Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

(1)

GAMBARAN SIKAP SISWA TERHADAP

PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL

(STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN

SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

SUSY CHRISTINA BANCIN

091301086

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, 2014


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL (STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN)

Dipersiapkan dan disusun oleh :

SUSY CHRISTINA BANCIN 091301086

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 7Mei 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Filia Dina Anggaraeni, S.Sos., M.Pd. Penguji I/

NIP. 196910142000042001 Pembimbing_______________

2. Sri Supriyantini, M.Si, Psikolog Penguji II ______________ NIP. 196204092000122001

3. Ika Sari Dewi, S.Psi., Psikolog Penguji III _______________ NIP. 197809102005012001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

“Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi Pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)”

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelarkesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utarasesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2014

Susy Christina Bancin NIM 091301086


(4)

ABSTRAK

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi peserta didik dengan prinsip kesetaraan dalam keberagaman. Pendidikan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini kepada peserta didik, sehingga diharapkan dapat menjadi manusia Indonesia yang demokratis dan menghargai keberagaman. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat Indonesia adalah negara yang sangat multikultur. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan adalah sebuah yayasan yang telah menerapkan pendidikan multikultural ini selama lebih dari 25 tahun. Perlu diketahui bagaimana sikap siswa sebagai peserta didik terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di SMA YPSIM. Sikap mencakup pemikiran, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek sikap (Azwar, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 100 orang, berdasarkan teknik pengambilan sampel proportional stratified random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum siswa SMA YPSIM memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, yakni sebanyak 85%. Sementara 15% siswa memiliki sikap netral dan tidak ada siswa yang bersikap negatif.


(5)

ABSTRACT

Multicultural education is an education that is used to improve student’s potential with an equivalence principle in diversity. This education is intended to engraft multicultural values at the very early step on students, to be democrative and appreciative to diversity. It needs a special concern since Indonesia is a multicultural country. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan is one of institution which has applied this education for more than 25 years. The students attitude to multicultural education in YPSIM is necessary to be studied.

This study is intended to describe the students attitude toward multicultural education in YPSIM high school. The attitude refers to cognitive, affective, and conative aspects toward the object of attitude. Descriptive quantitative approach is used in this study. The number of samples in this study is 100 students, based on proportional stratified random samplingtechnique. The result of this study shows that generally, YPSIM high school students have positive attitude toward multicultural education or 85 by percentage. While, 15 % of students have neutral attitude and no one in negative attitude.


(6)

KATA PENGANTAR

Pujian dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas segala berkat dan kekuatan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul "Gambaran Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)". Adapun skripsi ini salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pertama sekali penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua penulis, yaitu U. Bancin dan R.Gultom yang telah melahirkan dan membesarkan penulis, memberikan cinta dan kasih sayang yang tak ternilai harganya. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi yang telah memberikan dukungan yang terbaik untuk kesuksesan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Filia Dina Anggaraeni, S.Sos., M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberi masukan yang berharga kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini.

3. Ibu Sri Supriyantini, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi saran dan motivasi selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.


(7)

4. Kepada seluruh dosen di Fakultas Psikologi, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang berharga kepada kami.

5. Kepada seluruh pegawai di Fakultas Psikologi, yang telah memberikan pekerjaan yang terbaik guna mendukung kesuksesan setiap mahasiswa. 6. Kepada Pak Edy Jitro Sihombing M.Pd., yang telah memberikan izin

pengambilan data sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. 7. Seluruh teman – teman, kakak dan abang di Fakultas Psikologi USU Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata baik, sehingga segala kritik dan saran sangat diharapkan untuk membantu penulis menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Medan, 28 April 2014


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

A. Sikap ... 15

1. Defenisi Sikap ... 15

2. Komponen Sikap ... 16

3. Faktor Yang Mempengaruhi Sikap ... 17

B. Pendidikan Multikultural ... 19

1. Defenisi Pendidikan Multikultural ... 19

2. Sejarah Pendidikan Multikultural ... 21

3. Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 22

C. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda... 24 D. Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural


(9)

(Studi Pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar

Muda Kota Medan) ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Identifikasi Variabel ... 36

B. Defenisi Operasional... …..36

C. Populasi, Sampel Dan Metode Pengambilan Sampel ... 37

1. Populasi dan Sampel... 37

2. Metode Pengambilan Sampel ... 38

3. Jumlah Sampel Yang Digunakan ... 39

D. Alat Ukur Yang Digunakan ... 39

1. Skala Psikologi ... 40

2. Validitas Alat Ukur ... 42

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 42

E. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 43

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 45

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 46

3. Tahap Pengolahan Data Penelitian ... 46

G. Metode Analisis Data ... 47

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Analisis Data ... 48

1. Gambaran Subjek Penelitian ... 48


(10)

B. Pembahasan ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A. KESIMPULAN ... 69

B. SARAN ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Sikap sebelum Try Out ... 41

Tabel 2. Blue Print SkalaSikapSetelah Try Out ... 43

Tabel 3. Blue Print Skala Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 44

Tabel 4. Persentase subjek berdasarkan jenis kelamin... 48

Tabel 5. Persentase subjek berdasarkan usia... 49

Tabel 6. Persentase subjek berdasarkan tingkatan kelas ... 49

Tabel 7. Persentase subjek berdasarkan jenis kelamin... 50

Tabel 8. Persentase subjek berdasarkan jenis kelamin... 50

Tabel 9. Pengkategorisasian Sikap Siswa terhadap Pembelajaran bermuatan Multikultural ... 51

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 51

Tabel 11. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 52

Tabel 12. Kriteria Kategorisasi Skor Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ... 53

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen aktifitas produktifitas Bersama ... 54

Tabel 14. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen aktifitas produktifitas Bersama ... 55 Tabel 15. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen perkembangan


(12)

bahasa ... 56

Tabel 16. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen Perkembangan bahasa ... 56

Tabel 17. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen Kontekstualisasi ... 57

Tabel 18. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen Kontekstualisasi ... 58

Tabel 19. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen percakapan instruksional ... 59

Tabel 20. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen percakapan instruksional ... 59

Tabel 21. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen Aktifitas Menantang ... 60

Tabel 22. Kriteria Kategorisasi Skor Komponen aktifitas menantang ... 61

Tabel 23. Kesimpulan Sikap Siswa terhadap standar Pembelajaran BermuatanMultikultural ... 62

Tabel 24. Gambaran Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ditinjau dari Jenis Kelamin ... 63

Tabel 25. Gambaran Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ditinjau dari Suku Bangsa ... 63

Tabel 26. Gambaran Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural ditinjau dari Kelas ... 64  


(13)

ABSTRAK

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi peserta didik dengan prinsip kesetaraan dalam keberagaman. Pendidikan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini kepada peserta didik, sehingga diharapkan dapat menjadi manusia Indonesia yang demokratis dan menghargai keberagaman. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat Indonesia adalah negara yang sangat multikultur. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan adalah sebuah yayasan yang telah menerapkan pendidikan multikultural ini selama lebih dari 25 tahun. Perlu diketahui bagaimana sikap siswa sebagai peserta didik terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di SMA YPSIM. Sikap mencakup pemikiran, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek sikap (Azwar, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 100 orang, berdasarkan teknik pengambilan sampel proportional stratified random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum siswa SMA YPSIM memiliki sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, yakni sebanyak 85%. Sementara 15% siswa memiliki sikap netral dan tidak ada siswa yang bersikap negatif.


(14)

ABSTRACT

Multicultural education is an education that is used to improve student’s potential with an equivalence principle in diversity. This education is intended to engraft multicultural values at the very early step on students, to be democrative and appreciative to diversity. It needs a special concern since Indonesia is a multicultural country. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan is one of institution which has applied this education for more than 25 years. The students attitude to multicultural education in YPSIM is necessary to be studied.

This study is intended to describe the students attitude toward multicultural education in YPSIM high school. The attitude refers to cognitive, affective, and conative aspects toward the object of attitude. Descriptive quantitative approach is used in this study. The number of samples in this study is 100 students, based on proportional stratified random samplingtechnique. The result of this study shows that generally, YPSIM high school students have positive attitude toward multicultural education or 85 by percentage. While, 15 % of students have neutral attitude and no one in negative attitude.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang dilakukan untuk mengubah perilaku individu, agar dapat mencapai potensi terbaik dari dalam diri individu tersebut. Pendidikan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia dalam suatu negara, serta turut menentukan kualitas pembangunan bangsa. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kemdikbud, 2003).

Di dalam UU tersebut, secara implisit dinyatakan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Hal ini menjadi sebuah hal yang patut diperhatikan mengingat Indonesia adalah negara yang sangat multikultur, kaya akan keberagaman suku, ras, golongan, agama, bahasa, bahkan status sosial ekonomi. Keberagaman yang seharusnya dapat menjadi kekuatan bangsa, namun kenyataannya sangat rentan menimbulkan konflik bahkan perpecahan bangsa (Gumono,2011;Sindo, 2012). Dikatakan bahwa


(16)

konflik-konflik sosial yang terjadi disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan ataupun ide orang lain. Kurangnya pemahaman tentang multikultur adalah salah satu penyebab dari beragam konfik di negeri ini (Gumono,2011;Muslimin, 2012).

Betapa banyak contoh-contoh yang terjadi di negara Indonesia, konflik yang menelan ratusan bahkan ribuan korban jiwa, dikarenakan adanya prasangka ataupun stereotip terhadap budaya lain (Gumono, 2011 ). Dimulai dari G30S/PKI, kekerasan terhadap etnis China di Jakarta tahun 1998, perang suku Dayak dan Madura tahun 2000, konflik di Papua, dan banyak lagi. Ditambah lagi dengan semakin maraknya pelajar yang melakukan tawuran. Hal ini mengindikasikan rendahnya rasa toleransi antara orang yang satu terhadap orang lain. Antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Nilai-nilai dan karakter bangsa seperti gotong royong, kerjasama, kekeluargaan, toleransi terasa semakin pudar. Apalagi saat ini, pengaruh globalisasi yang menawarkan budaya individualisme semakin menggerogoti nilai-nilai bangsa ini (Mania, 2010).

Dahulu, bangsa Indonesia dibangun dengan semangat multikultural yang berlandaskan falsafah Pancasila, dan memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Namun kini, pemahaman akan multikultural semakin rendah, sehingga berakibat pada terkikisnya nilai-nilai bangsa. Walau demikian, satu hal yang dapat memperbaiki kondisi ini adalah melalui pendidikan (Hanum,2009; Sutjipto, 2005). Pendidikan sebagai upaya untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang demokratis dan humanis (Arifudin, 2007;Chaeruman, 2011). Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal adalah salah satu sarana yang efektif untuk


(17)

memupuk kembali nilai-nilai multikultural tersebut, yakni melalui pendidikan multikultural (Suparlan, 2002; Tan, 2006).

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi anak didik dengan prinsip kesetaraan. Artinya, pendidikan multikultural memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk mengecap bangku pendidikan. Pendidikan multikultural berupaya menekankan kesetaraan dalam keberagaman bagi setiap peserta didik sehingga diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai multikultural semenjak dini (Banks, dalam Amirin, 2012). Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa dengan berperilaku humanis, demokratis, dan pluralis, disamping memperhatikan aspek akademis siswa (YPSIM, 2012).

Melalui pendidikan multikultural, nilai-nilai yang mulai pudar dari masyarakat Indonesia diharapkan dapat dipupuk kembali, seperti kekeluargaan, kerjasama, toleransi, dan sebagainya. Dengan diterapkannya pendidikan ini, segala bentuk prasangka dan diskriminasi juga diharapkan dapat diminimalisir keberadaannya (Wasitohadi, 2012; Syaifuddin, 2006). Konsep ini memang tergolong baru di Indonesia, namun di luar negeri seperti Amerika dan Eropa, pendidikan multikultural telah mulai diterapkan sejak tahun 60an dan 70an, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kaum imigran di negara tersebut (Banks dalam Amirin, 2012). Walau relatif baru di Indonesia, pendidikan multikultural memiliki peluang besar untuk mengubah kondisi bangsa saat ini. Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk dapat mencapai hal tersebut, karena pendidikan


(18)

multikultural ini adalah sebuah on going process, artinya akan terus berkelanjutan hingga akhirnya tujuan dari pendidikan ini dapat terwujud (Wasitohadi, 2012).

Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang telah menerapkan konsep pendidikan multikultural adalah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, yang terletak di Jl. Sunggal Medan. Yayasan yang telah berusia 25 tahun ini adalah Yayasan pendidikan yang didirikan oleh Sofyan Tan, dengan tujuan membangun putra/putri Indonesia yang cerdas, berakhlak mulia, dan menghargai kemajemukan. Semenjak berdiri pada tahun 1987, sekolah ini memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan sosial negeri ini, yakni kemiskinan dan diskriminasi. Kemiskinan yang menyebabkan warga miskin tidak mampu mengecap pendidikan, dan berbagai konflik yang disebabkan oleh perilaku diskriminasi dan prasangka. Sofyan Tan, selaku pendiri yayasan ini, meyakini bahwa kedua hal tersebut dapat dihilangkan lewat pendidikan. Sehingga diupayakanlah sekolah yang berkualitas bagi setiap orang, dan menerapkan pembelajaran yang menghargai kemajemukan (YPSIM, 2012).

Pendidikan multikultural yang diterapkan di YPSIM diimplementasikan dalam setiap aspek yang ada di dalam sekolah sekolah, seperti dalam kurikulum, kultur sekolah, kultur kelas, guru, hingga pihak luar sekolah. Dalam kurikulum misalnya, materi pelajaran diintegrasikan dengan topik multikultural, tidak hanya pada mata pelajaran humaniora seperti PKn, tetapi juga pada pelajaran inti lainnya. Dalam kultur sekolah, diupayakan agar setiap fasilitas sekolah menonjolkan kemajemukan Indonesia, seperti penyediaan rumah ibadah dan


(19)

pendopo dari lima agama besar di Indonesia untuk membiasakan anak didik melihat, menerima, dan menghargai perbedaan di sekitar mereka (Tempo, 2012).

Selain itu, para guru juga berupaya membangun kemampuan kerjasama dan kemampuan memecahkan masalah para siswa dengan membuat pembagian kelompok berdasarkan suku atau agama yang berbeda. Demikian pula dengan pembagian teman sebangku, diupayakan agar berbeda budaya. Dalam hal sosial ekonomi, sekolah ini juga berusaha menerima setiap siswa yang berasal dari sosial ekonomi tinggi maupun rendah. Bagi mereka yang kurang mampu, disediakan beasiswa dan juga orangtua asuh yang akan meringankan biaya pendidikan siswa tersebut (YPSIM, 2012).

Selama hampir 25 tahun, YPSIM telah mengimplementasikan dan mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam setiap aspek pembelajaran maupun kebijakan sekolah, serta dalam perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus untuk diterapkan dalam pembelajaran di kelas oleh semua tenaga pendidik di YPSIM. RPP dan Silabus yang dikembangkan sebagian mengadopsi pendidikan multikultural dan pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional, dan pihak sekolah mengembangkannya dengan menetapkan sejumlah nilai, deskripsi, serta indikator multikultural yang diterapkan di YPSIM (YPSIM, 2012).

Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli


(20)

sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme. Nilai religius berkaitan dengan toleransi terhadap agama lain dan menjalankan ajaran agama masing-masing. Nilai jujur artinya menjadi seseorang yang dapat dipercaya. Nilai toleransi yang dimaksud adalah menghargai perbedaan yang ada dalam segala aspek. Nilai disiplin berkaitan dengan perilaku tertib dan patuh terhadap peraturan. Nilai kerja keras mencakup upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu. Nilai kreatif dan mandiri berkaitan dengan inovasi dan tidak bergantung pada orang lain. Nilai demokratis berkaitan dengan persamaan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan. Nilai rasa ingin tahu berkaitan dengan keinginan untuk tahu lebih dalam tentang sesuatu.

Nilai nasionalisme berkaitan dengan kepedulian yang tinggi terhadap bangsa. Nilai menghargai prestasi berkaitan dengan kemampuan untuk mengakui dan menghargai keberhasilan orangl lain. Nilai bersahabat/komunikatif ditunjukkan oleh rasa senang bergaul dengan orang lain. Nilai cinta damai ditunjukkan oleh adanya kemampuan untuk membuat orang lain merasa aman di sekitarnya. Nilai gemar membaca berkaitan dengan kegemaran membaca buku yang bermanfaat. Nilai peduli lingkungan menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Nilai peduli sosial dan kesejahteraan berkaitan dengan kepedulian terhadap orang lain. Nilai tanggungjawab berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban dengan baik. Nilai kesetaraan gender artinya tidak membeda-bedakan pria dan laki-laki dalam hak dan kewajiban. Nilai pluralisme berkaitan dengan penghargaan terhadap setiap perbedaan yang ada.


(21)

Nilai dan indikator inilah yang menjadi acuan bagi setiap guru dalam merancang RPP dan Silabus dalam pembelajarannya. Guru dituntut untuk menerapkan pembelajaran bermuatan multikultural ini, tidak hanya pada pelajaran humaniora seperti IPS, tetapi juga pada pelajaran eksakta seperti IPA. Untuk bisa mengintegrasikan ke dalam pembelajaran, guru perlu melakukan analisis terhadap karakteristik mata pelajarannya, dan juga melihat kondisi yang ada di YPSIM (YPSIM, 2012).

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Dalam aktifitas produktifitas bersama, guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Dalam perkembangan bahasa, guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.

Dalam kontekstualisasi guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Dalam aktifitas menantang, guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Dalam percakapan instruksional, guru menggunakan dialog


(22)

antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa. Ke 18 nilai-nilai multikultural yang diterapkan di YPSIM telah tercakup secara implisit di dalam ke 5 standar tersebut.

YPSIM terdiri dari jenjang TK, SD, SMA, dan SMK. Hal ini menunjukkan bahwa yayasan ini berupaya untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini kepada siswa. Di dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada siswa SMA yayasan SIM. Siswa SMA pada umumnya berusia 15-18 tahun. Masa SMA sebagai masa remaja merupakan masa yang rawan bagi individu. Studi menunjukkan bahwa siswa SMA sangat rentan menjadi pelaku bullying maupun tawuran. Kasus bullying yakni group bullying, dimana sekolompok siswa mem-bully siswa lain pada umumnya dilakukan oleh siswa SMA (Djati, 2008). Demikian pula dengan perilaku tawuran di kota-kota besar yang telah marak terjadi sejak awal tahun 70an umumnya dilakukan oleh siswa SMA. Pada umumnya perilaku tawuran sudah merupakan tradisi dari sekolah-sekolah yang melakukannya.

Ada banyak faktor yang menyebabkan perilaku tersebut, diantaranya adalah adanya prasangka maupun tindak diskriminasi terhadap kelompok lain (Kompas, 2014). Selain itu, tugas perkembangan remaja seperti keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok sebaya dan keinginan untuk tampak kuat atau berharga (Hurlock, 1996). Hal ini menunjukkan siswa SMA sangat rentan menjadi pelaku maupun korban dari tindakan bullying maupun tawuran tersebut. Perilaku bullying maupun tawuran antar pelajar tentu saja menunjukkan semakin


(23)

lunturnya nilai-nilai multikultural seperti nilai toleransi di dalam diri generasi muda Indonesia.

Dari beberapa siswa SMA yang diwawancarai peneliti, diungkapkan bahwa secara umum mereka merasa nyaman bersekolah di SMA YPSIM ini dan mendukung pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan oleh sekolah. Salah satu diantaranya disebabkan oleh banyaknya jumlah kegiatan ekstrakurikuler yang dapat dipilih oleh setiap siswa dengan bebas seperti yang diungkapkan salah satu siswa di bawah ini,

“Kami senang kak sekolah di sini, ekskulnya banyak, gurunya enak ngajarnya, teman juga banyak di sini. ”

(komunikasi personal, 9 Desember 2013) Beberapa siswa yang diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa pada awalnya mereka belum mengetahui mengenai pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM, namun seiring mereka menjalani pendidikan di sana, mereka merasakan manfaat pendidikan multikultural tersebut. Keragaman yang ada di sekolah ini dipandang sebagai suatu hal yang positif. Bahkan, dengan adanya pembelajaran berbasis multikultural yang diterapkan di sekolah mereka, salah satu siswa menyebutkan bahwa hal tersebut dapat menjadi modal yang baik bagi mereka untuk dapat beradaptasi dengan baik di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.

“Iyalah kak, disini kami diajari untuk saling menghargai perbedaan yang ada. Karena udah diajari dari sekarang, nantinya kami udah bisa beradaptasi sama perbedaan yang ada. Jadi modal buat kami untuk bergaul di masyarakat. ”


(24)

Beberapa siswa yang lain merasakan kurangnya kebersamaan diantara sesama siswa di sekolah mereka, kurang merasakan adanya manfaat dari pembelajaran yang diterapkan sekolah, sehingga cenderung tidak mendukung pembelajaran bermuatan multikultural seperti yang diungkapkan oleh Y dan H dalam wawancara di bawah ini,

"Yah, kalo kami kak masih kurang berbaur kalo yang di kelas saya. Masih banyaklah yang bertemannya, masih sesama suku atau sesama agama kak. Jadi sama teman yang lain cuma sekedar say hallo aja."

(komunikasi personal, 27 November 2014) "Kami emang diajarin kak saling menghargai diantara kami, tapi kalo yang namanya berantem kak, masih ada aja kak, terutama yang cowok-cowok ini. Biasanya ya karena hal-hal sepele aja sih. Namanya remaja kak, masih labil, hahhaa"

(komunikasi personal, 27 November 2014) Selama lebih dari 25 tahun YPSIM telah berupaya untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cakap dalam bidang akademis, namun juga menjadi pribadi yang menghargai kemajemukan ditengah bangsa Indonesia yang sangat multikultural. Hal ini tidak terlepas dari dedikasi setiap pendidik di YPSIM, termasuk juga kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan multikultural yang ditawarkan oleh YPSIM ini. Pada kenyataannya, untuk menghasilkan generasi yang sungguh-sungguh menghargai kemajemukan bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini memerlukan waktu yang lama dan berkelanjutan. Seperti yang terdapat pada siswa SMA YPSIM. Ada beberapa siswa yang mendukung serta memandang positif pembelajaran bermuatan multikultural, namun ada pula siswa yang masih kurang mendukung dan mamndang negatif pembelajaran tersebut. Artinya, terdapat variasi sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM.


(25)

Sikap adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan untuk bereaksi secara positif atau negatif yang relatif permanen terhadap objek sikap. Sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif (cognitive), afektif (affective), dan konatif (conative) (Azwar, 2013). Komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu. Komponen kogtitif juga meliputi fakta, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap apa yang benar dan apa yang berlaku pada objek sikap.

Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu stimulus, khususnya evaluasi positif dan negatif. Komponen afektif meliputi masalah sosial subjektif yang dirasakan oleh seseorang kepada suatu objek sikap. Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap. Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya.

Konsep pendidikan multikultural memang masih tergolong baru di Indonesia, serta memiliki beberapa perbedaan dengan konsep pendidikan pada umumnya. Ada banyak hal baru yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran multikultural ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Karena itulah, peneliti merasa perlu untuk mengetahui bagaimana gambaran sikap siswa SMA terhadap pembelajaran multikultural, yakni bagi siswa SMA YPSIM kota Medan.


(26)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin mengetahui hal yang dirumuskan dalam pertanyaan : Bagaimana gambaran sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Memberikan tambahan literatur mengenai Psikologi Pendidikan, khususnya konsep pendidikan multikultural di Indonesia

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada masyarakat dan akademisi mengenai konsep pendidikan multikultural dan dapat menjadi salah satu referensi untuk menerapkan pendidikan multikultural di sekolah.

b. Menjadi masukan bagi SMA YPSIM mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembinaan sikap siswa sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan multikultural yang diterapkan.


(27)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis dan sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini akan menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini teori yang akan digunakan adalah teori sikap. Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan uraian mengenai metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti, yaitu identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, instrument yang akan digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

Berisikan mengenai gambaran umum dan karakteristik dari responden penelitian, serta penggunaan analisa statistik dalam menganalisis data. Pada bab ini pula dibahas mengenai interpretasi data yang kemudian diuraikan ke dalam pembahasan.


(28)

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Berisikan mengenai kesimpulan mengenai hasil penelitian dan saran untuk penyempurnaan untuk penelitian–penelitian selanjutnya.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SIKAP

1. Definisi Sikap

Sikap atau attitude dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin yaitu aptus. Kata ini memiliki arti fit atau siap untuk beraksi. Jika mengacu pada definisi ini, maka sikap merupakan sesuatu yang langsung dapat diobservasi. Namun saat ini, para ahli melihat sikap sebagai sebuah konstruk yang mengawali perilaku dan sebagai panduan individu dalam membuat pilihan dan keputusan untuk melakukan tindakan (Hogg & Vaughan, 2002).

Baron & Byrne mendefenisikan sikap sebagai bentuk evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap berbagai aspek yang ada di dunia sosial dan bagaimana evaluasi tersebut dapat memunculkan rasa suka atau tidak suka seseorang terhadap sebuah isu, ide, seseorang, kelompok sosial dan objek yang dievaluasi (Baron & Byrne, 2004).

Azwar (2013) dalam bukunya yang berjudul Sikap Manusia menggolongkan definisi sikap kedalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, sikap merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi dari perasaan. Sikap dapat berupa perasaan memihak (favorable) ataupun perasaan tidak memihak (unfavorable) terhadap suatu objek. Kedua, sikap adalah suatu kesiapan untuk memberikan reaksi kepada sebuah objek dengan cara-cara tertentu. Ketiga, sikap mengacu pada skema tiadik (triadic scheme), yaitu konstelasi dari komponen kognitif, afektif dan konatif yang berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan


(30)

berperilaku terhadap suatu objek. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan untuk bereaksi secara positif atau negatif yang relatif permanen dan merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan konatif.

2. Komponen Sikap

Menurut skema triadik, sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif (cognitive), afektif (affective), dan konatif (conative) (Azwar, 2013).

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu. Komponen kogtitif juga meliputi fakta, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap apa yang benar dan apa yang berlaku pada objek sikap. Ketika kepercayaan ini telah terbentuk, maka kepercayaan ini akan menjadi dasar pengetahuan yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dapat diharapkan dari sebuah objek tertentu. Kepercayaan inilah yang menyederhanakan dan mengatur apa yang kita lihat dan temui dalam hidup kita.

b. Komponen Afektif

Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu stimulus, khususnya evaluasi positif dan negatif. Komponen afektif meliputi masalah sosial subjektif yang dirasakan oleh seseorang kepada suatu objek sikap. Secara umum, komponen afektif ini sering disamakan dengan perasaan pribadi yang dimiliki oleh seseorang pada sesuatu. Namun, perasaan


(31)

pribadi yang dimiliki oleh seseorang itu terkadang jauh berbeda jika dihubungkan dengan sikap. Secara umum, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif banyak dipengaruhi oleh sebuah kepercayaan mengenai sesuatu yang benar dan berlaku terhadap objek yang dimaksud.

c. Komponen Konatif atau Perilaku

Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap. Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya. Kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap cenderung konsisten dan juga sesuai dengan kepercayaan dan perasaan yang akan membentuk sikap individu. Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kita mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkan atau dimunculkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek sikap tersebut.

3. Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Azwar (2013) menyimpulkan bahwa ada enam hal yang dapat mempengaruhi sikap seseorang, yaitu:

a. Pengalaman pribadi

Apa saja yang telah dan sedang dialami oleh seorang individu akan memiliki kontribusi dalam membentuk dan mempengaruhi penghayatannya terhadap stimulus sosial. Middlebrook (dalam Azwar, 2010) mengatakan bahwa ketika seorang individu tidak memiliki pengalaman sama sekali terhadap objek sikap maka orang tersebut akan cenderung memiliki sikap yang negatif terhadap objek


(32)

sikap tersebut. Agar pengalaman dapat dijadikan dasar dalam pembantukan sikap, pengalaman tersebut harus sangat kuat dan meninggalkan kesan yang cukup kuat.

Sikap lebih mudah terbentuk jika pengalaman pribadi yang terjadi ikut melibatkan faktor emosional dari individu itu sendiri. Namun, pembentukan sikap dari pengalaman pribadi ini tidaklah sederhana, dimana satu pengalaman tunggal belum tentu dijadikan dasar dalam pembentukan sikap. Namun beberapa pengalaman yang dialami oleh individu yang bersifat relevan dan bisa saja terjadi di masa lalu yang mungkin dapat membentuk sikap.

b. Pengaruh orang yang dianggap penting

Sikap juga dapat dipengaruhi oleh significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting dan memiliki arti khusus pada seorang individu. Secara umum, individu akan lebih cenderung untuk memilih sikap yang sesuai atau searah dengan significant others yang dianggapnya penting. Hal ini dapat dikarenakan adanya motivasi untuk berafiliasi dengan orang tersebut ataupun dilakukan dikarenakan individu tersebut berusaha menghindari konflik yang mungkin terjadi antara dia dan orang yang dianggapnya penting.

c. Pengaruh kebudayaan

Disadari ataupun tidak, sikap seorang individu dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan kebudayaan di tempat ia tinggal. Kebudayaan menanamkan bagaimana arah sikap seorang individu terhadap barbagai macam masalah.

d. Media massa

Media massa, seperti televisi, surat kabar, radio, dan sejenisnya, juga berpengaruh besar terhadap sikap. Dalam penyampaian informasi sebagai tujuan


(33)

utamanya, media masa juga membawa pesan yang bersifat sugesti yang mungkin mengarahkan opini seseorang.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama merupakan pendidikan dasar yang meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral dan ajaran agama sangat berperan penting dalam membentuk kepercayaan yang dirasakan oleh individu tersebut. Hal ini juga dapat membentuk dan menentukan arah sikap pada seorang individu terhadap objek sikap.

f. Pengaruh faktor emosional

Sikap tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan saja, namun sikap dapat juga dipengaruhi oleh faktor emosional dari diri individu itu sendiri. Terkadang sikap didasari oleh emosi yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Dimana emosi itu dapat juga membentuk arah sikap pada seseorang.

B. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL 1.Defenisi Pendidikan Multikultural

Menurut Banks (dalam YPSIM, 2012), pendidikan multikultural adalah sebuah ide, gerakan pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi di sekolah.


(34)

Sedangkan menurut Gollnick & Chinn (2013), pendidikan multikultural merupakan suatu konsep yang mengakui pentingya perbedaan di dalam kehidupan peserta didik serta mendorong kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan. Disadari bahwa, budaya dari setiap individu mempengaruhi keseluruhan hidup individu tersebut. Budaya mendefenisikan siapa manusia. Budaya mempengaruhi bagaimana individu makan, berpakaian, berbicara, berpikir, dan lain sebagainya. Di dalam konteks pendidikan, siswa berasal dari budaya yang berbeda-beda. Tidak semua siswa dapat diajari dengan cara yang sama. Guru perlu menyadari bahwa budaya dari setiap siswa akan mempengaruhi bagaimana mereka belajar, dan setiap siswa memiliki perbedaan kebutuhan, kemampuan dan pengalaman.

Gollnick & Chinn (2013) menyatakan beberapa dasar-dasar dari pendidikan multikultural ini adalah:

a. mengakui bahwa setiap budaya memiliki kekuatan dan nilai

b. sekolah haruslah menjadi model dari ekspresi hak-hak manusia serta dalam menghargai perbedaan antar budaya dan kelompok.

c. kesetaraan dan keadilan menjadi yang terpenting di dalam kurikulum d. sikap dan nilai yang diperlukan dalam berpartisipasi di masyarakat harus

dipromosikan di sekolah.

e. guru adalah kunci untuk pembelajaran siswa (pengetahuan, watak, skill) untuk menjadi masyarakat produktif.

f. menciptakan lingkungan yang multtikultur oleh guru, keluarga, dan komunitas.


(35)

2. Sejarah Pendidikan Multikultural

Gollnick & Chinn (2013), di dalam bukunya yang berjudul Multicultural Education in a Pluralistic Society memaparkan sejarah dari pendidikan multikultural. Pada awalnya, pendidikan multikultural bertujuan untuk menghargai para imigran yang ada di Eropa dan Amerika, dengan tujuan kesatuan nasional dan sebagai kontrol sosial. Pada tahun 60an, anak-anak dari keluarga miskin dan berkulit gelap kerap dicela dan tidak mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini akhirnya melahirkan Head Start, yaitu program pendidikan bagi mereka yang dianggap sebagai culturally deficit atau tidak memiliki budaya. Namun pada tahun 70an, mulailah mereka dianggap sebagai culturally different atau memiliki budaya yang berbeda dari budaya dominan. Mulai diajarkan, agar kaum mayoritas dapat bergabung dengan kaum minoritas. Namun, saat itu, kaum disable masih tetap dibedakan.

Kemudian lahirlah ethnic studies dan multiethnic studies, dan mulai diperbaiki text book, dengan menunjukkan kelompok minoritas dan peran kelompok mereka. Siswa ditunjukkan perspektif lain dalam hal musik, literatur, sejarah dari budaya dominan dan minoritas. Konsep yang lebih luas ini fokus pada kelompok yang lebih luas dimana individu berada, dengan penekanan pada interaksi antar ras,, etnis, kelas, dan gender. Tahun 90an, pendidikan multikultural sering dikritik terlalu menekankan perbedaan bukan persamaan. Hingga saat ini, rasisme masih tetap ada di Amerika, dan hak-hak mereka masih belum sepenuhnya dapat mereka raih.


(36)

3. Pembelajaran Bermuatan Multikultural

Gollnick & Chinn (2013) menyatakan bahwa, di dalam pendidikan multikultural, guru harus memperhatikan bahwa setiap siswa belajar dengan memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa. Guru harus mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi yang tepat bagi setiap siswa. Guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong siswa untuk belajar dan menghargai pembelajaran.

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur :

a. Aktifitas Produktifitas Bersama (Joint Productivity Activity)

Guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Untuk tujuan ini, guru dan siswa harus bekerjasama untuk sebuah proyek. Dalam sebuah proyek, guru membagi siswa ke dalam kelompok berdasarkan kriteria yang berbeda, seperti minat, ragam budaya, ragam kemampuan. Guru mengawasi dan mendorong interaksi diantara siswa serta dengan dirinya, selama bekerjasama untuk memecahkan masalah atau sebuah proyek.

b. Perkembangan Bahasa (Language Development)

Pengembangan bahasa dalam kurikulum bertujuan meningkatkan kompetensi guru dalam menyampaikan pengajaran. Melek huruf adalah kemampuan paling mendasar bagi siswa dalam mengakses pendidikan, dimana semua guru harus menolong siswa untuk menjadi melek huruf. Guru harus


(37)

menghargai bahasa ibu dan dialek semua siswa dan mendorong mereka untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka dalam proses pembelajaran. Guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.

c. Kontekstualisasi (Contextualisation)

Dalam hal ini, guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Guru perlu menghubungkan informasi yang baru dengan pengalaman siswa, bukan dengan pengalaman guru. Dengan terlibat dalam komunitas sekolah dan dengan orangtua siswa, guru dapat mengembangkan dasar pengetahuan mereka mengenai budaya dan pengalaman siswa mereka, yang mungkin sangat berbeda dari guru.

d. Percakapan Instruksional (Instructional Conversation)

Pengajaran melalui percakapan melibatkan siswa dalam dialog. Berbagi pengetahuan dan mengajukan pertanyaan mengenai ide-ide atau gagasan merupakan komponen penting dalam percakapan instruksional antara guru dan siswa. Jadi dalam metode ini, guru menggunakan dialog antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa. Mereka membimbing siswa untuk berbicara, membangun siswa dari pengalaman dan pengetahuan mereka terdahulu untuk menolong mereka belajar.


(38)

e. Aktifitas Menantang (Challenging Activities)

Mengajarkan pemikiran kompleks menantang siswa untuk mengembangkan kompleksitas kognitif. Beberapa guru mungkin tidak memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa yang memiliki status sosial ekonomi rendah, disabilitas, karena anggapan mereka mungkin sudah memiliki berbagai tantangan di dalam pengalaman hidup mereka atau dianggap tidak dapat menghadapi tantangan yang sama dengan teman mereka yang lain. Seringkali, siswa-siswa tersebut justru diberikan tugas-tugas yang berulang, latihan yang tidak menarik dan membosankan. Guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran.

Kunci untuk menolong siswa belajar adalah dengan menghubungkan kurikulum dengan budaya dan pengalaman nyata siswa. Siswa harus dapat melihat diri mereka sendiri dalam kurikulum yang diajarkan untuk memberikan makna dari setiap hal yang diajarkan dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, mungkin saja mereka bisa menolak pembelajaran yang ditawarkan karena dipandang sebagai budaya dominan yang kurang sesuai dengan budaya mereka. Peneliti di CREDE telah menggunakan dan menguji standar ini di berbagai sekolah dengan berbagai populasi.

C. YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA

Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25 Agustus 1987 di daerah Sunggal Medan oleh seorang pemuda Tionghoa bernama


(39)

Sofyan Tan. Sejak awal didirikan, Yayasan ini sudah memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan besar yang ada di Indonesia yakni kemiskinan, dan diskriminasi yang merugikan masyarakat marjinal di Indonesia. Sofyan Tan percaya bahwa kondisi tersebut dapat diatasi lewat pendidikan. Kemiskinan yang dikarenakan oleh kebodohan dapat berkurang jika generasi muda mendapatkan akses pendidikan pendidikan yang murah dan berkualitas. Inilah yang menjadi kerinduan sang pendiri, agar generasi muda Indonesia dapat bersekolah dengan mutu dan fasilitas yang baik tanpa membeda-bedakan (YPSIM, 2012).

Yayasan ini didirikan dengan prinsip memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, gender dan tingkat sosial dan ekonomi untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas yang ditawarkan adalah pendidikan yang mengedepankan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap memprioritaskan pembelajaran budi pekerti dan pembentukan karakter anak yang berpedoman pada nilai-nilai saling menghargai, saling menghormati dan gotong royong di dalam bingkai keberagaman (YPSIM, 2012).

Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas tersebut, selain pembangunan ruang kelas yang nyaman, di kawasan sekolah juga dibangun serangkaian fasilitas untuk memenuhi kebutuhan akademis dan non-akademis dari anak-anak. Fasilitas-fasilitas untuk mendukung pembelajaran siswa diantaranya perpustakaan modern, laboratorium sains (fisika, kimia dan biologi), laboratorium komputer, dan laboratorium bahasa (Inggris dan Jepang). Untuk menunjang pengembangan bakat dan minat dari siswa di bidang olahraga, seni dan


(40)

komunikasi, Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda juga menyediakan berbagai fasilitas olahraga, seni, radio dan juga simpul siswa. Selain itu, di lingkungan sekolah juga berdiri pendopo sebagai tempat diskusi dan pertemuan yang terbuka, juga mesjid, vihara dan gereja sebagai tempat ibadah dari para anak didik, guru, staf dan orang tua murid (YPSIM, 2012).

Untuk siswa yang kurang mampu secara ekonomi, yayasan ini mengadakan program anak asuh silang dengan sistem silang dan berantai, yaitu program yang bertujuan untuk memberikan beasiswa bagi anak yang kurang mampu, serta bertujuan untuk meminimalisir prasangka terhadap kelompok etnis atau agama tertentu dengan memasangkan anak dan orangtua asuh yang berbeda etnis maupun agama. Misalnya, anak beretnis Jawa mendapatkan orangtua asuh beretnis Batak, dan sebagainya. Sedangkan bagi mereka yang tidak lulus anak asuh, YPSIM memberikan alternatif pengurangan uang sekolah yang tercipta dengan adanya inisiatif subsidi silang yang dilakukan. Hal ini menunjukkan inisiatif YPSIM untuk turut melibatkan pihak orangtua dan masyarakat luas untuk turut serta menyukseskan pendidikan multikultural di Indonesia (YPSIM, 2012).

Proses pembelajaran yang diterapkan di kelas adalah pembelajaran bermuatan multikutural. Artinya, mata pelajaran yang diterapkan sama dengan mata pelajaran di sekolah umum, namun yang membedakan adalah muatan topik-topik multikultural yang diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Sehingga, nuansa multikultural di YPSIM tidak hanya dirasakan dalam kultur sekolah dan kultur kelas seperti adanya rumah ibadah dari tiap agama besar di Indonesia, pembagian tempat duduk yang lintas budaya, tetapi juga terdapat dalam setiap


(41)

pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas. Sebagai contoh, dalam pelajaran IPA SD, ketika mempelajari bahwa pohon menghasilkan oksigen, guru menambahkan ilustrasi, bahwa mungkin saja pohon tersebut terdapat di rumah keluarga orang Batak, namun oksigen tersebut tetap dapat dirasakan oleh tetangga mereka yang adalah orang Jawa. Dalam hal ini guru mengajarkan arti berbagi tanpa membeda-bedakan. Ini adalah contoh kecil yang dapat diterapkan oleh guru di YPSIM dalam mengajarkan siswa untuk menjadi pribadi yang menghargai keberagaman (YPSIM, 2012).

YPSIM telah merancang pedoman pembelajaran yang disusun berdasarkan sejumlah nilai, deskripsi, maupun indikator yang menjadi acuan kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran multikultural. Nilai-nilai tersebut yang akhirnya dipakai untuk kemudian merancang Rencana Kegiatan Harian (bagi tingkat TK), serta Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (bagi tingkat SD, SMP, SMA/SMK). Dengan adanya RKH, RPP, dan Silabus inilah guru dapat mengintegrasikan nilai dan indikator multikultural ke dalam setiap pembelajaran di kelas.

Adapun nilai dan indikator yang dipakai dalam pembelajaran multikultural di YPSIM adalah sebagai berikut: : nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme.


(42)

D. SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL (STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA KOTA MEDAN)

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, khususnya bagi siswa SMA di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda merupakan bentuk evaluasi siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yang didasarkan pada persepsi, perasaan dan kecenderungan untuk berperilaku. Dalam hal ini, pembelajaran bermuatan multikultural adalah pembelajaran yang diterapkan pada SMA YPSIM, yang memuat nilai-nilai atau indikator multikultural pada yayasan tersebut. Adapun nilai dan indikator yang dipakai dalam pembelajaran multikultural di YPSIM adalah sebagai berikut: : nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme.

Nilai religius yang hendak dicapai dalam hal ini adalah bagaimana sikap dan perilaku siswa dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Nilai jujur yang dimaksud adalah upaya menjadikan siswa sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Nilai toleransi adalah sikap dan tindakan siswa yang mampu menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.


(43)

Nilai disiplin mencakup perilaku tertib dan patuh pada berbagai peraturan dan yang berlaku di sekolah dan di luar sekolah. Nilai kerja keras mencakup upaya siswa yang sungguh-sungguh dalaam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas. Nilai kreatif dan mandiri mencakup berpikir dan melakukan sesuatu dengan menggunakan cara yang baru dan inovatif serta tidak mudah bergantung pada orang lain dalam pelaksanaan suatu tugas. Nilai demokratis ditunjukkan oleh cara berpikir, bersikap dan bertindak yang memberikan kesempatan yang sama bagi dirinya dan orang lain dalam berekspresi, memberikan pendapat, menjalankan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan.

Nilai rasa ingin tahu ditunjukkan oleh sikap dan tindakan yang selalu berusaha mengetahui lebih mendalam dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, didengar. Nilai nasionalisme dilihat dari cara berpikir, sikap dan perbuatan yang menunjukkan kepedulian dan penghargaan tinggi terhadap bahasa, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa. Nilai menghargai prestasi ditunjukkan oleh sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang lain, serta mampu mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. Nilai bersahabat/komunikatif ditunjukkan oleh rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. Nilai cinta damai dilihat dari sikap dan perbuatan siswa yang mampu menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Nilai gemar membaca ditunjukkan oleh kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang bermanfaat. Nilai peduli lingkungan ditunjukkan oleh perilaku yang


(44)

berupaya mencegah kerusakan alam dan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Nilai peduli sosial dan kesejahteraan ditunjukkan oleh kerelaan memberi bantuan pada setiap orang yang membutuhkan. Nilai tanggungjawab ditunjukkan dari sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, dan Tuhan. Nilai kesetaraan gender mencakup sikap dan perilaku yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban dalam lingkungan keluarga, sekolah dam masyarakat. Nilai pluralisme ditunjukkan oleh sikap dan perilaku yang mampu mengakui, memahami, dan menghargai berbagai perbedaan yang meliputi perbedaan suku, ras, agama, gender, status sosial, status ekonomi, kondisi fisik, kemampuan akademis, bahasa.

Nilai-nilai tersebut secara implisit telah tercakup dalam ke 5 standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Dalam aktifitas produktifitas bersama, guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Dalam perkembangan bahasa, guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.


(45)

Dalam kontekstualisasi guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Dalam aktifitas menantang, guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Dalam percakapan instruksional, guru menggunakan dialog antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa.

Azwar (2013) menyatakan bahwa seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek ketika kepercayaan, perasaan dan prilaku mereka menunjukkan bahwa mereka memihak atau favorability terhadap objek, sebaliknya seseorang mempunyai sikap negatif terhadap objek ketika kepercayaan, perasaan dan perilaku mereka menunjukkan mereka tidak berpihak atau unfavorability terhadap objek. Ada tiga komponen yang terkait dengan sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan psikomotorik. Komponen kognitif merupakan bagian sikap siswa SMA yang muncul berdasarkan kognisi dan persepsi atau kepercayaan mereka terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

Secara umum, komponen kognitif menjawab pertanyaan mengenai apa yang diyakini dan dipikirkan siswa SMA YPSIM terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, yang di dalam hal ini diukur dengan 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California,


(46)

Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang.

Dalam aktifitas produktif bersama, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru selalu menolong siswa ketika menghadapi tugas yang rumit. Dalam perkembangan bahasa, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid yakin bahwa guru dan teman-teman tidak akan mengejek dialeknya ketika berbicara. Dalam kontekstualisasi, salah satu contoh aspek kognitif dari standar ini adalah murid setuju bahwa guru sering mengaitkan topik pembelajaran dengan pengalaman nyata murid. Dalam percakapan instruksional, salah satu contoh aspek kognitif adalah guru meminta murid untuk aktif berbicara menyampaikan pendapat. Contoh aspek kognitif dari aktifitas menantang yaitu guru tugas tambahan yang lebih rumit agar merangsang kreatifitas murid.

Komponen afektif merupakan bagian dari sikap siswa SMA YPSIM yang muncul berdasarkan apa yang mereka rasakan terhadap pembelajaran bermuatan multikultural di sekolah. Secara umum komponen ini menimbulkan evaluasi emosional seseorang terhadap objek sikapnya, yakni ke 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Salah satu contoh aspek afektif dari aktifitas produktifitas bersama adalah murid merasa senang karena guru selalu menolong siswa ketika menghadapi tugas yang rumit.


(47)

Contoh aspek afektif dari standar perkembangan bahasa adalah murid merasa senang karena guru dan teman-teman menghargai bahasa ibunya. Contoh aspek afektif dari standar kontekstualisasi adalah murid merasa tertarik belajar suatu topik ketika guru mengaitkan topik tersebut dengan pengalaman mereka sehari-hari. Contoh aspek afektif dari standar percakapan instruksional adalah murid suka ketika guru meminta mereka menceritakan pengalaman terkait topik tertentu. Contoh aspek afektif dari standar aktifitas menantang misalnya, murid merasa tertarik untuk menyelesaikan tugas tambahan yang diberikan guru.

Komponen konatif atau perilaku merupakan kecenderungan berperilaku sebagai reaksi terhadap objek sikap. Komponen ini menjawab pertanyaan bagaimana siswa SMA YPSIM bertindak dan berperilaku terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di sekolah mereka, yang diukur dengan menggunakan 5 standar pembelajaran muktikultural yang telah diidentifikasi oleh The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, aktifitas menantang. Salah satu contoh aspek konatif dari aktifitas produktifitas bersama adalah murid akan senantiasa meminta bantuan guru ketika menghadapi tugas yang rumit. Salah satu contoh aspek konatif dari perkembangan bahasa adalah murid akan berbicara dengan leluasa di kelas tanpa takut diejek karena pengaruh dialek/bahasa ibunya. Salah satu contoh aspek konatif dari kontekstualisasi adalah murid antusias mengikuti pelajaran karena guru selalu mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman hidup murid sehari-hari. Contoh aspek konatif dari


(48)

percakapan instruksional adalah murid tidak sungkan untuk menyampaikan pendapat di dalam kelas. Contoh aspek konatif dari aktifitas menantang adalah murid akan mengerjakan tugas tambahan dengan sebaik-baiknya.

Sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural tentu beragam, yaitu sikap positif, sikap negatif, dan sikap netral. Sikap positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural dapat terbentuk, mungkin disebabkan oleh faktor keluarga, misalnya karena orangtua terbiasa menanamkan pentingnya toleransi terhadap orang lain sejak dini. Ketika orang tua atau orang-orang terdekat memiliki sikap yang positif maka orang tersebut juga memiliki kecenderungan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Sikap positif dapat juga disebabkan karena faktor guru-guru di sekolah yang berhasil menanamkan konteks multikultural ini dengan cara yang menyenangkan dan tidak memaksa. Dapat disimpulkan bahwa sikap positif yang diperlihatkan akan menggambarkan kesesuaian persepsi, perasaan dan perilaku terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

Sikap negatif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural menggambarkan ketidaksesuaian antara persepsi, perasaan dan perilaku siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Siswa SMA YPSIM mungkin menilai pembelajaran bermuatan multikultural secara negatif sehingga berdampak pada kecenderungan mereka berperilaku. Siswa SMA YPSIM yang bersikap netral menunjukkan ketidakkonsistenan dalam bersikap terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Mereka cenderung menilai pembelajaran bermuatan multikultural secara positif dan negatif berdasarkan kelebihan dan


(49)

kekurangannya. Sikap netral dapat berubah menjadi sikap yang positif maupun negatif tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi sikap tersebut.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, dengan metode deskriptif. Menurut Azwar (2010), penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi dan mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan semata-mata deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi. Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana sikap siswa SMA Yayasan Sultan Iskandar Muda terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sikap terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

B. DEFINISI OPERASIONAL

Sikap terhadap pembelajaran bermuatan multikultural merupakan bentuk evaluasi terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang didasarkan pada persepsi, perasaan dan kecenderungan untuk berperilaku. Gambaran sikap siswa SMA Yayasan Sultan Iskandar Muda terhadap pembelajaran bermuatan multikultural diukur dengan menggunakan skala sikap yang disusun berdasarkan ke 5 standar CREDE yakni aktifitas produktifitas bersama, perkembangan


(51)

bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Ke 5 standar tersebut telah memuat 18 nilai yang dipakai oleh YPSIM dalam menerapkan pembelajaran bermuatan multikultural. Sikap siswa yang diukur didasarkan pada 3 komponen sikap yaitu :

a. Komponen kognitif yaitu persepsi mereka terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

b. Komponen afektif berkaitan dengan apa yang dirasakan terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

c. Komponen konatif menunjukkan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

Skor tinggi yang diperoleh oleh individu pada skala sikap menunjukkan subjek memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Sedangkan skor rendah menunjukkan subjek memiliki sikap negatif terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

C. POPULASI, SAMPEL DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel yang akan digunakan dalam sebuah penelitian adalah hal penting yang harus diperhatikan. Azwar (2010) menyatakan bahwa populasi adalah kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel haruslah memiliki ciri-ciri populasi. Sejauh mana suatu sampel merupakan suatu representasi bagi populasi bergantung sejauh mana karakteristik sampel sama dengan karakteristik


(52)

populasi. Maka dari itu, yang perlu diperhatikan adalah sampel yang diambil dalam penelitian harus mencerminkan populasinya, sehingga sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasinya.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Yayasan Sultan Iskandar Muda. Jumlah populasi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak ±582 orang. Dikarenakan keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti melakukan penelitian pada sebagian dari populasi yang disebut sampel.

2. Metode Pengambilan Sampel

Menurut Purwanto (2007), sebelum pengumpulan data dilakukan maka harus ditentukan apakah data dikumpulkan dari populasi secara keseluruhan atau hanya dari sebagian sampelnya. Apabila data dikumpulkan dari sampel, maka perlu dilakukan penarikan sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik random sampling (pengambilan sampel secara acak). Teknik random sampling dilakukan dengan jalan memberi kemungkinan yang sama bagi individu yang menjadi anggota sampel penelitian.

Teknik random sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional stratified random sampling (teknik sampling acak berstrata proporsional) yaitu pengambilan sampel pada populasi berstrata secara acak. Sekolah adalah contoh populasi berstrata karena memiliki strata kelas-kelas. Penelitian ini dilakukan di SMA YPSIM yang terdiri dari kelas 10, kelas 11, dan kelas 12. Peneliti mengambil sampel dari tiap-tiap kelas secara acak sehingga


(53)

setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Adapun karakteristik populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah terdaftar sebagai siswa SMA YPSIM.

3. Jumlah Sampel yang Digunakan

Tidak ada batasan mengenai jumlah sampel yang harus digunakan dalam sebuah penelitian. Azwar (2009) menyatakan secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Sudjana (1992) mengemukakan enam alasan melakukan sampling adalah karena pertimbangan ukuran populasi, faktor biaya, faktor waktu, percobaan yang sifatnya merusak/mengganggu, faktor kecermatan penelitian, faktor ekonomis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka jumlah sampel yang akan digunakan adalah sebanyak 100 siswa SMA YPSIM.

D. ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN

Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang akan diteliti (Azwar, 2010). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi.


(54)

1. Skala Psikologi

Skala psikologi adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2009).

Metode skala psikologi memiliki beberapa karakteristik yaitu:

a. Stimulasinya tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkapkan indikator perilaku dari atribut yang hendak diukur.

b. Skala psikologi selalu berisi banyak aitem dan kesimpulan akhir didapat apabila semua aitem telah direspon.

c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”. Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap. Skala sikap digunakan untuk memperoleh gambaran sikap siswa SMA YPSIM terhadap pembelajaran bermuatan multikultural. Menurut Azwar (2013), skala sikap terdiri dari kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Dari respon subjek pada pernyataan kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Skala sikap yang digunakan menggunakan skala model likert, yaitu skala yang didalamnya terdiri dari sejumlah aitem yang merefleksikan suatu gagasan atau daerah yang sedang diperhatikan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala yang berisikan aitem-aitem untuk mengungkap bagaimana gambaran sikap siswa SMA YPSIM terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang dikaitkan dengan ketiga komponen sikap yaitu kognitif, afektif, dan konatif.


(55)

Pengambilan data dalam uji coba penelitian yang dilakukan menggunakan skala sikap dengan blue print sebagai berikut:

Tabel 1. Blue Print Skala Sikap sebelum Try Out

N o Komponen Objek Sikap Kompone n Sikap Aitem Jumla h Total Aitem Favorabl e Unfavorabl e 1 Aktifitas Produktifitas Bersama

Kognitif 1,6 31, 21 4

11 Afektif 11, 36 41 3

Konatif 46, 50 26, 16 4 2 Perkembangan

Bahasa

Kognitif 2, 12 7, 22 4

10 Afektif 27, 32 42, 37 4

Konatif 51 17 2

3 Kontekstualisas i

Kognitif 18, 28 8, 47 4

11 Afektif 23, 52 38 3

Konatif 33, 43 3, 13 4 4 Percakapan

Instruksional

Kognitif 24, 44 4, 29 4

11 Afektif 39, 34 19 3

Konatif 9, 53 14, 48 4 5 Aktifitas

Menantang

Kognitif 5, 20 25, 40 4

11 Afektif 54 10, 35 3

Konatif 45, 49 30, 15 4

Total Aitem F: 28 UF: 26 54

Aitem berbentuk pernyataan dengan empat pilihan respon, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Setiap pilihan tersebut diberikan skor masing-masing. Untuk aitem favorable, SS diberi skor 4(empat), S diberi skor 3 (tiga), TS diberi skor 2 (dua), dan STS diberi skor 1 (satu). Sedangkan untuk aitem unfavorable, SS diberi skor 1 (satu), S diberi skor 2 (dua), TS diberi skor 3 (tiga), dan STS diberi skor 4 (empat). Selain aitem tersebut, dalam alat ukur juga tertera identitas diri dari subjek penelitian. Identitas diri tersebut meliputi jenis kelamin, usia, kelas, dan suku dan agama.


(56)

2. Validitas Alat Ukur

Azwar (2009) mendefinisikan validitas alat ukur adalah sejauhmana suatu alat tes mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur. Dalam penelitian ini, uji validitas yang digunakan adalah uji validitas berdasarkan validitas isi (content validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui pendapat profesional (profesional judgement) dalam proses telaah pernyataan. Pendapat profesional diperoleh dengan cara berkonsultasi dengan dosen pembimbing.

3. Reliabilitas Alat Ukur

Menurut Azwar (2009), reliabilitas tes adalah proporsi variabilitas skor tes yang disebabkan oleh perbedaan yang sebenarnya diantara individu, sedangkan ketidakreliabelan adalah proporsi variabilitas skor tes yang disebabkan oleh error dalam pengukuran. Reliabilitas tes mangacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran.

Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode konsistensi internal. Konsistensi internal merupakan metode penyajian tunggal yang menguji konsistensi antar aitem dalam suatu tes. Prosedur pengujian yang digunakan adalah koefisien reliabilitas alpha (koefisien alpha cronbach). Data untuk menghitung koefisien reliabilitas alpha diperoleh melalui penyajian suatu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada kelompok responden (single-trial administration). Reliabilitas dinyatakan dengan koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati angka 1 menandakan semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya,


(57)

koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti memiliki reliabilitas yang rendah (Azwar, 2009).

Kriteria pemilihan aitem dilakukan berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal

0,30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Teknik koefisien alpha untuk menguji reliabilitas alat ukur dihitung dengan bantuan program SPSS versi 17.

E. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk mengetahui sejauh mana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang ingin diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2009). Uji coba dilakukan pada 105 siswa SMA YPSIM Medan. Terdapat 54 aitem dalam skala sikap. Kriteria pemilihan aitem dilakukan berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan rix ≥ 0,30. Namun peneliti menurunkan koefisien korelasi menjadi ≥ 0,25

karena banyaknya aitem yang gugur. Hasil try out menunjukkan bahwa ada 33 aitem yang memuaskan dengan koefisien korelasi antara 0,254 – 0,590 dan realibilitas skala 0,872. Blue Print aitem yang lulus uji coba tertera dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Blue Print Skala Sikap setelah Try Out

N o Komponen Objek Sikap Komponen Sikap Aitem

Jumlah Total Aitem Favorable Unfavorable 1 Aktifitas Produktifitas Bersama

Kognitif 21 1

7 Afektif 11, 36 41 3


(58)

2 Perkembangan Bahasa

Kognitif 12 1

3

Afektif 32 1

Konatif 51 1

3 Kontekstualisa si

Kognitif 18, 28 2

7

Afektif 52 38 2

Konatif 33, 43 3 3

4 Percakapan Instruksional

Kognitif 24, 44 4 3

9 Afektif 39, 34 48 3

Konatif 9, 53 19 3

5 Aktifitas Menantang

Kognitif 20 40 2

7

Afektif 54 35 2

Konatif 45, 49 15 3

Total Aitem F = 21 UF=12 33

Berdasarkan pertimbangan dari peneliti, maka diputuskan untuk tidak menggunakan seluruh aitem yang diterima dan menetapkan untuk menggunakan 27 aitem dalam skala penelitian. Adapun alasannya adalah karena ke 27 aitem tersebut telah mewakili ke 5 standar pembelajaran tersebut. Kemudian peneliti memilih aitem-aitem yang daya bedanya paling tinggi untuk dapat digunakan dalam pengambilan data yang sebenarnya. Selanjutnya peneliti melakukan penomoran aitem yang baru untuk skala penelitian yang sebenarnya seperti yang tertera dalam tabel berikut ini:

Tabel 3. Blue Print Skala Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural Yang Dipakai oleh Peneliti

No Komponen Objek Sikap

Komponen Sikap

Aitem Jumlah Total

Aitem Favorable Unfavorable 1 Aktifitas Produktifitas Bersama

Kognitif 14 1

6 Afektif 4, 23 7 3

Konatif 18 19 2


(59)

Bahasa Afektif 25 1

Konatif 13 1

3

Kontekstualisasi

Kognitif 1,26 2

6

Afektif 8 9 2

Konatif 12 5 2

4

Percakapan Instruksional

Kognitif 6,24 2

6 Afektif 15,20 2

Konatif 22 21 2

5

Aktifitas Menantang

Kognitif 27 16 2

6

Afektif 10 11 2

Konatif 17 2 2

Total Aitem F= 18 UF= 9 27

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan dalam penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Tahap persiapan penelitian

Tahap persiapan ini terdiri dari: a. Meminta izin melakukan penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada pihak SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di sekolah tersebut.

b. Pembuatan alat ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa skala sikap, yaitu skala sikap siswa SMA YPSIM terhadap pembelajaran bermuatan multikultural yang disusun peneliti berdasarkan 3 komponen sikap (kognitif, afektif, konatif).


(60)

Pada tahap ini, peneliti membuat skala sikap berisi 54 aitem dan melakukan validitas isi dengan menggunakan profesional judgement.

c. Uji coba alat ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya adalah melakukan uji coba alat ukur. Peneliti melakukan uji coba penelitian pada tanggal 3 Maret 2014 kepada 105 siswa SMA YPSIM Medan. Setelah melakukan uji coba maka peneliti melakukan uji reliabilitasnya dengan menggunakan alpha cronbach. Lalu peneliti melakukan revisi alat ukur dengan mengambil aitem yang lulus uji untuk dijadikan skala sikap. Skala yang telah direvisi inilah digunakan untuk mengambil data dalam penelitian.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Setelah alat ukur direvisi, maka penelitian dilaksanakan pada subjek yang memenuhi kriteria dalam penelitian. Penelitian ini dilakukan di YPSIM dengan melibatkan siswa SMA YPSIM pada tanggal 17 Maret 2014. Pengambilan data dilakukan dengan menyebar skala sikap. Peneliti meminta kesediaan subjek untuk mengisi skala, kemudian peneliti memberikan instruksi dan memberikan penjelasan mengenai cara pengisian skala.

3. Tahap pengolahan data penelitian

Setelah data diperoleh dari skala sikap, maka peneliti melakukan pengolahan data dengan menggunakan analisis deskriptif dengan bantuan SPSS versi 17.


(61)

G. METODE ANALISIS DATA

Data yang diperoleh melalui skala sikap dianalisis dengan metode statistik. Azwar (2010) menyatakan bahwa penelitian deskriptif menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Data yang diolah adalah skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Azwar (2010) menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif didasari oleh angka yang diolah secara tidak terlalu mendalam. Data yang diperoleh akan diolah dengan analisis statistik dengan menggunakan program SPSS version 17 for Windows.

Sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yaitu uji normalitas. Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip-prinsip distribusi normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa data yang berupa skor – skor yang diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal. Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan teknik One-Sample Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program komputer IBM SPSS Statistics 17. Data terdistribusi secara normal apabila p ≥ 0,05 (Hadi, 2000).


(62)

B

AB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan gambaran umum subjek penelitian, hasil yang berkaitan dengan analisis data serta pembahasan dari hasil yang diperoleh.

A. Analisis Data

1. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 100 siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Dari 100 siswa yang menjadi sampel penelitian diperoleh gambaran subjek berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas, suku, dan agama yang dianut.

b. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Pengelompokan subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin sebagaimana disajikan dalam tabel 4 menunjukkan bahwa siswa laki-laki di dalam penelitian ini berjumlah 34 orang (34%), dan siswa perempuan berjumlah 66 orang (64%).

Tabel 4. Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

b. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Usia

Pengelompokan subjek penelitian berdasarkan usia sebagaimana disajikan dalam tabel 5 menunjukkan bahwa siswa yang berusia 14 tahun sebanyak 2 orang (2%). Siswa berusia 15 tahun sebanyak 25 orang (25%). Siswa berusia 16 tahun

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Perempuan 66 66

Laki-laki 34 34


(1)

101  

No:

SKALA PSIKOLOGI

IDENTITAS DIRI Nama/Inisial : Usia :

Jenis Kelamin* : Pr/Lk Kelas:

Suku: Agama:

*) Coret yang tidak perlu

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014

RAHASIA


(2)

SKALA PSIKOLOGI

Dengan hormat,

Dalam rangka menyelesaikan studi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, saya bermaksud mengadakan penelitian dalam bidang Psikologi Pendidikan. Saya mengharapkan kesediaan Anda untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini dengan mengisi skala berikut ini.

Setiap orang dapat memberi jawaban yang berbeda sesuai dengan dirinya masing-masing. Tidak ada jawaban yang salah. Pilihlah jawaban secara jujur dan paling sesuai dengan diri Anda. Setiap jawaban akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian saja.

Kesediaan Saudara/Saudari yang telah meluangkan waktu untuk mengisi skala ini merupakan suatu kontribusi yang sangat penting artinya bagi kualitas penelitian ini. Untuk itu saya ucapkan terima kasih.

Hormat Saya


(3)

103

 

PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ini ada 27 pernyataan. Berilah tanda silang (X) pada salah satu

pilihan jawaban yang sesuai dengan keadaan, perasaan, dan pikiran saudara, dari

empat pilihan yang disediakan yaitu:

SS : Bila Anda merasa Sangat Sesuai dengan pernyataan tersebut.

S : Bila Anda merasa Sesuai dengan pernyataan tersebut.

TS : Bila Anda merasa Tidak Sesuai dengan pernyataan tersebut.

STS : Bila Anda merasa Sangat Tidak Sesuai dengan pernyataan tersebut.

CONTOH PENGISIAN SKALA

No Pernyataan SS S TS STS

1. Guru mengaitkan topik pelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari

x

Jika Anda ingin mengganti jawaban anda, berikan tanda (=) pada jawaban yang salah dan berikan tanda silang pada kolom jawaban yang Anda anggap paling sesuai.

CONTOH KOREKSI JAWABAN

No Pernyataan SS S TS STS

2. Guru mengaitkan topik pelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari

x X


(4)

NO PERNYATAAN SS S TS STS

1. Guru mengaitkan topik pelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari 2. Saya tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah

3. Guru menyarankan siswa untuk rajin membaca agar memperkaya kosakata

4. Saya senang dengan keragaman suku di dalam pembagian teman

kelompok diskusi

5. Saya kurang antusias dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas

6. Guru sering mengajukan pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu kami

7. Saya lebih suka berdiskusi dengan teman satu suku di dalam

kelompok diskusi

8. Saya senang berbagi tentang budaya daerah saya ketika diminta

oleh guru

9. Saya merasa pelajaran di kelas tidak berhubungan dengan hidup

saya sehari-hari

10. Saya senang berkompetisi dengan teman sekelas untuk mengerjakan

tugas yang rumit.

11. Saya merasa kegiatan ekstrakurikuler hanya membuang-buang

waktu saja

12. Saya mengikuti proses pembelajaran di kelas dengan antusias 13. Saya selalu mendengarkan teman yang sedang menyampaikan

pendapat di kelas

14. Guru lebih cenderung menolong siswa yang berasal dari suku yang

sama dengan guru tersebut


(5)

105

 

NO PERNYATAAN SS S TS STS

15. Saya senang ketika guru menanyakan pendapat saya mengenai suatu topik

16. Saya tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah karena mengikuti

kegiatan ekstrakurikuler

17. Saya selalu berusaha untuk mengerjakan tugas dengan lebih baik

daripada teman saya

18. Saya terlibat aktif dalam diskusi kelompok sekalipun berada dalam

satu kelompok dengan teman berbeda agama

19. Saya hanya berdiskusi dengan teman satu agama ketika berada

dalam kelompok diskusi

20. Saya bersemangat untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaan guru 21. Saya tidak pernah mengajukan pendapat di dalam kelas

22. Saya selalu berusaha menjawab pertanyaan guru sebaik-baiknya 23. Saya tetap nyaman berdiskusi dengan teman kelompok diskusi

walaupun berbeda agama

24. Guru mendorong siswa untuk menyampaikan pendapat di dalam

kelas

25. Saya bersemangat untuk menyampaikan pendapat karena teman

sekelas menghargai logat saya

26. Guru meminta siswa untuk bercerita tentang ciri khas budaya dari

setiap siswa

27. Guru mendorong siswa untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler


(6)

MOHON PERIKSA KEMBALI JAWABAN ANDA.

PASTIKAN TIDAK ADA JAWABAN YANG KOSONG


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Sikap Siswa dalam Pembelajaran Bermuatan Multikultural di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM)

0 47 150

Multikulturalisme (Studi Etnografi Mengenai Strategi Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

8 120 132

MEMBANGUN MASYARAKAT MULTIKULTURAL MELALUI PENDIDIKAN FORMAL (STUDI KASUS YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN).

1 9 23

Multikulturalisme (Studi Etnografi Mengenai Strategi Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

0 0 13

Multikulturalisme (Studi Etnografi Mengenai Strategi Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

0 0 1

Multikulturalisme (Studi Etnografi Mengenai Strategi Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

0 1 31

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Sikap Siswa dalam Pembelajaran Bermuatan Multikultural di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM)

0 0 12

BAB II LANDASAN TEORI A. SIKAP 1. Definisi Sikap - Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Gambaran Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Bermuatan Multikultural (Studi pada Siswa SMA Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

0 0 14

GAMBARAN SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN BERMUATAN MULTIKULTURAL (STUDI PADA SISWA SMA YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN)

0 0 12