Nilai Gotong Royong Dalam Istiadat Ritual Khitanan Pada Masyrakat Melayu Langkat Di Desa Secanggang
LAMPIRAN Daftar nama-nama informan
1. Nama : Ibrahim Umur : 55 tahun j.kelamin : laki-laki pekerjaan : Nelayan
2. Nama : Sapinah
Umur : 45 tahun
j. kelamin : perempuan
pekerjaan : Ibu rumah Tangga
3. Nama : syahyuni
Umur : 31 Tahun
j.kelamin : perempuan pekerjaan : Sekertaris Desa
4. Nama : Sunardi
Umur : 35 tahun
j.kelamin : laki- laki pekerjaan : Nelayan
5. Nama : Tepong
Umur : 57 tahun
j.kelamin : laki- laki
(2)
6. Nama : Muhammad Nuh
Umur : 35 tahun
j. kelamin : laki- laki pekerjaan : wiraswasta
(3)
Gambar balai
(4)
Gambar duduk pelaminan
(5)
(6)
A. LATAR BELAKANG RESPONDEN 1. Umur
1. 15 – 19 tahun 2. 20 – 29 tahun 3. 30 – 39 tahun 4. 50 – 59 tahun 2. Jenis kelamin
1. Lelaki 2. Perempuan 3. Tingkat pendidikan
1. Tidak sekolah 2. SD
3. SMP 4. SMA
5. Perguruan tinggi 4. Suku etnik
1. Melayu 2. Banjar
DAFTAR TANYA PENELITIAN NILAI GOTONG-ROYONG DALAM ISTIADAT
RITUAL KHITANAN MASYARAKAT
MELAYU LANGKAT DI SECANGGANG RESPONDEN NO:
(7)
5. Pekerjaan 1. Nelayan 2. Petani 3. Pedagang 4. Pegawai 5. Lain – lain
6. Sudah berapa lama menetap di desa Secanggang 8. < 2 tahun
9. 3- 4 tahun 10.5-6 tahun 11.7-8 tahun 12.9 tahun keatas 13.Sejak lahir
B. UPACARA RITUAL KHITANAN DAN GOTONG ROYONG 14.Pernahkah anda mengetahui dan mengikuti upacara ritual khitanan
1. Ya 2. Tidak 3. Ragu- ragu
15.Sudah berapa kali anda mengikuti upacara ritual khitanan 1. 1 kali
2. sering
3. Setiap dilaksanakan 4. Tidak pernah
(8)
16.Bila terakhir kali anda menengikuti upacara ritual khitanan 1.4 tahun yang lepas
2.3 tahun lepas 3.2 tahun lepas 4.1 tahun lepas 5.1 bulan lepas 6.1 minggu lepas
17.Dimanakah anda mengetahui ritual khitanan terakhir kali 1. Dipesisir Langkat
2. Dijajahan pesisir Deli 3. Dijajahan pesisir Serdang 4. Dijajahan pesisir Tanjung Balai 5. Dijajahan pesisir Asahan
6. Dijajahan pesisir Panai- bilah/ kota pinang
18.Apakah anda sangat berminat mengikuti upacara ritual khitanan 1. Sangat berminat
2. Minat biasa 3. Kurang berminat 4. Tidak berminat
19.Adakah ritual mandi dihalamn pada saat ritual khitanan 1. Ya
(9)
20.Sudah berapa kali anda menyertai mandi di halaman pada saat ritual khitanan 1.1 kali
2.Sering
3.Setiap dilaksanakan 4.Tidak pernah
21.Dimanakah anda mengetahui terakhir kali ritual mandi di halaman 1.Dipesisir Langkat
2.Dijajahan pesisir Deli 3.Dijajahan pesisir Serdang 4.Dijajahan pesisir Tanjung Balai 5.Dijajahan pesisir Asahan
6.ijajahan pesisir Panai- bilah/ kota pinang
22.Pada umur berapa anda mengetahui tentang ritual khitanan 1. 6- 10 tahun
2. 11- 15 tahun 3. 16- 20 tahun 4. 21- 25 tahun 5. 21-25 tahun
23.Dari siapakah anda mengetahui prihal tentang khitanan
1. Ahli keluarga ( ayah, ibu, kakak, atok ,nenek, dan pak cik) 2. Tokoh masyarakat ( ketua adat,ustad, dan pawang)
3. Guru sekolah 4. Sahabat tetangga
(10)
C. PERSEPSI TERHADAP HIDUP
24.Apakah ritual khitanan itu harus selalu dilakukan melalui budaya dengan gotong- royong 1. Ya
2. Tidak 3. Ragu-ragu
25.Apakah kegotong-royongan dalam khitanan sangat berperan penting bagi adat istiadat di Masyarakat Melayu Secanggang
1. Ya 2. Tidak 3. Ragu- ragu
D. PERSEPSI ETRHADAP HAKIKAT KERJA
26.Apakah Dalam melakukan ritual khitanan boleh memakai alat teknologi canggih 1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
27.Apakah setelah melaksanakan kegotongroyongan dalam khitanan dapat mewujudkan ketenangan dan keselamatan serta sejahtera
1. Sangat setuju 2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
(11)
28.Apakah nilai nilai gotong royong dapat berpengaruh dalam menambah etos kerja 1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
E. PERSEPSI PRIHAL WAKTU
29.Apakah gotong royong masih sangat digunakan pada zaman sekarang ini 1. Ya
2. Tidak 3. Ragu- ragu
30.Apakah masih Banyak upacara adat dalam khitanan bernilai gotong royong 1. Ya
2. Tidak 3. Ragu- ragu
31. Apakah sifat gotong royong dalam ritual khitanan diwariskan dari nenek moyang 1. Ya
2. Tidak 3. Ragu- ragu
32. Apakah gotong royong kekal sepanjang zaman 1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
(12)
33. Apakah khitanan dan sifat gotong royong tidak pernah penting dalam kehidupan 1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
F. PERSEPSI TERHADAP ALAM
34.Apakah bencana alam sangat berpengaruh jika tidak dilaksanakan ritual khitanan dalam Masyarakat
1. Sangat setuju 2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
35.Apakah bencana alam timbul karena kurang mematuhi peraturan yang pantang dalam istilah khitanan
1. Sangat setuju 2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
36.Apakah ada peranan kuasa makhluk halus dalam fenomena alam 1. Sangat setuju
2. Setuju
(13)
G. PERSEPSI DALAM HUBUNGAN SESAMA MANUSIA
37.Apakah dalam melaksanakan khitanan masyarakat harus berkerja sama 1. Sangat setujurang setuju
2. Sangat tidak setuju
38. Apakah acara adat ritual khitanan perlu guna keharmonian sesama 1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju
39. Apakah ritual khitanan diperlukan bagi mewujudkan rasa keharmonian sesama makhluk ciptaan Allah
1. Sangat setuju 2. Setuju
3. Kurang setuju 4. Sangat tidak setuju 40.Pandangan umum responden
(14)
DAFTAR PUSTAKA
Arrasyid, Chainur,Wan Syaifuddin, Shafwan Hadi Umri, 2008. Taat Ajar dan Taat Hukum
Orang Melayu. Medan: USU Press.
Basrowi, Suwand, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rineka Cipta.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya. Etnovisi Edisi 01 Tahun Juni 2005. Tentang Gotong Royong Musyawarah, Mufakat Sebagai Faktor Penunjang Kekeratan Berbangsa dan Bernegara.
Kutha Ratna, nyoman, 2011. Antropologi Sastra Peranan dalam Unsur- Unsur Kebudayaan
dalam Proses Kreatif. Pustaka pelajar.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropogi. Jakarta. Koencjaraningrat, pengantar antrolopologi. Rineka Cipta.
Kutha Ratna, nyoman, dkk. 2004. Teori Metode dan Tehnik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar. Mariati. 2012. Masyarakat dan Mitologi Jawa dalam Karya-Karya Kuntowijoyo (Kajian
Antropologi-Sastra) (thesis).
Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia. 2007. Adat Istiadat Perkawinan Melayu
Sumatera Timur. Medan: Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia.
Rendi Novrizal, 2013. Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Bela Diri Silat
Lintau Di Kedatukan Batang Kuis Kajian Antropologi Sastra (skripsi).
Siregar, Muhammad Samin. 1997. Dendang 1 Bunga Rampai Sastra Tradisi di Indonesia. Medan: USU Press.
Suyanto, Didik, 2013 berjudul Implementasi Nilai Gotong royong dalam tradisi Gubregan (studi kasus pada masyarakat Dukuh Bandung Desa Beji Kecamatan Andong kabupaten
(15)
Setiadi , Ally M Kolip, & Usma. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta. Wan Syaifuddin. 2014. Menjulang Tradisi Etnik. Medan : USU Press. http://www.langkatkab.go.id/page.php?id=135. Diakses: 03/07/2015.
http://www.menulisproposalpenelitian.com/2012/07/reduksi-data-dalam-analisis-penelitian.html. Diakses: 17/07/2015.
https://hasrilpmp.wordpress.com/2009/01/27/implementasi-perilaku-gotong-royong-dalam-kehidupan-masyarakat-perkotaan-bulukumba/. Diakses: 29/03/2015.
(16)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Disain Penelitian
Disain penelitian merupakan sebuah rancangan dari penelitian yang akan dilakukan yang menunjuk pada tehnik atau proses penelitian yang akan digunakan. Suwardi Endraswara,(2013) mengatakan desain juga dikatakan gambaran yang berupa langkah-langkah kerja analisis. Desain dan paradigma akan membimbing peneliti menelurkan ide-ide cemerlang tentang apa saja yang dianalisis. Paradigma adalah dasar filosofi penelitian yang terkait dengan ’’arah penelitian” apa yang hendak diungkap. Basrowi & suwandi, juga mengatakan bahwa penelitian kualitatif naturalistik merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi,dan implementasi model secara kualitatif. 25
Bodgan dan Taiylor (1975:5) mendifinisikan metodelogi kualitatif naturalistik sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai dari bagian suatu keutuhan.
Sependapat dengan difinisi tersebut, Kirk dan Miler (1986 :9) mendifinisikan bahwa penelitian kualitatif naturalistik adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang ara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dan kawasanya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
(17)
Penelitian kualitatif naturalistik bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataann sosial dari prespektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. 26Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan
berupa pemahaan umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode pendekatan kualitatif naturalistik dan akan memakai tehnik pengumpulan data observasi, dokumntasi serta kusioner.
3.2. Sumber Data
Sumber data penelitian yang digunakan adalah : Pertama, sumber data yang diambil melalui mahkluk sosial yaitu masyarakat melayu secanggang yang berdomisili di desa secanggang. Kedua, sumber data yang diambil melalui keadaan atau suasana yang mencakup kehidupan sehari-hari, balai masyarakat, interaksi sosial antara masyarakat sekitar dan tempat berkumpul/keramaian yang memiliki keahlian yang akan memberikan informasi tantang penelitian.
Data sekunder ini diambil melalui buku, jurnal dan media internet guna utuk menambah dan melengkapi data agar lebih baik dan menarik. Dengan pengambilan refrensi buku dan pengutipan jurnal atau internet penambahan data akan lebih sempurna dan bermanfaat.
3.3 Instrumen Penelitian
Penelitian instrumen sangat memegang peranan yang penting. Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah kuisioner berupa pertanyaan. Pertanyaan yang diberikan kepada masyarakat yang terkait seputar mengenai Nilai kegotongroyongan dalam ritual khitanan pada masyarakat
26
(18)
Melayu Secanggang tersebut, pertanyaan ini berisi tentang pemaparan secara deskriptif ritual khitanan tersebut. Hasan (2011: 10).27
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian. Hal ini karena bertujuan utama dari penelitian itu sendiri adalah untuk memperoleh data. Maka tehnik pengumpulan data dapat di lakukan melalui hal- hal seperti berikut:
3.4.1 Teknik Observasi
Observasi merupakan metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung (Ngalim Purwanto, 1985). Metode ini digunakan untuk melihat mengamati secara langsung keadaan dilapangan agar peneliti memperoleh gambaran yang luas tentang permaslahan yang diteliti. (Basrowi dan suwandi, 2013 :94)
Pengamatan sebagai tehnik pengumpulan data yang mengandalka indra mata dan telinga, dilakukan secara terlibat dan terkendali. Pengamatan terlibat merupakan jenis pengamatan yang melibatkan peneliti dalam kegiatan orang yang menjadi sasaran peneliti, tanpa mengakibatkan perubahan pada kegiatan yang berangkutan, dan tidak menyembunyikan diri. Sementara pengamatan terkendali adalah jenis pengamatan dengan melakukan percobaan atas diri sasaran peneliti yang diamati dengan seksama (Bachtiar 1986 : 118-120).28
Hal- hal yang harus dipersiapkan sebelum peneliti melakukan observasi adalah: 1. Perlu diklafikasikan apa saja yang perlu di observasi.
27 Rendi Novrizal, 2013. Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Bela Diri Silat Lintau Di Kedatukan
Batang Kuis Kajian Antropologi Sastra (skripsi)
28
(19)
2. Setiap konsep harus ada kriterianya sehinggan observer tidk kehilangan arah.
3. Fenomena dipecah menjadi kecil, dan tidak terlalu banyak fenomena yang diteliti dalam waktu tertentu sehingga observer tidak kehilangan fenomenalain yang muncul. Berkaitan dengan jenis observasi yang akan digunakan peneliti harus menggunakan metode observasi langsung, yang terletak di daerah Melayu secanggang dan akan dijadikan fokus observasi dalam penelitian yang sangat mengacu dan bertujun melihat bagaimana nilai kegotongroyongan dalam ritual khitanan pada masyarakat Melayu Secanggang untuk lebih memahami hal tersebut.
3.4.2 Teknik Kuesioner
Kuesioner merupakan seperangkat pertanyaan yang diberikan kepada masyarakat sebagai responden. Pertanyaan yang dibuat adalah bertujuan mendapatkan data tentang pandangan mayarakat bagaimana tujuan kegotongroyongan dalam melakukan ritual serta nilai sosial dan a dalam penelitian tersebut.
3.4.3 Teknik Dokumentasi
Didalam tehnik dokumentasi Peneliti akan lebih menggunakan alat-alat tulis seperti buku dan lainnya akan dijadikan alat untuk mencari data. Sehingga data yang dikumpulkan di Desa Secanggang akan lebih sempurna.
Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, agenda dan lain sebagainya (Arikunto, 2006:236).29
3.5 Teknik Analisis Data
Pada prinsipnya analisis data kualitatif dilakukan dengan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Tehnik analisis yang dilakukan dengan menggunakan tehnik analisis data
(20)
yang dikemukan oleh Miles dan Huberman (1992) mencakup tiga kegiatan yang bersamaan: (1)reduksi data (2)penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan (verifikasi) Dengan penjelasan sebagai berikut:30
3.5.1 Reduksi data
Reduksi data merupakan suatu bentuk bagian yang dianalisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Pada langkah ini bagian data yang akan dipilih yang berisi tentang Nilai kegotongroyongan dalam ritual khitanan pada masyarakat Melayu Secanggang. Setelah dikaji, langkah berikutnya adalah membuat rangkuman untuk setap kontak atau pertemuan dengan informan.
3.5.2 Penyajian data
Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisirkan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Pada langkah ini peneliti berusaha menyusun data yang yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu.
3.5.3 Penarikan kesimpulan (Verifikasi)
Langkah selanjutnya adalah tahap penarikan kesimpulan berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi data. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data.
(21)
BAB IV
PERSEPSI MASYARAKAT MELAYU LANGKAT DI SECANGGANG SECARA UMUM TERHADAP ISTIADAT RITUAL KHITANAN
4.1 Latar Belakang Responden
Responden merupakan hasil data yang peroleh dari iforman sebagai data penelitian. Seseorang sebagai responden ini juga merupakan sebagai indentitas yang merujuk kepada nama, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal.
Berikut ini adalah Tabel tentang biodata informan desa Secangnggang. Latar Belakang Responden
Umur Responden
a.15 – 19 tahun b.20 – 29 tahun c.30 – 39 tahun d.50 – 59 tahun
1 3 8 8
a. Laki b. perempuan
11 9 Tingkat pendidikan
a. Sekolah dasar (SD)
b. MadrasahTsanawiyah( MTS) c. Sekolah menengah atas d. Pergurun tinggi
11 2 2 5
(22)
Suku / etnik Responden a. Melayu
b. jawa c. banjar d. batak e. cina
18 2
Pekerjaan Responden
a. Nelayan b. Petani c. Pedagang d. Pegawai f. Lain lain
12 1 0 5 2
Lama menetap Responden
1. < 2 tahun 2. 3- 4 tahun 3. 5-6 tahun 4. 9 tahun keatas
5. Sejak lahir 20
Menurut hasil kusioner tetang latar belakang responden ialah penduduk asli desa secanggang itu mayoritas suku Melayu. Suku- suku lain, seperti banjar,jawa, batak maupun cina itu adalah pendang yang berdomisili di desa secanggang. Mata pencharian masyarakat desa
(23)
untuk di jual ke pelanggan. Banyak masyarakat desa secanggang sendiri menetap sejak lahir atau keturunan dari sejak nenek moyang mereka.
Dibawah ini merupakan Tabel yang berupa pertanyaan tentang persefsi dalam hakikat hidup masyarakat desa secangngang.
4.4.2 Persefsi Dalam Hakikat Hidup
Soal Taburan Jawaban
Ya Tidak Ragu Lain-lain
6. Apakah ritual khitanan itu harus selalu dilakukan melalui budaya dengan gotong- royong.
(24)
7. Apakah kegotong royongan dalam khitanan sangat berperan penting bagi adat istiadat di Masyarakat Melayu Secanggang
18 0 2 0
Dari analisis kusioner tentang presefsi hakikat hidup, masyarakat desa Secanggang menganggap ritual khitanan dan upacara adat lainnya itu harus di lakukan dengan budaya gotong- royong dan sangat penting bagi kehidupan, karena masyarakat Secanggang sudah terbiasa dengan adanya budaya gotong-royong saling membantu terhadap sesame manusia. Jadi jawaban mereka lebih banyak mengatakan bahwa budaya gotong royong itu sangat penting bagi masyarakat.
4.4.3 Persepsi Prihal Hakikat Kerja Soal
Taburan Jawaban
Sangat Setuju
Setuju Kurang Setuju
Sangat Tidak Setuju
(25)
1. Apakah Dalam melakukan ritual khitanan boleh memakai alat teknologi canggih
1 19 0 0
2. Apakah setelah melaksanakan kegotongroyongan dalam khitanan dapat mewujudkan ketenangan dan keselamatan serta sejahtera
11 9 0 0
3. Apakah nilai nilai gotong royong dapat berpengaruh dalam menambah etos kerja
3 14 3 0
Dari hasil jawababan di atas dapat diketahui bahwa presefsi hakikat kerja juga sangat berpengaruh dengan acara adat yang mana dalam acara adat juga boleh menggunakan alat canggih contohnya, pada zaman dahulu dengan mengkhitan bisa dengan pisau atau gunting, tetapi dengan perkembangan zaman sekarang ini boleh menggunakan dengan alat seperti laser.
(26)
4.2.3 Persepsi Prihal Waktu Soal
Taburan Jawaban
Sangat Setuju
Setuju Kurang Setuju
Sangat Tidak Setuju 1. Apakah istiadat khitanan dan gotong
royong masih sangat digunakan pada zaman sekarang ini
20 0 0 0
2. Apakah masih Banyak upacara adat dalam khitanan bernilai gotong royong
18 2 0 0
3. Apakah sifat gotong royong dalam ritual khitanan diwariskan dari nenek moyang
(27)
4. Apa keagotong royongan kekal sepanjang zaman
14 6 0 0
5. Apakah khitanan dan sifat gotong-royong tidak pernah penting dalam kehidupan
0 0 0 20
Dari jawaban diatas juga dapat di ketahui bahwa presefsi prihal waktu masyarakat desa secanggang sendri mengetahi bahwa pada saat sekarang ini acara ritual khitanan dan acara adat lainnya masih selalu dilaksanakan. Jadi adat peninggalan nenek moyang tetap mereka laksanakan.
4.4.4 Presepsi Terhadap Alam
Soal
Tabura Jawaban
Sangat Setuju
Setuju Kurang Setuju
Sangat Tidak Setuju
(28)
1. Apakah bencana alam sangat berpengaruh jika tidak dilaksanakan ritual khitanan dalam Masyarakat
0 12 5 3
2. Apakah bencana alam timbul karena kurang mematuhi peraturan yang pantang dalam istilah khitanan
3 14 2 1
3. Apakah ada peranan kuasa makhluk halus dalam fenomena alam
2 8 4
Dari hasil jawaban diatas juga mengatakan bahwa larang pantang itu juga harus di patuhi. Ada salah satu masyarakat desa Secanggang mengatakan bahwa anak lelaki yang bulum di khitan itu tak boleh memakan pedal pada perut ayam. Sebab, jika ia hendak di khitan itu akan susah atau liat. Maka dari ada larangan anak lelaki yang belum di khitan itu tidak boleh
(29)
memakan isi perut ayang seperti pedal. Mereka juga mengetahui bagaimana kondisi laut air naik pasang surut.
4.4.5 Presepsi Hubungan Sesama Manusia Soal
Taburan Jawaban
Sangat Setuju
Setuju Kurang Setuju
Sangat Tidak Setuju 1.Apakah dalam melaksanakan khitanan
masyarakat harus berkerja sama
18 2 0 0
2. Apakah acara adat ritual khitanan perlu guna keharmonian sesama
15 5 0 0
3. Apakah ritual khitanan diperlukan bagi mewujudkan rasa keharmonian sesama makhluk ciptaan Allah
16 4 0 0
Dari hasil jawaban diatas dapat di ketahui bahwa presepsi hubungan manusia harus tetap dijaga. Saling mengasihi terhadap sesama. Dengan adanya ketentraman terhadap sesama manusia
(30)
maka timbullah rasa keharmonian dan jauh dari kemungkaran. Bukan hanya dengan melaksanakan acara adt saja mereka harus bekerja sama, tetapi dalam mencari rezeky juga mereka saling membantu, misalnya ada bot atau sampan salah satu teman yang rusak mereka juga saling membantu dengan menumpangkan bot kepada temannya.
4.4.6 Pandangan penulis berdasarkan taburan jawaban
Tanggapan penelitian terhadap ritual khitanan berdasarkan pengamatan dan analisis data yang diambil dari masyarakat desa secangggang tersebut sangatlah menarik dalam mengkaji adat dan upacara ritual khitanan yang dilakukan. Beragam nilai budaya yang terkandung didalamnya merupakan nilai budaya yang sangat dijunjung oleh masyarakatnya sendiri.
Nilai dan norma juga sangat berkaitan dalam kehidupan masyarakat secanggang dalam hidup bermasyrakat. Kesantunan dalam hidup bertetangga untuk mengajak kerja sama juga sangat di perhatikan dalam sosialisasi. Menurut pendapat para responden yaitu penduduk asli desa secanggang sendiri dalam melakukan ritual khitanan sangat penting bergotong royong karena jika dilakukan hanya pihak keluarga saja acara ritual khitanan tidak mungkin selesai. Di dalam acara adat lainnya pun memerlukan gotong royong, seperti halnya acara khitanan dari permulaan hingga selesainya acara juga membutuhkan kerja sama antar tetangga dan jiran. Mereka juga berpendapat bahwa gotong royong ini sebagai budaya yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Melayu, yang sebagai mana masyarakat Melayu dalam hal terkecil saja selalu memufakatkan untuk melakukan kerja secara bersama-sama.
Gotong-royong adalah warisan nenek moyang yang tak dapat dihilangkan maka sangat lah penting keharmonisan dengan sesama, maksudnya disini adalah hendaklah sesama jiran dan tetangga selalu hidup rukun saling tolong- menolong, dan saling memberi. Mereka juga
(31)
bergotong-royong mewujudkan rasa ketenangan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Gotong-royong ciri khas masyarakat melayu terutama pada kehidupan di pedesaan yang secara turun- temurun dan membentuk prilaku sosial yang memiliki budaya dan nilai sosial sebagai budaya sosial yang patut dilestarikan.
Di bawah ini juga merupakan Tabel tentang bagaiaman orientasi nilai budaya masyarakat Secanggang terhadap ritual khitanan.
4.4.7 Fungsi melalui orientasi nilai budaya masyarakat Secanggang terhadap ritual khitanan
Konsep Dasar Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Secanggang
Pandangan Penulis
1. Persefsi prihal hakikat hidup
Didalam kehidupan sehari-
hari masyarakat
Secanggang memiliki nilai atau prilaku diantaranya yaitu baik atau buruk. Dimana dalam ritual khitanan juga ada hal- hal yang menunjukan yang pantang atau tidak pantang
Kehidupan masyarakat melayu secanggang memiliki adat istiadat norma dan hukum yang mana masyarakat tersebut selalu bersandarkan adat yang bersendikan syara syara bersendikan kitabullah. Dan dalam melakukan ritual khitanan masyarakat juga selalu mengutamakan hidup bergotong royong karena
(32)
menurut pandangan mereka gotong royong ini sangat berpera penting bagi kehidupan masyarakat secanggang.
2. Persefsi prihal hakikat kerja
Masyarakat secanggang memiliki hakikat kerja sebagai karya untuk memenuhi hidup. Nilai nilai kegotong royongan juga menmbah etos kerja seperti
halnya dalam
memufakatkan sesuatu dan timbulah ide atau saran tentang etos kerja.
Pandangan penulis terhadap kehidupan masyarkat secanggang memiliki marwah dan martabat sebagai kehormatan untuk saling menafkahi keluarga masing- masing sebagai rasa tanggung jawab manusia iayalah bekerja. 3. Persefsi prihal waktu Dalaam kehidupan sehari
hari masyarakat
Secanggang juga mengenal adanya masa modern ,masa lalu dan masa selanjutnya. Budaya gotong-royong dalam ritul khitanan akan selalu di pertahankan sampai anak cucu mereka, karena menurut mereka
Sejak sampai sekarang ini masyarakat Secanggang masih membudayakan gotong royong sebagai nilai budaya masyarakat Melayu. Karena dalam melakukan ritual dan adat upacara
(33)
menjadi warisan nenek moyang.
dilaksanakan dengan budaya gotong-royong maka acara mungkin tidak terselesaikan dengan baik. 4. Persefsi hakikat
hubungan sesama manusia
Masyarakat Melayu Secanggang juga memiliki sifat ketergantungan terhadap sesama, karena menurut mereka sendiri manusia tidak dapat hidup sendiri tana bantuan orang lain. Tanpa jiwa saling tolong menolong terhadap sesama hidup tersa hampa. Jika ritual khitanan ini tidak dilakukan dengan bantuan jiran dan tetanggan nya maka akan timbullah sisi negatif .
Penulis juga memandang hubungan masyarakat secanggang ini sangat berjiwa tinggi dan saling berbagi terhadap sesama
4.2.8 Kesimpulan dari orientasi nilai budaya masyarakat Secanggang
Dari beberapa ulasan dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwasanya nilai ritual khitanan didalam masyarakat Melayu Secanggang sangat berperan penting bagi kehidupan masyarakat Melayu. Selain ritual khitanan juga masyarakat Melayu Secanggang sangat berpegang teguh pada adat adat bersendikan syarat dan kitabullah, dimana masyarakat sendiri selalu mendahulukan hukum- hukum agama yang pada menuju pada ajaran Islam. Terdiri
(34)
melalui ritual khitanan rasa tolong-menolong masyarakat merasa saling menghargai kepada sesama di dalam menjalani kehidupan sehari- hari.
Selain itu ritual khitanan melekat pada jati diri masyarakat Melayu Secanggang menjadikan kehidupan yang baik dan sejahtera. Pandangan manyarakat desa secanggang bahwa nilai gotong- royong adalah nilai budaya mereka dan menjadikan suatu budaya yang sudah menjadi tradisi yang tak dapat dihilangkan. Banyak adat istiadat yang dilaksanakan secara tolong- menolong untuk mencapai sebuah keharmonisan dalam hidup bermsyarakat, karena budaya tolong- menolong ini dilakukan tanpa pamrih. Kehidupan desa sangat berbeda dengan kehidupan perkotaan, dimana hidup di kota saling acuh tak acuh terhadap tetangganya. Perbedaan penulis memandang kehidupan pedesaan dan perkotaan itu sangat jauh berbeda dalam segi tolong menolong dalam melaksanakan acara-acara adat lainnya.
(35)
BAB V
ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Teks Khitanan a. Teks Pantun
Budak jantan pandai melangkah Pandai bercakap satu dua
Kepala bergombak jambul pendek Jambul turun menutup dahi
Ketak berketak ruas tangannya Ketak berketak ruas kakinya
Gemuk gendempal bentuk badannya.
Dalam pantun ini juga mengatakan bahwa seorang anak laki-laki yang sudah dikhitan maka tubuhnya akan tumbuh menjadi dewasa atau baliqh kemudian menjadi lelaki yang memikirkan masa depannya dan sempurnalah agamanya bagi lelaki muslim.
Senyum membayang menganak bulan Gelak berderai berpada-pada
Cakap lembut berbasa-basi Tanda orang yang berbangsa
Tanda beradat berlembaga, Tanda tahu kan salah silah Tanda sarat iman di dada
(36)
Niat hendak khitanan akan ananda31.
Pantun ini merupakan pantun nasehat dalam prinsip adat Melayu yang tak dapat berubah dan selalu berpegang teguh kepada agama islam yang mana sebagai orang tua wajib mengkhitankan anak lelakinya. Orang tuanya juga mengajarkan lemah lembut dalam berbicara sebagai orang dewasa yang pandai dan bijaksana.
Pertama jiran dan sahabat kanti
Kawan-kawan semangkuk sepiring makan Kawan sebantal seketiduran
Kawan sebaya sepermainan
Bagai kuku dengan daging Bagai aur dengan tebing Bagai ikan dengan air
Bagai jarum dengan kelindan Ke hulu sama kehulu
Kehilir sama mengalir
Dalam pantun ini juga mengungkapkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari ada yang namanya persahabatan sejati antara keluarga, kerabat dan teman sekeliling yang saling tolong-menolong, susah senang bersama, saling menjenguk yang sehat dengan yang sakit.
Sahabat sepenggalah
Tahan asak dan lempar demi Allah dan Orang tua Kasihnya berbatas-batas
(37)
Kalau tidur sama sekandang Kalau makan di tangah padang Kalau berbini tanduk menanduk Beradu kuat dengan keras
Dalam pantun ini menjelaskan janganlah menyayangi sorang sahabat lebih dari sayang orang tua, didalam ungkapan juga mengatakan ridha orang tua adalah ridha ALLAH. Kemudian juga pantun ini menjelaskan jika bersahabat jangan ditinggalkan jika tak ada kepentingan, saling bersandar dengan layaknya seorang sahabat.
Hati-hati memetik mawar Salah petik kena durinya, Hati-hati tepung tawar
Pantun dalam tepung tawar ini menjelaskan bahwa jika kita menaburkan tepung tawar ini jangan sampai salah niat, karena jika salah niat syirik jadinya. Syirik didalam teks ini mengatakan jangan sampai menduakan Tuhan.
Ke hulu sama ke hulu Ke hilir sama menghilir Satu sakit dua terasa
Yang tahan asak dengan banding Yang tahan berpahit-pahit
Kalau koyak tambal menambal Kalau condong sokong menyokong Terbakar sama hangus
(38)
Didalam pantun ini menjelaskan bahwa kita saling mendukung jika seorang sahabat lagi sakit, saling menjenguk. Kemudian pantun ini juga mengungkapkan bagaimana rasa tenggang rasa terhadap sahabat, jika terjadi kesalahan saling memaafkan.
Mati tidak diungkit Sakit tidak disebut Salah tidak ditimbang.
Pantun ini bermakna bahwa tidaklah saling mengungkit dalam bantuan yang telah diberikan oleh seorang sahabat. Dalam permasalahan tak saling mencela dan membeberkan masalah kepada siapapun. Jika timbul kesalahpahaman maka saling mengingatkan satu sama lain kemudian tidak pernah membesar-besarkan masalah yang ada.
Dari pantun- pantun diatas dapat disimpulkan bahwa dalam tradisi ritual khitanan banyak menyampaikan pesan, nasehat atau amanat yang sangat mengajarkan kebaikan didalam kehidupan sehari-hari. Seorang anak yang di khitan akan tersentuh hatinya jika mendengar uangkapan- ungkapan yang telah diberikan. Dengan adanya pantun-pantun ini seorang anak akan menerapkan hidup lebih baik dan mencerminkan anak yang sholeh..
b. Teks Doa Berwudhu:
Nawaitul wudhuu a liraf'il hadatsil ashghari fardhal lillaahi ta'aalaa. Artinya :Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung
Dapat di pahami bahwa doa untuk berwdhu ini merupakan doa yang mensucikan diri dari najis- najis kecil. Khitanan adalah hal yang wajib dilaksanakan umat muslim, untuk lebih menyempurnakan maka anak yang hendak di khitan haruslah berwudhu dahulu.
(39)
c. Teks doa khitanan
’’Asyhadu allaaa ilaaha illallaah’’
’’ wa asyhadu anna muhammadarrasulllah’’
Artinya : aku bersaksi bahwa sesembahan yang berhak diibadahkan kecuali Allah, dan aku juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Dari teks doa diatas menjelaskan bahwa Khitanan merupkan bagian dari hukum syariat Islam yang wajib dilakukan oleh anak laki- laki dan perempuan, karena hukum berkhitan ini termasuk bagian dari fitrah manusia sebagai umat muslim. Khitan adalah memotong ujung kulit kemaluan dengan alat dan tidak lupa disertai dengan membaca doa.
Menurut seorang warga desa Secanggang bernama Ibrahim bahwa Acara khitan ini biasanya di lakukan dengan seorang mantri yang sudah berpengalaman, anak yang di khitan berbaring dengan posisi yang sudah disiapkan dengan memakai sarung dan tali yang digantungkan agar kenyaman tidur lebih baik. Masyarakat Melayu Secanggang lebih sering malaksanakan pengkhitanan kepada anak lelakinya setelah acara upacara selesai.
Dalam pedoman islam, seorang anak adalah anugrah yang dititipkan Allah sebagai permata yang berharga, maka dengan berkhitan juga orang tua wajib memenuhi syarat sebagai umat muslim. Maka dengan melaksanakan khitanan ini sebagai seorang muslim sempurnalah dalam mengerjakan ibadah.
d. Teks Doa Syukuran
Allahumma inna nas a’luka salaman wasalamatan, wabarakatan fi hajal mazlis
Wafil malimati khitani……32 Birahmatika ya arahma rahimin Allhumma angzirahma alaina
(40)
Wasalamatan khususana’alla jam’aah
Walmuslimin nawal muslimin
Dalam teks doa syukuran hajatan khitanan ini memiliki makna sebagai rasa meminta kepada yang maha kuasa untuk diberikan keselamatan kepada anak yang akan di khitan. Doa ini juga merupakan ucapan rasa syukur kepada Allah swt yang telah memberikan umur yang panjang dan menjadikan anak yang sholeh serta kebahagian di dalam hidupnya.
a. Teks Doa Barzanji
Allaahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaih Aljannatu wa na’iimuhaa sa’dun li man yushallii wa yusallimu wa yubaariku ‘alaih
Abdadi ul imlaaa bismidz dz'ati
mustadirron faidhol barokaati ‘alaa maa anaalahu wa aulaah Wa utsanni bi hamdin mawaariduhu saa-ighotun haniyyah
mumtathiyan minasya syukril jamiili mathooyaah’’
Wa usholli wa usallimu ‘alan nuril
maushuufi bit taqodumi wal awwaliyyah. Almuntaqilli fil ghuroril karimati wal jibaah. Waastamnihullaha ta’alaa ridwanan yakhusshul itrotath thoohirotan nabawiyyah
Wayaummus shohabata wal atbaa’a wamawwalah.
Wa astajdiihi hidaayatan lisulukis subulil waadhihatil jaliyyah
(41)
burudan hisanan abqoriyyah Naadziman minan nasabisy syariifi
iqdan tahallal masami’u bihulaah Wa asta’inu bi haulillahi ta’aala
wa quwwatihil qowiyyah fa innahuu laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Marhabaaaanaaaaaa..aaaaaaaaaa
Marhabaaaaaaaaaaaa……..aaaaa
Marhabannnnn ya nurul aini yaaaaa aaaa……
Didalam teks berzanji ini memiliki arti dan makna dalam setiap baitnya, salah satu diantara nya adalah menceritakan bagaimana perjalanan Rasullullah saw, dengan contoh- contoh yang baik dalam kehidupan. Kemudian Rasullulah juga menyampaikan nasehatnya dengan lantunan-lantunan nasehat berzanji yang begitu indah.
Dengan adanya lantunan barzanji yang dibacakan oleh anggota marhaban ini, anak yang dikhitan akan terasa sejuk hatinya. Kemudian dengan lantunan syair- syair marhaban akan menggugah hati sang anak untuk selalu mengingat kebesaran Allah swt. Dengan nasehat- nasehat barzanji ini doa yang terkandung akan menjadikan anak yang sholeh dan akan ingat segala jasa- jasa orang tua yang telah mengandung sampai ia dewasa kelak.
5.2 Analisis Konteks Khitan
Adapun alat dan benda yang digunakan pada saat ritual khitanan adalah: a. Guntig
Gunting merupakan alat yang paling penting untuk memotong ujung kemaluan dengan menggunakan alat ini maka proses pengkhitanan akan lebih mudah.Tetapi perkmbangan zaman
(42)
b. Sarung
Sarung merupakan pakaian pelengkap pada saat berkhitan, karena dengan menggunakan sarung proses pengkhitanan akan lebih mudah dengan poisi terbaring.
c. Sabut
Sabut merupakan dari kulit kelapa yang sudah kering. Pemakaian sabut ini untuk menggantungkan ikatan sarung kemudian diikat dengan tali, anak yang dikhitan akan lebih leluasa karena gantungan ujung sarung tersebut tidak menggangu dalam proses gerak.
d. Pakaian melayu
Pada saat duduk dipelaminan anak laki- laki Melayu secanggang memakai baju Melayu berwarna kuning, atau hijau., dan memakai tengkuluk seperti layaknya seorang pangeran dan tak lupa pula memakai kris sebagai simbolis. Menurut masyarakat desa Secanggang sendiri baju berwarna kuning ini memiliki makna mulia dan baju berwarna hijau melambangkan warna yang di sukai Nabi Muhammad saw. Dengan memakai warna yang digemari maka terlihatlah anak tersebut lebih tampan dan rapi. Kain sarung juga sebagai pakaian pelengkap dan mudah pada saat khitanan.
5.2.2.1Adapun bahan- bahan penabur tepung tawar
Dalam perlengkapan tepung tawar ada namanya bertih (padi yang digerongseng, atau digoreng tanpa minyak dan menjadilah beras kuning dan putih yang bermakna suci dan mulia. Kemudian ada juga dedauanan yang di perlukan sebagai tepung tawar yaitu diantaranya adalah:
a. Daun sedingin artinya penyejuk b. Daun lenjuhang artinya pemagar c. Daun jejurun artinya panjangkan umur
(43)
f. Daun sepenuh artinya murah rezki g. Daun sambau artinya kuat/ketahanan.
Daun daun ini biasaya di ambil dari kebun perkarangan rumah yang sudah ditanam sebagai keperluan dalam acara- acara adat lainnya. Untuk lebih meringankan dalam melengkapi penabur tepung tawar ini, tetangga yang mengerti akan semua perlengkapan ini siap membantu dalam menyiapkan prlengkapan tepung tawar.
5.3 Gotong Royong dalam Masyarakat Melayu di Secanggang
Berdasarkan makna teks dan konteks istiadat ritual khitanan dapat diutarakan bagaimana masyarakat Melayu di desa Secanggang terhadap kegotong royongan dapat disimak dari berbagai penjelasan maupun dari pihak orang tua dan informan sebagai berikut:
Hakekatnya, kegotong royongan menjadi unsur amat penting dalam kehidupan mereka. Mereka memandang kegotongroyongan dan tenggang rasa sebagai sikap utama yang memancarkan nilai agama dan budaya yang mereka anut yang diwarisi, yang menjadi salah satu acuan jati dirinya. Mereka menjelaskan, sifat kekeluargaan yang mereka warisi, sebagian tercermin di dalam kegotongroyongan dan tenggang rasa, baik di kalangan terbatas maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara. Selain itu, para informan berpandangan bahwa ikatan kekeluargaan tidak akan kokoh dan kuat, bila tidak ditopang oleh kegotong royonga antara sesamanya. Karena, mereka memandang kegotong royongan sebagai sikap hidup utama, dan cerminan dan jati diri mereka.
Dalam ungkapan adat dikatakan bahwa, “tanda hidup manusia terbilang, tolong menolong
tiada berkelang”, “tanda orang yang berbangsa, tahunya berkerja sama”. Ungkapan lain juga
menegaskan, “kalau hendak menjadi orang, tolong menolong janganlah kurang”, “kalau hendak menjadi manusia, hidupnya penuh bertenggang rasa”.
(44)
Kemudian mereka berpandangan bahwa kegotong royongan sangatlah besar peranannya dalam kehidupan orang Melayu. Kegotong royongan meningkatkan tali persaudaraan, menghapuskan kesenjangan sosial, perselisihan, dan mewujudkan ketertiban dan keamanan, meningkatkan persatuan dan kesatuan serta mensejahterakan kehidupan masyarakatnya dalam arti yang luas.
Salah satu anggota masyarakat desa Secanggang mengatakan bahwa, melalui kegotong royongan, semua permasalahan dapat terselesaikan dengan baik. Di dalam ungkapan dikatakan,
‘kalau hidup tolong-menolong yang berat menjadi ringan, yang jauh menjadi dekat” maka,
segala sesuatau yang dikerjakan akan terasa ringan. Dan ada juga mengatakan bahwa, “bila hidup tenggang menenggang, yang sempit menjadi lapang, yang gelap menjadi terang, yang sakit
menjadi senang”, ini merupakan rasa keperdulian terhadap sesama sangatlah diperhatikan. Jika
salah seorang tetangga yang sehat menjenguk yang sakit, maka sakit yang diderita akan cepat sembuh.
Mereka juga menjelaskan, bahwa melalui rasa kegotong royongan, akan terwujud rasa keserasian dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, dengan melekatnya rasa kegotongroyongan pada setiap anggota masyarakatnya, maka hilanglah berbagai sifat egois, iri, loba,tamak dengki, dan rasa mau menang sendiri akan terhapus, dan tidak akan tenjadi saling selisihan antara sesama anggota masyarakatnya.
Prilaku hidup bergotong-royong, menjauhkan diri dari prilaku serakah, kejam, zalim, mementingkan diri sendiri dan sebagainya yang sering menjadi titik permasalahan atau penselisihan di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kegotong royongan berperan pula dalam meredam gejolak kerakusan dan kewenangan di dalam hidup bermasyarakat.
(45)
menyebabkan terjadinya perubahan dan pengeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan orang Melayu, namun dengan begitu pninsip dalam kegotongnoyongan tidaklah terlalu banyak berubah. Karena, Sikap hidup tolong-menolong masih sangat jelas mewarnai kehidupan sehari- hari mereka, terutama di perdesaan. Berbagai kegiatan masih sangat dilakukan dengan bergotong royong, seperti melakukan upacara adat pernikahan, khitanan, aqiqah,khatam alqur’an dan mendirikan bangunan (menegakkan rumah), dan sebagainya. Rasa kekeluargaan masih sangat cukup kental, sehingga antara sesama anggota masyarakat masih jelas dilakukan hingga saat sekarang ini.
Dengan demikian, kekentalan kegotong royongan yang dimaksud, tentulah tidak sepekat masa silam atau masa lalu. Berbagai perubahan dan pergeseran nilai budaya, serta perkembangan masyarakat, telah melonggarkan kekentalan itu. Hidup yang semakin menjurus kepada materialistis, mempengaruhi kegotong royongan “murni” yang dahulu menjadi acuan dasar sikap masyarakat. Kehidupan ekonomi masyarakat yang sebagian besar masih tergolong miskin, menyebabkan kepentingan material mendesak mereka untuk bekerja dengan imbalan, walaupun sedikit. Padahal dahulu, kegotongroyongan sama sekali tidak mengharapkan imbalan bahkan ditabukan. Perubahan sikap ini sebagian besar terjadi di perkotaan, sedangkan di perdesaan, masih belum menimbulkan kecenderungan.
Gotong royong tidak mengharapkan imbalan. Tetapi, pihak yang menyelenggarakan kegiatan akan memikirkan untuk membantu mereka yang menolongnya, walaupun tidak diminta. Sikap mi dahulunya dibenarkan oleh adat, karena mencerminkan sikap bertenggang rasa antara yang punya pekerjaan dengan orang-orang yang membantunya. Misalnya dalam ritual khitanan mereka menolong bekerja sama hingga acara adat selesai, keesokharinya pihak yang menyelenggarakan adat ritual ini akan memberikan berupa bahan pokok makanan yang berlebih.
(46)
Masih sangat melekat nilai-nilai hidup bergotong royong dalam jati diri orang Melayu di desa Secanggang masa kini, dibuktikan pula karena adanya kegiatan kegotong royongan yang mereka lakukan. Selain itu, mereka juga masih merasa malu apabila tidak turut dalam kegiatan gotong-royong, apalagi untuk kepentingan masyarakat tempatan atau keluarganya.
Keengganan itu terjadi karena kekhawatiran untuk tidak mau menyinggung perasaan tokoh yang dimaksud. Hal mi memang dapat merugikan, karena sudah menjadi sifat, keadaan itu terus berlanjut, walaupun merugikan. Sifat ini pula yang menyebabkan orang Melayu sering kalah dalam persaingan. Mereka terlalu menenggang perasaan orang lain, sehingga dirinya mengalami kerugian.
Orang tua-tua mengatakan, ‘biarlah orang lain tidak menenggang perasaan kita, asalkan kita tetap menenggang perasaan orang lain”. Acuan mi sekarang masih melekat, terutama dalam masyarakat di kampung-kampung, sering pula menyebabkan masyarakat mengalami kerugian, baik hutan tanah maupun miliknya.. Padahal kalau mereka tidak terlalu kaku dalam sikap dan tenggang rasanya, tentulah mereka akan mampu mempertahankan hak miliknya atau lebih gigih dalam persaingan.
Orang tua-tua menjelaskan, akibat buruk dari kekakuan menerapkan tenggang rasa itu barulah sekarang muncul. Pada zaman dahulu, hal itu tidak pernah terjadi, karena semua pihak memiliki rasa tenggang rasa yang sama. Mereka pastilah tidak mau merugikan pihak lain. Tetapi sekarang, karena yang memiliki rasa tenggang rasa itu kebanyakan sepihak saja, maka merekalah yang selalu menjadi korban, dirugikan dan sebagainya.
Orang tua-tua mengatakan, “kalau dahulu mencubit orang lain sakitnya terasa ke din sendiri, maka sekarang, sakit orang lain tidak lagi dirasakan oleh yang mencubitnya. Itulah takut”. Ungkapan
(47)
masyarakat yang cenderung tidak memperhatikan lagi nilai-nilai luhur yang dianut masyarakatnya. Apalagi, menurut orang tua-tua itu, banyak sindiran yang mencerminkan prilaku manusia yang “terbalik”, misalnya, “siapa lurus, kurus, yang bengkok menjadi gemuk”, dan sebagainya.
Kalau keadaan seperti ini berlanjut, tentulah sikap tenggang rasa yang menjadi salah satu tonggak jati diri Melayu itu akan dilecehkan oleh generasi berikutnya, karena yang muncul hanya kerugian. Karena itu, orang tua-tua senantiasa mengingatkan supaya sikap tenggang rasa tersebut benar-benar menjadi pegangan semua pihak, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak pula, sebagaimana dimasa silam.
Selanjutnya, orang tua-tua Melayu mengatakan, bahwa bagaimanapun akibat dan sikap hidup bertenggang rasa itu, sebagai orang Melayu yang beragama dan beradat istiadat, wajiblah tetap memegangnya dengan ikhlas. Kalaupun ada pihak lain yang memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu, maka lambat laun akan dibalaskan oleh Allah yang Maha Adil. Sikap inilah yang terus mereka tanamkan kepada anak cucunya, sehingga sikap kegotong royongan dan tenggang rasa itu sampai sekarang masih mewarnai kehidupan orang Melayu.
Mereka juga merasa yakin, bahwa bagaimanapun majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, bagaimana pun modrennya kehidupan masyarakatnya, sebagai orang Melayu, hati nuraninya tetaplah akan bersandar kepada nilai-nilai luhur yang mereka warisi, yang hakekatnya berpuncak dengan ajaran agama dan budaya serta norma-norma sosial yang mereka anut selama ini. Dengan demikian, sikap hidup kegotong royongan dan bertenggang rasa tentulah tetap hidup dalam diri orang Melayu. Apabila orang Melayu mampu mengembangkannya tidaklah mustahil masyarakat luar akan dapat pula menyerapnya.
(48)
persahabatan, senasib, dan sepenanggungan, seaib dan semalu, yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing, yang sempit sama berhimpit yang lapang sama berlegar.
Bila disimak secara mendalam, nampaklah bahwa hampir dalam seuruh jenis sastra lisan Melayu terdapat nilai-nilai kegotong royongan. Orang tua desa Secanggang mengatakan, adanya unsur dan nilai kegotong royongan di dalam setiap jenis atau bentuk sastra lisan itu, karena sifat kegotong toroyongan dimaksud sudah menjadi unsur jati diri Melayu. Karenanya , sifat mulia itu mereka warisi turun temurun, mereka sebar luaskan ke tengah-tengah masyarakatnya melalui berbagai media, termasuk sastra lisannya. Bahkan, di dalam sastra lisan inilah nilal kegotong royongan itu banyak diungkapkan sesuai dengan tradisi masanya.
Sajian berupa ungkapan yang mengandung nilai kegotong royongan dalam penelitian ini memberikan gambaran secara umum tentang sikap hidup, pandangan dan falsafah orang Melayu Langkat di desa Secanggang terhadap prinsip kegotong royongan masyarakatnya. Mereka amat menyadari keutamaan prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yang membawa manfaat untuk mensejahterakan, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, serta memupuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam masyarakatnya.
(49)
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari penjelasan yang telah dipaparkan sesuai dengan permasalahan yang telah disampaikan pada judul nilai gotong royong dalam istiadat ritual khitanan pada masyarakat Melayu Langkat di Desa Secanggang, penulis akan menjelaskan bagian dari kesimpulan bab- bab yang telah dikemukakan dengan penjelasan adat upacara khitanan itu memiliki nilai gotong- royong yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Secanggang dan kebudayaan gotong royong ini tak mungkin dihilangkan. Karena jika tidak dilaksanakan dengan tolong-menolong maka acara- acara adat tak akan terselesaikan dengan baik. Setelah menganalisis dari judul nilai gotong royong pada ritual khitanan masyarakat Melayu langkat di desa Secanggang penulis menarik kesimpulan yang terkait dari tumusan masalah dalam skripsi ini:
Khitanan merupakan salah satu hal wajib yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin karena khitanan ini hukumnya bersifat wajib. Khitanan juga dilangsungkan kepada anak laki- laki yang berusia delapan sampai sepuluh tahun. Ada juga khitanan anak perempuan tetapi acara khitanannya tak dilngsungkan dengan adat pelaksanaan seperti anak lelaki. Anak perempuan biasanya dikhitankan berusia tiga bulan sampai Sembilan bulan. Hanya saja anak perempuan dikhitankan dengan mak bidan dan acara doa saja sudah cukup, berbeda halnya dengan anak laki- laki.
Salah satu anggota masyarakat desa Secanggang mengatakan bahwa, melalui kegotong royongan, semua permasalahan dapat terselesaikan dengan baik. Di dalam ungkapan dikatakan,
(50)
hidup tenggang menenggang, yang sempit menjadi lapang, yang gelap menjadi terang, yang sakit
menjadi senang”, ini merupakan rasa keperdulian terhadap sesama sangatlah diperhatikan. Jika
salah seorang tetangga yang sehat menjenguk yang sakit, maka sakit yang diderita akan cepat sembuh.
Kemudian mereka juga berpandangan bahwa kegotong royongan sangatlah besar peranannya dalam kehidupan orang Melayu. Kegotong royongan meningkatkan tali persaudaraan, menghapuskan kesenjangan sosial, perselisihan, dan mewujudkan ketertiban dan keamanan, meningkatkan persatuan dan kesatuan serta mensejahterakan kehidupan masyarakatnya dalam arti yang luas.
Gotong royong tidak mengharapkan imbalan. Tetapi, pihak yang menyelenggarakan kegiatan akan memikirkan untuk membantu mereka yang menolongnya, walaupun tidak diminta. Sikap mi dahulunya dibenarkan oleh adat, karena mencerminkan sikap bertenggang rasa antara yang punya pekerjaan dengan orang-orang yang membantunya. Misalnya dalam ritual khitanan mereka menolong bekerja sama hingga acara adat selesai, keesokharinya pihak yang menyelenggarakan adat ritual ini akan memberikan berupa bahan pokok makanan yang berlebih.
Dengan demikian, manfaat kegotongroyongan akan kembali sebagai mana asalnya, dengan demikian, yakni untuk mewujudkan masyarakat yang aman dan tertib, yang kental dalam persahabatan, senasib, dan sepenanggungan, seaib dan semalu, yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing, yang sempit sama berhimpit yang lapang sama berlegar.
Menurut pendapat masyarakat desa Secanggang Keberadaan ritual khitanan di desa Secanggang sangat terapresiasika dengan baik dalam, maupun adat upacara lainnya. Mereka saling tolong menolong dengan seksama tanpa pamrih. Ritual khitanan samapai sekarang ini
(51)
dari nenek moyang mereka yang harus diturun- temurunkan yang tak dapat dihilangkan. Ritual khitanan ini bersifat fungsional bernuansa tenggang rasa dan memiliki sifat religius.
Tahap pelaksanan ritual khitanan pada masyarakat desa Secanggang sangat banyak dari mulai awal hingga akhir pelaksanannya seperti Pemanggilan Anak yang dikhitan ini bermaksud sebagai membujuk’. anak yang hendak dikhitan. Tahap Pengenalan dan Penyampaian Hajat Kepada Keluarga, Tahap Pelaksanaan Ritual Istiadat Khitanan, Doa, dan tahap Pemulangan Jamuan Khitan. Dalam hal ini juga merupakan adanya nilai gotong royong jiwa yang sangat tinggi terhadap sesama masyarakat. Mereka mampu melaksanakan adat istiadat ritual khitanan dengan carra yang ikhlas tanpa balasan atau pamrih. Masyarakat Secanggang memiliki tenggang rasa yang luar biasa kepada sesama. Dan mereka juga dalam kesehariannya sangat berpegang teguh pada syara syara bersendikan kitabullah
teks dan konteks didalam pembahasan rtual khitanan ini adalah merujuk pada penjelasan bagaimana kokohnya adat ritual khitanan pada masyarakat desa secanggang dengan adanya budaya gotong royong yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dalam hal ini merupakan adat istiadat yang masih kental dan budaya yang selalu dilaksanakan dengan meminta izin ALLAH dan saling membantu dengan tolong-menolong antar sesama. Masyarakat Secanggang sangat memapresiasikan adat istiadat ritual khitanan ini karena dianggap hal yang wajib untuk dilaksanakan.
6.2 Saran
Penulis mengharapkan agar kebudayaan gotong- royong ini dalam adat- adat upacara lainnya harus sangat diperhatikan, jangan lah sampai terkikis oleh perkembangan jaman yang semakin canggih.
(52)
Penulis juga mengharapkan kepada pihak- pihak pengurus daerah, seperti dinas pariwisata dan kebudayaan agar memberikan kegiatan gotong- royong kepada masyarakat desa- desa agar kebudayaan gorong- royong ini tidak punah, tetapi tetap dilestariakan
Ritual khitanan dengan budaya gotong royong ini harus tetap terjaga oleh generasi penerus. Karena dengan melalui gotong royong manusia mampu mengendalikan diri dari emosi, amarah dan gotong royong ini juga mampu memberikan tujuan yang menjalinkan tali persaudaraan yang erat.
(53)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Yang Relevan
Dalam penelitian ini penulis menemukan dan memahami serta merujuk pada beberapa penelitian tentang istiadat ritual khitanan yang telah dilaksanakan diantaranya; Irdlon (2011) berupa tesis, berjudul Nilai-Nilai Pendidikan dalam Khitanan. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa tradisi khitanan terdapat nilai-nilai pendidikan, khususnya kepada anak. Nilai itu, membangun dan membina anak agar menjadi pribadi muslim dan shaleh atau berbudi pekerti. Penelitiannya juga mengutarakan bagaimana cara mengimplementasikannya dalam pendidikan anak. Selain itu, penelitian tersebut juga mengungkapkan agar umat Islam lebih paham makna khitanan. Kemudian, anak, keluarga, dan masyarakat bersedia mempraktikkannya demi pendidikan anak-anak mereka.
Suyanto (2013) dalam kemasan skripsi meneliti tentang nilai kegotong royongan. Skripsi ini berjudul; Implementasi Nilai Gotong Royong dalam Tradisi Gubregan (studi kasus pada masyarakat Dukuh Bandung Desa Beji Kecamatan Andong kabupaten Boyolali Tahun 2013). Penelitian ini menjelaskan bahwa Gumbregan adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Dukuh Bandung setelah selesai melakukan panen raya padi. Tradisi ini dilakukan secara bersama-sama yang dilaksanakan pada hari tertentu dan waktunya pagi hari.
Dalam Tradisi Gumbregan juga terdapat nilai-nilai gotong-royong, Pertama implementasi gotong-royong tercermin pada saat warga bersama-sama mempersiapkan seserahan yang berupa umbi-umbian, ketela pohon, gembili, uwi, tebu, kimpul, ubi jalar, ketupat dan pisang.Kedua tercermin pada saat warga bersama-sama membawa seserahan ke rumah sesepuh desa. Ketiga
(54)
membagikan kembali secara adil. Keempat pada saat alim ulama setempat bersama warga yang datang melakukan doa sebagai wujud terima kasih kepada nikmat dan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Kelima pada saat warga melanjutkan tradisi ini untuk menyebar seserahan di sawah. Keenam pada saat warga melanjutkan tradisi ini untuk menyebar seserahan di kandang ternak.
Amran Kasimin (1999) juga menulis buku tentang ritual khitanan dalam masyarakat Melayu, khususnya di Semenanjung Malaysia. Dalam bukunya dijelaskan aspek- aspek ritual khitanan merupakan pengaruh India atau Hindu. Diuraikan bahwa istiadat ritual khitanan bernilai etika yang lazim dilakukan oleh masyarakat dimanapun. Selain itu, dijelaskan juga tentang nilai kerja sama atau gotong royong yang ada dalam istiadat ritual khitanan merupakan salah satu aspek jati diri atau karakter dari masyarakat Melayu.
2.2 Kosmologi Masyarakat Melayu Langkat
Pengertian kosmologi dalam konteks penelitian nilai budaya atau tradisi Melayu dapat diartikan segala sesuatu mendasari aktifitas atau keadaan bersifat kultural yang mengitari wujudnya aspek suatu budaya atau istiadat masyarakat. Dalam konteks penciptaan karya, dalam hal ini juga dapat disebut sebagi konsep kreatif seorang penyair atau pujangga. Aktifitas dan keadaan tersebut berperan penting dalam pemaknaan dan kelangsungan suatu budaya atau istiadat dan karya tertentu. Manakala secara etimologi, kosmologi berasal dari perkataan kosmos yang berarti dunia, aturan alam dan logos berarti rasio atau akal. Jadi kosmologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang alam (dunia), akan tetapi kosmologi merupkaan ajaran atau ulasan tentang dunia dari suatu aspek budaya.7
Membahas tentang ilmu alam atau ilmu dunia, seperti istiadat ritual khitanan tak terlepas dari pemahaman tentang kosmologi religius dan budaya, kosmologi ini merupakan ajaran dan
(55)
keyakinan bersifat religi dan nilai serta norma sesuai keyakinan dan memberikan petunjuk dan prilaku-prilaku manusia yang memiliki etika.
Kabupaten Langkat merupakan daerah Melayu yang teridentik beragama Islam. Yang
selalu berpegang teguh pada adat yang bersendikan ’’syara’’ syara bersendikan kitabullah.
Yuchan mengatakan dalam bukunya adat istiadat perkawinan Melayu Sumatera Timur, Adat dan budaya terbentuk dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di suatu tempat, setelah masuknya agama islam ke Indonesia sebagian besar agama yang dianut dan ditaati oleh sebahagian besar bangsa indonesia, maka untuk menyempurnakannya adat dan budaya Melayu diselaraskan dengan ajaran agama islam sesuai dengan ungkapan yang
berbunyi’’ adat yang bersendikan syara’’ syara mengikat adat ’’kuat agama kuat adat kuat adat kuat agama’’.
Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat dari beberapa pakar-pakar adat serta budayawan Melayu maka adat Melayu dibagi atas beberapa tingkatan yaitu: adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat. Adat yang sebenar adat adalah sebuah prinsip- prinsip adat Melayu yang tidak dapat berubah. Prinsip-prinsip tersebut tersimpul dalam ’’adat bersendikan
syara’’ dan ’’syara bersendikan kitabullah’’. Sedangkan ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan dengan ajaran agama islam tidak dapat digunakan lagi. Adat yang diadatkan adalah adat yang dibuat oleh penguasa satu kurun waktu tertentu. Masa berlaku adat ini adalah selama belum dirubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat dirubah sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan zaman. Adat yang teradat adalah suatu kebiasaan sehari- hari yang merupakan berlaku bagi Masyarakat Melayu atau istilah dengan tradisi. Adat ini selalu dipakai
(56)
dan dilaksanakan sebagai pelengkap sehingga pelanggaran terhadap adat ini tidaklah mendapatkan sanksi apapun terkecuali nasehat dari para pengetua adat pada zaman dahulu. 8
Pada Masyarakat Desa Secanggang juga sangat memegang tuguh agama islam, selalu berpedoman pada ALQUR’AN dan HADIST. Ajaran agama islam sangat penting bagi kehidupan Melayu, terutama Shalat dan Mengaji. Di dalam organisasi bermasyarakat juga penduduk Desa Secanggang juga membuat perwiritan atau yasin sebagai kegiatan agama, dan dalam bentuk pengajian lainnya. Biasanya anak- anaknya pergi mengaji ke sebuah sekolah Madrasah. Dan mereka juga membuat acara syukuran apabila anak mereka sudah khatam mengaji.
Pada umumnya mata pencarian masyarakat Secanggang adalah sebagai nelayan, ada juga sebagian yang menjadi pedagang atau guru. Mereka pergi berlayar atau melaut Mencari ikan dengan menggunakan bot atau sampan. Jika mereka ingin mengambai udang maka mereka pergi ke laut tengah malam. Dalam hidup sosial mereka juga sangat mengutamakan hubungan baik dengan tetanngga dan jiran, ramah tamah dan berakhlak juga sangat diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.3 Letak Geografis dan Sejarah Singkat 2.3.1 Letak Geografis
Letak Geografi Daerah Kabupaten Langkat terletak pada 3o14’ dan 4o13’ lintang utara, serta 93o51’ dan 98o45’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatas dengan selat Malaka dan Prop. D.I.Aceh, Sebelah Selatan berbatas dengan Dati II Karo, Sebelah
(57)
Timur berbatas dengan Dati II Deli Serdan, Sebelah Barat, berbatas dengan Dati D.I Aceh (Aceh Tengah).9
Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad 19, wilayahnya terbentang antara aliran Sungai Seruwai atau daerah Tamiang sampai ke daerah aliran anak Sungai Wampu. Terdapat sebuah Sungai lainnya di antara kedua Sungai ini yaitu Sungai Batang Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang/Malaysia. Sungai Batang Serangan ketika bertemu dengan Sungai Wampu, namanya kemudian menjadi Sungai Langkat. Kedua sungai tersebut masing-masing bermuara di Kuala langkat dan Tapak Kuda.10
2.3.2 Sejarah Singkat
Adapun kata “Langkat” yang kemudian menjadi nama daerah ini berasal dari nama sejenis
pohon yang dikenal oleh penduduk Melayu setempat dengan sebutan “pohon langkat”. Dahulu
kala pohon Langkat banyak tumbuh di sekitar Sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang sudah langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon ini menyerupai pohon langsat, tetapi rasa buahnya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar Sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan nama Kerajaan Langkat.
Selain itu, ada cerita berupa legenda yang mengkisahkan asal-usul negeri Langkat, yaitu legenda Sultan Ahmad. Ia adalah Sultan yang pertama dari kerajaan Langkat. Dikisahkan; suatu hari terjadi peperangan yang disebabkan oleh permusuhan diantara dua orang berilmu yang
9
Sejarah Geografi. Daerah Kabupaten Langkat terletak pada 3o14’ dan 4o13’ lintang utara, serta 93o51’ dan 98o45’
Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatas dengan selat Malaka dan Prop. D.I.Aceh, Sebelah Selatan berbatas dengan Dati II Karo, Sebelah Timur berbatas dengan Dati II Deli Serdang dan Sebelah Barat berbatas dengan Dati D.I Aceh (Aceh Tengah).
(58)
tangguh. Salah seorang dari mereka yang berperang bersumpah apabila berakhir peperangan
meraka akan menancapkan sebatang kayu dan kayu itu tidak boleh diangkat disebut ; “La Angkat”. Dikisahkan berhentilah peperangan, maka masyarakat dan sultan yang berkuasa bernama Sultan Ahmad menamai wilayah itu menjadi Langkat. Artinya, kata Langkat itu berasal;ah dari kata La Angkat.
Pada penelitian ini, penulis memilih desa Secanggang Kabupaten Langkat sebagai bahan penelitian untuk skripsi dengan judul yang diambil berkaitan dengan Masyarakat tersebut. Desa secanggang juga mempunyai sejarah singkat dengan nama Secanggang.
Desa Secanggang adalah Desa yag terletak di selatan Pesisir Pantai Provinsi Sumatera Utara. Tepatnya berada di wilayah Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Ditinjau dari Letak geografisnya Desa Secanggang berada di bagian utara berbatasan dengan Desa tanjung Ibus, sebelah Selatan berbatan dengan Selat Malaka, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karang Gading. sebelah Barat berbatasan dengan Desa Selotong. Total luas Wilayah Desa Secanggang 2058 Ha/ M2. Jarak tempuh dari ibu Kota, Kecamatan sekitar 6 Km, Lama jarak tempuh sekitar 15 menit. Jarak ke Ibu kota kabupaten sekitar 20 Km, jarak ditempuh ke ibu Kota provinsi n60 Km.
Kata Secanggang menurut ibu kota setempat, berawal dari kedatangan orang suku bangsa yang datang dan menetap di Desa secanggang, karena masyarakat setempat merasa dari waktu-kewaktu banyak yang berpindah atau datang menetap di wilayah itu, maka perlu ditingkatkan rasa tenggang. Akibat dari harapan masyarakat tersebut mereka kerap menyebutkan kata tenggang, namun karean perubahan penyebutan yang dipengaruhi dialek, akhirnya kata tenggang tersebut berubah penyebutannya menjadi sejanggang dan untuk menunjukkan betapa pentingnya
(59)
Secanggang telah di kenal sebagai Desa pelabuhan dan termasuk kedalam wilayah kerajaan Kesultanan Melayu Deli Tanjung Pura Langkat, sekitar 35 Km dari Desa Secanggang. Sejak 1948 suku Melayu sudah menetap di Desa Secanggang pada waktu agresi Belanda tahun 1940 keluarga Kesultanan Mengungsi ke Desa Secanggang Untuk menyelamatkan diri, keluarga Kesultanan mendirikan rumah-rumah di sekitar Desa Secangganng. Di bawah ini merupakan tabel batas wilayah kecamatan Secanggang.
Batas Wilayah Kecamatan Secanggang
Batas Desa/ Kelurahan Kecamatan
Sebelah Utara Tanjung Ibus Secanggang
Sebelah Selatan Selat Malaka Secanggang
Sebelah Timur Karang Gading Secanggang
Sebelah Barat Selotong Secanggang
2.2.3 Adat Istiadat dan Sosial Masyarakat
Nilai budaya merupakan tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Sebabnya karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga sesuatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang lagi pula, sejak kecil orang telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam jiwanya. Karena
(60)
itu untuk mengganti suati nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu yang lama.11
Suatu nilai budaya seringkali merupakan pandangan hidup, walaupun kedua istilah itu
sebaiknya tidak disamakan, “pandangan hidup” biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, dan yang telah dipilih secara selektif oleh individu-individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila ’’sistem nilai’’ merupakan pedoman hidup yang dianut oleh suatu masyarakat maka, pandangan hidup merupakan suatu pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau bahkan individu-individu tertentu dalam suatu masyarakat. Karena itu suatu pandangan hidup tidak berlaku bagi seluruh Masyarakat.
Dalam adat istiadat ada nilai budayanya dan juga sitem normanya yang secara khusus dapat diperinci lagi kedalam berbagai norma, sesuai dengan pranata-paranata yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan . Fungsi dari sistem budaya adalah menata serta mnetapkan tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia. Sistem sosial juga terdiri aktivitas-aktivitas atau tindakan-tindakan berinteraksi antar individu yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai tindakan-tindakan berpola yang saling berkaitan, sitem sosial lebih menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma tersebut.12
Masyarakat setempat Desa Secanggang juga sangat mengenal budaya sosial, nilai dan norma pada kehidupan sehari-hari. Seperti halnya dalam melaksanakan tradisi ritual khitanan masyarakat setempat mengutamakan budaya sosial dalam bermasyarakat saling berinteraksi kepada sanak saudara dan tetangga jiran. Tindakan-tindakan yang tidak senonoh yang dianggap masyarakat tabu haruslah dipatuhi. 13
(61)
Hukum dengan segala ketentuannya mengandung petunjuk-petunjuk hidup berupa perintah maupun larangan yang harus di taati dalam suatu masyarakat tertentu. Baik bersifat larangan untuk bersikap melakukan suatu perbuatan, maupun ketentuan yang mengatur untuk besikap melakukan suatu perbuatan yang telah diatur oleh ketentuan hukum tersebut. Karena suruh dan larang telah diatur oleh hukum yang berlaku di masyarakat maka berarti setiap anggota masyarkat yang hidup di kawasan tersebut harus menaatinya, sehingga ketertiban dalam kehidupan itu terpelihara.14
2.2.4 Khazanah Sastra Tradisi Melayu Langkat
Dalam buku berjudul Pemikiran Kreatif dan Sastra Tradisi Melayu (2015) diutarakan bahwa Khazanah kesusastraan lisan atau tradisi masyarakat Melayu pada umumnya mempunyai beberapa ciri tertentu. Ciri pertama yang paling ketara adalah cara ia disampaikan, yaitu secara lisan. Namun, ada juga sebagian darinya telah ditulis dan kemudian dilisankan kembali. Manakala ada juga yang dituturkan secara individu kepada individu atau kepada sekumpulan/masyarakat. Kesusastraan lisan atau disebut juga sastra tradisi masyarakat Melayu, khususnya yang berdomisili di Pesisir Timur-langkat juga dipertuturkan untuk diperluaskan penggunaannya dalam majlis-majlis/pesta-pesta perkahwinan, berkhitan, bercukur, berendoi, dan dalam adat-istiadat yang lain, seperti puja pantai, syukuran laut, jamu kampong, dan dalam seni permainan rakyat. Kemudian baik sebagai bagian dari majlis/pesta adat, pemeriah dalam hajatan ataupun hanya penghibur dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
Menurut pandangan anggota masyarakat Melayu di Langkat bernama Sidin, ada juga ketua kampung dan daerah yang mengambil kesempatan menulis dan merakam setiap yang dituturkan di dalam majlis/pesta tersebut untuk dijadikan koleksi dan pengetahuan pribadi atau berniat diperturunkan kepada generasi pewaris.
(62)
Berkaitan dengan isi kandungannya, ciri kesusastraan lisan masyarakat Melayu telah menerima pengaruh Hindu-Buddha dan Islam. Kesusastraan lisan masyarakat Melayu tersebar di kalangan masyarakatnya dari berbagai-bagai pengaruh dan cara penyebarannya terdapat tiga hal yang selalu terjadi, yaitu pertama kesusastraan lisan masyarakat Melayu mengalami penambahan baik dalam bentuk, isi maupun pertuturannya. Kedua, kesusastraan lisan masyarakat Melayu mengalami pengurangan baik isi, bentuk maupun cara pertuturannya, dan yang ketiga di dalam masyarakat Melayu, khususnya di Pesisir Timur sendiri ditemui pelbagai genre dan variasi serta gaya penceritaan.
Hal tersebut terjadi disebabkan oleh seorang penutur baik pencatat maupun perekam akan menokok tambah atau menambah-nambahi cerita, bentuk serta penyampaiannya untuk menambah kesedapan, kesesuaian cerita dengan suasana dan alam persekitaran, di mana ia dituturkan dan disampaikan serta di dimana pula ia berkedudukan hingga tidak ada rasa ragu-ragu untuk membuang dan rnenambah isi serta bentuk dan juga gaya penyampaiannya.
Disebabkan itulah ditemui beberapa karya yang bersifat cerita dan bukan cerita baik berbentuk prosa ataupun puisi mempunyai judul yang sama. Misalnya; Syair Puteri Hijau, Kelambai, dan Syair Burong Punggok. Namun begitu, terdapat perbedaan apabila dilihat dari segi isi ataupun kandungan cerita serta gaya penyampaian serta penuturannya. Begitu juga halnya dengan bentuknya, dari sesebuah judul diceritakan dalam genre yang berbeda-beda. Ciri yang kedua melibatkan soal keberadaan kelahiran dari kesusastraan lisan masyarakat Melayu, yaitu lebih banyak lahir dan berkembang dari dalam masyarakat yang sederhana. Mungkin ia turut lahir dan wujud dalam masyarakat bangsawan, walaupun penggunaannya terbatas hanya pada acara-acara adat.
(63)
kebesaran raja sebagai titisan dewa. Semasa pengaruh Islam cerita-cerita yang berkembang berisi dan bertemakan Kebesaran Allah sebagai pencipta manusia, langit, dan alam lingkungan berserta isi- isinya. Misalnya; Hikayat Deli, Hikayat Malem Deman, dan Cerita Puteri Bungsu.
Ciri ketiga ialah kesusastraan lisan masyarakat Melayu mengandungi ciri-ciri budaya asal masyarakat yang melahirkannya sehingga menggambarkan suasana rnasyarakat Melayu yang alamiah. Hal ini wujud dalam sastra yang berbentuk cérita baik karya-karya dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Misalnya ; Cerita Datuk Bogak, Pangbelgah, dan cerita Si Kuntai. Disebabkan oleh sastra lisan merupakan ekspresi atau pernyataan budaya, rnelalui kesusastraan lisan masyarakat Melayu Pesisir Timur dapat mewujudkan corak budaya asas atau tradisionalnya, sehingga ciri asalnya tetap terpelihara.
Walaupun terdapat unsur-unsur saling melengkapi atau tokok tambah. Hal tersebut menunjukkan bahwa karya-karya sastra lisan masyarakat Melayu pada hakikatnya cagar budaya bangsa karena kesemuanya tuangan pengalaman jiwa bangsanya dan turut meliputi pandangan hidup serta landasan falsafah bangsa.
Ciri keempat menunjukkan bahwa kesusastraan lisan atau disebut juga sastra tradisi kepunyaan bersama, baik dianggap sebagai milik masyarakatnya ataupun bukan milik perseorangan. Dengan itu apabila disusurgalurkan dengan kewujudan masyarakat Melayu dan kesusastraan lisan ditemui mempunyai banyak berbedaan versi. lni bermakna hasil kesusastraan lisan, baik yang bersifat lisan maupun tulisan juga mempunyai gaya penceritaan dan bukan bersifat penceritaan. Terdapat beberapa kelainan di dalam isi, gaya pertuturan dan bentuknya walaupun tajuknya sama.
Ciri ke lima dan terakhir ialah dalam kesusastraan lisan Melayu terdapat unsur-unsur pemikiran yang luas tentang kemampuan masyarakatnya, pengajaran atau bersifat didaktik dan
(64)
Manakala susunan kata-kata demikian gambaran sesuatu keadaan atau peristiwa dipaparkan. Ini menunjukkan bahwa aspek pemikiran masyarakat Melayu sangat luas tentang alam nyata dan alarn ghaib. Bentuk pemikiran itu ada kaitan pula dengan sistern kepercayaan dan agama yang dianuti seperti animisme, Hindu, Budha, dan Islam.
a. Bentuk-Bentuknya
Kesusastraan lisan masyarakat Melayu, khususnya di pesisir Secanggang-Langkat, dilihat dari segi isi dan sifat penceritaannya lahir dalam dua sifat. Kedua-duanya diwujudkan dalam bentuk prosa dan puisi yang hidup di dalam masyarakatnya. Sifat penceritaan yang dimaksudkan wujud dalam cerita rakya mitos, epic serta kuntai, legenda dan cerita jenaka juga dongeng, sedangkan yang bukan bersifat penceritaan wujud dalam nyanyian rakyat, ungkapan, peribahasa, teka-teki dan undang-undang adat. Genre dari puisi rakyat masyarakat Melayu ialah syair, pantun, seloka, teka-teki, gurindam, dan mantera.
Cerita rakyat yang dimaksudkan merupakan cerita yang pada umumnya, mempunyai isi untuk tujuan pengajaran dan hiburan serta perobatan, bahkan kadangkala diluahkan untuk jenaka, seperti cerita Datuk Bogag, Pak Belalang, Si Jibau Malang dan lain-lain.
Mitos ialah cerita-cerita yang mengisahkan masa Iampau yang mengisahkan tentang dewa-dewi dan asal-usul kehidupan dan dianggap keramat baik oleh cendikiawan dan budayawan ataupun masyarakat setempat. Perihal mitos yang wujud dalam masyarakat Melayu, seperti yang telah dipahami, yaitu;
"... Mitos yang ada di dalam masyarakat Melayu juga pada dasarnya
merupakan cerita tentang usul; baik usul nama sesuatu tempat, asa-usul manusia asal-usul sesuatu kejadian dan sebagainya. Mitos yang terdiri dari pelbagai cerita, menjadi
(65)
pemikiran, dan kepercayaan sesuatu kelompok masyarakat, terus dihormati baik kaum tersebut telah ataupun belum menerima pengaruh agama asing yang besar, seperti Hindu, Islam, Buddha, Kristian dan lain-lain”.
Dalam konteks kepercayaan dan folklor, cerita rakyat, dan mitos bukan saja dihormati bahkan diyakini seolah-olah sesuatu peristiwa yang berunsur mitos itu benar benar berlaku dalam masyarakat. Dalam anggota masyarakat Melayu, cerita yang bersifat mitos, yaitu mitos Mambang Si Gao, Si Peros, Meriam Puntung, dan Puteri Tanah Datar serta Asal Usul Tanjung Balai.
Mitos Mambang Si Gao, mengisahkan tentang zuriat masyarakat Melayu dan kesaktian dari peneroka daerah pesisir. Si Peros mengisahkan tentang keajaiban seekor harimau sebagai penunggu istana, sedangkan mitos Mariam Puntung pula merupakan mengenai puteri jelita dari zuriat kesultanan Deli di Sumatera. Kemudian cerita mitos Puteri Tanah Datar berkisar tentang kesaktian puteri raja yang menguasai di suatu kerajaan, sedangkan Asal Usul BandarTanjung Balai pula mengisahkan tentang alam yang telah menjadikan suatu bandar wujud hingga ke saat ini.
Selanjutnya epik adalah cerita-cerita kewiraan yang bersambung-sambung tentang tokoh atau wira yang terkenal baik perihal Kegagahan maupun kegigihannya. Misalnya, dalam masyarakat Melayu Pesisir Timur cerita Guru Patimpus dan Datuk Hamparan Perak. Legenda adalah cerita-cerita yang dianggap, atau dalam konsepsi yang empunyanya sebagai peristiwa-peristiwa sejarah. Dundes di dalam bukunya yang bertajuk: The Study of Folklore yang dikutip
dari James menyatakan bahwa; “...Legenda adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi manusia
yang adakalanya memihki sifat-sifat luar biasa dan dibantu oleh kuasa atau makhluk ajaib. Cerita-cerita legenda juga dipercayai pernah benar-benar terjadi oleh penuturnya dan
(1)
15.Rekan-rekan stambuk 2011, Novy ary astuty, lisna Mahara, Siti Masitah Banurea, Erma Wati, Imam purwa kusuwa, Prayogo, Rini salsa Bella hardi, Ramli Rahmad effendi, Nuari,Hendra , Faiza, Natalia, Putri, Fenny, Anty, Angel, Jesika, Rumondang, Heri, Kelleng serta teman- teman lainnya yang tak pernah bosan memberikan semangat dan canda tawa.
16.Abang- abag, teman- temandan adik- adik, Kakanda Putra, Rendi,Panji, Reni, Gemi, Ikbal, Dedi, Rizky, Amrullah, Fahmi,Aprilia , ArianSyah, Jakaria, Taufik, wiwip dan tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih kepada kalian semua.
17.Penulis juga mungucapkan kepada balai desa kelurahan Desa Secanggang dan masyarakat Secanggang yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan informasi kepada penulis sehinggan terciptalah skripsi ini.
(2)
vi
DAFTAR ISI
Abstrak... i
Kata Pengantar ... ii
Ucapan Terima Kasih ... iii
Daftar Isi ... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakng ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 4
1.3Tujuan Penelitian ... 5
1.4Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Kajian Yang Relavan ... 7
2.2.Kosmologi Masyarakat Melayu Langkat ... 8
2.3 Letak Geogafis Dan Sejarah Singkat Kabupaten Langkat Secanggang ... 2.3.1. Letak Geografis ... 11
2.3.2 Sejarh singkat………..12
2.2.3 Adat Istiadat Dan Sosial Masyarakat ……….11
2.2.4 Khazanah Sastra Tradisi Melayu Langkat……….16
2.5Tradisi Ritual Istiadat Khitanan……….25
2.6Adapun tahap- tahap pelaksanaan khitanan………26
2.6.1 Pemanggilan Anak yang dikhitan………27.
2.6.2 Tahap Pengenalan dan Penyampaian Hajat Kepada Keluarga…………28
(3)
2.6.4 Doa………35
2.6.5 Pemulangan Jamuan Khitan………36
2.7 Pendekatan Antropologi Sastra………36
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Disain Penelitian ... 40
3.2. Sumber Data ... 41
3.3 Instrumen Penelitian ... 42
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42
3.4.1 Tehnik Observasi ... 43
3.4.2 Tehnik Kusioner ... 44
3.4.3. Teknik Dokumentasi ... 44
3.5 Teknik Analisis Data ... 44
3.5.1 Reduksi Data ... 44
3.5.2 Sajian Data ... 45
3.5.3 Penarikan Kesimpulan (Verifikasi ... 45
BAB IV PERSEPSI MASYARAKAT MELAYU LANGKAT DI SECANGGANG SECARA UMUM TERHADAP ISTIADAT RITUAL KHITANAN 4.1 Latar Belakang Responden ... 46
4..4.1 Persepsi dalam Hakikat Hidup ... 48
4.4.2 Persepsi dalam Hakikat Kerja ... 49
4.4.3. Persepsi dalam Waktu ... 51
4.4.4 Persepsi dalam Alam ... 53
(4)
viii
4.4.7Fungsi Melalui Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Secanggang Terhadap Ritual………56
4.4.8 Kesimpulan Dari Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Secanggang ... 60
BAB V ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Teks Khitanan ... 61 5.2 Analisis Konteks ... 64 5.2.1 Adapun bahan- bahan penabur tepung tawar……….65 5.3 Gotong Royong Dalam Masyarakat Melayu Di Secanggang…………..66 BAB VI Kesimpulan Dan Saran
6.1 Kesimpulan ... 73 6.2 Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA………..
Daftar Informan………
Lampir ... 76 Gambar ... 78 Kusioner ... ..81 Surat keterangan kepala desa ...
(5)
ABSTRAK
Ainun Mardiah. Judul Skripsi: Nilai Gotong Royong dalam Istiadat Ritual Khitanan pada masyarakat Melayu Langkat di desa Secanggang. .
Penelitian ini membahas tentang Nilai gotong royong dalam Istiadat Ritual Khitanan pada masyarakat Melayu Langkat di desa Secanggang dengan melalui pendekatan Antropologi Sastra di gunakan dalam penelitian Kualitataif Naturalistik.Latar belakang yang membahas tentang bagaimana Sastra yang terdiri dari nillai sebagai peran manusia didalam kehidupan sehari- hari. Didalam kebudayaan juga terdapat nilai gotong royong yang sudah melekat pada jati diri manusia yang sebagaimana gotong- royong ini adalah nilai budaya bangsa yang tak dapat di hilangkan.Dalam rumusan masalah ini juga membahas mengenai Bagaimana keberadaan Ritual khitanan, pelaksanaan Ritual Khitanan, dan nilai- nilai kegotongngroyongan dalam teks konteks Ritual khitanan yang telah di teliti dengan melalui penelitian yang terletak di desa Secanggang.Metode penelitian juga membahas tentang bagaimana cara penulis mengamati di Lapangan dan disusun dengan sebaik mungkin dengan menggunakan teori- teori yang akurat.Pendekatan antropologi sastra ini sebagai pendekatan yang memiliki tugas yang sangat penting untuk megungkapkan aspek-aspek kebudayaan dan sebagai bahan kajian dalam penulisan skripsi ini.Hasil analisis dalam skripsi ini sebagai bukti penulis telah mengambil data- data di lapangan kemudian disusun dengan bentuk karya ilmiah. Dalam pembahasan ini juga terdapat pendapat para informan desa Secanggang yang di catat dengan menggunakan alat tulis.Nilai gotong royong dalam Istiadat ritual khitanan ini merupakan hasil penelitian yang sah diambil dari desa Secanggang sendiri dengan mealui penelitian dan dijadikan sebuah tulisan karya ilmiah atau skripsi sebagai persyaratan gelar Sarjana.Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa adat ritual khitanan dan gotong- royong masih sangat terapresiasikan dengan baik. Maka dari itu agar penulisan skripsi ini mudah di kaji,penulis menggunakan pendekatan Antropologi sastra dan metode penelitian kualitaif naturalistik sebagai bentuk kesempurn di dalam karya ilmiah.
(6)
x