Teori Sistem Pemilu KERANGKA TEORI

seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan antara kepentingan-kepentingan masyrakat dengan kepentingan pemerintah. 10 10 Priyo Budi Santoso, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan Struktural, Edisi I, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 32 Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.

I.6.2 Teori Sistem Pemilu

Adapun Pemilihan umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan - jabatan tersebut beraneka- ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai dengan kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif tidak memaksa dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik. Dengan kata lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat. Universitas Sumatera Utara Pemilihan umum yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut 11 Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat kaitannya dengan sistem pemilihan umum electoral system. Akan tetapi, berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral laws dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut dengan electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan kemudian suara tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara partai politik yang bersaing. 1. Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik. 2. Aturan permainan yang fair. 3. Dihargainya nilai-nilai kebebasan. 4. Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai kekuatan politik secara proporsional. 5. Tiadanya intimidasi. 6. Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum. 7. Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum 12 Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Sedangkan electoral process adalah menyangkut mekanisme yang dijalankan didalam 11 Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991, hlm. 37. 12 Diakses dari www.repository.usu.ac.idbitstream pada tanggal 24 agustus pukul 21.35 Universitas Sumatera Utara mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye baik yang menyangkut isi, tema, prosedur, dan teknik pemberian suara, serta penghitungan suara. Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud paling konkret keiktsertaan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan demokratis Dalam hal ini, pemilu dan netralitas Pegawai Negeri Sipil memang sangat dibutuhkan dalam proses politik seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah karena pegawai negeri merupakan pelayan publik dan pegawai negeri yang betul-betul berdiri secara independen tanpa harus memihak. Harus diperhatikan bahwa kadang kala pegawai negeri terbawa arus atau dengan kata lain dalam keadaan terpaksa untuk memihak pada salah satu pihak apalagi ketika salah satu kandidat merupakan calon incumbent. Ketidaknetralan Pegawai negeri juga sangat terlihat apabila ada calon kepala daerah yang berasal dari keluarganya, sehingga nilai-nilai yang seharusnya dimiliki harus terbuang dan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika banyak proses politik dalam hal ini pemilihan umum kepala daerah dicederai dengan adanya keterlibatan secara langsung pegawai negeri sipil dalam mendukung salah satu calon kepala daerah. Ketentuan tentang dilarangnya atau tidak diperbolehkannya pegawai negeri sipil untuk ikut serta secara langsung dalam pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan: 1. Dalam kampanye, dilarang melibatkan: a. Hakim pada semua peradilan; b. Pejabat BUMNBUMD; c. Pejabat Struktural dan Fungsional dalam Jabatan Negeri; d. Kepala Desa. Universitas Sumatera Utara 2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila pejabat tersebut menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. 3. Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya; b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas Penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

I.6.3 Teori Kebijakan