61
f. Daun sepenuh artinya murah rezki
g. Daun sambau artinya kuatketahanan.
Daun daun ini biasaya di ambil dari kebun perkarangan rumah yang sudah ditanam sebagai keperluan dalam acara- acara adat lainnya. Untuk lebih meringankan dalam melengkapi
penabur tepung tawar ini, tetangga yang mengerti akan semua perlengkapan ini siap membantu dalam menyiapkan prlengkapan tepung tawar.
5.3 Gotong Royong dalam Masyarakat Melayu di Secanggang
Berdasarkan makna teks dan konteks istiadat ritual khitanan dapat diutarakan bagaimana masyarakat Melayu di desa Secanggang terhadap kegotong royongan dapat disimak dari
berbagai penjelasan maupun dari pihak orang tua dan informan sebagai berikut: Hakekatnya, kegotong royongan menjadi unsur amat penting dalam kehidupan mereka.
Mereka memandang kegotongroyongan dan tenggang rasa sebagai sikap utama yang memancarkan nilai agama dan budaya yang mereka anut yang diwarisi, yang menjadi salah satu
acuan jati dirinya. Mereka menjelaskan, sifat kekeluargaan yang mereka warisi, sebagian tercermin di dalam kegotongroyongan dan tenggang rasa, baik di kalangan terbatas maupun
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara. Selain itu, para informan berpandangan bahwa ikatan kekeluargaan tidak akan kokoh dan kuat, bila tidak ditopang oleh
kegotong royonga antara sesamanya. Karena, mereka memandang kegotong royongan sebagai sikap hidup utama, dan cerminan dan jati diri mereka.
Dalam ungkapan adat dikatakan bahwa , “tanda hidup manusia terbilang, tolong menolong
tiada berkelang”, “tanda orang yang berbangsa, tahunya berkerja sama”. Ungkapan lain juga menegaskan, “kalau hendak menjadi orang, tolong menolong janganlah kurang”, “kalau hendak
menjadi manusia, hidupnya penuh bertenggang rasa”.
Universitas Sumatera Utara
62
Kemudian mereka berpandangan bahwa kegotong royongan sangatlah besar peranannya dalam kehidupan orang Melayu. Kegotong royongan meningkatkan tali persaudaraan,
menghapuskan kesenjangan sosial, perselisihan, dan mewujudkan ketertiban dan keamanan, meningkatkan persatuan dan kesatuan serta mensejahterakan kehidupan masyarakatnya dalam
arti yang luas. Salah satu anggota masyarakat desa Secanggang mengatakan bahwa, melalui kegotong
royongan, semua permasalahan dapat terselesaikan dengan baik. Di dalam ungkapan dikatakan, ‘kalau hidup tolong-menolong yang berat menjadi ringan, yang jauh menjadi dekat” maka,
segala sesuatau yang dikerjakan akan terasa ringan. Dan ada juga mengatakan bahwa , “bila
hidup tenggang menenggang, yang sempit menjadi lapang, yang gelap menjadi terang, yang sakit menjadi senang”, ini merupakan rasa keperdulian terhadap sesama sangatlah diperhatikan. Jika
salah seorang tetangga yang sehat menjenguk yang sakit, maka sakit yang diderita akan cepat sembuh.
Mereka juga menjelaskan, bahwa melalui rasa kegotong royongan, akan terwujud rasa keserasian dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, dengan melekatnya rasa kegotongroyongan
pada setiap anggota masyarakatnya, maka hilanglah berbagai sifat egois, iri, loba,tamak dengki, dan rasa mau menang sendiri akan terhapus, dan tidak akan tenjadi saling selisihan antara sesama
anggota masyarakatnya. Prilaku hidup bergotong-royong, menjauhkan diri dari prilaku serakah, kejam, zalim,
mementingkan diri sendiri dan sebagainya yang sering menjadi titik permasalahan atau penselisihan di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kegotong royongan berperan
pula dalam meredam gejolak kerakusan dan kewenangan di dalam hidup bermasyarakat. Realitanya dalam kehidupan masyarakat Melayu Secanggang, walaupun kemajuan ilmu
yang sangat canggih kemudian teknologi dan perkembangan zaman yang telah banyak
Universitas Sumatera Utara
63
menyebabkan terjadinya perubahan dan pengeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan orang Melayu, namun dengan begitu pninsip dalam kegotongnoyongan tidaklah terlalu banyak
berubah. Karena, Sikap hidup tolong-menolong masih sangat jelas mewarnai kehidupan sehari- hari mereka, terutama di perdesaan. Berbagai kegiatan masih sangat dilakukan dengan bergotong
royong, seperti melakukan upacara adat pernikahan, khitanan, aq iqah,khatam alqur’an dan
mendirikan bangunan menegakkan rumah, dan sebagainya. Rasa kekeluargaan masih sangat cukup kental, sehingga antara sesama anggota masyarakat masih jelas dilakukan hingga saat
sekarang ini. Dengan demikian, kekentalan kegotong royongan yang dimaksud, tentulah tidak sepekat
masa silam atau masa lalu. Berbagai perubahan dan pergeseran nilai budaya, serta perkembangan masyarakat, telah melonggarkan kekentalan itu. Hidup yang semakin menjurus kepada
materialistis, mempengaruhi kegoto ng royongan “murni” yang dahulu menjadi acuan dasar sikap
masyarakat. Kehidupan ekonomi masyarakat yang sebagian besar masih tergolong miskin, menyebabkan kepentingan material mendesak mereka untuk bekerja dengan imbalan, walaupun
sedikit. Padahal dahulu, kegotongroyongan sama sekali tidak mengharapkan imbalan bahkan ditabukan. Perubahan sikap ini sebagian besar terjadi di perkotaan, sedangkan di perdesaan,
masih belum menimbulkan kecenderungan. Gotong royong tidak mengharapkan imbalan. Tetapi, pihak yang menyelenggarakan
kegiatan akan memikirkan untuk membantu mereka yang menolongnya, walaupun tidak diminta. Sikap mi dahulunya dibenarkan oleh adat, karena mencerminkan sikap bertenggang rasa antara
yang punya pekerjaan dengan orang-orang yang membantunya. Misalnya dalam ritual khitanan mereka menolong bekerja sama hingga acara adat selesai, keesokharinya pihak yang
menyelenggarakan adat ritual ini akan memberikan berupa bahan pokok makanan yang berlebih.
Universitas Sumatera Utara
64
Masih sangat melekat nilai-nilai hidup bergotong royong dalam jati diri orang Melayu di desa Secanggang masa kini, dibuktikan pula karena adanya kegiatan kegotong royongan yang
mereka lakukan. Selain itu, mereka juga masih merasa malu apabila tidak turut dalam kegiatan gotong-royong, apalagi untuk kepentingan masyarakat tempatan atau keluarganya.
Keengganan itu terjadi karena kekhawatiran untuk tidak mau menyinggung perasaan tokoh yang dimaksud. Hal mi memang dapat merugikan, karena sudah menjadi sifat, keadaan itu
terus berlanjut, walaupun merugikan. Sifat ini pula yang menyebabkan orang Melayu sering kalah dalam persaingan. Mereka terlalu menenggang perasaan orang lain, sehingga dirinya
mengalami kerugian. Orang tua-
tua mengatakan, ‘biarlah orang lain tidak menenggang perasaan kita, asalkan kita tetap meneng
gang perasaan orang lain”. Acuan mi sekarang masih melekat, terutama dalam masyarakat di kampung-kampung, sering pula menyebabkan masyarakat mengalami kerugian,
baik hutan tanah maupun miliknya.. Padahal kalau mereka tidak terlalu kaku dalam sikap dan tenggang rasanya, tentulah mereka akan mampu mempertahankan hak miliknya atau lebih gigih
dalam persaingan. Orang tua-tua menjelaskan, akibat buruk dari kekakuan menerapkan tenggang rasa itu
barulah sekarang muncul. Pada zaman dahulu, hal itu tidak pernah terjadi, karena semua pihak memiliki rasa tenggang rasa yang sama. Mereka pastilah tidak mau merugikan pihak lain. Tetapi
sekarang, karena yang memiliki rasa tenggang rasa itu kebanyakan sepihak saja, maka merekalah yang selalu menjadi korban, dirugikan dan sebagainya.
Orang tua- tua mengatakan, “kalau dahulu mencubit orang lain sakitnya terasa ke din
sendiri, maka sekarang, sakit orang lain tidak lagi dirasakan oleh yang mencubitnya. Itulah sebabnya, orang bukan saja berani mencubit, membunuh pun orang tidak
takut”. Ungkapan orang tua-tua mi barang kali menunjukkan kekesalan mereka terhadap prilaku kehidupan
Universitas Sumatera Utara
65
masyarakat yang cenderung tidak memperhatikan lagi nilai-nilai luhur yang dianut masyarakatnya. Apalagi, menurut orang tua-tua itu, banyak sindiran yang mencerminkan prilaku
manusia yang “terbalik”, misalnya, “siapa lurus, kurus, yang bengkok menjadi gemuk”, dan sebagainya.
Kalau keadaan seperti ini berlanjut, tentulah sikap tenggang rasa yang menjadi salah satu tonggak jati diri Melayu itu akan dilecehkan oleh generasi berikutnya, karena yang muncul
hanya kerugian. Karena itu, orang tua-tua senantiasa mengingatkan supaya sikap tenggang rasa tersebut benar-benar menjadi pegangan semua pihak, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh
semua pihak pula, sebagaimana dimasa silam. Selanjutnya, orang tua-tua Melayu mengatakan, bahwa bagaimanapun akibat dan sikap
hidup bertenggang rasa itu, sebagai orang Melayu yang beragama dan beradat istiadat, wajiblah tetap memegangnya dengan ikhlas. Kalaupun ada pihak lain yang memanfaatkannya untuk
kepentingan tertentu, maka lambat laun akan dibalaskan oleh Allah yang Maha Adil. Sikap inilah yang terus mereka tanamkan kepada anak cucunya, sehingga sikap kegotong royongan dan
tenggang rasa itu sampai sekarang masih mewarnai kehidupan orang Melayu. Mereka juga merasa yakin, bahwa bagaimanapun majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi, bagaimana pun modrennya kehidupan masyarakatnya, sebagai orang Melayu, hati nuraninya tetaplah akan bersandar kepada nilai-nilai luhur yang mereka warisi, yang hakekatnya
berpuncak dengan ajaran agama dan budaya serta norma-norma sosial yang mereka anut selama ini. Dengan demikian, sikap hidup kegotong royongan dan bertenggang rasa tentulah tetap hidup
dalam diri orang Melayu. Apabila orang Melayu mampu mengembangkannya tidaklah mustahil masyarakat luar akan dapat pula menyerapnya.
Dengan demikian, manfaat kegotongroyongan akan kembali sebagai mana asalnya, dengan demikian, yakni untuk mewujudkan masyarakat yang aman dan tertib, yang kental dalam
Universitas Sumatera Utara
66
persahabatan, senasib, dan sepenanggungan, seaib dan semalu, yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing, yang sempit sama berhimpit yang lapang sama berlegar.
Bila disimak secara mendalam, nampaklah bahwa hampir dalam seuruh jenis sastra lisan Melayu terdapat nilai-nilai kegotong royongan. Orang tua desa Secanggang mengatakan, adanya
unsur dan nilai kegotong royongan di dalam setiap jenis atau bentuk sastra lisan itu, karena sifat kegotong toroyongan dimaksud sudah menjadi unsur jati diri Melayu. Karenanya , sifat mulia itu
mereka warisi turun temurun, mereka sebar luaskan ke tengah-tengah masyarakatnya melalui berbagai media, termasuk sastra lisannya. Bahkan, di dalam sastra lisan inilah nilal kegotong
royongan itu banyak diungkapkan sesuai dengan tradisi masanya. Sajian berupa ungkapan yang mengandung nilai kegotong royongan dalam penelitian ini
memberikan gambaran secara umum tentang sikap hidup, pandangan dan falsafah orang Melayu Langkat di desa Secanggang terhadap prinsip kegotong royongan masyarakatnya. Mereka amat
menyadari keutamaan prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yang membawa manfaat untuk mensejahterakan, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, serta memupuk rasa persatuan
dan kesatuan di dalam masyarakatnya.
Universitas Sumatera Utara
67
BAB VI PENUTUP