21
2. Sejarah Pendidikan Multikultural
Gollnick Chinn 2013, di dalam bukunya yang berjudul Multicultural Education in a Pluralistic Society
memaparkan sejarah dari pendidikan multikultural. Pada awalnya, pendidikan multikultural bertujuan untuk
menghargai para imigran yang ada di Eropa dan Amerika, dengan tujuan kesatuan nasional dan sebagai kontrol sosial. Pada tahun 60an, anak-anak dari keluarga
miskin dan berkulit gelap kerap dicela dan tidak mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini akhirnya melahirkan Head Start, yaitu program
pendidikan bagi mereka yang dianggap sebagai culturally deficit atau tidak memiliki budaya. Namun pada tahun 70an, mulailah mereka dianggap sebagai
culturally different atau memiliki budaya yang berbeda dari budaya dominan.
Mulai diajarkan, agar kaum mayoritas dapat bergabung dengan kaum minoritas. Namun, saat itu, kaum disable masih tetap dibedakan.
Kemudian lahirlah
ethnic studies dan multiethnic studies, dan mulai
diperbaiki text book, dengan menunjukkan kelompok minoritas dan peran kelompok mereka. Siswa ditunjukkan perspektif lain dalam hal musik, literatur,
sejarah dari budaya dominan dan minoritas. Konsep yang lebih luas ini fokus pada kelompok yang lebih luas dimana individu berada, dengan penekanan pada
interaksi antar ras,, etnis, kelas, dan gender. Tahun 90an, pendidikan multikultural sering dikritik terlalu menekankan perbedaan bukan persamaan. Hingga saat ini,
rasisme masih tetap ada di Amerika, dan hak-hak mereka masih belum sepenuhnya dapat mereka raih.
Universitas Sumatera Utara
22
3. Pembelajaran Bermuatan Multikultural
Gollnick Chinn 2013 menyatakan bahwa, di dalam pendidikan multikultural, guru harus memperhatikan bahwa setiap siswa belajar dengan
memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa. Guru harus mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi
yang tepat bagi setiap siswa. Guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong siswa untuk belajar dan menghargai pembelajaran.
The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence CREDE
pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur :
a. Aktifitas Produktifitas Bersama Joint Productivity Activity
Guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Untuk
tujuan ini, guru dan siswa harus bekerjasama untuk sebuah proyek. Dalam sebuah proyek, guru membagi siswa ke dalam kelompok berdasarkan kriteria yang
berbeda, seperti minat, ragam budaya, ragam kemampuan. Guru mengawasi dan mendorong interaksi diantara siswa serta dengan dirinya, selama bekerjasama
untuk memecahkan masalah atau sebuah proyek. b.
Perkembangan Bahasa Language Development Pengembangan bahasa dalam kurikulum bertujuan meningkatkan
kompetensi guru dalam menyampaikan pengajaran. Melek huruf adalah kemampuan paling mendasar bagi siswa dalam mengakses pendidikan, dimana
semua guru harus menolong siswa untuk menjadi melek huruf. Guru harus
Universitas Sumatera Utara
23 menghargai bahasa ibu dan dialek semua siswa dan mendorong mereka untuk
tetap menggunakan bahasa ibu mereka dalam proses pembelajaran. Guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang
diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.
c. Kontekstualisasi Contextualisation
Dalam hal ini, guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa.
Guru perlu menghubungkan informasi yang baru dengan pengalaman siswa, bukan dengan pengalaman guru. Dengan terlibat dalam komunitas sekolah dan
dengan orangtua siswa, guru dapat mengembangkan dasar pengetahuan mereka mengenai budaya dan pengalaman siswa mereka, yang mungkin sangat berbeda
dari guru. d.
Percakapan Instruksional Instructional Conversation Pengajaran melalui percakapan melibatkan siswa dalam dialog. Berbagi
pengetahuan dan mengajukan pertanyaan mengenai ide-ide atau gagasan merupakan komponen penting dalam percakapan instruksional antara guru dan
siswa. Jadi dalam metode ini, guru menggunakan dialog antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep
tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa. Mereka membimbing siswa untuk berbicara, membangun siswa dari pengalaman dan pengetahuan
mereka terdahulu untuk menolong mereka belajar.
Universitas Sumatera Utara
24 e.
Aktifitas Menantang Challenging Activities Mengajarkan pemikiran kompleks menantang siswa untuk
mengembangkan kompleksitas kognitif. Beberapa guru mungkin tidak memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa yang memiliki status sosial
ekonomi rendah, disabilitas, karena anggapan mereka mungkin sudah memiliki berbagai tantangan di dalam pengalaman hidup mereka atau dianggap tidak dapat
menghadapi tantangan yang sama dengan teman mereka yang lain. Seringkali, siswa-siswa tersebut justru diberikan tugas-tugas yang berulang, latihan yang
tidak menarik dan membosankan. Guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu
topik pembelajaran. Kunci untuk menolong siswa belajar adalah dengan menghubungkan
kurikulum dengan budaya dan pengalaman nyata siswa. Siswa harus dapat melihat diri mereka sendiri dalam kurikulum yang diajarkan untuk memberikan makna
dari setiap hal yang diajarkan dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, mungkin saja mereka bisa menolak pembelajaran yang ditawarkan karena dipandang sebagai
budaya dominan yang kurang sesuai dengan budaya mereka. Peneliti di CREDE telah menggunakan dan menguji standar ini di berbagai sekolah dengan berbagai
populasi.
C. YAYASAN PERGURUAN SULTAN ISKANDAR MUDA