Pembagian zakat terhadap gharim menurut fikih klasik dan fikih kontemporer (studi kasus di wilayah Johor Darul Takzim, Malaysia)

(1)

PEMBAGIAN ZAKAT TERHADAP GHARIM MENURUT

FIKIH KLASIK DAN FIKIH KONTEMPORER

( Studi Kasus di Wilayah Johor Darul Takzim, Malaysia )

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Mohammad Suhaib Bin Atan NIM : 107044203951

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1430 H / 2009 M


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadrat Allah SWT. penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-nya yang telah melimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini, shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Rasul paling mulia dan penutup para nabi, serta iringan doa untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikut yang setia sampai akhir zaman.

Alhamdulilah dengan berkat rahmat-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu terima kasih yang tidak terhingga kepada Ayahanda dan bondaku, Atan bin Hj. Gombang dan Siti Saayah binti Hj. Othman, yang sentiasa mengisi seluruh ruang hatiku dengan segala pengorbanan mereka yang telah memberikan pendidikan, perhatian, kasih sayang, dan semangat sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

Tidak lupa juga proses penyelesaian skripsi ini karena bantuan berbagai pihak. Oleh itu, penulis ingin ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta staf-stafnya.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, dan Kamarusdiana S. Ag, M.H, masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.


(3)

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. dan juga bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan banyak meluangkan waktu dengan penuh kesabaran. 4. Seluruh penghargaan dan penghormatan kepada Ustaz dan Ustazah di APID

Manjung, Perak, Ustaz Eddy, Ustaz Ibrahim, Ustaz Idham, Ustaz Fuzi, Ustaz Baha, Ustazah Zuraida, dan seluruh warga APID yang memberikan dorongan, semangat, kesabaran dan bersama dalam pahit dan manis tidak akan kulupakan kenangan-kenangan yang dilalui semasa di APID.

5. Kepada Penolong Pegawai Jawatankuasa Bagian Zakat dan Fitrah, Pusat Urusan Zakat Johor, Puan Jamilah binti Saad, dan staf-staf di Majlis Agama Islam Negeri Johor.

6. Kakandaku yang kusayangi, Saifullah, Abdul Hadi beserta Istrinya Kak Aisah, Muhd Sollahuddin dan istrinya kak Kamarul Hairus, tidak lupa juga, Adindaku, Muhammad Khalil, Siti Zainab, Siti Nabilah, Siti Adibah, Nabiha dan Noorsyakirah selaku saudara-saudari kandungku yang banyak meluangkan masa bersama bersama penulis didalam menjalani kehidupan ini.

7. Kepada yang teristimewa, Noraini binti Mat Saad yang sentiasa bersama penulis dalam suka dan duka, yang sentiasa memberikan dorongan serta semangat kepada penulis dalam menyusun skripsi ini dan juga yang setia menantikan penulis dari jauh.

8. Buat teman-teman kosanku yang sangat ceria dan mengharungi bersama pahit manis, Hazrin, Mohd Firdous, Mohd Muizzuddin, Mohd Ishraff, Mohd Fami


(4)

Zulhaizad, Rais, Muhibburrahman, Anuar, Zulkifli, Baha, Shafie, Tarmidzi, Hayafizul dan tidak lupa juga kepada teman-teman muslimat lainnya.

9. Teman-teman seangkatan 2007/2008/2009 Progam Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Peradilan Agama dan juga dari Program Studi Siyasah Syariah, terima kasih saya ucapkan. Serta tidak lupa kepada semua teman-teman di seluruh Jakarta.

10.Semua pihak yang terlibat dan yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga selesai, dan semua sahabat yang berada di Malaysia.

Demikian sudah penulis memberi ucapan terima kasih kepada semua pihak dan harapan penulis semoga Allah SWT yang membalas Segala jasa dan budi baik kalian. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang berkaitan maupun para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 29 November 2009 M, 12 Dzulhijjah 1430 H


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 7

D. Studi Review Kajian Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan... 9

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II: ZAKAT DALAM FIKIH DAN PEMBAGIANNYA A. Pengertian Dan Dasar Hukum Zakat ... 11

B. Syarat-Syarat dan Rukun Zakat... 18

C. Macam-Macam Zakat ... 24

D. Mustahik Zakat ... 28

E. Tujuan dan Hikmah Zakat... 33


(6)

BAB III: GHARIM DALAM PANDANGAN FUKAHA DAN KEDUDUKANNYA DALAM FIKIH

A. Makna Gharim Dalam Fikih Klasik ... 40

B. Makna Gharim Dalam Fikih Kontemporer ... 43

C. Kriteria Gharim Mustahik Menurut Fukaha Klasik... 47

D. Kriteria Gharim Mustahik Menurut Fukaha Kontemporer .... 49

E. Kedudukan Gharim Dalam Fikih ... 57

BAB IV: STUDI KASUS DI PUSAT URUSAN ZAKAT DI WILAYAH JOHOR DARUL TAKZIM. A. Wewenang Pusat Urusan Zakat Johor Dalam Hal Ehwal Zakat ... 61

B. Fungsi Dan Pelaksanaan Zakat Di Negeri Johor... 63

C. Kasus-Kasus Yang Berlaku Keatas Gharimin... 67

D. Analisa Penulis Terhadap Distribusi Zakat ... 72

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan... 78

B. Saran-Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat Islam adalah umat yang mulia, umat pertengahan yang dipilih Allah untuk mengembangkan risalah agar mereka menjadi saksi atas segenap umat dan bangsa. Tugas umat Islam adalah untuk mewujudkan tata kehidupan dunia yang adil, makmur, tenteram dan sejahtera dimana pun mereka berada.

Bahwa kenyataannya umat Islam kini jauh dari kondisi yang diharapkan, yaitu sebagai akibat yang belum mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Umat Islam memiliki potensi sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah. Jika seluruh potensi itu dikembangkan dengan saksama, diangkat dengan potensi akidah Islamiyyah dan kandungan Islam yang jernih, akan memperoleh hasil yang optimal.1

Salah satu pokok ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah penanggulangan kemiskinan, dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dan pendayaan zakat dalam arti yang seluas-luasnya sebagaimana yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW. serta para penerusnya dizaman kegemilangan Islam.2

1

Gustian Djuanda, S.E., M.M, dkk, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.285.

2

Didin Hafidhuddin, dkk, Panduan Zakat Praktis: Edisi Penghasilan (Jakarta: PT. Parindo Tri Pustaka, 2005), h. 1.


(8)

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban agama yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan yang tertentu.3 Zakat juga adalah salah satu kewajiban yang sangat penting bagi masyarakat mukmin yang memenuhi syarat Syariah Islam sebagai muzakki untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta guna yang diberikan kepada mustahik yang telah ditetapkan oleh Syariah Islam.4 Hampir setiap ayat yang menyuruh mengerjakan shalat akan selalu diiringi dengan perintah mengeluarkan zakat. Perkataan zakat yang disebut didalam Al-Quran ada sebanyak 82 kali.5 Setiap ayat yang menyuruh mengeluarkan zakat selalu dirangkaikan dengan perintah mendirikan shalat karena zakat merupakan rukun Islam yang kedua. Ini menunjukan bahwa zakat adalah kewajiban yang sangat penting. Shalat adalah merupakan sarana komunikasi utama diantara manusia dengan penciptanya Allah SWT., sedangkan zakat pula adalah sarana komunikasi utama diantara manusia dengan manusia lainnya didalam masyarakat.6

Zakat termasuk dalam kategori ibadah wajib seperti shalat, haji, dan juga puasa dibulan Ramadhan yang telah diatur berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Ia juga sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia sejagat.7

3

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta:UI Press,1998), h.1.

4

Lili Bariadi, dkk, Zakat Wirausaha (Jakarta: CV. Pustaka Amri, 2005), Cet. Ke-1, h. 6.

5

Ahmad M Saepudin, Studi Nilai-Nilai Ekonomi Islam (Jakarta: Media Dakwah, 1984), h. 68.

6

Gustian Djuanda, S.E., M.M, dkk, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 10.

7


(9)

Dalam kehidupan manusia, pasti mengharapkan kesejahteraan, baik dari kesejahteraan duniawi maupun kesejahteraan ukhrawi. Sehingga pantas jika manusia sering berdoa dan memohon kepada Allah SWT., untuk keselamatan dunia dan akhirat. Salah satu doa yang sering diucapkan dan dibacakan adalah doa yang termuat didalam Al-Quran yaitu:

!

" # $

%& %' (

! )

 + ,-.(

%& %' (

/ )

-0

1"+

3%

)

\

\

(

Artinya: "…Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"

( Q.S. Al-Baqarah: 201 )

Jelas sudah dengan dibaca ayat ini, akan menjadi petunjuk bahwa setiap manusia mengharapkan kehidupan yang sejahtera di dunia dan akhirat. Dalam upaya mencari kesejahteraan itu, disinilah zakat mempunyai peranan yang sangat penting terutama manfaat zakat bagi penerimanya yaitu membantunya didalam memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Sedangkan manfaat zakat bagi yang mengeluarkannya adalah membersihkan hartanya.

Zakat diwajibkan kepada golongan yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal materi atau dalam istilah lain yaitu golongan ini disebut dengan sebutan orang kaya atau berkemampuan untuk membantu golongan yang tidak mampu dilingkungan mereka, seperti orang fakir, miskin dan sebagainya. Semua itu adalah bentuk kebaikan agama Islam terhadap golongan yang tidak berkemampuan.


(10)

Dalam zakat terdapat dua aspek penting, salah satunya adalah kemana zakat tersebut akan disalurkan, sehingga zakat menjadi suatu nilai ibadah bagi yang menjalankannya. Allah SWT. telah menyebutkan delapan golongan yang berhak menerima zakat dan orang yang berhak menerima zakat ini lebih dikenal dengan nama mustahik zakat sebagaimana yang terdapat didalam firman Allah SWT.:

4

(56# 7

89 :/($;<

+ :78=>?

@!A,B ' (5C

)

+!D

5 (EC

)

&FGHI?+J

&1=K

1:5C

)

GMFJO E?E/

P ! )

0

:/QR

+!A SQ

+

C

)

P ! )

@T" U(V

@!C

)

@T" U

W

%&XYZQ :>

[\ ]S

B

^

)

_

?+J

Y ",U(

)

\

:

(

Artinya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana "(Q.S. At-Taubah: 60)

Oleh karena itu, penulis melihat ada perlunya suatu kajian serius mengenai masalah mustahik yang dari dulu tidak pernah jelas akan jalan penyelesaiannya. Akan tetapi pada penulisan ini, penulis akan hanya membatasi dalam permasalahan mengenai mustahik yang berhutang atau dikenal dengan nama gharim, yaitu orang yang berhutang sehingga timbul pertanyaan "gharim yang bagaimana yang berhak dan layak untuk menerima zakat dan yang tidak berhak menerima zakat".

Gharim juga termasuk didalam golongan mustahik zakat. Didalam hal ini seringkali diperdebatkan baik yang dikemukakan oleh Imam Madzhab maupun pendapat perorangan. Namun demikian, praktek di Johor bahwa gharim tidak


(11)

mendapat haknya dengan adil dan permasalahan seperti ini seringkali terjadi dan persoalan akan timbul terhadap mustahik tersebut dan juga amil zakat itu sendiri.

Dari uraian diatas, perlu dibuat kajian untuk mendalami hal tersebut. Oleh karena itu penulis memilih judul "PEMBAGIAN ZAKAT TERHADAP GHARIM MENURUT FIKIH KLASIK DAN FIKIH KONTEMPORER (Studi Kasus di Wilayah Johor Darul Takzim, Malaysia) ".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi pada: 1. Pembatasan Masalah

Zakat merupakan sebuah kajian yang luas, seperti analisis mengenai harta yang wajib dizakati, berapa kadar zakatnya dan juga masalah terhadap mustahik yang berhak menerima zakat. Menurut Al-Quran, mustahik zakat terdiri dari delapan golongan yaitu fakir, miskin, amil zakat, muallaf yaitu saudara yang baru memeluk agama Islam, riqab, gharim, sabilillah dan juga ibnu sabil. Delapan golongan yang berhak menerima zakat ini terdapat didalam firman Allah SWT. pada Surah At-Taubah ayat 60. Dengan berlatarbelakangkan dari permasalahan diatas yang cukup luas, penulis membatasi masalah mustahik zakat hanya pada masalah gharim. Dalam Fiqh Klasik penulis hanya membatasi kepada empat Imam Madzhab. Dan pada Fiqh Kontemporer pula penulis hanya menurut pendapat Dr. Yusuf Al-Qardhawi dan Wahbah Zuhaily yang menyangkut masalah tentang zakat.


(12)

Dalam penulisan skripsi ini, masalah pokok yang penulis rumuskan adalah:

1. Bagaimana pendapat Fukaha Klasik dan Kentemporer tentang Gharim yang berhak menerima dan tidak berhak menerima zakat?

2. Mengapa gharim tidak dapat zakat yang seharusnya menjadi haknya sedangkan dia juga termasuk didalam golongan mustahik zakat?

3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap praktek pemberian zakat terhadap gharim di wilayah Johor?

i. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1) Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang gharim yang berhak dan tidak berhak untuk menerima zakat menurut pandangan fikih. 2) Dapat mencari jalan penyelesaian terkait dengan permasalahan gharim

yang tidak mendapat zakat.

3) Selain itu dapat menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek pemberian zakat terhadap gharim di wilayah Johor.

2. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :

1) Dapat memahami yang dimaksud dengan gharim yang berhak dan tidak berhak menerima zakat dalam pandangan Fiqh Klasik dan Fiqh Kontemporer.


(13)

2) Menambah pengetahuan kepada masyarakat tentang masalah orang yang berhutang yang mana berhak dan tidak berhak untuk menerima zakat didalam pandangan Fiqh Klasik dan Kontemporer.

3) Menambah khasanah ke pustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Studi Review Kajian Terdahulu.

Skripsi yang menjadi pilihan penulis adalah skripsi dari Hadi Hermanto, mahasiswa jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Peran USZ (Unit Salur Zakat) untuk meningkatkan kesejahteraan mustahik.

Persamaan yang dapat diambil dari skripsi tersebut adalah tentang penyaluran zakat kepada mustahik yang berhak menerimanya. Dia juga memfokus terhadap zakat dan ketentuannya yaitu zakat yang bersifat konsumtif tradisional yang mana dibagikan kepada mustahik untuk dimanfaatkan secara langsung seperti zakat fitrah dan juga penyaluran yang bersifat kunsumtif kreatif yaitu ia diujudkan didalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan didalam bentuk alat-alat sekolah ataupun beasiswa pendidikan.8

Perbedaan yang dapat dilihat adalah skripsi tersebut menggunakan undang-undang zakat nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, akan tetapi skripsi ini tidak menggunakannya bahkan hanya fokus terhadap fikih klasik dan juga fikih kontemporer. Ia juga menerangkan tentang zakat dan pembagiannya terhadap

8

Hadi Hermanto, Peran USZ (Unit Salur Zakat) Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Mustahik (Skripsi jurusan Muamalat Fak. Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).


(14)

mustahik zakat tetapi penulis hanya fokus kepada gharimin supaya gharim mendapat zakat menurut kondisi-kondisi yang terjadi kepada mustahik tersebut.

Fokus penulis didalam penulisan skripsi ini adalah karena gharim adalah orang yang terlibat dalam mainan utang, dan utang itu dilakukan bukanlah karena mereka berbelanja yang berlebihan, membelanjakan untuk hal-hal yang diharamkan melainkan karena kemiskinan mereka.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dalam usaha mendapatkan bahan–bahan rujukan penulisan buku ilmiah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan (Library Research), yaitu pengkajian dan penyelidikan literatur kepustakaan yang ada relevensi atau kaitannya dengan judul skripsi, khususnya tentang zakat yang menjadi topik permasalahan. Disamping itu juga, penulis menggunakan studi lapangan, yaitu pengambilan data melalui wawancara dengan pengurus bagian zakat di wilayah Johor yaitu Puan Jamilah binti Saad, penolong pegawai jawatankuasa bagian zakat dan fitrah serta pengkajian dokumentasi dari bagian tersebut.

Adapun dalam hal teknik penulisan, penulis merujuk kepada kaidah-kaidah yang ada didalam buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang dikeluarkan oleh UIN Syariff Hidayatullah, Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan dalam usaha memberikan gambaran singkat mengenai isi dari skripsi dalam lima bab, dan tiap babnya terdiri dari sub-sub


(15)

bab yang tentunya antara satu bab dengan bab lainnya yang mempunyai keterkaitan. Adapun sistematika penulisan secara terperinci sebagai berikut :

Bab satu merupakan uraian tentang alasan pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

Bab kedua ini, penulis membahas mengenai pengertian dan dasar hukum zakat, syarat–syarat dan rukun zakat, macam–macam zakat, mustahik zakat, tujuan dan hikmah zakat, serta kedudukan gharim didalam hukum Islam dan bagaimana sistem pembagian zakat itu dijalankan.

Bab ketiga ini pula penulis membahas tentang makna gharim didalam fikih klasik dan juga fikih kontemporer serta kriteria yang bagaimana harus ada pada mustahik tersebut dan juga kedudukan gharim dalam hukum fikih.

Bab keempat ini, penulis membahaskan tentang studi kasus yang dikaji di Pusat Urusan Zakat di wilayah Johor. Penulis membahas tentang wewenang yang dilakukan didalam hal ehwal zakat dan juga membahas fungsi serta pelaksanaan zakat di negeri Johor. Didalam bab ini juga penulis mengangkat kasus-kasus yang terjadi di Johor dan juga menganalisis mengenai distribusian zakat.

Bab kelima sebagai bab terakhir dari seluruh isi skripsi ini dan berisi kesimpulan dan saran dan harapan penulis agar penulisan skripsi ini menjadi suatu komitmen yang berguna bagi agama, negara, nusa dan bangsa.


(16)

BAB II

ZAKAT DALAM FIKIH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Zakat

1. Pengertian Zakat.

Zakat secara etimologi memiliki arti dan diantaranya : 1) Zaka dalam arti nama (lughah) artinya kesuburan9 2) Zaka dalam arti thahara artinya kesucian

3) Zaka dalam arti barakah artinya keberkatan.10

Adapun menurut pengertian syariat adalah nama dari sebagian harta tertentu yang diberikan kepada golongan tertentu dengan beberapa syarat.11 Harta tersebut dinamakan zakat karena harta itu akan menjadi bertambah lantaran do’a orang yang menerima zakat.12 Allah SWT berfirman:

+S )

. a:

]S

b

R

W

H-

c

d !

ef

CS)g

3

3%

X1:>

W

G +Z

($

W

+S )

. a:

]S

i j 1k(l

[m)$ZQ E

+ no )

(pq6 :

r)sr:>

MEt

+u 8= EnY5C

)

/

:

(

9

Gustian Djuanda, S.E., M.M, dkk, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.285.

10

Hasbi ash-Shidieqy, Pedoman zakat, (Semarang: Pustaka Rizki, Putra, 1999), Cet. ke 1, h. 3.

11

M. Abdul Mudjieb, dkk. Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke. 2, h 427.

12


(17)

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar-Rum ( 30): 35)

Zakat juga dapat diartikan dengan pensucian dan perkembangan, sebagaimana firman Allah SWT :

n$:/

(1I?C>)g

+S

(vwKk(l

)

\

:

(

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (Q.S. As-Syams (91): 9)

Seorang ulama dari Mesir mendefinisikan zakat ini sebagai ibadah kebendaan yang diwajibkan oleh Allah SWT, agar orang yang kaya menolong orang yang miskin didalam bentuk sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.13 Pengertian ini juga sejalan dengan pengertian yang diungkapkan oleh Yusuf al-Qardhawi yang mengatakan bahwa zakat adalah ibadah maaliyah yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang-orang yang membutuhkan14 (miskin atau tidak mampu). Al-Quran menggunakan beberapa terminologi untuk arti zakat yaitu:

(a).Az-Zakat (zakat) seperti pada ayat 110 pada surat al-Baqarah:

W

5

/)g )

I j I?;<

W

E

)

I j Xx3y

j

+S )

W

S t$:7E

B, 8=#z{

n

]S

HG

(-I)$,v)S

($

13

Mahmud Syalthut, al-Fatawa, (tt. Darul Kalam: tth), h. 114

14


(18)

B

3u 7

K

(5

[m E?(5 E:

|H ,<+

)

\

:

(

Artinya: “Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah( 2): 110).

(b). As-Shadaqah (sedekah) seperti yang diungkapkan pada surat at-Taubah ayat 103

"E{

n

S

GM ~ if

CS)g

%&:/($'•

GMEt

tv:€E

MFH ck+yE

)

&FO

@•T'• )

GM vC"I?+J

W

3u 7

(p: j I?'•

‚ :B(V

GM~ƒi

B

^

)

„„" 5(V

_

?+J

)

\

:

(

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan15 dan mensucikan16 mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah (9): 103)

(c).An-Nafaqah (infak) seperti yang ditemukan pada surat at-Taubah ayat 34:

&F[$)r6 +Z

+!… /K

W

d %+S

3u 7

%H

†Xx

[\ ]S

+Un .{

@u

+p t‡

)

+u E? k>r ":

+ef

CS)g

3

3

15

Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.

16

Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.


(19)

@T € +UC

[m) $ˆ<+Z )

+

@T" U(V

B

[‰… /K

)

[m)‡

bB+Z

'?(tK/

:&ŠY =C

)

X‹ )

&F+Œ 87 =%Z

!

@T" U(V

MEt H,••+p:>

e0

1"(E

O

)g

)

\

:

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S. At-Taubah(9) : 34)

(d).Al-Haq (hak) seperti yang terdapat pada surat al-An’am ayat 141:

Et )

Ay /K

)r+Ž•)g

i9 3 (o

i9 1K)•a E3S

HG 1‘ )

i9 1K)’“ ”+S

XT •3%

)

+_G 3y

)

–= ?+.CZE—

˜gs

8xsg

[m ™ Z3y

)

[m

3S‡

)

bF@š +Ž+.S

HG 1‘ )

p

p +Ž+.S

j

W

E?8x

S

=›IQ (5)

:œ 7

+ (5C )g

W

E

)

˜ •7(

žG +Z

›I

'<(

W

X‹ )

W

d E> HnŸET

j

˜ 6# 7

X‹

a? + P

[‰A > HnŸ5C

)

\

:

(

Artinya: “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan

yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”(Q.S. Al-An’am (6): 141)


(20)

Teungku Muhammad Hasbi As-Shidieqy menambah satu terminologi yaitu al-‘afwu.17 Sebagaimana yang dijelaskan didalam Al-Quran pada surat al-A’raf:

"E{

C=(EC

“ >g )

,

aEC

¡Q n)g )

+

[‰A ? v &vCš

)

\

:

(

Artinya: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”

(Q.S. Al-A’raff (7): 199)

2. Dasar Hukum Zakat

Nabi Muhammad SAW menerima perintah zakat setelah beliau berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah. Kewajiban melaksanakan zakat ini terdapat pada ayat-ayat yang diturunkan di kota Madinah yang kemudiannya diperkuat oleh sunnah Nabi Muhammad SAW, baik mengenai nisab, jumlah, syarat-syarat, jenis, dan bentuk bentuk pelaksanaan yang konkrit dan kuat.18

Zakat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Islam, hal ini karena zakat merupakan salah satu unsur dari rukun Islam, dan zakat ditempatkan sebagai rukun penting yang kedua setelah Ibadah shalat. Terdapat banyak ayat Al-Quran yang menggandengkan perintah shalat dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Jikalau shalat menimbulkan persamaan diantara si

17

Hasbi ash-Shidieqy, Pedoman zakat, (Semarang: Pustaka Rizki, Putra, 1999), Cet. ke 1, h. 5.

18

Gustian Djuanda, S.E., M.M, dkk, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.14.


(21)

kaya dan si miskin, maka zakat pula membuktikan persaudaraan tersebut dalam bentuk tindakan konkrit dari pihak yang berkecukupan untuk menyantuni si miskin.19

Para ulama’ bersepakat bahwa hukum zakat ini adalah wajib atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, sebagaimana firman Allah SWT yaitu:

+S )

W

=)’“

sg

Š‹ 7

W

)$U E "

K

+!A,< ?CZE—

g:

+!… •

1= %

W

5"

7Z )

I j I?;<

W

E

:Z )

I j 1k3y

j

(p

f:œ )

 Z

&(5R :7C

)

!

\

"

:

#

(

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus20, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus” (Q.S. Al-Bayyinah ( 98): 5)

W

)$ v (o )

!

3D(

›I

(v,o

j

Et

GM Bw i+.no

+S )

XT(E(o

G

BC"I?+J

!

@!… t$

n

S

w~+ (

j

:rK

]S

GM B"

)g

-

tf+ G

7

j

Et

M B

Ÿ5(V

+!A 5 ?

5C

S

TGU:/

! )

1" (t

+u

B "

e V

q$" v1K

G

BC"I?+J

19

Ahwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung, Mizan, 1998), h. 268

20

Maksudnya: Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.


(22)

W

#

B:

)

($&F8

I +

3

3%

j

W

5

/)r:>

I j I?;<

W

E

)

I j 1k3y

W

5,<+™n

)

Et

B

:

G +S

W

-M E

:>

j I¢G (5C

-

E # )

H ,<3%

)

$ %

\

:

"

(

Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu21, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (Q.S. Al-Hajj (22): 78)

Dasar hukum zakat ini juga dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW:

& ﺏ 'ی) & ﺏ ' %ﻡ & ﺏ + , -

.'ﺡ 0 ﺏ1 .'ﺡ 2 ﻡ 3 '

&

,4 5 3 64- 3 7 58 7 9 : !ﺏ &

&ﺏ 3 '

;

< 5 0 ﺏ

= 64

;

>

9 3 7 58 ' %ﻡ ? 3

:

? 2 @ﺵ

<

? Bﻡ8

- C ! $ﺡ

DE F

ی

G H

,4

Iﻡ J 8

K

Artinya: “Dari Abdullah Mu’ad Ashim Ibnu Muhammad Ibnu Zaidi Ibnu Abdullah Ibnu Umara dari bapaknya berkata Abdullah, telah bersabda Rasulullah SAW.: “ Islam didirikan atas lima sendi, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan”. (Riwayat Muslim)22

21

Maksudnya: Dalam kitab-kitab yang Telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w.

22

Imam Nawawi, Hadith Arbain. Penerjemah Ibnu Nizhamuddin; Tim Gip. Cet.1. (Jakarta: Gema Insani Press), h.24.


(23)

B. Syarat-Syarat dan Rukun Zakat

Zakat dalah pemberian hak yang wajib dalam bentuk harta kepada yang berhak dengan menyerahkan kepadanya yang berhak dengan memutuskan manfaat dari pemiliknya dan dari segala segi.

Zakat merupakan salah satu dari bagian rukun Islam yang lima, yaitu rukun yang ketiga dari rukun Islam, sesudah dua kalimat syahadat dan shalat. Dalam masalah zakat tentunya tak lepas dari permasalahan syarat-syarat zakat dan rukunnya.23

Adapun yang menjadi syarat-syarat zakat secara umum atau kewajiban zakat itu ada sepuluh, yaitu:

1. Beragama Islam 2. Taklif

3. Dalam keadaan merdeka 4. Kepemilikan sempurna 5. Kepemilikan Nisab

6. Mencapai haul yaitu artinya mencapai satu tahun memiliki harta yang akan dikeluarkannya.

7. Genap nisab dikedua ujung haul 8. Mengetahui kewajibannya

9. Harta zakat yang bebas dari hutang 10.Berkemampuan untuk menunaikannya24

23

Ahwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung, Mizan, 1998), h. 288 24

Abdurrahman & Mubarak, Zakat dan Peranannya Dalam Pembangunan Bangsa Serta Kemaslahatan Bagi Umat. (Bogor: CV, Surya Handayani Pratama, 2002), Cet. Ke. 1, h. 22.


(24)

Menurut Muhammad Daud Ali, adapun yang menjadi syarat-syarat zakat itu adalah:

1. Pemilik yang pasti, yaitu sepenuhnya berada pada kekuasaan yang punya harta, baik kekuasaan pemanfaatannya maupun kekuasaan menikmati hasilnya.25 2. Berkembang, yaitu artinya harta tersebut berkembang baik secara alami

sunatullah maupun bertambah karena usaha manusia.

3. Melebihi kebutuhan pokok, yaitu harta yang dimiliki oleh seseorang itu melebihi kebutuhan yang diperlukan oleh diri dan keluarganya untuk hidup wajar sebagai manusia di bumi Allah SWT ini.

4. Bersih dari hutang, artinya harta yang dimiliki oleh seseorang itu terbebas dari ikatan perjanjian hutang piutang, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia

5. Mencapai nisab yaitu mencapai jumlah minimal yang wajib dikeluarkan zakatnya.

6. mencapai haul yaitu artinya harus mencapai waktu tertentu pengeluaran zakat, biasanya dua belas bulan atau setiap kali setiap panen.26

Adapun menurut Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, yaitu syarat-syarat harta yang wajib dizakati adalah sebagai berikut:

1. Harta itu milik penuh.

Yang dimaksud penuh adalah bahwa kekayaan itu harus berada dibawah kontrol atau dibawah kekuasaan pemilik. Dan kemudiannya pemilik penuh

25

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998., h.25.

26

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998., h. 41.


(25)

itulah yang membuat manusia lain dapat menggunakannya, dan mengembangkan kekayaan sendiri atau oleh orang lain. Karena itulah wajar apabila Islam mewajibkan pemiliknya mengeluarkan hak kekayaan yang dimilikinya.

2. Harta itu berkembang.

Yang dimaksud kekayaan berkembang itu adalah bahwa sifat kekayaan itu yang memberikan keuntungan atau pemasukan, ataupun kekayaan itu berkembang dengan sendirinya.

3. Harta itu cukup senisab.

Islam mewajibkan zakat pada kekayaan yang berkembang dengan ketentuan sendiri, yaitu sejumlah tertentu yang didalam ilmu fikih disebut sebagai nisab, atau dengan kata lain jumlah minimal harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakatnya.

4. Harta itu lebih dari kebutuhan biasa.

Yang dimaksud lebih dari kebutuhan biasa disini adalah lebih dari kebutuhan rutin harian seperti makan, minum, pakaian, perumahan dan peralatan lain yang diperlukan.27

5. Harta itu bebas dari hutang.

Pemilik sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat dan harus lebih dari kebutuhan primer. Haruslah cukup senisab yang sudah bebas dari hutang. 6. Harta itu telah sampai haulnya (berlaku setahun).

27

Didin Hafidhuddin, dkk, Panduan Zakat Praktis: Edisi Penghasilan (Jakarta: PT. Parindo Tri Pustaka, 2005), h.32.


(26)

Maksudnya adalah pemilik harta ditangan pemilik tersebut telah berlaku masanya satu tahun. Dan persyaratan ini hanya berlaku buat ternak, uang dan harta perdagangan, yaitu dapat dimasukkan dalam istilah zakat modal.28

Adapun para fukaha bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada orang yang merdeka, muslim, baligh, dan berakal yaitu mengetahui bahwa zakat adalah wajib hukumnya, disamping harus memenuhi persyaratan harta lainnya. Akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat berkenaan dengan harta si anak kecil dan orang gila, menurut persyaratan umum diatas, tidak terkena kewajiban berdasarkan hadits Nabi SAW:

= &

7 9 ,45 3 64- 0 & 64 & 6%B 0ﺏ & '!

;

& ,4 LM8

.<.

;

N ی 6 ﺡ ? O &

,4 %ی 6 ﺡ 0 > &

P ! Iی 6 ﺡ ,Q &

H

G

J 8

2 2

K

Artinya: “Dari Khalid Ibn Abi Dhuha dari Ali bahwasanya Rasulullah SAW. telah bersabda: Pena terangkat dari tiga golongan, yaitu dari orang tudur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia waras (berakal)”. (Riwayat Abu Daud).29

Perbedaan ulama’ tersebut adalah disebabkan oleh perbedaan persepsi mengenai zakat, apakah termasuk ibadah mahdhah atau bukan.

28

Didin Hafidhuddin, dkk, Hukum Zakat, (terj), (Jakarta: PT, Pustaka Mizan, 1999), Cet. Ke. 1, h. 125.

29


(27)

Para ulama’ Hanafiah dan Imamiah mengatakan bahwa berakal dan baligh merupakan syarat diwajibkan mengeluarkan zakat.30 Maka harta orang gila dan anak-anak tidak wajib untuk dizakati. Sedangkan menurut Imam Maliki, Hanbali, dan Syafi’e berpendapat bahwa berakal dan baligh tidak menjadi syarat, maka dari itu harta orang gila dan harta anak-anak wajib dizakati dan walinya yang harus mengeluarkannya.31

T. M. Hasbi ash-Shidieqy, berkesimpulan bahwa zakat itu wajib dipungut dari harta anak-anak kecil dan orang gila, karena zakat itu adalah fardhu ain yang diharapkan terhadap harta, maka siapa saja yang berharta baik dia masih kecil atau sudah mukallaf, baik dia berakal ataupun tidak, wajib mengeluarkan zakat. Adapun pelaksanaannya dibebankan atas para wali.32

Sedangkan yang menjadi rukun zakat adalah mengeluarkan sebagian dari nisab (harta), dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya sebagai milik orang fakir, dan menyerahkan kepadanya atau harta tersebut diserahkan kepada walinya, yakni imam atau orang yang memungut zakat.

C. Macam-Macam Zakat

Pada garis besarnya zakat dibagi menjadi dua macam, yaitu yang berhubungan dengan jiwa yang disebut “zakat fitrah” (pribadi) dan yang berhubungan dengan harta yang disebut “zakat mal” (harta)

30

Tim Penyusun IMZ, Panahan Zakat Praktis, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2002), h. 37

31

M. Zuhri, Fiqh Lima Madzhab, (terj), (Jakarta: Penerbit Lentera, 2002), h. 177

32

Hasbi ash-Shidieqy, Pedoman zakat, (Semarang: Pustaka Rizki, Putra, 1999), Cet. ke 1, h.23.


(28)

1. Zakat Fitrah

Secara harfiah zakat fitrah (zakat al fitri) berarti zakat berbuka puasa. Ini berkaitan dengan berakhirnya puasa Ramadhan dan tibanya hari raya puasa atau Idul Fitri. Zakat ini disebut zakat an-nafs, artinya zakat jiwa. Maksudnya zakat untuk mensucikan jiwa orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya.

Zakat firtah yaitu zakat yang wajib diberikan oleh setiap muslim setahun sekali (pada saat Idul Fitri) berupa makanan pokok sehari-hari (beras, jagung, dan sebagainya).33

Zakat fitrah atau zakat jiwa ini dihubungkan dengan bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Karena itu dinamakan juga zakatul fitri.34

Zakat fitrah ini merupakan zakat yang berbeda dari zakat-zakat yang lainnya, diantaranya dengan zakat harta. Zakat harta kendati mencakup penyucian jiwa juga, tetapi titik beratnya adalah penyucian atau keberkatan harta sehingga harta yang dizakati terpelihara, subur dan berkembang. Maka tidak disyariatkan pada zakat-zakat lainnya.35

Ketentuan hukum wajib pelaksanaan zakat fitrah ini terdapat pada Al-Quran:

33

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), ed. 3, Cet. Ke.2, h. 1279

34

Zakiah Daradjat, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, (Jakarta: CV. Ruhama, 1999), Cet. Ke 6, h. 68

35

Didin Hafidhuddin, dkk, Hukum Zakat, (terj), (Jakarta: PT, Pustaka Mizan, 1999), Cet. Ke. 1, h.199.


(29)

n$:/

(1I?C>)g

+S

j ^£+y:

.

+ 1k:œ )

-

V

I

j K '<:>

G

64

\

"

\

R

K

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (Idul Fitri)”Q.S. Al-A’laa: 87: 14-15)

Banyaknya zakat fitrah yang harus dikeluarkan adalah satu sha’ (kira-kira 3 setengah liter). Zakat fitrah hukumnya wajib atas seseorang itu baik untuk dirinya maupun untuk keluarga yang menjadi tanggungannya seperti anak dan istrinya, begitu pula pembantu yang mengurus pekerjaan dan urusan rumah tangga.36

Zakat fitrah juga selain bertujuan untuk mengembirakan hati si fakir miskin pada hari raya Idul Fitri, juga dimaksudkan untuk membersihkan dosa-dosa kecil yang ada ketika melaksanakan puasa Ramadhan.37

2. Zakat Maal (harta)

Zakat maal adalah kadar harta kekayaan yang wajib dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Karena menyimpan (memiliki) harta (uang, emas, dan sebagainya). Yang cukup dengan syarat-syaratnya.38

36

Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar. Al-Fikr, 1983), jilid. 1. h. 394.

37

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998., h.49.

38

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), ed. 3, Cet. Ke.2, h.1110.


(30)

Sedangkan zakat maal dalam Ensiklopedia Islam adalah sebagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan dimiliki selama jangka waktu tertentu pula.39

Menurut Fuad Mochammad Fachruddin dalam bukunya berjudul Zakat, diwajibkan zakat atas seseorang dengan syarat.40

a. Orang Islam

b. Orang yang Merdeka c. Orang yang baligh d. Orang yang waras e. Mempunyai nisab

f. Hendaklah nisab itu memasuki waktu keluarnya Zakat itu. Waktunya ialah satu tahun atau 12 bulan selain dari pada zakat tanaman dan buah-buahan yang waktu zakatnya ialah pada waktu panen atau waktu memungut hasil yang sudah matang. Sesuai dengan firman Allah:

Et )

Ay /K

)r+Ž•)g

i9 3 (o

i9 1K)•a E3S

HG 1‘ )

i9 1K)’“ ”+S

XT •3%

)

+_G 3y

)

–= ?+.CZE—

˜gs

8xsg

[m ™ Z3y

)

[m

3S‡

)

bF@š +Ž+.S

HG 1‘ )

p

p +Ž+.S

j

W

E?8x

S

=›IQ (5)

:œ 7

+ (5C )g

W

E

)

˜ •7(

žG +Z

›I

'<(

W

39

Dewan Direksi Ensiklopedia Islam, Zakat, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994), jilid. 5, h. 224.

40


(31)

X‹ )

W

d E> HnŸET

j

˜ 6# 7

X‹

a? + P

[‰A > HnŸ5C

G

\

:

K

Artinya: “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-An’am(6) : 141)

Zakat harta (maal) terdiri dari lima macam, yaitu:

a. Zakat ternak (hewan) yaitu: unta, sapi, kerbau, kambing dan domba b. Zakat hasil pertanian yaitu padi, jagung, gandum, biji-bijian dan

buah-buahan yang mengenyangkan.

c. Zakat hasil tambang, baik dalam bentuk mata uang atau barang. d. Zakat barang dagangan, berupa uang atau barang.

e. Zakat harta terpendam.41

D. Mustahik zakat

Pada awal sejarah pertumbuhan Islam di Makkah, orang yang berhak menerima zakat adalah orang yang miskin saja. Setelah tahun ke-9 hijrah, Allah SWT menurunkan ayat 60 surat At-Taubah di Madinah. Ayat tersebut menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat.

(56# 7

89 :/($;<

+ :78=>?

@!A,B ' (5C

)

+!D

5 (EC

)

&FGHI?+J

41

Didin Hafidhuddin, dkk, Panduan Zakat Praktis: Edisi Penghasilan (Jakarta: PT. Parindo Tri Pustaka, 2005), h. 37.


(32)

&1=K

1:5C

)

GMFJO E?E/

P ! )

0

:/QR

+!A SQ

+

C

)

P ! )

@T" U(V

@!C

)

@T" U

W

%&XYZQ :>

[\ ]S

B

^

)

_

?+J

Y ",U(

G

\

:

K

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. At-Taubah (9): 60)

Dari ayat diatas jelas bahwa mustahik zakat terdiri dari delapan golongan yaitu sebagai berikut:

1. Fakir.

Yang dimaksud dengan orang fakir ialah orang yang tidak memiliki harta ataupun usaha yang tidak memadai, sehingga sebagian besar kebutuhannya tidak dapat terpenuhi. Walaupun memiliki rumah tempat tinggal, pakaian yang pantas bagi dirinya, ia tetap dianggap fakir selama sebagian besar kebutuhan hidup yang diperlukannya tidak terpenuhi olehnya.42

Dalam al-Fiqhul Muyassar dijelaskan bahwa orang-orang fakir adalah orang yang tidak berharta dan orang yang tak berpenghasilan atau punya harta atau penghasilan tetapi tidak mencukupi, seperti orang yang membutuhkan sepuluh tetapi hanya punya dua.43

2. Miskin.

42

Lahmudin Nasution, Fiqh, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. ke. 1, h. 175.

43


(33)

Miskin adalah orang yang mempunyai tempat tinggal, namun tidak bias memenuhi kebutuhannya yang sederhana (kebutuhan pokok). Kebutuhan pokok tersebut seperti makan, minum dan pakaian dalam batas sederhana (sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup). Misalnya orang yang berpenghasilan Rp300,- padahal kebutuhan minimalnya adalah Rp400,-. Dalam Fiqhul Muyassar dijelaskan bahwa yang dimaksud miskin adalah orang yang mempunyai penghasilan, tetapi tidak cukup seperti orang yang membutuhkan sepuluh sedang ia hanya mempunyai tujuh, begitu pula orang yang sanggup bekerja, tetapi hasilnya tidak mencukupi.

Para ulama berpendapat bahwa fakir dan miskin adalah dua kata yang mempunyai arti sama yaitu orang yang serba kekurangan atau yang benar-benar membutuhkan. Ada pula yang digabung mengatakan bahwa dua kata ini memiliki arti yang berbeda karena kalau keduanya mempunyai arti yang sama, niscaya Allah SWT tidak perlu menyebut dua kali dengan istilah yang berbeda.

3. Amil Zakat

Yaitu orang-orang yang ditugaskan oleh Imam atau juga kepala pemerintahan untuk mengumpulkan zakat dan mengurus pengelolaannya. Mereka hendaklah diambil dari kaum Muslimin, bukan dari golongan orang yang tidak dibenarkan menerima zakat. Syarat menjadi amil, harus mengetahui masalah-masalah zakat, sehingga harus mengerti bagaimana mengumpulkan dan membagikannya, ia haru jujur, sebab tugas itu merupakan amanat, maka orang yang fasiq, pemabuk maupun orang-orang yang suka menyeleweng, tidak


(34)

boleh menjadi amil.44 Bila bagian amil ternyata lebih besar dari jumlah upahnya, maka sisanya itu dialihkan kepada mustahik yang lainnya, sedangkan bila jumlah bagian amil itu kurang dari upahnya, Imam harus memenuhi upah mereka.45

4. Muallaf.

Muallaf Qulubuhum adalah orang-orang yang diharapkan agar hatinya lembut kepada Islam, yakni orang yang baru masuk Islam dan belum tegar dalam keislamannya atau orang yang berpengaruh dikalangan masyarakatnya serta orang yang diharapkan mampu membawa kelompoknya kedalam Islam atau orang yang berpengaruh dan berbahaya bagi Islam.46

5. Riqab (budak belian).

Riqab adalah budak yang akan membebaskan dirinya. Untuk membebaskan diri harus menebusnya dengan sejumlah uang dengan Tuannya. Karena itu perlu mendapatkan bantuan, maka ia berhak menerima pemberian zakat.47

6. Gharim (orang yang berhutang).

Gharim adalah orang yang berhutang, sukar untuk membayarnya. Mereka bermacam-macam. Diantaranya orang yang memikul hutang untuk mendamaikan sengketa, atau orang yang menjamin hutang orang lain sehingga

44

Moh. Rifa’I dkk, Kifayatul Ahyar, (terj), (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997) Jilid. I, h. 142.

45

Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modera, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet. ke. 1, h. 134.

46

Abudin Nata, dkk, Mengenal Hukum Zakat dan Infaq Shadaqah, (Jakarta: BAZIS DKI, 1999), h. 60.

47


(35)

harus membayarnya yang menghabiskan hartanya. Atau orang yang terpaksa berhutang karena memang membutuhkan untuk keperluan hidup atau membebaskan dirinya dari maksiat. Mereka semua berhak mendapatkan zakat yang cukup untuk melunasi hutangnya.48

7. Sabilillah

Sabilillah adalah yang menyampaikan kepada keridhaan Allah SWT, baik berupa ilmu maupun amal. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud sabilillah adalah berperang. Jatah sabilillah itu diberikan kepada tentera sukarelawan yang tidak mengharapkan gaji dari pemerintah, maka orang inilah yang berhak menerima zakat baik dia kaya ataupun miskin. Besarnya jumlah zakat yang diberikan kepada mereka disesuaikan dengan biaya perjalanan, pengadaan pelengkapan persenjataan dan alat-alat penggangkutan yang dibutuhkannya. Jika setelah menerima zakat itu ternyata ia tidak jadi melakukan jihad, maka harta yang diambilnya wajib dikembalikan.49 Termasuk sabilillah adalah menafkahkan kepada guru-guru sekolah yang mengajar ilmu syariat dan ilmu-ilmu lainnya yang diperlukan oleh masyarakat umum.50

8. Ibnu sabil (musafir).

48

Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah 3, (Bandung: a-Ma’arif, 1987), Cet. ke. 1, h. 99.

49

Lahmudin Nasution, Fiqh, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. ke. 1, h. 180.

50

Departemen Agama, Pedoman Zakat seri 9, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, 2002), h. 87.


(36)

Ibnu sabil adalah orang yang melaksanakan perjalanan dengan tujuan kebaikan, tetapi ia kekurangan biaya untuk mencapai tujuan dari perjalanan itu. Dengan zakat, diharapkan ia sampai ketujuan. Termasuk kedalam pengertian ini ialah orang yang meninggalkan negaranya mencari perlindungan di negeri Islam lainnya. Kepada mereka diberikan zakat sebagai bekal hidup dinegara orang lain. 51

E. Tujuan dan Hikmah Zakat

1. Tujuan Zakat.

Sebagaimana halnya ibadah shalat yang diwajibkan oleh Allah, mengandung rahasia, tujuan dan hikmah. Ibadah zakat juga mengandung tujuan dan hikmah. Banyak sekali tujuan dan hikmah yang terkandung di dalam zakat.52 Baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzaki) dan penerima zakat (mustahik), harta yang dikeluarkan zakatnya maupun bagi masyarakat keseluruhannya.53 Tujuan disyariatkan zakat adalah sebagai berikut:

a. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup

b. Menghilangkan sifat kikir dan laba si pemilik harta

c. Menghilangkan kecemburuan sosial, seperti iri dan dengki dari hati orang-orang miskin

51

Lahmudin Nasution, Fiqh, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. ke. 1, h. 185.

52

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’I, (Bandung: Pustaka Media, 2005) Cet. ke. 1, h. 563.

53

Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 82.


(37)

d. Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharim, musafir dan para mustahik lainnya.

e. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya,

f. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta.

g. Mendidik manusia untuk berdisiplin dalam menunaikan kewajiban h. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dalam

suatu masyarakat

i. Sarana pemerataan pendapat untuk mencapai keadilan sosial54

Syauqi Ismail Syahatih dalam bukunya al-zakat, menulis bahwa zakat berfungsi sebagai sarana jaminan sosial dan persatuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, membenteras kemiskinan dan kemelaratan umat manusia, dalam hal ini zakat merupakan bukti kepedulian sosial serta kesetiakawanan nasional.55

2. Hikmah Zakat

Zakat memiliki banyak hikmah, baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya maupun hubungan sosial kemasyarakatan antar umat manusia. Adapun hikmah disyariatkan zakat ialah:

a. Mengikis sifat-sifat kekikiran dalam jiwa seseorang muzakki serta melatihnya untuk berjiwa dermawan.

54

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998., h. 41.

55

Anshari Taslim, Prinsip Zakat Dalam Dunia Modern. (Jakarta: Pustaka Dian, 1987), Cet. ke. 1, h. 95.


(38)

b. Menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya terhadap penerimanya tetapi juga terhadap muzakkinya. Karena kesenjangan sosial lama-kelamaan jika dibiarkan akan menimbulkan gejolak sosial. c. Zakat disamping memberikan keuntungan kepada kebaikan akhirat, juga

menambah nilai harta yang tersisa dengan arti pengembangan dan permanfaatannya akan lebih baik.

d. Dorongan ajaran agama Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang beriman untuk berzakat, berinfak dan bersedekah menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup, juga berlomba-lomba menjadi Muzakki.56

e. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian hak orang lain dari harta yang kita usahakan sesuai dengan ketentuan Allah SWT.57

Ini adalah syariat Allah SWT yang adil dan penuh kasih sayang, yang telah lahir sejak empat belas abad yang lampau. Maka bagaimana bisa menandinginya dengan aturan-aturan yang diciptakan manusia, aturan-aturan moderen dan kebudayaan-kebudayaan baru yang mengakibatkan mudharat pada yang berhutang sampai adanya pengumuman pailitnya, merusak rumah tangganya, tanpa ada pertolongan sama sekali dari masyarakat dan

56

Anshari Taslim, Prinsip Zakat Dalam Dunia Modern. (Jakarta: Pustaka Dian, 1987), Cet. ke. 1, h. 198.

57

Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modera, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet. ke. 1, h.10.


(39)

pemerintahannya. Bagaimana pula bisa menandingi syariatAllah yang adil dan penuh rahmat. Undang-undang Romawi pada sebagia aturannya membolehkan orang yang meminjamkan untuk memperbudak orang yang mempunyai hutang. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa perbuatan tersebut berlangsung terus sampai pada permulaan Islam, kemudian di nasab dan tidak ada satu alasan pun bagi orang yang menghutangkan untuk memperbudak orang yang berhutang.

Hutang itu bukan hanya membahayakan pribadi dan ketenteraman orang yang berhutang saja akan tetapi juga berbahaya bagi akhlak dan perjalanan hidupnya.

Disinilah kedudukan gharim dalam Islam sangat diperhatikan. Perhatian Islam terhadap orang yang berhutang dan yang mempunyai piutang dengan sifat umum adalah perhatian yang menakjubkan yang penekanannya pada pribadi, yaitu:

1. Pertama-tama ia harus mengajarkan anaknya untuk hidup sederhana, jangan sampai meminjam.

2. Apabila si muslim dipaksa keadaan dan meminta, maka ia harus berusaha dengan sunguh-sunguh untuk menepati janji dan cepat untuk mengembalikannya.

3. Apabila ia tidak mampu membayar seluruh atau sebagian hutangnya dengan alasan tidak mampu membayar, maka pemerintah harus ikut campur menyelamatkan ia dari belenggu hutang yang menimpanya dan melemahkan kedudukannya. Karena dikatakan hutang itu yang menyebabkannya bingung diwaktu malam dan hina diwaktu siang.


(40)

F. Sistem Pembagian Zakat

Untuk mengarah kepada daya guna dan hasil guna dari harta zakat, perlu adanya pengarahan dan pembinaan bagi mustahik zakat, baik untuk mustahik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat umum, karena harta zakat yang terkumpul harus diberikan kepada mustahik delapan.

Menurut Ulama Abu Hanifah dan Imam Malik, zakat boleh dibagikan kepada satu golongan saja dari mustahik yang delapan. Bahkan menurut Abu Hanifah, zakat boleh diberikan kepada satu orang saja dari salah satu asnaf, yaitu diberikan kepada yang paling membutuhkan.58

Surat At-Taubah ayat 60 diturunkan untuk menjelaskan kategori orang-orang yang berhak untuk menerima zakat. Harta zakat yang terkumpun di utamakan untuk diberikan kepada golongan yang lebih membutuhkan, karena maksud zakat adalah untuk menutupi kebutuhan, terutama untuk golongan fakir miskin.59

Menurut Abu Hanifah, surat At-Taubah ayat 60 memberi pengertian bahwa harta zakat ini tidak boleh diberikan kepada selain delapan asnaf, akan tetapi dalam pembagiannya boleh memilih diantara delapan asnaf tersebut yang mana lebih membutuhkan.60

58

Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, (t. t., al-Imam, t. th.) jilid 6, h. 192.

59

Sjechul Adi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1996), h. 26.

60

Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, (t. t., al-Imam, t. th.) jilid 6, h.224.


(41)

Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar mengemukakan bahwa adanya perbedaan pendapat antara ulama salaf dan ulama-ulama sekarang dibeberapa Negara dalam masalah ini, menunjukkan bahwa tidak adanya sunah amaliah di zaman Rasulullah SAW, dalam hal pengelolaan dan pendistribusian harta zakat.61

Pada surat At-Taubah ayat 60 pun tidak terdapat perincian cara pembagian harta zakat. Ayat tersebut hanya menetapkan orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu hanya kepada delapan golongan yang disebut saja. Bahkan Nabi SAW sendiri pun tidak pernah menerangkan cara pembagian itu. Beliau membagikan harta zakat kepada mustahik sesuai kebutuhan yang diperlukan dan disesuaikan pula dengan jumlah persediaan harta zakat yang ada.

Golongan Hanafiyah membolehkan distribusi zakat dengan qimah, yaitu penukaran harta zakat yang sudah ditentukan dengan benda lain atau dengan uang tunai. Mereka beralasan bahwa, maksud dari zakat adalah untuk menutupi kebutuhan hidup dan menjadikan orang fakir atau miskin berkecukupan, menyelenggarakan kemaslahatan umum baik bagi agama maupun umat, demi menjunjung tinggi kalimat Allah SWT.62

BAZIS DKI Jakarta, dalam memudahkan pengumpulan dan penyaluran zakat, cenderung mengikuti pendapat golongan hanafiyah, yaitu sahnya mengeluarkan zakat dengan uang tunai jika dikehendaki oleh kemaslahatan.63

61

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’arif, t. t), jilid 10, h.593. 62

Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Fath al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, (t.t Al-Maktabah as-Salafiyah, t. th.), jilid 4, h. 54.

63

Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah (BAZIS), Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, (Jakarta: 2002), h. 30.


(42)

BAB III

GHARIM DALAM PANDANGAN FUKAHA DAN KEDUDUKANNYA DALAM FIKIH

A. Makna Gharim Dalam Fikih Klasik

1. Madzhab Hambali

Kata gharimin adalah bentuk jamak dari gharim yang artinya wajib karena hutang itu harus dibayar.64

a. Orang yang berhutang untuk kepentingan pribadi, untuk hal-hal yang diperbolehkan atau hal-hal yang haram dengan syarat ia bertaubat, maka ia dapat memperoleh zakat sebatas untuk menutupi sisa hutangnya.65 b. Orang yang berhutang untuk kepentingan sosial.

2. Madzhab Maliki

Yang dimaksud gharim adalah orang yang mempunyai hutang, sedang ia tidak mempunyai apa-apa untuk melunasi hutangnya. Maka hutangnya itu dapat dilunasi dari zakat, sekalipun setelah ia meninggal dunia.66

3. Madzhab Hanafi

Yang dimaksud gharim menurut madzhab ini adalah orang yang mempunyai hutang dan tidak mempunyai harta lebih selain untuk membayar

64

Anshari Taslim, Fiqh Imam Syafi’I, Puasa dan Zakat, terj. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), h. 205.

65

Moch. Anwar, dkk. Fathul Mu’in. (Bandung Sinar Baru Agensindo, 1994), h. 583. 66


(43)

hutangnya, membayar zakat kepadanya (untuk menutupi hutang) lebih utama daripada memberikan kepada fakir.67

4. Madzhab Syafi’i

Sedangkan yang dimaksud gharim menurut madzhab syafi’I adalah terdiri dari empat macam:

a. Mereka yang berhutang untuk mendamaikan kedua kubu yang bersengketa agar terhindar dari perkelahian yang menyebabkan pembunuhan, maka golongan ini berhak menerima zakat meskipun yang menerimanya adalah orang kaya. Tujuannya adalah untuk memberikan dukungan kepada mereka karena telah melakukan suatu amalan yang sangat terpuji. Allah berfirman didalam Al-Quran:

Š‹

HG

!

H

¤Xx

]S

GMv£

n¥6#

Š‹ 7

n +S

+ +S)g

0&:/($'<

))g

0

)

E+S

))g

Ÿ1 I?n• 7

[‰ A+

3

3

j

+S )

GT(EC=+Z

f:œ

+

.G

M

“:

+

G ' :>

:#

 no)g

b©" 8+

)

F I

\

:

(

Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q.S. An-Nisaa (4): 114)

b. Orang yang berhutang karena menjamin seseorang.

67


(44)

c. Orang yang berhutang untuk diri atau keluarganya dalam hal yang diperbolehkan.

d. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan umum, seperti membangun rumah, persinggahan untuk para tetamu, membangun masjid atau rumah sakit dan sebagainya. Maka mereka berhak untk menerima zakat seandainya tidak sanggup membayarnya.68

Pada Madzhab Syafi’I dan Hambali diatas, gharim terbagi menjadi beberapa bagian. Sedangkan pada Madzhab Hanafi dan Maliki tidak membahaskan bagian-bagian gharim yang harus diberi zakat, namun kedua madzhab tersebut hanya memberikan pengertiannya saja, sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Menurut ulama fikih klasik dalam arti global pada empat madzhab ini, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan sosial, pada madzhab Hambali pula orang yang mempunyai hutang dalam hal-hal yang haram boleh mendapatkan zakat hanya sebatas untuk menutupi sisa hutangnya, tapi dengan syarat sebelumnya harus bertaubat. Pada madzhab Hanafi pula memberikan zakat kepada orang yang mempunyai hutang lebih utama dari pada memberikannya kepada orang fakir. Menurut madzhab Maliki pula gharim adalah orang yang mempunyai hutang, maka hutangnya dapat dilunasi dari pemberian zakat, sekalipun setelah ia meninggal dunia.

68

Anshari Taslim, Fiqh Imam Syafi’I, Puasa dan Zakat, terj. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), h.205.


(45)

Dari keempat definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gharim adalah orang yang berhutang dan tidak mempunyai harta yang cukup untuk menutupi hutangnya, baik hutang itu untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan masyarakat. Mereka berhak menerima zakat untuk menutupi hutangnya. Dengan syarat hutang tersebut tidak digunakan untuk kemaksiatan atau pun hal-hal yang dilarang oleh syariat Islam.

B. Makna Gharim Dalam Fikih Kontemporer

1. Wahbah al-Zuhaily

Menurut Wahbah al-Zuhaily gharim adalah orang yang mempunyai, baik berhutang pada dirinya atau berhutang untuk menyelesaikan persengketaan, baik untuk tujuan taat kepada Allah SWT atau karena maksiat tetapi harus dengan syarat bertaubat terlebih dahulu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi’i dan Hambali.69 Rasulullah SAW bersabda:

,45 3 64- 3 7 58 7 9

;

S<T

4UI N%ﺕ

;

WX

L9'ﻡ M WX

L= ﻡ 2 WX

LB ﻡ Y

G

WXﻡ

J 8

K

Artinya: “Tidak boleh meminta-minta kecuali bagi tiga golongan yaitu orang yang sangat membutuhkan, orang yang berhutang berat memikulnya

69

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatu, (Mesir, Darul Fikr, 2002) juz. 3, h. 1956.


(46)

atau orang yang harus membayar denda dan tidak bisa membayarnya” (Riwayat Tirmidzi)70

Adapun pada fikih kontemporer yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa gharim adalah orang yang mempunyai hutang, karena gharim adalah tetap, yang artinya tetap kepadanya orang yang mempunyai hutang.

2. Yusuf al-Qardhawy

Gharimin adalah bentuk jamak dari gharim, (dengan huruf ghin fathah panjang) artinya orang yang mempunyai hutang, sedangkan ghariim (dengan ra kasrah panjang) adalah orang yang berhutang, kadang kala dipergunakan untuk orang yang mempunyai piutang. Adapun asal pengertian gharim, menurut bahasa adalah tetap, seperti yang terdapat didalam firman Allah SWT:

[‰… /K

)

+u

87+Z

%

n

Hª«

3 +

-0

1"+

+zKE(v(o

W

Šm 7

(v+

1"+

+u/1k

S

+ 1‘

G

? 9 Z

[

#; #

K

Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".(Q.S. al-Furqan (25): 65)

Dengan makna itulah ia disebut gharim, karena hutang telah tetap kepadanya. Menurut Yusuf al-Qardhawi gharim yang berhak atas zakat itu ada dua macam:

a. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan diri sendiri, adalah seperti untuk memenuhi nafkah, membeli pakaian, melaksanakan perkawinan, mengobati

70

Didin Hafidhuddin, dkk. Pedoman Hidup Muslim, terj. (Jakarta: PT. Pustaka Litera Nusa, 1996) h. 445


(47)

orang sakit, mendirikan rumah, mengawinkan anak atau menggantikan barang orang lain yang rusak. Termasuk didalam kriteria gharim ini adalah mereka yang ditimpa bencana yang terjadi tiba-tiba, seperti tertimpa musibah baik rumahnya terbakar habis atau rumahnya hancur oleh banjir, gempa bumi, tanah longsor dan sejenisnya. Baik pada dirinya maupun pada hartanya, sehingga ia mempunyai kebutuhan mendesak untuk meminjam bagi dirinya dan keluarganya.

b. Dari gharim ini adalah orang-orang yang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan yang tinggi, cita-cita yang tinggi pula, yang masyhur dikalangan masyarakat Arab dan Islam. Mereka itu adalah orang-orang yang berhutang karena mendamaikan dua golongan yang bersengketa. Misalnya ketika terjadi dua kelompok besar seperti antar dua suku atau dua negara karena bertentangan memperebutkan harta, kemudian ada orang yang menengahi antara dua kelompok tersebut merelakan dirinya menggantikan harta yang diperebutkan itu, agar api permusuhan segera padam.

Sebagai contoh orang yang mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa, orang yang bergerak dibidang kegiatan sosial yang bermanfaat seperti membangun Yayasan anak yatim, rumah sakit untuk orang-orang fakir, masjid untuk melaksanakan ibadah shalat ataupun mendirikan sekolah belajar untuk kaum muslimin, atau perbuatan baik lainnya yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Sesungguhnya orang itu telah berkhidmat dirinya didalam kebajikan untuk kepentingan masyarakat.


(48)

Maksud dari ini semua adalah bahwa orang yang berhutang karena melayani kepentingan masyarakat, hendaknya diberi bagian dari zakat untuk menutupi hutangnya, walaupun ia orang yang kaya.71

Bila Yusuf al-Qardhawy membagi gharim menjadi dua macam, lain halnya dengan ulama lain yang membagi gharim yang berhak menerima zakat menjadi empat macam yaitu:

a. Orang yang berhutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Hutang itu tidak timbul karena kemiskinan. 2. Hutang itu melilit pelakunya.

3. Si pengutang tidak sanggup lagi melunasi hutangnya.

4. Hutang itu sudah jatuh tempoh atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.

b. Orang yang berhutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berhutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya denda (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang rusak.

c. Orang yang berhutang untuk menjamin hutang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.

d. Orang yang berhutang untuk pembayaran denda karena pembunuhan tidak sengaja, bila keluarganya benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut.72

71

Didin Hafidhuddin, Hukum Zakat, terj. (Jakarta: PT. Pustaka Mizan, 1999), h. 604. 72


(49)

C. Kriteria Gharim Mustahik Menurut Fukaha Klasik

1. Kriteria Gharim Yang Berhak Menerima Zakat Menurut Fukaha Klasik.

Madzhab Syafi’I mengemukakan bahwa orang yang berhak menerima zakat adalah orang yang mengaku hamba mukatab atau gharim, dapat dibenarkan dengan ada saksi seorang yang adil dan dibenarkan oleh tuannya bagi mukatab, dibenarkan oleh yang menghutangkan bagi gharim atau karena sifatnya sudah terkenal dikalangan masyarakat.73

Pada madzhab Maliki menyebutkan bahwa orang yang berhak menerima zakat bagi orang yang berhutang (gharim) adalah:

a. Merdeka. b. Islam.

c. Bukan keturunan Bani Hasyim.

d. Hutangnya itu kepada sesama manusia, jika hutangnya kepada Allah SWT seperti hutang kifarat, maka untuk melunasinya tidak boleh dari zakat.74 Sedangkan pada madzhab lain, penulis tidak menemukan batasan-batasannya, hanya saja penulis dapat menyimpulkan bahwa batasan gharim yang berhak diberikan kepada orang-orang yang berhutang, baik untuk kepentingan dirinya maupun kemaslahatan umat maka boleh mengambil zakat, namun hanya sebatas menutupi hutangnya saja.75

73

M. Anwar, Fathul Mu’in, terj., Op. Cit., h. 585. 74

M. Zuhri, dkk, Fiqh Empat Madzhab, (Semarang: As-Syifa, 1994), cet. ke 1, jilid 4, h.162.

75

Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm. Penerjemah Muhammad Yasir Abu Mutholib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), h.466.


(50)

2. Kriteria Gharim Yang Tidak Berhak Menerima Zakat Menurut Fukaha Klasik Menurut madzhab Syafi’I harta zakat itu, sedikitpun tidak boleh untuk membungkus mayat atau membangun masjid-masjid (secara langsung, kecuali melalui gharim, sebab mustahik itu harus orang dan bukan benda).76 Jika memberikan zakat pada orang yang berhutang kepadanya dengan syarat bahwa ia harus mengembalikan zakat itu untuk membayar hutangnya, maka yang demikian adalah tidak boleh dan tidak sah membayar dengan zakat.77

Orang yang berhutang karena menjamin seseorang, jika jaminan tersebut ada yang menjamin selain dirinya dan ia sanggup membayarnya maka ia tidak berhak menerima zakat. Orang yang berhutang dalam hal-hal kemaksiatan seperti membeli khamar dan yang sejenisnya atau yang diharamkan oleh agama, maka orang itu tidak berhak untuk menerima zakat.78

Pada madzhab Hambali dan Hanafi berdasarkan dari pengertiannya, penulis dapat menyimpulkan bahwa gharim yang tidak berhak menerima zakat adalah gharim dalam hal-hal kemaksiatan yang diharamkan oleh agama Islam. Pada madzhab Maliki orang yang berhutang atau gharim dari hutangnya itu disebabkan karena boros maka gharim sejenis ini tidak berhak untuk mendapatkan bantuan zakat.

D. Kriteria Gharim Mustahik Menurut Fukaha Kontemporer

76

M. Anwar, Op. Cit., h. 585. 77

Ibid. 78

Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm. Penerjemah Muhammad Yasir Abu Mutholib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), h.478.


(51)

1. Kriteria Gharim Yang Berhak Menerima Zakat Menurut Fukaha Kontemporer Ada beberapa gharim yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri diberi untuk membayar segala hutangnya dengan beberapa syarat:

a. Hendaklah ia mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar hutangnya, sehingga apabila ia kaya dan mampu untuk menutupi hutangnya dengan uang atau benda yang dimilikinya, maka ia tidak berhak menerima zakat.

b. Hendaklah orang itu mempunyai hutang untuk melaksanakan ketaatan atau melaksanakan sesuatu urusan yang dibolehkan. Sedangkan apabia ia mempunyai hutang karena suatu kemaksiatan seperti untuk membeli miras, melakukan perzinahan, berjudi dan lain-lain pekerjaan yang diharamkan, maka ia jangan diberi bagian zakat.

c. Hendaklah hutangnya dibayar pada waktu itu, apabila diberi waktu tenggang. Maka terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama membolehkan untuk menerima zakat sedangkan pendapat kedua tidak membolehkan dengan alasan ia tidak membutuhkannya pada waktu itu. d. Keadaan hutangnya ia adalah sesuatu yang bias ditahannya, sehingga

masuklah hutang si anak pada orang tuanya dan pada orang yang mengalami kesulitan. Akan tetapi tidak termasuk hutang kifarat dan hutang zakat, karena hutang yang bisa ditahan adalah hutang yang lebih yaitu hutang piutang kepada sesama manusia, sedangkan kifarat dan hutang zakat adalah termasuk hutang kepada Allah.


(52)

Menurut para ulama lain, kriteria seorang gharim yang berhak mendapatkan dana zakat, ditentukan oleh syarat-syarat secara umum sebagai berikut, antara lain:

a. Orang tersebut tidak mampu melunasi hutangnya.

b. Hutangnya dalam masalah kebaikan atau dalam masalah yang mubah (harus). Sedangkan bila ia berhutang pada masalah yang mana hukum dasarnya mubah namun ia melakukannya secara berlebih-lebihan. Maka sama sekali tidak berhak mendapatkan dana zakat. Karena berlebih-lebihan itu sudah terlarang meski untuk hal-hal yang mubah. Allah SWT berfirman:

!¬o+U +Z

+-(

W

) "E{

G

B+™+®Z l

($% 

@•T k

p$

¥

+S

W

E?8x )

W

Hƒ

)

X‹ )

W

d E> HnŸET

j

˜ 6# 7

X‹

a? + P

+!A > HnŸ5C

G

\

/

;

K

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al-A’raf (7) : 31)

c. Hutangnya harus segera dibayarkan.

Dana zakat bisa diberikan kepada gharim dengan syarat bahwa saat ini ia memang harus segera melunasinya. Sedangkan bila masih ditunda


(1)

DAFTAR PUSTAKA al-Quran al-Karim

Abdurrahman, dan Mubarak, Zakat dan Peranannya Dalam Pembangunan Bangsa Serta Kemaslahatannya Bagi Umat, Bogor, CV Surya Handayani, 2002 Abidin Zainal, dan Mas’ud Ibnu, Fiqh Madzhab Syafi’e, Bandung, Pustaka Media,

cet. Ke 1, 2005

Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Zakat dan Wakaf, Jakarta, UI Press, 1998 Asqalany, Ibnu Hajar, Syarah Bulughul Maram Hadits Hukum-Hukum Islam,

Penerjemah; Achmad Sunarto, (Surabaya: Halim Jaya)

Asyur, Ahmad, Isa, Al-Fiqh al-Muyassar, terjemahan Zaid Husain al-Hamida, Jakarta, Pustaka Amani, 1994

Asy-Syafiqah, Khalid, bin Abdullah, Fiqh Imam Syafi’e Puasa dan Zakat, Terjemahan Anshari Taslim, Jakarta, Pustaka Azzam, 2003

Asqallany, Ibnu Hajar, al-, Fathul Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, tt. Al-Maktabah as-Salafiyah, t.th.

Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Imam Syafie. Ringkasan Kitab Al Umm, Jakarta, Pustaka Azzam, 2008

Abi Daud, Sijistani, Sulaiman Ibnu, Sunan Abu Daud, Beirut, Dar al-Fikr, 1994 Bariadi, Lili, dkk, Zakat Wirausaha, Jakarta, CV. Pustaka Amri, cet. 1, 2005. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Pelita III, 1987. Departemen Agama, Panduan Zakat seri 9, Jakarta, Proyek Peningkatan Zakat dan

Wakaf 2002.

Daradjat, Zakiah, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, Jakarta, CV. Ruhama, cet. 6, 1999.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, edisi. 3, cet. 2, 2002.


(2)

Dewan Direksi Ensiklopedia Islam, Zakat, Jakarta, Ichtiar Baru van Houve, jilid. 5, 1994.

Djuanda, Gustian, dkk, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Daud, Imam Abu, Kitab Sunan Abi Daud, Mishr: Darul Fikr, Juz II.

Ensiklopedia Islam, Dewan Direksi, Zakat, Jakarta, Ichtiar Baru Van Houve, 1994, jilid. 5.

Fikri, Mohd. Abdullah Hj, Wibawa Zakat di Dalam Urusan Negara, Johor, Karangkraff Johor Press, 2003.

Fananni, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, al-Fathul Mu’in, terjemahan M. Anwar, dkk, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 1994.

Fachruddin, Fuad, Zakat, Kaherah: Sekertaris Umum Majis, tth.

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta 2007.

Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani, cet. 1, 2002

Hajaj, Imam Abi Husain Muslim bin, Al, Shahih Muslim, Beirut, Darul Kitab al-Libanany, t.th.

Hamzah, Hj. Ismail, Sejarah Perekonomian Zakat, Perbandingan Dengan Undang-undang, Pahang, Kolej Islam Pahang Pers, 2006

Jamaluddin, Tahrim, Zakat dan Pembangunannya Terhadap Negara, Kajian Bersama dalam Masyarakat Majmuk, Johor, Jabatan Agama Islam Muar, 1999.

Mudjieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus, 1995, Cet. Ke. 2.

Nawawi, Imam, Hadith Arbain. Penerjemah Ibnu Nizhamuddin, Tim Gip. Cet.1., Jakarta: Gema Insani Press.


(3)

Nata, Abudin, dkk, Mengenal Hukum Zakat dan Infaq Shadaqah, Jakarta, BAZIS DKI, 1999.

Nasution, Lahmuddin, Fiqh, Jakarta, Logos, cet. 1, 1995

Nawawi, an, Muhyiddin bin Syaraf, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, tt, al-Imam, t.th Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta: BAZIS, Rekomendasi dan Pedoman

Pelaksanaan Zakat, Jakarta, 2002.

Permono, Sjechul, Hadi, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996.

Penyusun IMZ, Tim, Panahan Zakat Praktis, Jakarta, Institut Manajemen Zakat, 2002.

Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002.

Qardhawy, Yusuf, Al-Ibadah fi al-Islam, Mesir, Muassasah al-Risalah, 1979 Ridha, Muhammad, Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Ma’arif, jilid 10, t.th. Rifa’I, Moh, dkk, Kifayatul Ahyar, terjemahan, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1997, Jilid. I Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah 3, Bandung, al-Ma’arif, cet. 1, 1987

Samoin, Salam, Sebab-sebab Zakat Wajib Dilaksanakan, Johor, UM Press, 2000. Saepudin, Ahmad, M, Studi Nilai-Nilai Ekonomi Islam, Jakarta, Media Dakwah, 1984 Siddieqy, Hasbi, Ash, Pedoman Zakat, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1999 Sadari, Ramli, Pengaruh Zakat dan Kekuatannya Didalam Pendidikan Masyarakat,

Kuala Lumpur, MustikaKraf Press, 2005. Syalthut, Mahmud, al-Fatawa, tt. Darul Kalam: tth. Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Bandung, Mizan, 1998


(4)

Zuhri, Moh. Fiqh Lima Madzhab, terjemahan, Jakarta, Penerbit Lentera, 2002. Studi Review:

Hermanto, Hadi. Peran USZ (Unit Salur Zakat) Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Mustahik (Skripsi jurusan Muamalat Fak. Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).

Website:

http://www.syariahonline, com/konsultasi/ http://www.zakat.com/

http://www.mainj.gov.com.my/ http://uinjktmalaysian.blogspot.com Wawancara:

Puan Jamilah binti Saad, Yaitu Penolong Pegawai Jawatankuasa Bahagian Zakat dan Fitrah, Pusat Urusan Zakat Johor (PUZJ), tanggal 19 Oktober 2009, jam 9.00 pagi bertempat di Kantor Ibu Pejabat Majlis Agama Islam Negeri Johor, Tingkat 5, Blok `B’, Pusat Islam Iskandar Johor, Johor Bahru, Johor Darul Takzim. Malaysia.


(5)

IBU PEJABAT MAJLIS AGAMA ISLAM NEGERI JOHOR

Ruj. Tuan : Un.02/F5/KM.00.03/302/09

Ruj. Kami : (88) dlm. MAINJ 103-2/5Jld 3

Tarikh : 19 Oktober 2009 Departeman Agama RI

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, Indonesia.

Tuan,

PENGESAHAN TEMUBUAL, BAHAN DAN MAKLUMAT PELAJAR : MOHAMMAD SUHAIB BIN ATAN

NIM : 107044203951

Dengan segala hormatnya perkara di atas adalah dirujuk. 2. Adalah dengan ini dimaklumkan bahawa pelajar seperti nama di atas telah mendapatkan bahan dan maklumat melalui temubual dengan pihak pegawai Majlis Agama Islam Negeri Johor untuk menyelesaikan kajian tesis beliau.


(6)

Sekian untuk makluman dan tindakan pihak tuan, terima kasih.

!"

# $% $! % &# #'

(PUAN JAMILAH BINTI SAAD) Penolong Pegawai Jawatankuasa Bahagian Zakat dan Fitrah,

Pusat Urusan Zakat Johor (PUZJ),) b/p Ketua Bahagian Zakat.