Dari hasil analisis dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value
sebesar 0,376. Berdasarkan nilai p value, maka pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara DM tipe 2 dengan BPH. Kemudian,
dengan ratio prevalence RP yang didapatkan sebesar 1,115 dan confidence interval
CI 95 sebesar 0,886-1,403 menunjukkan bahwa DM tipe 2 belum tentu merupakan faktor risiko dari BPH.
5.2 Pembahasan 5.2.1 Gambaran Karakteristik Usia Penderita BPH
Pada penelitian ini dijumpai kelompok usia yang paling sering menderita BPH adalah usia 59-66 tahun 33,8. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan prevalensi BPH mencapai 50-60 pada pria berusia 60 tahun dan meningkat hingga 90 pada pria berusia 70 tahun.
1,5,6
Namun, dijumpai penurunan jumlah kejadian BPH pada kelompok usia 75-90 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Deters
7
yang menyatakan kejadian BPH meningkat hingga 90 pada pria berusia di atas 80 tahun. Kemudian, kasus
BPH kemungkinan lebih banyak ditangani oleh Rumah Sakit tipe B, hal ini bisa menjadi penyebab terjadinya penurunan kejadian pada penelitian ini, sedangkan
RSUP H. Adam Malik merupakan Rumah Sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan.
5.2.2 Gambaran Karakteristik Pekerjaan Penderita BPH
Pada penelitian ini dijumpai penderita yang paling banyak menderita BPH adalah Pensiunan sebanyak 21 orang 28,4, diikuti Wiraswasta sebanyak 20
orang 27,0, kemudian Petani sebanyak 16 orang 21,6, PNS dan Pegawai Swasta sebanyak 14 orang 18,9, Dokter sebanyak 2 orang 2,7, dan yang
terakhir adalah Guru dengan jumlah 1 orang 1,4. Belum ditemukan teori maupun literatur yang menunjukkan bahwa pekerjaan tertentu merupakan faktor
risiko terjadinya BPH.
Universitas Sumatera Utara
5.2.3 Hubungan DM Tipe 2 dengan BPH
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara DM tipe 2 dengan BPH p=0,376. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa DM tipe 2 dapat meningkatkan kejadian BPH.
13,25,39
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Amalia
43
, DM tipe 2 tidak terbukti secara analisis multivariat sebagai faktor risiko terjadinya BPH. Menurutnya hal
ini disebabkan oleh jumlah proporsi yang hampir sama antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kemudian, penelitian Temml et al
44
juga menunjukkan bahwa sindroma metabolik tidak berhubungan dengan LUTS. Hasil yang
didapatkan dari penelitian mereka menunjukkan proporsi LUTS yang identik pada pria dengan sindroma metabolik dan pada pria tanpa sindroma metabolik.
Sementara itu, menurut Burke et al
45
DM tipe 2 tidak berhubungan dengan peningkatan volume prostat, namun memiliki hubungan dengan peningkatan
LUTS. Hal ini sesuai dengan teori sebelumnya yang menunjukkan adanya pengaruh hiperinsulinemia terhadap aktivitas saraf simpatis. Hiperinsulinemia
akan menyebabkan peningkatan kontraksi otot polos prostat, kandung kemih dan uretra. Kemudian, adanya pengaruh hiperglikemia yang menurunkan aktivitas
saraf parasimpatis melalui apoptosis neuron. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara aktivitas keduanya yang berdampak pada
peningkatan BOO dan berkontribusi terhadap LUTS.
13,46
Kemudian, pada penelitian yang dilakukan oleh Van Den Eeden et al
47
dijumpai hubungan antara DM tipe 2 dengan BPH, namun penelitian mereka tidak menunjukkan penjelasan mengenai mekanisme mana yang terjadi, apakah DM
tipe 2 berdampak langsung terhadap peningkatan volume prostat atau apakah dampak dari DM tipe 2 itu sendiri melalui mekanisme neuropati dan vaskular
yang akan menyebabkan LUTS. Menurutnya, kelemahan dari hubungan dan progresi pada data mereka kemungkinan disebabkan oleh masalah pengukuran
atau follow-up yang terlampau pendek. Hasil dari penelitian mereka juga menunjukkan bahwa DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan kejadian LUTS
baru.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gao et al
48
menunjukkan bahwa adanya sindroma metabolik tidak mempengaruhi keparahan LUTS. Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa pria dengan riwayat DM tipe 2 tidak memiliki gejala obstruktif yang lebih parah. Kemudian, KGD puasa merupakan
komponen dari sindroma metabolik, namun pada penelitian mereka tidak dijumpai hubungan antara KGD puasa dengan LUTS. Hipotesa sebelumnya menunjukkan
diabetes yang berhubungan dengan resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperglikemia yang diinduksi oleh obesitas dapat menyebabkan perubahan
hormonal lingkungan prostat. Selain itu, sindroma metabolik juga memiliki hubungan dengan peningkatan kadar C-reactive protein yang diketahui sebagai
marker inflamasi. Sebuah studi penelitian menunjukkan adanya peningkatan kejadian inflamasi yang disebabkan oleh insulin dan berdampak terhadap BPH.
45
Kemudian, menurut Jerde dan Bushman, perubahan metabolisme hormon seks steroid yang disebabkan oleh diabetes dapat memicu kondisi pro-inflamasi
diseluruh tubuh, hal ini menyebabkan terjadinya pelepasan kemokin yang dapat berkontribusi dalam pembesaran prostat.
25
Universitas Sumatera Utara
31
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan