golongan Anshar menghadap Rosulullah seraya berkata, “Ya Rosulullah, aku mempunya tujuh orang hamabbudak yang telah saya memerdekakan seluruhnya untuk ketunjuh pintu neraka.” Ayat ini Q.S. az-Zumar: 17-18 turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menyatakan bahwa orang tersebut telah mengikuti petunjuk Allah. 19 Dalam al-Qur’an Allah Swt. mengumpamakan perkataan yang baik dan buruk laksana pohon, pohon yang baik akan mendatangkan kebaikan, sebaliknya pohon yang buruk akan mendatangkan kejelekan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: ٢ ٤ ٢ ٥ ٢ ٦ 18 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 8, hal. 425. 19 K.H.Q Shaleh dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya Ayat-ayat Al- Qur’an, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007, Hal. 465. “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap tegak sedikitpun. 20 ” QS. Ibrahim: 24-26 Menurut al-Maraghi, dalam ayat tersebut Allah Swt. mengumpamakan kalimat iman yang bersumber dari keimanan dengan sebuah pohon yang akarnya tetap kokoh di dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke udara, sedang pohon itu berbuah pada setiap musim. Hal ini disebabkan apabila hidayah telah bersemayam di dalam satu kalbu, maka akan melimpah kepada yang lain dan memenuhi banyak kalbu, seakan sebuah pohon yang berbuah pada setiap musim, karena buahnya tidak pernah terputus. Sedangkan perumpamaan kalimat kufur adalah laksana pohon yang buruk, seperti pohon paria dan sebagainya yang tidak mempunyai pokok yang tetap di dalam tanah, bahkan akarnya pun tidak mencapai permukaan tanah, sehingga tumbang di atas tanah karena akar-akarnya dekat kepermukaan tanah. Dengan kata lain, pohon tersebut cepat rusak dan kurang mendatangkan manfaat bagi manusia. 21 Kemudian al-Maraghi mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa yang dimaksud dengan kalimat yang baik adalah ucapan La ila ha illa Allah, sedangkan pohon yang baik adalah pohon kurma. 22 Hemat penulis, walaupun al-Maraghi mengartikan kalimat yang baik tersebut dengan kalimat iman, tidak diartikan sebagai perkataan yang baik, namun 20 Tim Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009, cet. Ke-3, Jilid. 5, hal. 143. 21 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1382H1962M, Jilid. 5, hal. 138-139 22 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid. 5, hal. 139. tetap relevan dengan bahasan ini, sebab kalimat iman mencakup perkataan- perkataan baik yang sesuai dengan ketentuan syara. Perkataan yang baik biasanya muncul apabila seseorang terbiasa mendengarkan perkataan-perkataan yang baik pula. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah tidak memperhatikan kalimat-kalimat buruk atau kalimat- kalimat tidak bermanfaat yang diucapkan oleh seseorang agar ia tidak terpancing untuk berkata dengan kalimat-kalimat yang buruk pula. Allah Swt. berfirman: ٥ ٥ “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil. 23 ” QS. Al-Qashash: 55 Ayat tersebut menerangkan tentang sikap kaum muslimin pada zaman Rasulullah yang tidak mempedulikan caci-maki atau ucapan-ucapan buruk dari orang-orang kafir yang dilontarkan kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak terhasut dan terpengaruh untuk berperilaku seperti mereka. 24

B. Perintah untuk Berkomunikasi dengan Benar