2. Kriteria Gharim Yang Tidak Berhak Menerima Zakat Menurut Fukaha Klasik
Menurut madzhab Syafi’I harta zakat itu, sedikitpun tidak boleh untuk membungkus mayat atau membangun masjid-masjid secara langsung, kecuali
melalui gharim, sebab mustahik itu harus orang dan bukan benda.
76
Jika memberikan zakat pada orang yang berhutang kepadanya dengan syarat bahwa
ia harus mengembalikan zakat itu untuk membayar hutangnya, maka yang demikian adalah tidak boleh dan tidak sah membayar dengan zakat.
77
Orang yang berhutang karena menjamin seseorang, jika jaminan tersebut ada yang menjamin selain dirinya dan ia sanggup membayarnya maka ia tidak
berhak menerima zakat. Orang yang berhutang dalam hal-hal kemaksiatan seperti membeli khamar dan yang sejenisnya atau yang diharamkan oleh agama,
maka orang itu tidak berhak untuk menerima zakat.
78
Pada madzhab Hambali dan Hanafi berdasarkan dari pengertiannya, penulis dapat menyimpulkan bahwa gharim yang tidak berhak menerima zakat
adalah gharim dalam hal-hal kemaksiatan yang diharamkan oleh agama Islam. Pada madzhab Maliki orang yang berhutang atau gharim dari hutangnya itu
disebabkan karena boros maka gharim sejenis ini tidak berhak untuk mendapatkan bantuan zakat.
D. Kriteria Gharim Mustahik Menurut Fukaha Kontemporer
76
M. Anwar, Op. Cit., h. 585.
77
Ibid.
78
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm. Penerjemah Muhammad Yasir Abu Mutholib Jakarta: Pustaka Azzam, 2004, h.478.
1. Kriteria Gharim Yang Berhak Menerima Zakat Menurut Fukaha Kontemporer
Ada beberapa gharim yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri diberi untuk membayar segala hutangnya dengan beberapa syarat:
a. Hendaklah ia mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat
membayar hutangnya, sehingga apabila ia kaya dan mampu untuk menutupi hutangnya dengan uang atau benda yang dimilikinya, maka ia
tidak berhak menerima zakat. b.
Hendaklah orang itu mempunyai hutang untuk melaksanakan ketaatan atau melaksanakan sesuatu urusan yang dibolehkan. Sedangkan apabia ia
mempunyai hutang karena suatu kemaksiatan seperti untuk membeli miras, melakukan perzinahan, berjudi dan lain-lain pekerjaan yang
diharamkan, maka ia jangan diberi bagian zakat. c.
Hendaklah hutangnya dibayar pada waktu itu, apabila diberi waktu tenggang. Maka terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama
membolehkan untuk menerima zakat sedangkan pendapat kedua tidak membolehkan dengan alasan ia tidak membutuhkannya pada waktu itu.
d. Keadaan hutangnya ia adalah sesuatu yang bias ditahannya, sehingga
masuklah hutang si anak pada orang tuanya dan pada orang yang mengalami kesulitan. Akan tetapi tidak termasuk hutang kifarat dan
hutang zakat, karena hutang yang bisa ditahan adalah hutang yang lebih yaitu hutang piutang kepada sesama manusia, sedangkan kifarat dan
hutang zakat adalah termasuk hutang kepada Allah.
Menurut para ulama lain, kriteria seorang gharim yang berhak mendapatkan dana zakat, ditentukan oleh syarat-syarat secara umum sebagai
berikut, antara lain: a.
Orang tersebut tidak mampu melunasi hutangnya. b.
Hutangnya dalam masalah kebaikan atau dalam masalah yang mubah harus. Sedangkan bila ia berhutang pada masalah yang mana hukum
dasarnya mubah namun ia melakukannya secara berlebih-lebihan. Maka sama sekali tidak berhak mendapatkan dana zakat. Karena berlebih-
lebihan itu sudah terlarang meski untuk hal-hal yang mubah. Allah SWT berfirman:
¬o+U +Z +-
W E{
G B+™+®Z l
•T k
p ¥
+S W
E?8x W
Hƒ
X‹ W
d E HnŸET j
˜ 6 7 X‹
a? + P +A HnŸ5C
G \
; K
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Q.S. Al-A’raf 7 : 31
c. Hutangnya harus segera dibayarkan.
Dana zakat bisa diberikan kepada gharim dengan syarat bahwa saat ini ia memang harus segera melunasinya. Sedangkan bila masih ditunda
dan ada kemungkinan untuk melunasinya nanti, maka belum boleh dikeluarkan.
d. Hutangnya adalah hutang kepada sesama manusia.
Misalnya hutang kepada rekan bisnis, tetangga termasuk kepada orang tua sendiri.
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaily, terdapat dua bagian yang harus diberi zakat dalam masalah ini, pertama gharim untuk dirinya sendiri dan yang
kedua ialah gharim untuk menyelesaikan perselisihan antar dua pihak, baik untuk tujuan taat maupun maksiat dengan syarat harus bertaubat. Maka secara mutlak
mereka berhak menerima zakat walaupun orang kaya dan yang menyelesaikan persengketaan meskipun kafir zimmi. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
7 9 7 ] ﻡ ﺏ 9 ;
3 64 - 3 7 58 Cﺕ M ﺡ C4 ﺕ
? C 9 ی 7 9 ,. ﺏ _ ﻡ M :9X ﺕ Cﺡ ,9 7 M M : 5 ,45 .. ﺡ
Nﺕ I
` 6 ﺡ
I : C4 M ﺡ N ﺕ Nﺝ8
_ I ی ,. ی `
ﻡ ﺝ : ﺏ - Nﺝ8 C ﺡ I : C4M : ﻡ Cﺡ ﺝ
b ﻡ 2 5 7 9 b ﻡ 9 cی
` Nﺝ8
` 7 ی 6 ﺡ 9 M : ﺏ -
:ﻡ 9 ﻡ Oﺡ 8 2 ﻡ .. `
6 ﺡ I : C4M 9 M M M Cﺏ -
9 ی I ﻡ + 5 M b ﻡ d 5 7 9 b ﻡ ﻡ 9 cی
- ND ی C IM 5 +
G H 2 2 ﺏ e I ,4 Iﻡ ﺡ J 8
K
Artinya: “Dari Qubaishah bin al-Mukharik al-Hilal ia berkata: “Aku telah memikul suatu beban untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa,
tunggulah sampai dating zakat. Akan kami suruh untuk memberikan kepadamu. Lalu beliau berkata pula, hai Qubaishah, meminta-minta ini
tidakah halal kecuali dalam tiga hal, seorang laki-laki memikul suatu beban, maka halal lah ia meminta sampai lepas beban itu, kemudian
hendaklah ia berhenti, seorang laki-laki ditimpa suatu kerusakan atau musibah yang amat sangat ketika itu ia meminta, sampai susahnya
hilang, maka berhentilah dan seorang laki-laki yang sudah sangat melarat, sehingga sudah sampai bertiga kaumnya yang mampu
mengatakan, bahwa dia memang sudah sangat melarat, maka ketika itu halallah dia meminta, sehingga dia dapat hidup. Lain dari itu wahai
Qubaishah kalau masih meminta-minta juga adalah itu suatu perbuatan curang yang membawa mati dalam kehinaan. Riwayat Imam Ahmad,
Muslim, an-Nasai dan Abu Daud.
79
Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya. Yang dimaksud dengan kebutuhan adalah kebutuhan untuk
membayar hutang. Apabila ia diberi bagian, tetapi tidak dibayarkan pada hutangnya, atau ia membayar hutangnya sendiri, tetapi bukan dari harta zakat,
maka menurut pendapat yang benar, bahwa ia harus mengembalikan bagiannya itu, karena ia sudah tidak memerlukannya lagi. Baik hutang itu sedikit atau
banyak, sebab yang diperlukannya adalah terbayarnya hutang atau besarnya tanggung jawab terhadap hutang.
80
Termasuk golongan kedua dari gharim ini adalah orang-orang yang mempunyai hutang karena kemaslahatan orang lain.
Orang yang berhutang untuk kemaslahatan masyarakat, misalnya orang yang terpaksa berhutang karena mendamaikan dua pihak yang berselisih, yang
untuk menyelesaikannya membutuhkan dana yang cukup besar, atau kelompok
79
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatu, Mesir, Darul Fikr, 2002 juz. 3, h. 1933.
80
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm. Penerjemah Muhammad Yasir Abu Mutholib Jakarta: Pustaka Azzam, 2004, h.514.
yang mengurus lembaga kemanusiaan, yang terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan usaha lembaganya. Misalnya yayasan sosial yang memelihara anak
yatim piatu, orang-orang lanjut usia dan lainnya. Maka yang baik adalah beban itu dipikulkan pada zakat, agar jangan mengecilkan keinginan orang yang ingin
berbuat baik, atau melemahkan kehendaknya. Maka mereka yang berhutang untuk kemaslahatan masyarakat tentunya lebih utama pula untuk ditolong.
81
Dari beberapa pendapat diatas, maka yang menjadi batasan seorang gharim yang berhak menerima zakat menurut ulama kontemporer, gharim itu
berhutang untuk kemaslahatan sendiri bukan untuk hal yang mubah, gharim yang berhutang karena menjamin hutang orang lain, gharim yang berhutang untuk
pembayaran denda karena pembunuhan yang tidak sengaja dan gharim itu berhutang untuk kepentingan masyarakat banyak dan bukanlah digunakan untuk
suatu kemaksiatan. Mereka semua itu berhak atas zakat, yang tentunya mereka harus memenuhi beberapa persyaratan diatas.
2. Kriteria Gharim Yang Tidak Berhak Menerima Zakat Menurut Fukaha
Kontemporer. Wahbah Zuhaily mengemukakan bahwa orang yang berhutang untuk
dirinya tidak harus menerima zakat kecuali dalam keadaan fakir. Orang yang mempunyai hutang tetapi tidak mampu membayarnya dan ia tidak berlaku boros
atau merusak hartanya, dengan catatan hutangnya itu bukan untuk tujuan maksiat, maka tidak berhak untuk mendapatkan zakat. Atau secara sengaja berhutang
81
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf Jakarta:UI Press,1998, h.40.
tetapi ditangguhkan dengan tujuan untuk mendapatkan bagian zakat. Maka gharim yang demikian tidak berhak menerima zakat karena telah mempunyai
tujuan yang tercela. Adapun menurut Yusuf al-Qardhawy, batasan gharim yang tidak berhak
menerima bagian dari zakat adalah gharim yang masih mempunyai harta yang dapat membayar hutangnya, sehingga apabila ia kaya dan mampu untuk menutupi
hutangnya dengan uang atau benda yang dimilikinya. Adapun menurut Yusuf al-Qardhawy, batasan gharim yang tidak berhak
menerima bagian dari zakat adalah gharim yang masih mempunyai harta yang dapat membayar hutangnya, sehingga apabila ia kaya dan mampu untuk menutupi
hutangnya dengan uang atau benda yang dimilikinya. Melakukan suatu pekerjaan kemaksiatan yang diharamkan seperti judi,
zinah, minum minuman keras, atau melakukan kemaksiatan lainnya. Orang yang hidupnya berlebih-lebihan dalam memberi nafkah pada diri dan keluarganya
walaupun untuk menikmati suatu hal yang diperbolehkan. Karena sesungguhnya berlebih-lebihan terhadap hal yang diperbolehkan sampai berhutang, diharamkan
bagi setiap muslim. Apabila mereka diberi bagian dari zakat sama saja dengan menolongnya berbuat maksiat kepada Allah SWT. Maka gharim seperti ini tidak
berhak menerima bagian dari zakat. Dan sebaiknya ia disarankan untuk bertaubat. Jika orang yang mempunyai hutang diberi masa tenggang waktu, dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat. Menurut satu pendapat, ia berhak menerima zakat karena ia termasuk
gharim. Menurut pendapat lain pula ia tidak berhak menerima zakat karena ia
tidak membutuhkannya pada waktu sekarang. Menurut pendapat yang lain lagi yaitu apabila tenggang waktunya telah habis tahun itu juga, maka ia berhak
menerima zakat, dan apabila tidak, maka jangan diberi zakat pada tahun itu. Menurut Yusuf al-Qardhawy, orang yang mempunyai harta benda dan
berhutang, jika dilunasi, maka sisa harta bendanya tidak mencukupi kebutuhan hidup satu keluarganya, maka ia menahan bendanya sejumlah yang mencukupi
kebutuhan hidup satu keuarganya dalam satu tahun atau seusia umur ghalib. Kemudian sisanya dibuat melunasi hutangnya, dan apabila masih kurang maka
ditutupi oleh zakat dari jatah gharim.
E. Kedudukan Gharim Dalam Fikih