Aomame. Sejak kejadian itu Aomame menutup diri untuk tidak berteman dekat dengan siapa pun.
2. Dengan membaca novel 1Q84, dapat dilihat bagaimana keadaan seorang anak
yang hidup dalam kelompok minoritas di lingkungan masyarakat. Dampak seseorang yang hidup dalam kelompok minoritas dalam lingkungan masyarakat
adalah dikucilkan. Kaum minoritas mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan dari lingkungan sekitarnya. Salah satunya tokoh
Aomame, yang mengalami diskriminasi sosial dan sering dicela teman- temannya dan masyarakat yang berada di lingkungan rumahnya. Perlakuan
yang diterima Aomame sebagai penganut agama minoritas diantara mayoritas dari lingkungan sekolah maupun masyarakat tidaklah adil. Aomame hanya
berusaha mematuhi aturan yang diajarkan agamanya maupun yang diperintahkan orang tuanya. Namun Aomame tetap semangat menjalani
kehidupannya dan berjuang untuk dapat hidup normal dan bisa diterima di lingkungan sosialnya.
4.2 Saran
Melalui skripsi ini, penulis berharap agar novel yang merupakan salah satu alternatif yang dijadikan manusia untuk mendapatkan kesenangan, namun
sekitarnya tidak hanya dijadikan hiburan saja. Tetapi, saat membaca novel berusahalah untuk memahami makna yang terkandung serta nilai-nilai positif
yang ada sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Seperti didalam novel 1Q84, kita dapat mengambil sifat-sifat yang baik yang dapat kita tirukan di
dalam kehidupan sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
Penulis juga berharap skripsi ini dapat dijadikan referensi tersendiri bagi para pembaca dan pencinta karya fiksi menjadi bahan yang berguna bagi peneliti
selanjutnya. Penulis menyarankan kepada para pembaca atau peminat sastra bisa memberi interpretasi sendiri terhadap novel 1Q84, karena dalam memberi
tanggapan sebuah novel sering terjadi perbedaan-perbedaaan pandangan untuk menambah wawasan dan memperkaya khasanah dalam dunia karya sastra.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGIS SASTRA,
DAN RIWAYAT HIDUP HARUKI MURAKAMI
2.1 Defenisi Novel
Abrams dalam Nurgiyantoro 1995:9, menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia yaitu Novella yang secara harfiah yang berarti sebuah barang
baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya satra. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu
karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari
kebenarannyapada dunia nyata Nurgiyantoro, 1995:2. Dan menurut Takeo dalam Pujiono 2002:3, novel merupakan sesuatu yang menggambarkan
kehidupan sehari-hari didalam masyarakat meskipun kejadiannya tidak nyata. Diantara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre
prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat ditemukan diantaranya:
1. Novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media
yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas.
2. Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang
paling umum digunakan dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan berisi karya- karya novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia.
Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan
para pembacanya. Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau defenisi novel. Batasan atau defenisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut
pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan defenisi novel antara
lain sebagai berikut: 1.
Fielding dalam Atmaja 1986:44 mengatakan bahwa novel merupakan modifikasi dunia modern paling logis, dan merupakan kelanjutan dari
dunia epik. Pernyataan ini tidak saja terbukti kebenarannya namun relevan untuk situasi kini, suatu masa dimana novelis tidak lagi menampilkan segi-
segi sosial dan psikologis didalam permasalahan masyarakat biasa. 2.
Wellek dan Warren 1995:282 novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis yang bersifat
realistis dan mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.
3. Jacob Sumardjo 1999:11-12 novel adalah genre sastrayang berupa cerita,
mudah dibaca dan dicernakan, juga kebanyakan mengandung unsur suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran
bagi pembacanya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa novel merupakan cermin
masyarakat. Pendapat ini ada benarnya namun adapula tidak benarnya. Yang
Universitas Sumatera Utara
membenarkan pendapat ini berasumsi bahwa novel atau cerita rekaan itu memberikan bayangan tentang apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu
zaman walaupun tokoh-tokohnya bukan tokoh yang sesungguhnya. Misalnya Siti Nurbaya karya Mara Rusli. Dalam kenyataan peristiwa itu memang ada, tetapi
peristiwa dalam cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah memperkaya cerita ini dengan imajinasinya. Jika sama benar
yang diceritakan pengarang cerita dengan peristiwa yang disampaikannya, maka tulisan itu bukan cerita lagi melainkan laporan peristiwa. Sebaliknya, orang yang
berpendapat bahwa novel atau cerita rekaan bukan cermin, masyarakat berasumsi bahwa cerita itu semata-mata berisi imajinasi pengarang. Jadi, apa yang
diceritakan pengarang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia nyata Rustapa, 1990:7.
Novel dapat memberi dampak positif bagi pembacanya karena novel itu memberikan manfaat pendidikan atau hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit novel
yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang didalamnya terdapat adegan-adegan yang kasar atau adegan yang dapat menimbulkan dorongan
seksual kepada pembaca.
2.1.1 Unsur Intrinsik Novel
Dalam sebuah novel terkandung unsur-unsur struktur yang membentuk novel tersebut. Unsur-unsur struktur novel tersebut adalah tema, penokohan, alur,
latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.
Universitas Sumatera Utara
A. Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi
kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan, moral, etika, agama, sosial, budaya,
teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa
pandangan pengarang,
ide, atau
keinginan pengarang
yang mensiasatipersoalan yang muncul.
Tema ibarat dasar pada sebuah bangunan. Tema merupaka dasar segala penggambaran tokoh, penyusunan alur, dan penentuan latar. Tema tidak dituliskan
secara eksplisit. Kita dapat menentukan tema novel setelah kita membaca keseluruhan cerita. Jadi tema tidak dapat dilihat secara konkret, tetapi harus
dipikirkan dan dirasakan, baru dapat disimpulkan Rustapa, 1990:11. Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel.
Aminuddin 2000: 92 menjelaskan bahwa ada langkah-langkah yang harus pembaca perhatikan untuk memahami tema dari sebuah karya fiksi, yakni :
1. Memahami isi setting dalam prosa fiksi yang dibaca.
2. Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang
dibaca. 3.
Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
4. Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
Universitas Sumatera Utara
5. Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang
disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6.
Menentukan sikap penyair terhadap poko-pokok pikiran yang ditampilkan. 7.
Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang
ditampilkan. 8.
Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang
dipaparkan pengarangnya.
B. Penokohan
Yang dimaksud penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana perilaku tokoh-tokoh tersebut. Ini
berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian, sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian
tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh
tersebut secara wajar. Apabila penggambaran tokoh kurang selaras dengan watak yang dimilikinya atau bahkan sama sekali tidak mendukung watak tokoh yang
digambarkan, jelas akan mengurangi bobot ceritanya Suroto, 1989:92-93. Peran setiap tokoh dalam sebuah cerita tidak sama. Setiap tokoh memiliki
peranannya masing-masing. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita biasa disebut tokoh utama. Sedangkan tokoh yang peranannya tidak terlalu
penting biasa disebut tokoh pembantu atau tokoh tambahan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusuri lewat 1 tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, 2 gambaran yang
diberikan pengarang lewat gambaran kehidupannya maupun caranya berpakaian, 3 menunjukkan bagaimana prilakunya, 4 melihat bagaimana tokoh itu
menceritakan dirinya sendiri, 5 memahami bagaimana jalan pikirannya, 6 melihat bagaimana tokoh lain membicarakannya, 7 melihat bagaimana tokoh
lain berbincang dengannya, 8 melihat bagaimana tokoh-tokoh lain bereaksi terhadapnya, dan 9 melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang
lainnya Aminuddin, 2000: 81.
C. AlurPlot
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk karya fiksi adalah plot. Dalam analisis cerita plot sering juga disebut dengan alur. Alur atau plot pada
karya sastra pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan- tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam Aminuddin, 2000:83.
Secara tradisional plot cerita prosa disusun berdasarkan berdasarkan urutan sebagai berikut :
1. Perkenalan
2. Pertikaian
3. Perumitan
4. Klimaks
5. Peleraian
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, alur dapat alur dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1.
Alur maju Alur maju adalah alur yang peristiwanya disusun secara kronologis. Dimulai
dari perkenalan, kemudian peristiwa itu bergerak, keadaan mulai memuncak, diikuti dengan klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian.
2. Alur mundur
Alur mundur adalah alur yang urutan peristiwanya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali pada peristiwa pertama, peristiwa kedua, dan
seterusnya sampai kembali lagi keperistiwa terakhir tadi. Dalam susunan alur yang demikian biasanya pengarang mulai dengan menampilkan peristiwa
sekarang kemudian pengarang menceritakan masa lampau tokoh utama yang mengakibatkan sang tokoh terlibat dalam peristiwa sekarang terjadi.
3. Alur campuran
Alur campuran adalah alur cerita yang memiliki campuran alur maju dan mundur. Biasanya cerita ini dimulai ditengah-tengah. Sementara cerita
berkembang maju, beberapa kali ditampilkan beberapa potongan flashback yang menjelaskan latar belakang cerita.
http:informasi-doni-blogspot.com201209pengertian-alur-majumundur- dan-campuran.html.
Berdasarkan pengertian alur yang telah diuraiakan diatas, alur yang terdapat dalam novel “1Q84” adalah alur campuran. Hal ini tergambar jelas dari
urutan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel terbut, yaitu dimulai dari awal kisah tokoh Aomame diceritakan saat usia dewasa ketika kerja di petihan bela diri
Universitas Sumatera Utara
kemudian kembali pada masa saat Aomame masih kecil dan berakhir saat Aomame menemukan Tengo lelaki yang dicintainya sejak kecil hingga dewasa.
D. Latar
Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Sudah tentu latar yang dikemukakan, yang
berhubungan dengan sang tokoh atau beberapa tokoh Suroto, 1989:94. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro 1995:216, mengungkapkan bahwa setting dan latar
disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Latar berfungsi sebagai pendukung alur atau perwatakan. Gambaran
situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus
mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung, buku,
atau informasi dari orang lain.
E. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah unsur lain yang terpenting dalam karya sastra. Di dalam sebuah cerita, seorang pengarang tentu berharap agar buah pikirannya dapat
dipahami dan dinikmati pembacanya. Oleh karena itu, melalui imajinasinya pengarang berupaya memilih kata-kata yang ditata dalam rangkaian kalimat yang
sederhana. Ia memadukan kata demi kata sehingga tercipta bahasa yang indah dan dapat menarik minat pembaca. Dengan kata lain, seorang pengarang
Universitas Sumatera Utara
menggunakan gaya bahasa tersendiri didalam menyusun karyanya Ruspata, 1990:49.
F. Sudut Pandang
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro 1995:248, sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang adalah tempat
sastrawan membaca ceritanya. Dari sudut pandang itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.
Sudut pandang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan sebagai sarana untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dalam ceritanya.
2.1.2 Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar tubuh karya sastra itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa unsur ekstrinsik adalah
unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup
pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain Suroto, 1989:138.
Universitas Sumatera Utara
Unsur ekstrinsik untuk tiap bentuk karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang
penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu mempelajari segala macam persoalan hidup manusia. Hal ini berkaitan dengan
misi seorang pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dengan seluk- beluknya. Seorang pengarang yang kurang mengetahui dan kurang bisa
menyelami kehidupan manusia dengan keunikan-keunikannya hanya akan menghasilkan sebuah karya yang hambar atau janggal.
Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah ilmu jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan mampu menampilkan
perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa, pengarang akan menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan jiwa dan batinnya.
Tidak hanya itu saja yang perlu diketahui. Pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk-beluk kehidupan masyarakat modernpun perlu dipelajari.
Pokoknya semua aspek kehidupan manusia dimana saja dan kapan sajaperlu diketahui guna menunjang keberhasilan sebuah cerita.
Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal-hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarangpun cukup besar pengaruhnya
terhadap terciptanya suatu karya sastra Suroto, 1989:139.
2.2 Defenisi Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio Yunani socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman dan
logi logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosiosocius berarti masyarakat, logilogos berarti
Universitas Sumatera Utara
ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal –usul dan pertumbuhan evolusi
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra
dari akar kata sas Sansekerta berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat
untuk mengajar , buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan,
artinya kumpulan hasil karya yang baik Ratna, 2003:1-2. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra
adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu
yang mampu merefleksikan zamannya Endraswara, 2008:77. Secara institusional obyek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam
masyarakat, sedangkan obyek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan mengasilkan kebudayaan.
Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalaui analisis ilmiah dan obyektif, sastrawan mengungkapkannya melalui
emosi, secara subyektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, Damono
1978:6-8, apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama.
Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang sama, maka hasil karyanya akan berbeda. Hakikat sosiologi adalah obyektivitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing karangan.
Karya sastra yang sama dianggap plagiat. Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial,
melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan obyektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik
bersama, didalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang
diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri.
Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh
masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwi arah, yaitu antara
kenyataan dengan rekaan Teew, 1984:224-249. Sastra merupakan releksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu
tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialetik yang dikembangkan dalam karya
satra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan
sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasa lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra
Universitas Sumatera Utara
dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulsi tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek
kehidupan sosial akan memantul penuh kedalam karya sastra. Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin mirror.
Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis tiruan masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.
Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan.
Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.
Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a.
Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif. b.
Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya. c.
Studi proses sosial. Yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya.
Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial. Aspe-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra
tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yakni: a.
Konsep stabilitas sosial. b.
Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda. c.
Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya. d.
Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat. e.
Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan yang amat populer dalam studi sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi
cermin bagi zamannya. Dalam pandangan Lowenthal Laurenson dan Swingewood, 1972:16-17 sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan
merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan
dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan
langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan kedaaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu banyak
diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya
pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.
2.2.1 Masalah Sosial
Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak inginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena gejala
tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma dan nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap
sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik Soetomo, 1995:1.
Parillo dalam Soetomo 1995:4 menyatakan bahwa untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu memahami 4 komponen yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu.
2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada
individu maupun masyarakat. 3.
Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari suatu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.
4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.
Sementara itu tidak semua masalah dalam kehidupan manusia merupakan masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam
antar hubungan warga masyarakat. Dengan demikian menyangkut aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial terjadi apabila:
1. Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat
pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat. 2.
Organisasi sosial mengahadapi ancaman serius oleh ketidakmampuan mengatur hubungan antar warga.
2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial
Masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktifitas pembangunan masyarakat.
Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena yang saling kait mengait, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau
beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya, dampak yang tidak
dikehendaki itulah yang kemudian dikategorikan kedalam masalah sosial Soetomo, 1995:165.
Universitas Sumatera Utara
Masalah sosial yang timbul itu bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek samping
dari pembangunan masyarakat. Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya
memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai pengikut norma-norma sosial sehingga menimbulkan bentuk perilaku
menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat sistem intervensi pembangunan yang kurang proporsional.
Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan
kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, keberhasilan, dana terutama
pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi
melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan segera mungkin.
Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga akan menyebabkan perubahan lingkungan.
2.3 Kehidupan Keyakinan Minoritas di Dalam Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir dimana ada mayoritas, baik di bidang agama, ekonomi, moral, politik, dan sebagainya, yang minoritas lebih
mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas. Hubungan antar kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
konflik social yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat Schwingenschlögl, 2007.
Dalam kajian sosiologis, kelompok keagamaan adalah buah dari gerakan sosial, sehingga perilaku yang timbul dari individu di dalamnya sarat dengan
simbol-simbol agama. Fenoma konflik sosial dalam hal menganut keyakinan beragama mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas
penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Misalnya di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah
yang beragama Islam sebagai kelompok mayoritas, sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang
minoritas di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok
minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti
pengerusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat. Seperti halnya dengan kisah Aomame. Aomame yang merupakan
penganut agama Jemaat Saksi yang merupakan kelompok minoritas di lingkungannya, banyak mengalami perlakuan yang tidak baik dari lingkungan di
sekitarnya. Baik itu di lingkungan dekat rumahnya maupun di lingkungan tempat Aomame bersekolah. Aomame sering mendapaat cemooh dari orang-orang
maupun teman sekelasnya karena menganggap tingkah Aomame sangat aneh dan tidak wajar ketika sedang menjalankan perintah agamanya. Ketika Aomame dan
ibunya berkeliling ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak orang-orang agar mengikuti ajaran agama Jemaat saksi, Aomame dan ibunya malah dicaci maki dan
Universitas Sumatera Utara
di hina-hina oleh orang-orang tersebut. Walaupun kelompok Aomame yang minoris sering mendapatkan perlakuan kasar dari masyarakat di sekitar tempat
tinggal Aomame dan bahkan dikucilkan, mereka tidak pernah menyerah untuk mengajak orang-orang agar mengikuti ajaran Jemaat saksi.
2.4 LatarSetting Novel 1Q84