Dari keempat definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gharim adalah orang yang berhutang dan tidak mempunyai
harta yang cukup untuk menutupi hutangnya, baik hutang itu untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan masyarakat. Mereka berhak
menerima zakat untuk menutupi hutangnya. Dengan syarat hutang tersebut tidak digunakan untuk kemaksiatan atau pun hal-hal yang dilarang oleh syariat
Islam.
B. Makna Gharim Dalam Fikih Kontemporer
1. Wahbah al-Zuhaily
Menurut Wahbah al-Zuhaily gharim adalah orang yang mempunyai, baik berhutang pada dirinya atau berhutang untuk menyelesaikan persengketaan, baik
untuk tujuan taat kepada Allah SWT atau karena maksiat tetapi harus dengan syarat bertaubat terlebih dahulu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Madzhab
Syafi’i dan Hambali.
69
Rasulullah SAW bersabda:
,45 3 64- 3 7 58 7 9 ;
ST 4UI Nﺕ
; WX
L9ﻡ M WX L= ﻡ 2 WX
LB ﻡ Y G
WXﻡ J 8
K
Artinya: “Tidak boleh meminta-minta kecuali bagi tiga golongan yaitu orang yang sangat membutuhkan, orang yang berhutang berat memikulnya
69
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatu, Mesir, Darul Fikr, 2002 juz. 3, h. 1956.
atau orang yang harus membayar denda dan tidak bisa membayarnya” Riwayat Tirmidzi
70
Adapun pada fikih kontemporer yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa gharim adalah orang yang mempunyai hutang, karena gharim adalah tetap,
yang artinya tetap kepadanya orang yang mempunyai hutang. 2.
Yusuf al-Qardhawy Gharimin adalah bentuk jamak dari gharim, dengan huruf ghin fathah
panjang artinya orang yang mempunyai hutang, sedangkan ghariim dengan ra kasrah panjang adalah orang yang berhutang, kadang kala dipergunakan untuk
orang yang mempunyai piutang. Adapun asal pengertian gharim, menurut bahasa adalah tetap, seperti yang terdapat didalam firman Allah SWT:
[‰… K +u
87+Z n
Hª« 3 +
-0 1+
+zKEvo W
Šm 7 v+
1+ +u1k
S + 1‘
G ? 9 Z
[ ;
K
Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan
yang kekal. Q.S. al-Furqan 25: 65
Dengan makna itulah ia disebut gharim, karena hutang telah tetap kepadanya. Menurut Yusuf al-Qardhawi gharim yang berhak atas zakat itu ada
dua macam: a.
Orang yang berhutang untuk kemaslahatan diri sendiri, adalah seperti untuk memenuhi nafkah, membeli pakaian, melaksanakan perkawinan, mengobati
70
Didin Hafidhuddin, dkk. Pedoman Hidup Muslim, terj. Jakarta: PT. Pustaka Litera Nusa, 1996 h. 445
orang sakit, mendirikan rumah, mengawinkan anak atau menggantikan barang orang lain yang rusak. Termasuk didalam kriteria gharim ini adalah
mereka yang ditimpa bencana yang terjadi tiba-tiba, seperti tertimpa musibah baik rumahnya terbakar habis atau rumahnya hancur oleh banjir,
gempa bumi, tanah longsor dan sejenisnya. Baik pada dirinya maupun pada hartanya, sehingga ia mempunyai kebutuhan mendesak untuk meminjam
bagi dirinya dan keluarganya. b.
Dari gharim ini adalah orang-orang yang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan yang tinggi, cita-cita yang tinggi pula, yang
masyhur dikalangan masyarakat Arab dan Islam. Mereka itu adalah orang- orang yang berhutang karena mendamaikan dua golongan yang bersengketa.
Misalnya ketika terjadi dua kelompok besar seperti antar dua suku atau dua negara karena bertentangan memperebutkan harta, kemudian ada orang yang
menengahi antara dua kelompok tersebut merelakan dirinya menggantikan harta yang diperebutkan itu, agar api permusuhan segera padam.
Sebagai contoh orang yang mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa, orang yang bergerak dibidang kegiatan sosial yang bermanfaat
seperti membangun Yayasan anak yatim, rumah sakit untuk orang-orang fakir, masjid untuk melaksanakan ibadah shalat ataupun mendirikan sekolah belajar
untuk kaum muslimin, atau perbuatan baik lainnya yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Sesungguhnya orang itu telah berkhidmat dirinya didalam kebajikan
untuk kepentingan masyarakat.
Maksud dari ini semua adalah bahwa orang yang berhutang karena melayani kepentingan masyarakat, hendaknya diberi bagian dari zakat untuk
menutupi hutangnya, walaupun ia orang yang kaya.
71
Bila Yusuf al-Qardhawy membagi gharim menjadi dua macam, lain halnya dengan ulama lain yang membagi gharim yang berhak menerima zakat
menjadi empat macam yaitu: a.
Orang yang berhutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hutang itu tidak timbul karena kemiskinan.
2. Hutang itu melilit pelakunya.
3. Si pengutang tidak sanggup lagi melunasi hutangnya.
4. Hutang itu sudah jatuh tempoh atau sudah harus dilunasi ketika zakat
itu diberikan kepada si pengutang. b.
Orang yang berhutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berhutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya
denda denda kriminal atau biaya barang-barang yang rusak. c.
Orang yang berhutang untuk menjamin hutang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan
keuangan. d.
Orang yang berhutang untuk pembayaran denda karena pembunuhan tidak sengaja, bila keluarganya benar-benar tidak mampu membayar denda
tersebut.
72
71
Didin Hafidhuddin, Hukum Zakat, terj. Jakarta: PT. Pustaka Mizan, 1999, h. 604.
72
http:ZakatIslam.com
C. Kriteria Gharim Mustahik Menurut Fukaha Klasik