ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR KESEHATAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012 2014

(1)

i

ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN

PEMERINTAH SEKTOR KESEHATAN DI PROVINSI

JAWA TENGAH TAHUN 2012-2014

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Eka Dian Puspitasari NIM 7111412076

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2016


(2)

(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang pada :

Hari : Jum’at

Tanggal : 19 Agustus 2016

Penguji I

Prof. Dr. Etty Soesilowati, M.Si. NIP. 196304181989012001

Penguji II

Dr. Eko Prasetyo, M.Si. NIP. 196801022002121003

Penguji III

Dr. Amin Pujiati, M.Si. NIP. 196908212006042001


(4)

iv

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Eka Dian Puspitasari

NIM : 7111412076

Tempat, Tanggal Lahir : Demak, 01 Januari 1994

Alamat : Ds. Jatirejo Rt. 02 Rw. 01 Kec. Karanganyar Kab. Demak

menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila di kemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dengan ketentuan yang berlaku.

Semarang, Juni 2016

Eka Dian Puspitasari NIM 7111412076


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

“Learn From Yesterday, Live From Today, And Hope For Tomorrow” (Albert Eistein).

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S Al Insyirah : 56).

Persembahan

Dengan penuh rasa syukur pada Allah SWT atas segala karunia-Nya, skripsi ini kupersembahkan untuk :

1. Kedua orang tuaku, Ibu Sulastri dan Bapak Naseran yang senantiasa memberikan dukungan, doa, dan semangat.

2. Adik-adik ku tercinta Eva Ria Safitri, Adi Prayogo, dan Indra Kusuma.

3. Almamater Universitas Negeri


(6)

vi PRAKATA

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, saran, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, penyusun menyampaikan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada :

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. Wahyono, M. M., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. 3. Lesta Karolina Br Sebayang, S.E., M.Si, Ketua Jurusan Ekonomi

Pembangunan Universitas Negeri Semarang.

4. Dosen Pembimbing Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Si, yang senantiasa dengan sabar memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dan kritik yang bersifat membangun selama penyusunan skripsi.

5. Dosen Wali Dr. Y. Titik Haryati,. M.Si, yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang.

6. Prof. Dr. Etty Soesilowati, M.Si., selaku dosen Penguji I yang telah menguji dan memberikan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.


(7)

vii

7. Dr. P. Eko Prasetyo, M.Si., selaku dosen Penguji II yang telah menguji dan memberikan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

8. Seluruh dosen yang telah menyalurkan ilmunya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

9. Keluarga tercinta untuk kedua orang tua dan adik-adik saya yang telah senantiasa mendoakan dan memotivasi sehingga tersusunnya skripsi ini. 10.Teman-teman seperjuanganku Ekonomi Pembangunan B angkatan 2012 yang

telah memberikan masukan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

11.Sahabat-sahabatku tercinta keluarga besar Kos Tiara Putri serta teman-teman KKN Jelly Nongkosawit yang telah mengukir kisah baru persahabatan.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam rangka penyusunan skripsi ini.

Penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis serta bagi pembaca.

Semarang, Juni 2016


(8)

viii SARI

Puspitasari, Eka Dian. 2016. “Analisis Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014”. Skripsi. Jurusan Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing. Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Si.

Kata Kunci: Efisiensi, Belanja Kesehatan, Data Envelopment Analysis.

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Pemerintah telah mengatur anggaran kesehatan minimal 10 persen dari total anggaran belanja daerah yang tersedia. Namun, besarnya belanja kesehatan ini belum bisa diimbangi dengan pencapaian derajat kesehatan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis tingkat efisiensi teknis biaya belanja dan teknis sistem pelayanan kesehatan serta target perbaikan agar mencapai efisien di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.

Penelitian ini menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan bantuan software Banxia Frontier Analysis versi 3.2.2. Pengukuran ini akan menghasilkan nilai efisiensi secara relatif. Penelitian ini menggunakan belanja kesehatan sebagai variabel input, fasilitas dan layanan kesehatan sebagai variabel output intermediate serta variabel derajat kesehatan sebagai variabel output. Penggunaan variabel output intermediate dimaksudkan untuk mengakomodir hubungan tidak langsung antara variabel input dan output. Asumsi yang digunakan adalah Variable Return to Scale (VRS) dan model orientasi output (output oriented).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara efisiensi teknis biaya, hanya sebanyak 5 kabupaten/kota (14,3%) telah mencapai efisiensi 100 persen. Sementara secara teknis sistem hanya 11 kabupaten/kota (31,4%) yang telah mencapai kondisi efisien. Artinya sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah masih belum efisien dalam penggunaan belanja sektor kesehatan.

Saran yang bisa diberikan adalah bagi kabupaten/kota yang telah efisien sebaiknya tetap mengawasi dan mengevaluasi belanjanya sehingga pemborosan dapat dinimalisir. Sedangkan untuk kabupaten/kota yang belum efisien dapat melakukan target perbaikan (potential improvement) pada input dan outputnya serta melakukan benchmarking ke daerah-daerah yang telah mencapai kondisi efisien.


(9)

ix ABSTRACT

Puspitasari, Eka Dian. 2016. “Government Spending Efficiency Analysis Health Sector in Central Java province Years 2012-2014". Final Project. Department of Economic Development. Economics Faculty. Semarang State University. Advisor. Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Sc.

Keywords : Efficiency, Budget Spending on Health, Data Envelopment Analysis.

Health is one of important factor in the success of the economic development of a country. The Government has set the health budgets of at least 10 percent of the total budget available area. However, the amount of health budget could not be offset by the achievement of optimal health status. This study aims to analyze the level of technical efficiency costs in the health and care system and to know improvement target in order to achieve the efficiency in Central Java province in 2012-2014.

This study uses Data Envelopment Analysis (DEA) method with Banxia Frontier Analysis version 3.2.2 software. These measurements will yield a value relative efficiency. The study using health budget as input variables, facilities and health services as intermediate output variable, as well as degree of health variables as outcomes variable. The use of intermediate output variable is intended to accommodate an indirect relationship between the input and outcomes variable. The assumption used is: Variable Return to Scale (VRS) and the orientation of the model output (output oriented).

The results shows that the cost of technical efficiency, just a much as 5 districts (14,3%) had achieved an efficiency of 100 percent. While technically the system only 11 districts (31,4%) who have achieved an efficient condition. This means the most districts in Central Java province still not efficient in the use of health sector budget.

Advice that can be given is to districts that have efficient is they should continue monitoring and evaluating their budget so that waste can be minimalized. As for the districts that have not been efficient is they can make improvement target (potential improvement) to the input and output as well as benchmarking to the regions which have achieved efficient condition.


(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. 1Latar Belakang Masalah ... 1

1. 2Rumusan Masalah ... 13

1. 3Tujuan Penelitian ... 13

1. 4Manfaat Penelitian ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

2.1 Pengeluaran Pemerintah ... 15

2.1.1 Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 17

2.1.2 Hukum Wagner Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 18

2.1.3 Teori Peacock dan Wiseman ... 19

2.2 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah ... 21

2.3 Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan ... 24


(11)

xi

2.5 Pengukuran Kinerja, Hasil, dan Indikator dalam Kesehatan ... 28

2.6 Konsep Efisiensi ... 30

2.7 Pengukuran Efisiensi dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA) ... 34

2.8 Penelitian Terdahulu ... 38

2.9 Kerangka Berpikir ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 45

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 45

3.3 Definis Operasional Variabel Penelitian ... 46

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 51

3.5 Metode Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah ... 56

4.1.1 Letak Geografis dan Pemerintahan ... 56

4.1.2 Kepadatan Penduduk ... 56

4.2 Belanja Sektor Kesehatan ... 58

4.3 Fasilitas dan Layanan Kesehatan ... 60

4.4 Kondisi Derajat Kesehatan Masyarakat ... 66

4.4.1 Angka Kematian (Mortalitas) ... 66

4.4.1.1 Angka Kematian Bayi (AKB) ... 67

4.4.1.2 Angka Kematian Ibu (AKI) ... 68

4.4.2 Angka Harapan Hidup ... 70

4.5 Hasil Penelitian ... 71

4.5.1 Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan ... 72

4.5.2 Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan ... 77

4.5.3 Target Perbaikan Input dan Output untuk mencapai kondisi Efisien ... 81


(12)

xii

BAB V PENUTUP ... 108

5.1 Simpulan ... 108

5.2 Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 110


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2012-2014 (dalam juta rupiah) ... 5 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 38 Tabel 3.1 Kriteria Ukuran Tingkat Efisiensi Teknis Belanja

Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah. ... 54 Tabel 4.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Per kapita Berdasarkan

Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ... 59 Tabel 4.2 Rasio Puskesmas dan Rasio Tempat Tidur yang tersedia di

Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ... 63 Tabel 4.3 Rasio Jumlah Bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2012-2014 ... 65 Tabel 4.4 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Biaya belanja sektor kesehatan

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. ... 74 Tabel 4.5 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan sektor

kesehatan pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014... 78


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Diagram Proporsi APBD Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 ... 7 Gambar 1.2 Grafik perkembangan belanja sektor kesehatan dalam APBD

menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun

2012-2014 ... 8 Gambar 1.3 Diagram Angka Kematian Bayi Rata-rata di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2012-2014 ... 10 Gambar 1.4 Diagram Angka Kematian Ibu Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2012-2014 ... 11 Gambar 1.5 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 12 Gambar 2.1 Kurva Hukum Aktivitas Pemerintah yang Selalu Meningkat .... 19 Gambar 2.2 Kerangka Berpikir ... 43 Gambar 4.1 Jumlah Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) berdasarkan

kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 ... 57 Gambar 4.2 Diagram Angka Kematian Bayi rata-rata di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2012-2014 ... 68 Gambar 4.3 Diagram Angka Kematian Ibu rata-rata di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2012-2014 ... 69 Gambar 4.4 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 113 Lampiran 2 Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 114 Lampiran 3 Data Jumlah Puskesmas dan Tempat Tidur Menurut Kabupaten/

Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 115 Lampiran 4 Data Jumlah Tenaga Bidan Tersedia Menurut Kabupaten/Kota

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 116 Lampiran 5 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut

Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 ... 117 Lampiran 6 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut

Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 ... 118 Lampiran 7 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut

Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 ... 119 Lampiran 8 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/

Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 ... 120 Lampiran 9 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/

Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 ... 121 Lampiran 10 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/

Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 ... 122 Lampiran 11 Data Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 123 Lampiran 12 Data Rasio Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 124 Lampiran 13 Data Rasio Angka Kematian Ibu Menurut Kabupaten/ Kota

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 125 Lampiran 14 Rasio Angka Bayi Hidup (ABH) Menurut Kabupaten/ Kota

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 126 Lampiran 15 Rasio Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) Menurut


(16)

xvi

Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ... 127 Lampiran 16 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan

tahun 2012 ... 128 Lampiran 17 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan

tahun 2013 ... 129 Lampiran 18 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan

tahun 2014 ... 130 Lampiran 19 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan

tahun 2012 ... 131 Lampiran 20 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan

tahun 2013 ... 132 Lampiran 21 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan

tahun 2014 ... 133 Lampiran 22 Hasil Perhitungan Perbaikan Variabel Input Output dalam

Mencapai Efisiensi Teknis Biaya dan Efisiensi Teknis Sistem Belanja Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi selalu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Pembangunan ekonomi yang terus meningkat, tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas saja, melainkan yang jauh lebih penting adalah aspek kualitas. Sumber daya yang berkualitas berperan penting dalam proses peningkatan pembangunan ekonomi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia akan ditentukan oleh status kesehatan, pendidikan, dan tingkat pendapatan perkapita (Mulyadi, 2003:2-3). Kesehatan ini menjadi salah satu investasi penting dalam pembangunan ekonomi.

Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut UU No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Melalui pembangunan di bidang kesehatan diharapkan akan semakin meningkatkan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara memadai (Dinas Kesehatan, 2016).

Kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) yang telah disepakati oleh hampir 200 pemimpin dunia pada akhir tahun 2000 di New York, menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari negara-negara yang menyetujui


(18)

kesepakatan tersebut. MDGs berisi delapan butir tujuan yang harus diupayakan dan dapat dicapai pada tahun 2015. Adapun delapan butir tujuan tersebut diantaranya:

1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua;

3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4. Menurunkan angka kematian anak;

5. Meningkatkan kesehatan ibu;

6. Memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; 7. Kelestarian lingkungan hidup;

8. Membangun kemitraan global dalam pembangunan.

Sasaran strategis Kementrian Kesehatan yang juga menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan tahun 2010-2014 yaitu meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat. Pembangunan kesehatan yang diarahkan pada tersedianya akses dasar yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok menengah ke bawah guna mendukung pencapaian Millennium Development Goals (MDGs). Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pencapaian tujuan-tujuan MDGs bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya, jumlah penduduk miskin yang cukup besar, angka kematian bayi dan balita masih tinggi, degradasi lingkungan hidup, serta rendahnya rata-rata kesehatan ibu, terutama di daerah pedesaan masih relatif rendah (Supiati, 2014).


(19)

Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang meliputi angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan angka harapan hidup. Pencapaian derajat kesehatan masyarakat ini berhubungan langsung dengan beberapa tujuan MDGs khususnya pada butir keempat, lima dan enam. Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi (15/02/14) mengatakan bahwa:

Angka kematian ibu melahirkan dan kematian bayi yang dilahirkan masih tinggi. Hal itu disebabkan karena persalinan masih banyak dilakukan di rumah. Tingginya tingkat kematian bayi dan ibu saat melahirkan di Indonesia menjadi perhatian yang serius. Angka kematian ibu melahirkan dan kematian bayi sudah mulai turun perlahan, namun masih terbilang tinggi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan (Atmawikarta, 2005). Semakin besar belanja sektor kesehatan, maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Adapun pembiayaan untuk sektor kesehatan di Indonesia diperoleh dari 3 (tiga) sumber utama. Sekitar 65% berasal dari swasta dan 75% berupa biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri (out of pocket). Kurang dari 2% berasal dari bantuan asing, dan sisanya dibiayai dari pendapatan pemerintah (Supiati, 2014).

Diberlakukannya Undang-Undang tentang otonomi daerah tahun 1999 telah berdampak pada kebijakan kesehatan yang diatur oleh daerah masing-masing. Hal ini menyebabkan munculnya otonomi yang lebih luas dari pemerintah daerah sehingga diberikan kewenangan yang cukup besar untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Wujud nyata adanya otonomi daerah adalah dalam hal pembiayaan kesehatan terlihat dari besarnya anggaran belanja


(20)

yang dialokasikan pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan daerahnya masing-masing. Salah satunya adalah alokasi anggaran belanja pemerintah sektor kesehatan.

Belanja kesehatan (WHO, 2002) merupakan sekumpulan dana yang penggunaannya untuk membiayai kegiatan kesehatan yang dilakukan secara langsung serta memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat baik dalam lingkungan kabupaten, provinsi maupun negara. Pemerintah telah mengatur anggaran kesehatan dalam UU No 36 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah pusat dialokasikan minimal 5 persen dari APBN di luar gaji, sementara besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal 10 persen dari APBD di luar gaji.

Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga dengan rata-rata jumlah penduduk terbanyak sebesar 33,35 juta jiwa atau sekitar 13,58 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012-2014. Jumlah penduduk ini tersebar di 29 Kabupaten dan 6 Kota di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya jumlah penduduk ini secara tidak langsung akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah, salah satunya adalah belanja sektor kesehatan. Berikut disajikan besarnya anggaran belanja kesehatan menurut provinsi yang ada di Indonesia yang terangkum dalam Rekap APBD tahun 2012-2014 :


(21)

Tabel 1.1

Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2012-2014 (dalam juta rupiah)

No Provinsi Anggaran Kesehatan 2012 2013 2014

1 Prov Aceh 895.106 886.579 1.090.269

2 Prov. Sumatera Utara 263.492 297.944 401.700 3 Prov. Sumatera Barat 3 12.823 354.437 439.149

4 Prov. Riau 418.376 540.024 560.999

5 Prov. Jambi 188.793 252.248 352.748

6 Prov. Sumatera Selatan 266.016 176.955 269.582 7 Prov. Bengkulu 194.108 219.206 226.135

8 Prov. Lampung 330.626 391.229 393.870

9 Prov. DKI Jakarta 3.344.062 4.634.051 - 10 Prov. Jawa Barat 532.646 443.864 572.856 11 Prov. Jawa Tengah 973.038 1.248.836 1.625.098 12 Prov. DI Yogyakarta 127.525 169.184 160.131 13 Prov. Jawa Timur 1.838.068 2.070.310 2.256.644 14 Prov. Kalimantan Barat 231.218 298.337 323.899 15 Prov. Kalimantan Tengah 151.268 189.191 210.003 16 Prov. Kalimantan Selatan 485.830 689.024 1.021.096 17 Prov. Kalimantan Timur 808.380 1.155.524 965.769 18 Prov. Sulawesi Utara 96.126 122.589 176.891 19 Prov. Sulawesi Tengah 166.022 179.235 203.524 20 Prov. Sulawesi Selatan 329.489 340.656 395.938 21 Prov. Sulawesi Tenggara 136.643 135.946 -

22 Prov. Bali 449.107 677.394 -

23 Prov. Nusa Tenggara Barat 196.945 227.398 393.320 24 Prov. Nusa Tenggara Timur 165.695 177.060 198.570

25 Prov. Maluku 117.980 159.331 200.768

26 Prov. Papua 575.941 672.966 649.772

27 Prov. Maluku Utara 70.851 94.442 117.990

28 Prov. Banten 228.645 382.842 395.491

29 Prov. Bangka Belitung 62.167 86.154 132.090 30 Prov. Gorontalo 30.156 54.612 129.556 31 Prov. Kepulauan Riau 89.851 125.661 237.984 32 Prov. Papua Barat 87.962 82.906 172.643 33 Prov. Sulawesi Barat 39.970 50.404 77.636

Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa realisasi belanja kesehatan Sumber : Rekap APBD klasifikasi fungsi menurut provinsi tahun 2012-2014, diolah.


(22)

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa belanja kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2012 besarnya belanja kesehatan sebesar Rp.937 milyar rupiah, kemudian secara berturut-turut mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2014 besarnya belanja kesehatan mampu mencapai sebesar Rp.1.625 milyar rupiah. Provinsi dengan belanja kesehatan tertinggi dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp.4.634 milyar rupiah. Sedangkan provinsi dengan belanja kesehatan terkecil dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Barat sebasar Rp.77 milyar rupiah.

Secara umum belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya selama periode penelitian. Bahkan pada tahun 2014 Provinsi Jawa Tengah menempati posisi ke tiga (3) besaran belanja kesehatan tertinggi dari 33 provinsi di Indonesia. Peringkat ini berada di bawah Provinsi DKI Jakarta dengan besarnya belanja kesehatan sebesar Rp.4.634 milyar rupiah dan Provinsi Jawa Timur sebesar Rp.2.256 milyar rupiah. (Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2015).

Berdasarkan Gambar 1.1 jika dilihat dari total APBD Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014 sebesar Rp.13.997 milyar rupiah. Belanja kesehatan menempati porsi kedua sebesar Rp.1.625 milyar rupiah, atau 12% di bawah belanja pelayanan umum sebesar Rp.9.234 milyar rupiah atau 66% dari total APBD Provinsi Jawa Tengah. Ini membuktikan bahwa belanja kesehatan menjadi salah satu prioritas Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, karena telah mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 12% dari APBD di luar gaji. Dan telah sesuai dengan ketentuan bahwa besar alokasi anggaran kesehatan untuk


(23)

pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota minimal 10% dari total APBD diluar gaji.

Berikut disajikan diagram proporsi APBD menurut fungsi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014.

Gambar 1.1 Diagram Proporsi APBD Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014.

Sumber: APBD Kabupaten/Kota Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015, diolah.

Implementasi otonomi daerah dan sistem desentralisasi telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Harapannya adalah pemerintah daerah lebih tau kondisi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Sejak diterapkannya sistem desentralisasi fiskal, pemerintah daerah lebih terkonsentasi pada daerah dalam mengatur urusan pengeluaran per sektor.

Besarnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan layanan publik melalui pengeluaran belanja tampak dari alokasi pengeluaran belanja

Pelayanan Umum

66%

Kesehatan 12%

Ketertiban dan Ketentraman

1% Ekonomi

8% Lingkungan

Hidup

0% Perumahan dan Fasilitas Umum

9%

Pariwisata dan Budaya

1% Pendidikan

2% Perlindungan Sosial 2%


(24)

pemerintah daerah. Efisiensi dalam pengeluaran belanja pemerintah daerah didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, efisiensi pengeluaran belanja pemerintah daerah diartikan setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah menghasilkan kesejahteraan masyarakat yang optimal (dalam Kurnia, 2006).

Data dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, dalam rekap APBD menunjukkan bahwa secara umum kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah memiliki trend belanja kesehatan yang cenderung meningkat pada tahun 2012-2014.

Gambar 1.2 Grafik perkembangan belanja sektor kesehatan dalam APBD menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014

Sumber: APBD Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014, diolah.

Terlihat pada Gambar 1.2. menunjukkan bahwa belanja kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sebanyak 14

0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 K ab . Ban ja rn e gara Kab . Ban y u m as Kab . Bat an g Kab . Bl ora Kab . Boy o lal i Kab . Bre b e s Kab . Ci la c ap Kab . De m ak Kab . G ro b o gan Kab . Je p ar a Kab . Kara n gan y ar Kab . Ke b u m e n Kab . Ke n d al Kab . Kl at e n Kab . Ku d u s Kab . Ma ge lan g Kab . Pa ti Kab . Pekal o n gan Kab . Pem al a n g Kab . Pu rb a li n gga Kab . Pu rw o re jo K ab . Re m b an g Kab . Se m ar an g Kab . Srage n Kab . Su ko h ar jo Kab . T e gal K ab . T e m a n gg u n g Kab . Wo n o gi ri Kab . Wo n o so b o Kot a Ma ge lan g Kot a Pekal o n gan Kot a Sal a ti ga Kot a Se m ar an g Kot a Su ra ka rta Kot a T e gal


(25)

daerah mengalami pertumbuhan belanja kesehatan dengan rata-rata pertumbuhan di atas rata-rata provinsi. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan paling kecil adalah Kota Pekalongan. Asumsinya dengan tren belanja kesehatan yang cenderung meningkat setiap tahunnya, harusnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Tengah dan ketentuan WHO, ditinjau dari aspek derajat kesehatan masyarakat. Indikator yang dinilai paling peka dan telah disepakati secara nasional sebagai ukuran derajat kesehatan suatu wilayah adalah Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Ibu (AKI).

Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa AKB rata-rata pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 sebesar 10,78 per 1000 kelahiran bayi hidup. Berdasarkan Gambar 1.3 diatas dapat diketahui sebanyak 15 kabupaten/kota masih memiliki AKB lebih tinggi daripada AKB rata-rata provinsi. AKB rata-rata tertinggi terdapat di Kabupaten Rembang sebanyak 15,87 per 1000 kelahiran bayi hidup, diikuti Kabupaten Banjarnegara dengan 15,79 per 1000 kelahiran bayi hidup. Adapun AKB rata-rata terendah berhasil dicapai oleh Kota Surakarta dengan capaian AKB sebesar 4,11 per 1000 kelahiran bayi hidup. Ini menunjukkan sebagian daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah masih mengalami masalah angka kematian (Mortalitas).


(26)

Gambar 1.3 Diagram Angka Kematian Bayi Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014

Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015, diolah.

Indikator mortalitas yang selanjutnya adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Ditinjau dari penjelasan Gambar 1.4. diatas dapat diketahui bahwa jumlah kasus AKI rata-rata selama tahun 2012-2014 di Provinsi Jawa Tengah tercatat sebanyak 14 daerah kabupaten/kota masih melebihi AKI rata-rata Provinsi sebesar 119,16 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI rata-rata tertinggi dicapai oleh Kabupaten Pekalongan yang besarnya mencapai 202,22 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Kabupaten Brebes dengan 184,22 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Adapun AKI rata-rata terendah berhasil dicapai oleh Kota Surakarta dengan AKI sebesar 53,31 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Beberapa daerah yang mengalami peningkatan AKI selama tahun 2012-2014 yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Hal ini juga menunjukkan bahwa

10,78 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 Re m b an g Ban ja rn e

gara Blora

T e m an g gu n g Kot a Ma ge lan g G rob og a n Bat an g Pu rw o re jo Kot a sa la ti ga Kot a teg a l Bre b e s Wo n o so b o Kot a… Se m ar an g Pu rb al in gga Pro v in si Ci laca p Pa ti Su ko h ar jo Ban y u m as Ke b u m e n Kara n gan y ar Kl at e n Kot a se m a ra n g Boy o lal i Ke n d al Pe k al o n gan Pe m al an g Je p ar a Srage n T e gal Ma ge lan g K u d u s Wo n o gi ri De m ak Kot a su ra ka rta


(27)

sebagian daerah di Provinsi Jawa Tengah masih mengalami masalah angka kematian ibu.

Gambar 1.4 Diagram Angka Kematian Ibu Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015, diolah.

Salah satu indikator yang mempresentasikan aspek kesehatan yaitu Angka Harapan Hidup (AHH). AHH merupakan salah satu tolok ukur derajat kesehatan masyarakat. AHH yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin membaik. Pencapaian AHH di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian (2012-2014) mengalami peningkatan. Meskipun terjadi peningkatan setiap tahunnya, namun sebanyak 18 daerah nilai rata-rata AHH kabupaten/kota masih berada di bawah rata-rata AHH provinsi Jawa Tengah sebesar 72,1 tahun. Angka AHH tertinggi dicapai oleh Kabupaten Karanganyar dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia 73,9 tahun, sedangkan angka harapan hidup terendah dicapai oleh Kabupaten Brebes dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia 68,2 tahun.

117,93 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 Pe k al o n gan Bre b e s Kot a teg a l Re m b an g Bat an g T e gal G ro b o g a n Kot a sa la ti ga Pe m al a n g Pu rb al in gga Ku d u s Ke n d al Ban ja rn e gara Pat i Pro v in si Ban y u m as Ci laca p Kl at e n Se m ar an g Kot a Ma ge lan g Bl ora Pu rw o re jo Kara n gan y ar Srage n Je p ar a Kot a se m a ra n g Wo n o so b o T e m an g gu n g Wo n o gi ri Boy o lal i Kot a… De m ak Su ko h ar jo Ma ge lan g Ke b u m e n K ot a su rak arta


(28)

Gambar 1.5 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.

Sumber : BPS Jawa Tengah, 2015, diolah.

Secara umum, derajat kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh AKB, AKI dan AHH. Angka kematian (Mortalitas) di sebagian besar kabupaten/kota masih banyak yang di atas rata-rata provinsi. Hal ini membuktikan bahwa masih terjadi peningkatan angka kematian ibu dan bayi di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian. Adapun indikator AHH yang seharusnya meningkat seiring meningkatnya belanja kesehatan, namun yang terjadi AHH sebagian besar kabupaten/kota masih di bawah rata-rata provinsi.

Secara keseluruhan tingkat pencapaian indikator derajat kesehatan masyarakat yang dilihat dari AKB, AKI, dan AHH daerah di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 masih harus ditingkatkan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 tidak sebanding dengan kenaikan anggaran kesehatan di daerah Provinsi Jawa Tengah. Sebagaimana yang di kemukakan oleh

72.0 71.0 71.5 70.8 70.6 72.1 70.6 71.4 72.3 73.5 72.8 73.7 73.9 73.8 71.5 72.4 71.7 73.8 72.0 72.7 73.0 73.7 73.7 70.9 72.0 71.0 69.8 69.9 68.2 72.6 74.0 73.1 74.0 71.9 70.9 72.1 65.0 66.0 67.0 68.0 69.0 70.0 71.0 72.0 73.0 74.0 75.0 Ci laca p Ban y u m as Pu rb al in gga Ban ja rn e gara Ke b u m e n Pu rw o re jo Wo n o so b o Ma ge lan g Boy o lal i Kl at e n Su ko h ar jo Wo n o gi ri Kara n gan y ar Srage n G ro b o g a n Bl ora Re m b an g Pa ti Ku d u s Je p ar a De m ak Se m ar an g T e m an g gu n g Ke n d al Bat an g Pe k al o n gan Pe m al a n g T e gal Bre b e s Kot a Ma ge lan g Kot a su ra ka rta Kot a sa la ti ga Kot a se m a ra n g Kot a… Kot a teg a l Pro v in si


(29)

(Atmawikarta, 2005) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan. Meskipun terjadi peningkatan belanja kesehatan setiap tahunnya selama periode penelitian, namun derajat kesehatan yang ditunjukkan masih rendah.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penting dilakukan penelitian tentang analisis efisiensi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat efisiensi teknis biaya belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014?

2. Bagaimana tingkat efisiensi teknis sistem pelayanan kesehatan di Provinisi Jawa Tengah tahun 2012-2014?

3. Bagaimana target perbaikan penggunaan biaya belanja kabupaten/kota yang belum efisien agar mencapai efisien?

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan adalah:

1. Untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis biaya belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.


(30)

2. Untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis sistem pelayanan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.

3. Untuk mengetahui target perbaikan penggunaan biaya belanja kabupaten/kota yang dilakukan agar mencapai efisien.

1. 4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan yang positif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi kesehatan.

b. Digunakan sebagai bahan acuan dan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Masukan bagi Pemerintah Daerah dalam menetapkan kebijakan pembangunan sektor kesehatan di daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

b. Bahan pertimbangan dan evaluasi dalam mencapai sasaran pembangunan khususnya sektor kesehatan.

c. Bahan masukan dan evaluasi bagi instansi-instansi terkait untuk lebih meningkatkan kinerja sektor publik.


(31)

15 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan hal yang sangat penting karena menyangkut output yang dihasilkan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Apabila pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 1995:144). Perekonomian memerlukan regulasi atau campur tangan pemerintah untuk mengatur kegiatan ekonomi. Sejalan teori Keynes yang menyatakan bahwa sektor publik sebaiknya turut berperan dalam proses peningkatan perekonomian secara umum. Menurut Keynes, dalam sistem perekonomian, pihak swasta tidak boleh sepenuhnya diberi kewenangan untuk mengelola perekonomian. Secara umum peran pemerintah dalam perekonomian dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Mangkoesoebroto, 1999:2), yaitu :

a. Fungsi alokasi, yaitu mengalokasikan sumber daya yang digunakan dalam memproduksi barang yang berasal dari barang swasta atau barang publik. b. Fungsi distribusi, yaitu peran pemerintah dalam melakukan distribusi sumber

daya bagi masyarakat.

c. Fungsi stabilisasi, yaitu peran pemerintah dalam menjaga kestabilan penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga, serta tingkat pertumbuhan ekonomi


(32)

yang tepat yang berdampak pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran.

Pengeluaran pemerintah merupakan alokasi anggaran yang disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Kebijakan pengeluaran pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang mencerminkan salah satu wujud intervensi pemerintah untuk mengatasi market failure dalam suatu perekonomian (Kemenkeu, 2011). Pengeluaran pemerintah tercermin dalam anggaran belanja yang tertuang dalam APBD setiap tahunnya.

Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Amandemen Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, serta Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, belanja pemerintah daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurangan kekayaan bersih bersih dalam periode tahun anggaran bersangkutan. Pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja secara adil dan merata agar dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintah daerah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan undang-undang Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.


(33)

Pengklasifikasian belanja daerah menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan tujuan nasional terdiri dari : (a) pelayanan umum; (b) ketertiban dan ketentraman; (c) ekonomi; (d) lingkungan hidup; (e) perumahan dan fasilitas umum; (f) kesehatan; (g) pariwisata dan budaya; (h) pendidikan; dan (i) perlindungan sosial.

Dalam mengalokasikan pengeluaran, pemerintah harus melakukan banyak pertimbangan, karena pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya. Tetapi harus mempertimbangkan sasaran antara yang akan menikmati kebijaksanaan tersebut. Banyaknya pos-pos anggaran, sehingga pemerintah harus memprioritaskan alokasi anggaran untuk sektor-sektor yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas.

Menurut Mangkoesoebroto (1999:169), perkembangan teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan menjadi :

2.1.1 Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Mangkoesoebroto (1999:169), model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahapan pembangunan ekonomi. Pada tahap awal dari perkembangan ekonomi, persentase investasi yang dikeluarkan pemerintah dari total investasi sangat besar, hal ini disebabkan pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin


(34)

membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap ini, untuk mengatasi kegagalan pasar yang ditimbulkan peran swasta. Sehingga pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih besar. Selain itu, pada tahap ini pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang semakin rumit (complicated). Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menjelaskan bahwa dalam pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan sarana dan prasarana menjadi pengeluaran-pengeluaran yang bersifat sosial seperti halnya, kesejahteraan hari tua program pelayanan masyarakat dan program bantuan yang bersifat sosial lainnya.

Teori Rostow dan Musgrave merupakan suatu pandangan yang muncul dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu tidak jelas apakah tahap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam tahap demi tahap, ataukah beberapa tahap dapat terjadi secara stimulan.

2.1.2 Hukum Wagner Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar proporsinya terhadap GNP yang didasarkan pada pengamatan di negara maju. Hukum Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan sebagainya.


(35)

Hukum Wagner menjelaskan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah ditunjukkan dalam gambar berikut, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1, dan bukan seperti yang ditunjukkin oleh kurva 2. Proses eksponensial menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah akan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Gambar 2.1 Kurva Hukum Aktivitas Pemerintah yang Selalu Meningkat

Sumber : Mangkoesoebroto (1999:172) 2.1.3 Teori Peacock dan Wiseman

Teori Peacock dan Wiseman didasarkan pada suatu analisa bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran dan sebaliknya, Masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Oleh karena itu, teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar dari teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat jsPengeluaran Pemerintah/GDP

Kurve 1

Kurve 2

Z = Kurve perkembangan pengeluaran pemerintah

Waktu


(36)

mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat, meskipun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat.

Perkembangan pengeluaran pemerintah tidak hanya dari teori makro, tetapi ada juga teori mikro. Tujuan teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan akan barang publik dan faktor-faktor yang menimbulkan tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran untuk barang publik menentukan jumlah barang publik yang akan disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik tersebut selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain. Sebagai contoh, pemerintah menetapkan akan membuat sebuah kapal, maka ini akan menimbulkan permintaan akan barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti semen, baja, alat-alat pengangkutan dan seagainya. Teori mikro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dirumuskan sebagai berikut:

Penentuan Permintaan;

Keterangan :

G = Vektor dari barang publik X = Vektor barang swasta


(37)

I = individu; i = 1, …, m U = fungsi utilitas.

Permintaan akan barang-barang publik dan barang-barang swasta tergantung pada kendala anggaran (bugjet constraints). Perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan dengan faktor-faktor di bawah ini :

1. Perubahan permintaan akan barang publik;

2. Perubahan dari aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi;

3. Perubahan kualitas barang publik;

4. Perubahan harga-harga faktor-faktor produksi. 2.2 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah

Menurut Suparmoko (1996), Pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi sehingga dapat dibedakan menjadi empat klasifikasi sebagai berikut: a. Pengeluaran pemerintah merupakan investasi untuk menambah kekuatan dan

ketahanan ekonomi di masa yang akan datang.

b. Pengeluaran pemerintah langsung memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.

c. Pengeluaran pemerintah merupakan pengeluaran yang akan datang.

d. Pengeluaran pemerintah merupakan sarana penyedia kesempatan kerja lebih banyak dan penyebaran daya beli yang lebih luas.

Berdasarkan penilaian tersebut, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi sebagai sebagai berikut :


(38)

a. Pengeluaran yang self liquiditing atau seluruhnya, artinya pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa atau barang yang bersangkutan. Contohnya, pengeluaran untuk jasa negara, atau untuk proyek-proyek produktif barang ekspor.

b. Pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan ekonomi bagi masyarakat, dimana dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran pajak yang lain pada akhirnya akan menaikkan penerimaan pemerintah. Misalnya, pengeluaran untuk bidang pengairan, pertanian, pendidikan, dan kesehatan masyarakat (publik health).

c. Pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun yang tidak produktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, untuk bidang rekreasi, pendirian monument, objek-objek pariwisata dan sebagainya. Hal ini dapat juga menaikkan penghasilan dalam kaitannya jasa-jasa tadi.

d. Pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun pada saat pengeluaran terjadi penghasilan yang menerimanya akan naik. e. Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang.

Misalnya pengeluaran untuk anak-anak yatim piatu. Jika hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan bagi mereka dimasa yang akan datang pasti akan lebih besar.

Berdasarkan tujuannya pengeluaran pemerintah dibedakan dalam dua klasifikasi, yaitu :


(39)

a. Pengeluaran rutin adalah anggaran yang disediakan untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Pengeluaran ini meliputi belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga barang), angsuran dan bunga utang pemerintah, serta jumlah pengeluaran lain. Anggaran pengeluaran rutin memegang peran penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktifitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tugas setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain diupayakan malalui pinjaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen/non lembaga/non departemen, dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap. b. Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang betujuan untuk

pembiayaan proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju arah yang ingin dicapai. Pengeluaran pembangunan bersifat menambah modal masyarakat baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun non fisik. Di samping itu, pengeluaran pembangunan juga ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu disesuaikan dengan dana yang berhasil dimobilisasi. Dana tersebut kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan.

Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan di atas yang dimaksud pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah


(40)

sektor kesehatan. Pemerintah memegang peranan penting dalam menetapkan alokasi pengeluaran sektor kesehatan melalui penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana serta kualitas dan pelayanan kesehatan yang optimal. Selain itu di dukung dari teori Peacock dan Wiseman yang serupa dengan teori Wagner yaitu pemerintah senantiasa berusaha memperbesar pengeluarannya atau sebaliknya. Berdasarkan data periode penelitian tahun 2012-2014, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor kesehatan menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi.

2.3 Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi masyarakat, oleh karena itu kesehatan adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi Undang-Undang Dasar. Menurut UU No. 36 Tahun 2006, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Dengan demikian, kesehatan menjadi perhatian utama pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik.

Pengeluaran sektor kesehatan termasuk dalam klasifikasi belanja menurut fungsi. Belanja kesehatan adalah belanja daerah yang dikeluarkan untuk


(41)

meningkatkan kualitas kesehatan dan pelayanan seperti pembelian obat, fasilitas kesehatan, dan gedung kesehatan. Mill dan Gilson (1990:125), membatasi ruang lingkup sektor kesehatan ke dalam lima aspek, yaitu :

a. Pelayanan kesehatan, jasa-jasa sanitasi lingkungan (air, sanitasi, pengawasan polusi, keselamatan kerja, dan lain-lain);

b. Rumah sakit, institusi kesejahteraan sosial;

c. Pendidikan, pelatihan-pelatihan, penelitian medis murni; d. Pekerjaan medis-sosial, kerja sosial;

e. Praktis medis yang mendapat pendidikan formal, penyedia pelayanan kesehatan tradisional;

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal 5% (lima persen) dari APBN di luar gaji. Adapun untuk anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pada dasarnya tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan (Atmawikarta, 2005). Semakin besar belanja


(42)

sektor kesehatan, maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat pada umumnya tercermin dalam kondisi angka kematian, angka kesakitan dan status gizi (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016).

Hasil dari pembiayaan untuk sektor kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat dan status kesehatan masyarakat melalui ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas dan layanan kesehatan. Penyediaan fasilitas kesehatan yang terjangkau dan memadai menjadi salah satu tugas pemerintah dalam rangka menciptakan pembangunan menusia. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan ini dianggarkan setiap tahunnya dalam APBD dan digunakan untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan kesehatan seperti pembelian obat, fasilitas dan gedung kesehatan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah).

Anggaran belanja fungsi kesehatan diklasifikasikan menjadi subfungsi: (1) obat dan peralatan kesehatan; (2) pelayanan kesehatan perorangan; (3) pelayanan kesehatan masyarakat; (4) keluarga berencana; (5) penelitian dan pengembangan kesehatan.

Menurut Tjiptoherijanto dan Soesetyo (1994:101), menyebutkan bahwa secara umum sumber pembiayaan untuk upaya kesehatan dapat digolongkan sebagai sumber pemerintah dan sumber non-pemerintah (masyarakat dan swasta). Sumber pemerintah dapat berasal dari pemerintah dalam negeri dan luar negeri. Sumber pembiayaan bisa berasal dari perpajakan, pembiayaan dari defisit anggaran pemerintah, pembebanan cukai, serta asuransi kesehatan. Adapun sumber biaya masyarakat atau swasta dapat berasal dari pengeluaran rumah


(43)

tangga atau perorangan (out of pocket), perusahaan swasta/BUMN, badan penyelenggara beberapa jenis jaminan pembiayaan kesehatan termasuk asuransi kesehatan untuk membiayai pesertanya, dan lembaga non-pemerintah yang umumnya digunakan untuk kegiatan kesehatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan.

2.4 Aspek Kesehatan dalam Kajian Ilmu Ekonomi

Ilmu ekonomi pada dasarnya adalah mengkaji tentang alternatif penggunaan sumberdaya yang langka dan terbatas secara efisien. Pertimbangan ekonomi memegang peran penting hampir di semua aspek kehidupan manausia, seperti di sektor pertanian, perumahan, perindustrian, perdagangan, dan juga kesehatan. Menurut Mills dan Gilson (1990:2) mendefinisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi pada sektor kesehatan, sehingga dengan demikian ekonomi kesehatan berkaitan erat dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan;

b. Jumlah sumber daya yang digunakan dalam pelayanan kesehatan; c. Pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan; d. Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya;

e. Dampak upaya pencegahan, pengobatan, dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat.

Beberapa ekonom menganggap bahwa kesehatan merupakan fenomena ekonomi baik jika dinilai dari stok maupun sebagai investasi. Sehingga fenomena kesehatan menjadi variabel yang nantinya dapat dianggap sebagai faktor produksi


(44)

untuk meningkatkan nilai tambah barang dan jasa, atau sebagai suatu sasaran dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai baik oleh indinvidu, rumah tangga maupun masyarakat, yang dikenal sebagai tujuan kesejahteraan “welfare objective”. Oleh karena itu kesehatan dianggap sebagai modal dan memiliki tingkat pengembalian yang positif baik untuk individu maupun untuk masayarakat.

2.5 Pengukuran Kinerja, Hasil, dan Indikator dalam Kesehatan

Mardiasmo (2002:121) menyatakan pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manager dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan secara ekonomis, efisien, dan efektif. Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu:

1. Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja ini berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor publik dalam pemberian pelayanan publik.

2. Pengukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan.

3. Pengukuran kinerja sektor publik digunakan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.


(45)

Pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah tidak dapat dinilai dari sisi output yang dihasilkan saja, akan tetapi harus mempertimbangkan input, output, dan outcome secara bersama-sama. Bahkan, untuk beberapa hal perlu ditambahkan pengukuran distribusi dan cakupan layanan (equity and service coverage). Permasalahan yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam melakukan pengukuran kinerja adalah sulitnya mengukur output, karena output yang dihasilkan tidak selalu berupa output yang berwujud, akan tetapi lebih banyak berupa intangible output.

Permasalahan teknis yang dihadapi pada saat pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektifitas (value for money) organisasi adalah bagaimana membandingkan input dengan output untuk menghasilkan ukuran efisiensi yang memuaskan jika output yang dihasilkan tidak dapat dinilai dengan harga pasar. Solusi praktis atas masalah tersebut adalah dengan cara membandingkan input finansial (biaya) dengan output nonfinansial, misalnya biaya unit (unit cost statistics).

Berdasarkan kajian teori diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kegaiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat mengurangi biaya yang tidak perlu (efisiensi). Dalam hal ini, peningkatan pengeluaran pemerintah sektor kesehatan mestinya dapat memberikan peningkatan manfaat yang lebih besar untuk output dan outcome nya. Sama halnya ilmu ekonomi, sektor kesehatan berkaitan erat dengan pengalokasian, pembiayaan, dan penggunaan sumber daya yang sering disebut ekonomi kesehatan. Oleh karena itu sektor kesehatan perlu adanya pengukuran hasil kesehatan untuk membandingkan nilai masukan dan


(46)

keluaran guna mengevaluasi efisiensi ekonominya. Hasil dari pengukuran kesehatan ini diwujudkan dalam status kesehatan yang akan dicapai.

Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018, telah menetapkan indikator-indikator yang mengacu pada Indonesia Sehat, yaitu:

1. Indikator proses dan masukan (input), indikator ini terdiri dari pelayanan kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen kesehatan, dan indikator-indikator kontribusi terkait sektor tersebut.

2. Indikator hasil antara (intermediate output), indikator ini yang akan mempengaruhi hasil akhir, seperti keadaan lingkungan, perilaku hidup masyarakat, serta indikator-indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan. 3. Indikator hasil akhir (outcomes), yaitu derajat kesehatan. Indikator ini terdiri

dari indikator mortalitas (kematian), yang dipengaruhi oleh indikator-indikator mordibitas (kesakitan) dan status gizi.

2.6 Konsep Efisiensi

Kawedar et al. (2008:133) menyatakan mengukur efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu biaya yang dikeluarkan per satuan produk (input ke output) atau produk yang dihasilkan per satuan sumber daya (output ke input).

Efisiensi merupakan perbandingan output dibagi input sehingga diperoleh formula sebagai berikut :

Menurut Mardiasmo (2002:132-134), pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input


(47)

yang digunakan. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat efisiensi. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya (spending well). Rasio efisiensi tidak dinyatakan dalam bentuk absolut tetapi dalam bentuk relatif. Unit A adalah lebih efisien dibanding unit B, unit A lebih efisien tahun ini dibanding tahun lalu, dan seterusnya. Karena efisiensi diukur dengan membandingkan keluaran dan masukan maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan cara :

a. Meningkatnya output pada tingkat input yang sama;

b. Meningkatkan output dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi peningkatan input;

c. Menurunkan input pada tingkatan output yang sama;

d. Menurunkan input dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi penurunan output.

Efisiensi dapat dibagi menjadi dua yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi teknis (manajerial). Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan untuk mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis (manajerial) terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat ouput tertentu (Mardiasmo, 2002:134).

Nicholson (dalam Supiati, 2014), menyatakan bahwa efisiensi dibagi menjadi dua, yaitu efisiensi teknis (fechnical efficiency) dan efisiensi ekonomi (cost efficiency). Efisiensi teknis adalah pilihan proses produksi yang menghasilkan output tertentu dengan meminimalisasi sumber daya. Kondisi


(48)

efisiensi teknis ini digambarkan oleh titik-titik di sepanjang kurva isoquan. Efisien ekonomi adalah bahwa pilihan apapun teknik yang digunakan dalam kegiatan produksi haruslah yang meminimumkan biaya. Pada efisiensi ekonomis, kegiatan perusahaan akan dibatasi oleh garis anggaran yang dimiliki oleh perusahaan tersebut (isocost).

Jafarov dan Gunnarson (2008) menyatakan bahwa pada dasarnya kinerja suatu perusahaan diukur dengan menggunakan efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi terdiri atas efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokasi (allocative efficiency). Efisiensi teknis adalah kombinasi antara kapasitas dan kemampuan unit ekonomi untuk memproduksi sampai tingkat output maksimum dari sejumlah input yang digunakan. Sedangkan efisiensi alokasi adalah kemampuan dan kesediaan unit ekonomi yang digunakan dalam proses produksi pada tingkat harga relatif.

Pengukuran efisiensi sektor publik khususnya dalam pengeluaran belanja pemerintah didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, efisiensi pengeluaran belanja pemerintah daerah diartikan ketika setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah menghasilkan kesejahteraan mesyarakat yang paling optimal. Ketika kondisi tersebut terpenuhi, maka dikatakan belanja pemerintah telah mencapai tingkat yang efisien (Kurnia, 2006).

Berkaitan dengan efisiensi pengeluaran pemerintah menurut Guritno dalam Balitbangda dan Trimitra (2008: 178), peranan pemerintah untuk


(49)

mengalokasikan anggaran dan sekaligus menjamin tercapainya penggunaan anggaran (sumber daya) secara efisien. Pada suatu sisi pengeluaran pemerintah bersifat included, dan pada sisi lain terdapat kendala kemampuan finansial (budget constraint) karena itu efisiensi diukur dari apakah pengeluaran pemerintah telah sesuai dengan kenaikan anggaran yang tersedia.

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Jafarov dan Gunnarsson (2008) mengukur efisiensi sektor publik maka digunakan pengukuran efisiensi teknis dimana nilai efisiensi diukur dengan menggunakan sejumlah input yang digunakan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Lebih lanjut dalam pengukuran efisiensi sektor publik, efisiensi teknis dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu efisiensi teknis biaya (technical cost efficiency), efisiensi teknis sistem (technical system efficiency), dan efisiensi keseluruhan (over all efficiency).

Efisiensi teknis biaya merupakan pengukuran tingkat penggunaan sarana ekonomi/ sejumlah input berupa besarnya nilai nominal belanja kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menghasilkan sejumlah output berupa indikator output hasil antara (ouput intermediate) yang terdiri dari fasilitas dan layanan kesehatan. Kondisi efisien akan tercapai ketika sejumlah nominal belanja kesehatan yang dikeluarkan dalam jumlah tertentu dapat menghasilkan output berupa fasilitas dan layanan kesehatan yang maksimum.

Efisiensi teknis sistem merupakan pengukuran tingkat penggunaan sejumlah input berupa indikator ouput intermediate untuk menghasilkan sejumlah output berupa indikator hasil akhir (outcomes) yaitu derajat kesehatan masyarakat. Kondisi efisien akan tercapai jika penggunaan sejumlah input berupa fasilitas dan


(50)

layanan kesehatan dalam jumlah tertentu akan menghasilkan output berupa derajat kesehatan yang maksimum.

Pengukuran efisiensi keseluruhan dilakukan dengan cara menghubungkan secara langsung penggunaan indikator input berupa belanja kesehatan dengan hasil outcome kesehatan berupa derajat kesehatan masyarakat sebagai ouputnya. Kondisi yang efisien akan terjadi jika dengan besarnya belanja kesehatan sejumlah tertentu dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang optimum.

2.7 Pengukuran Efisiensi dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

Menurut Prajanti (2013:12), dalam mengukur efisiensi produksi dapat dilakukan dengan pendekatan non-parametrik dengan Data Envelopment Analysis (DEA). Data Envelopment Analysis (DEA) adalah suatu metode yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat efisiensi suatu unit kerja dengan variabel multiple output dan multiple input melalui pendekatan linear programming. DEA bekerja dengan langkah mengidentifikasi unit-unit yang akan dievaluasi, input serta output unit tertentu. Kemudian dihitung nilai produktivitas dan mengidentifikasi unit mana yang tidak menggunakan input secara efisien atau tidak menghasilkan output secara efektif. Produktivitas yang diukur bersifat relatif, karena hanya membandingkan antar unit pengukuran dari 1 set data yang sama. DEA adalah model analisis faktor produksi untuk mengukur tingkat efisiensi relatif dari set unit kegiatan ekonomi (UKE). Skor efisiensi dari banyak faktor input dan output dirumuskan sebagai berikut :


(51)

Efficiency

=

Selain itu, unit-unit yang melibatkan dalam perhitungan dari gabungan UKE dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan UKE yang tidak efisien. DEA juga mempertimbangkan menghitung perbaikan yang diperlukan di dalam masukan (input) yang tidak efisien agar menjadi efisien (Prajanti, 2013:24).

DEA merupakan sebuah metode optimasi matematika yang mengukur efisiensi teknik suatu unit kegiatan ekonomi (UKE), dan membandingkan secara relatif terhadap UKE yang lain (Rusydiana, 2013:26). Efisiensi relatif UKE dalam DEA, adalah rasio dari total output tertimbang dibagi total input tertimbang (total weighted output/total weighted input). Inti dari DEA adalah menentukan bobot (weighted) atau timbangan untuk setiap variabel-variabel input maupun output yang ada, asalkan mampu memenuhi dua kondisi yang disyaratkan. Adapun kedua kondisi yang disyaratkan yaitu:

a. Bobot tidak boleh negatif;

b. Bobot harus bersifat universal. Hal ini berarti setiap UKE dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total weighted output/total weighted input) dan rasio tersevut tidak lebih dari 1 total weighted output/total weighted input ≤ 1).

Unit kegiatan ekonomi (UKE) dikatakan efisien secara relatif apabila nilai dualnya sama dengan 1 (nilai efisiensi 100 persen), sebaliknya apabila nilai dualnya kurang dari 1 maka UKE bersangkutan dianggap tidak efisien secara relatif (Rusydiana, 2013:28).


(52)

Efisiensi yang diukur oleh analisis DEA memiliki karakter berbeda dengan konsep efisiensi umumnya :

1. Efisiensi yang diukur adalah bersifat teknis, bukan ekonomis. Artinya analisis DEA hanya memperhitungkan nilai absolute dari suatu variabel. Satuan dasar pengukuran yang mencerminkan nilai ekonomis dari tiap-tiap variabel seperti harga, berat, panjang, isi, dan lainnya tidak dipertimbangkan. Oleh karenanya dimungkinkan suatu pola perhitungan kombinasi berbagai variabel dengan satuan yang berbeda-beda.

2. Nilai efisiensi yang dihasilkan bersifat relatif atau hanya berlaku dalam sekumpulan Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang diperbandingkan (Nugroho, 2003).

Analisis DEA memiliki dua model orientasi yaitu berorientasi input (Input-Oriented Measures) dan berorientasi output (Output-Oriented Measures) (Rusydiana, 2013:16). Pengukuran berorientasi input (Input-Oriented Measures) menunjukkan untuk penekanan sejumlah input dapat dikurangi secara proporsional tanpa mengubah jumlah output yang dihasilkan. Selanjutnya, pengukuran berorientsi output (Output-Oriented Measures) mengukur bilamana sejumlah output dapat ditingkatkan secara proporsional tanpa mengubah jumlah input yang digunakan. Kedua oreintasi ini dapat berasumsi constant return to scale (CRS) dan variable return scale (VRS).

Menurut Rusdydiana (2013:22), dalam perkembangannya pendekatan DEA ada dua model yang digunakan yaitu model constant return to scale (CRS) yang dikembangkan oleh Charness, Cooper dan Rhodes (Model CCR) dan model


(53)

variable return scale (VRS) yang dikembangkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper (Model BCC).

Bentuk dasar DEA berasumsi adanya Constan Return to Scale (CRS), model ini mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama. Artinya jika ada tambahan input sebesar x kali, maka output akan meningkat sebesar x kali juga. Asumsi yang lain yang digunakan dalam model ini adalah bahwa setiap perusahaan atau unit kegiatan ekonomi (UKE) beroperasi pada skala optimal. Nilai efisiensi selalu kurang atau sama dengan 1, UKE yang nilai efisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UKE yang nilai efisiensinya sama dengan 1 berarti UKE tersebut efisien.

Model Variable Return to Scale (VRS) merupakan pengembangan dari model CCR. Model ini beranggapan bahwa perusahaan tidak atau belum beroperasi pada skala yang optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama. Artinya, penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali.

Secara singkat, pada umumnya metode DEA memiliki keunggulan dan kelemahan sebagai berikut :

1. Keunggulan DEA

a. Dapat menangani banyak input dan output;

b. Tidak perlu asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan output; c. Unit kegiatan ekonomi (UKE) dibandingkan secara langsung dengan


(54)

d. Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Sebagai contoh X1 dapat dalam unit dan X2 dapat dalam dollar tanpa apriori keduanya.

2. Keterbatasan DEA

a. Bersifat simple spesifik;

b. Merupakan extreme point technique, kesalahan pengukuran dapat bersifat fatal;

c. DEA sangat bagus untuk estimasi efisiensi relatif UKE (unit kegiatan ekonomi) tetapi sangat lambat untuk mengukur efisiensi absolut, dengan kata lain bisa membandingkan sesama UKE tetapi bukan membandingkan maksimisasi secara teori;

d. Uji hipotesis secara statistik atas hasil DEA sulit dilakukan;

e. Menggunakan perumusan linear programming terpisah untuk tiap UKE; f. Bobot dan input yang dihasilkan oleh DEA tidak dapat ditafsirkan dalam

nilai ekonomi.

g. Hanya mengukur produktivitas relatif dari unit kegiatan ekonomi bukan produktivitas absolut.

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap efisiensi pengeluaran pemerintah ini bersifat universal. Terdapat beberapa literatur yang telah membahas efisiensi belanja publik di berbagai negara. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang menunjang serta menjadi acuan dalam penelitian ini.


(55)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Judul dan Nama Peneliti

Variabel dan Teknik

Alat Analisis Hasil Penelitian 1. Analisis

Efisiensi Belanja Daerah di Kabupaten Sumbawa (Studi Kasus Bidang Pendidikan dan Kesehatan) (Indriati, Neneng Erlina,2014)

Variabel input: belanja pendidikan dan belanja kesehatan.

Variabel Output intermediate: Fasilitas dan layanan pendidikan berupa rasio guru per murid dan rasio kelas per murid

Fasilitas dan layanan kesehatan berupa rasio jumlah dokter per 1000 penduduk, rasio tenaga kesehatan per 1000 orang dan imunisasi campak.

Variabel outcome:

Pendidikan rata-rata nilai UN dan angka kelulusan (AL) Kesehatan AKB dan AKB Metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan menggunakan software DEA online software (DEAOS).

1. Secara rata-rata terjadi inefisiensi 2. Efisiensi teknis

biaya bidang pendidikan : Kecamatan Batu Lanteh, sedangkan efisiensi teknis sistem : Kecamatan Sumbawa, Kecamatan Rhee, Kecamatan Maronge. 3. Efisiensi teknis

biaya bidang kesehatan : Kecamatan Lantung. Sedangkan efisiensi teknis sistem : Kecamatan Maronge, Kecamatan Sumbawa, Kecamatan Utan, dan Kecamatan Alas Barat. 2. Efisiensi

Pengeluaran Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah (Lela Dina Pertiwi, 2007)

Variabel Input: pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan.

Variabel Output: Sektor

pendidikan berupa angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Sektor kesehatan berupa AHH. Metode penelitian menggunakan

Hasil penelitian: 1. Tahun 1999,

pengeluaran pendidikan belum efisien.

2. Tahun 2002, pengeluaran pendidikan

meningkat, namun masih kategori


(1)

+ Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

12,14 51,98 63,53

15,69 67,19 82,12

29,26 29,26 29,26 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

12,14 51,98 63,53 991,99 111819,08 73,84

12,14 43,48 63,53 998,38 112539,26 74,32

- (16,35) - 00,64 00,64 00,64

Rembang Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

288041,95 16,77 42,66 53,41

288041,95 19,66 50,00 128,97

- 17,21 17,21 141,48 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

16,77 42,66 53,41 1000,11 111290,14 74,19

16,77 42,66 53,41 1000,11 111290,14 74,19

- - - - - -

Pati Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

207407,59 8,81 57,93 76,45

207407,59 12,56 72,54 95,73

- 42,51 25,22 25,22 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

8,81 57,93 76,45 998,05 106968,84 75,43

8,81 44,25 76,45 998,05 106969,29 75,43

- (23,62) - - - -

Kudus Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

236674,95 9,38 57,48 145,16

236674,95 13,63 70,75 178,67

- 45,30 23,08 23,08 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

9,38 57,48 145,16 998,48 110183,89 76,40

9,38 57,48 145,16 998,48 110183,89 76,40

- - - - - -


(2)

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

152513,34 7,26 36,47 65,25

152513,34 11,49 57,71 103,26

- 58,25 58,25 58,25 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

7,26 36,47 65,25 996,42 109562,40 75,64

7,26 36,47 65,25 996,42 109562,40 75,64

- - - - - -

Demak Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

148772,85 8,41 37,24 42,84

148772,85 12,44 55,10 74,70

- 47,96 47,96 74,36 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

8,41 37,24 42,84 997,84 104223,32 75,18

8,41 37,24 42,84 997,84 104223,32 75,18

- - - - - -

Semarang Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

231977,02 12,45 37,47 35,74

231977,02 18,40 55,38 85,78

- 47,80 47,80 140,03 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

12,45 37,47 35,74 996,10 110433,65 75,50

12,45 37,47 35,74 996,10 110433,65 75,50

- - - - - -

Temanggung Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

183743,59 16,24 53,32 70,91

183743,59 16,24 53,32 70,91

- - - - Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

16,24 53,32 70,91 991,81 104640,19 75,34

9,74 44,04 70,91 997,46 106373,31 75,77

(40,00) (17,41) - 00,57 01,66 00,57


(3)

Kendal Efisiensi Teknis Biaya - Belanja Kesehatan

+ Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

192972,20 11,56 37,98 49,54

192972,20 16,60 54,55 72,40

- 43,62 43,62 46,15 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

11,56 37,98 49,54 997,35 114055,69 74,14

11,56 37,98 49,54 997,35 114055,69 74,14

- - - - - -

Batang Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

211284,67 11,81 61,11 46,85

211284,67 13,67 70,76 78,83

- 15,79 15,79 68,26 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

11,81 61,11 46,85 994,40 104203,64 74,40

11,81 39,57 46,85 998,76 107298,42 74,73

- (35,24) - 00,44 02,97 00,44

Pekalongan Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

255372,28 12,10 48,87 66,97

255372,28 16,44 66,39 94,92

- 35,85 35,85 41,73 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

12,10 48,87 66,97 999,44 102712,50 73,33

12,10 44,00 66,97 1000,28 109784,33 73,39

- (09,97) - 00,08 06,89 00,08

Pemalang Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

122410,89 7,63 36,05 59,88

122410,89 7,63 36,05 59,88

- - - - Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS

7,63 36,05 59,88 996,17 112942,90

7,63 36,05 59,88 996,17 112942,90

- - - - -


(4)

+ AHH 72,64 72,64 -

Tegal Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

181188,78 8,45 42,53 61,33

181188,78 12,72 64,01 92,30

- 50,49 50,49 50,49 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

8,45 42,53 61,33 1001,83 109363,79 70,80

8,45 42,53 61,33 1001,83 109363,79 70,80

- - - - - -

Brebes Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

130658,98 7,44 27,01 46,30

130658,98 10,12 42,48 62,99

- 36,05 57,26 36,05 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

7,44 27,01 46,30 990,47 108545,55 67,90

7,44 27,01 46,30 990,47 108545,55 67,90

- - - - - - Kota

Magelang

Efisiensi Teknis Biaya - Belanja Kesehatan

+ Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

1109567,81 18,28 76,43 691,18

1109567,81 18,28 76,43 691,18

- - - - Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

18,28 76,43 691,18 991,17 111041,01 76,57

13,41 56,18 353,23 996,81 111672,89 77,01

(26,62) (26,49) (48,90) 00,57 00,57 00,57 Kota

Surakarta

Efisiensi Teknis Biaya - Belanja Kesehatan

+ Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

243347,07 12,16 56,07 446,40

243347,07 12,16 56,07 446,40

- - - - Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

12,16 56,07 446,40 997,85

12,16 56,07 446,40 997,85

- - - -


(5)

+ AIMS + AHH

109354,87 76,99

109354,87 76,99

- -

Kota Salatiga Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

702831,99 14,90 58,50 322,31

702831,99 17,76 69,74 408,54

- 19,21 19,21 26,76 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

14,90 58,50 322,31 995,85 121982,58 76,53

14,90 58,50 322,31 995,85 121982,58 76,53

- - - - - - Kota

Semarang

Efisiensi Teknis Biaya - Belanja Kesehatan

+ Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

159519,95 6,40 28,51 250,93

159519,95 6,40 28,51 250,93

- - - - Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

6,40 28,51 250,93 995,29 107413,31 77,18

6,40 28,51 250,93 995,29 107413,31 77,18

- - - - - - Kota

Pekalongan

Efisiensi Teknis Biaya - Belanja Kesehatan

+ Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

374232,65 16,68 60,26 212,12

374232,65 17,18 62,08 218,51

- 03,01 03,01 03,01 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur + ABH

+ AIMS + AHH

16,68 60,26 212,12 1000,17 110767,70 74,09

16,34 43,33 96,79 1000,30 110781,57 74,10

(02,05) (28,09) (54,37) 00,01 00,01 00,01

Kota Tegal Efisiensi Teknis Biaya

- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan

+ Rasio Tempat Tidur

733875,17 15,10 47,35 352,66

733875,17 19,34 60,65 451,71

- 28,09 28,09 28,09 Efisiensi Teknis Sistem

- Rasio Puskesmas - Rasio Bidan

- Rasio Tempat Tidur

15,10 47,35 352,66

15,10 47,35 352,66

- - -


(6)

+ ABH + AIMS + AHH

1001,12 108073,15 74,10

1001,12 108073,15 74,10

- - -

Sumber : Hasil olah data, DEA.


Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

4 11 70

Analisis pengaruh pengeluaran pemerintah sektor kesehatan, sektor pendidikan dan jumlah penduduk miskin terhadap IPM di Provinsi Lampung (Periode 2003-2012)

4 60 86

EVALUASI PROGRAM KESEHATAN IBU DI DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2014.

0 3 11

PENDAHULUAN Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,Pengangguran, Pendidikan, UMR Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2014.

0 4 8

ANALISIS EFISIENSI PERTAMBAHAN INVESTASIPROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2000 - 2013 Analisis Efisiensi Pertambahan Investasi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000 - 2013.

0 2 14

ANALISIS EFISIENSI PERTAMBAHAN INVESTASI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2000 - 2013 Analisis Efisiensi Pertambahan Investasi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000 - 2013.

0 1 19

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS INPUT OUTPUT (I-O) TAHUN 2004.

0 2 15

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PROVINSI JAWA TENGAH Analisis Sektor Unggulan Provinsi Jawa Tengah Analisis Input-Output Tahun 2008.

0 0 12

ANALISIS EFISIENSI BELANJA KESEHATAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005 – 2007 - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 125

PENGUKURAN TINGKAT EFISIENSI PENGELUARAN PEMERINTAH DI PROVINSI JAWA TENGAH - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 35