Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

7. Diperiksa Oleh Hakim Tunggal. Bahwa pada dasarnya proses pemerisaan di pengadilan hanya dilakukan oleh Hakim Tunggal saja akan tetapi dalam keadaan tertentu seperti ancaman tindak pidana yang dilakukan oleh anak lebih dari 7 tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya maka proses pemeriksaan dimungkinkan untuk dilakukan oleh Hakim Majelis. 8. Masa Penahanan Lebih Singkat. Bahwa masa penahanan terhadap anak dilakukan lebih singkat dari pada orang dewasa. Oleh Penyidik anak hanya dapat di tahan maksimal 15 hari 7 hari dan diperpanjang 8 hari, Oleh Penuntut Umum hanya dapat di tahan maksimal 10 hari 5 hari dan diperpanjang 5 hari, Oleh Hakim hanya dapat di tahan maksimal 25 hari 10 hari dan diperpanjang 15 hari. 9. Hukuman Lebih Ringan. Bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada anak lebih ringan dari pada orang dewasa. Anak hanya dihukum maksimal 10 tahun penjara atau setengah dari hukuman maksimal penjara orang dewasa. 34

B. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan 34 Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 107-108. Universitas Sumatera Utara dengan hukum sehingga dibutuhkan undang-undang yang baru. Lahirnya UU SPPA dianggap menjadi jawaban dari kekurangan undang-undang sebelumnya UU No.3 Tahun 1997, penamaan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memang lebih tepat dari pada Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak dikarenakan undang-undang tersebut berisi pengaturan yang berhubungan dengan sistem peradilan pidana anak yaitu mulai dari Penyidikan oleh Polisi Anak Penyidik Anak, Penuntutan oleh Penuntut Umum Anak, Pengadilan oleh Pengadilan Anak dan Hakim Anak sampai dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak LPKA. 35 Sistem peradilan pidana anak pada dasarnya bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tetap tegaknya wibawa hukum. Sistem peradilan pidana anak diselengarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini dilakukannya dengan mengupayakan rehabilitasi melalui mekanisme pembimbingan atau pendidikan. Lebih jauh lagi Gordon Bazemore menyatakan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana anak itu sendiri berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem peradilan pidana anak yang dianut didalamnya, yaitu : Pertama, tujuan sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual Individual Treatment Paradigm. Menurut paradigma ini yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi oleh pelaku bukan pada perbuatan 35 Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : PT. Refika Aditama, 2013, hlm. 165-166. Universitas Sumatera Utara atau kerugian yang diakibatkan dari perbuatan tersebut. Penjatuhan sanksi pidana dalam sistem peradilan pidanan anak dengan paradigma pembinaan individual adalah tidak relevan dan secara umum tidak layak, karena hal tersebut dianggap tidak dapat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sebaliknya pencapaian tujuan sanksi harus ditonjolkan pada indikator-indikator yang mengindentifikasi pelaku sehingga dapat dimintakan untuk dibina dalam program pembinaan tertentu sesuai dengan kebutuhan sipelaku. Fokus utama untuk pengidentifikasi pelaku dan pengembangan pendekatan positif untuk mengoreksi masalah, yang biasanya mengutamakan proses konseling kelompok dan keluarga atau dengan kata lain menggunakan interaksi secara lansung didalamnya. Menurut sistem peradilan pidana dengan paradigma pembinaan individual, maka segi perlindungan dilakuan dengan melibatkan masyarakat secara lansung melainkan bukan dengan bagian fungsi peradilan pidana anak. Kedua, tujuan sistem peradilan pidana anak dengan paradigma retributif Retributive Paradigm. Mengedepankan atau mengutamakan penjatuhan pidana kepada sipelaku. Tujuan penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti, setimpal serta adil. Untuk menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan cara pengawasan sebagai strategi terbaik, seperti penahanan, penangkapan dan pengawasan elektronik. Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan melihat pada keadaan apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis berkurang dengan pencegahan atau penahanan. Universitas Sumatera Utara Ketiga, tujuan sistem peradilan pidana anak dengan paradigma restoratif Restorative Paradigm. Bahwa didalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Tercapainya tujuan penjatuhan sanksi dengan melihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasaan korban, besar ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Orientasinya adalah bukan hanya meniti beratkan pada keadaan bagaimana pelaku dapat dihukum tetapi lebih kepada bahwa hukuman yang dijatuhkan tersebut dapat mengembalikan keadaan korban sebagaimana awalnya. Penjatuhan sanksi mengikutsertakan pelaku, korban, masyarakat dan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif untuk menrestore kerugian korban, dan menghadapi korban atau wakil korban. Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu dalam menetukan sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfasilitasi berlansungnya mediasi. 36 Selain dari tujuan sistem peradilan pidana anak yang dikemukakan oleh Gordon Bazemore di atas, tujuan sistem peradilan pidana anak terdapat juga pada The Beijing Rules 37 yang menyatakan bahwa “sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejateraan anak dan akan mematikan bahwa reaksi apapun 36 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2011, hlm. 38-40. 37 The Beijing Rules adalah sebutan dari Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak yang di sahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 4033 tanggal 29 November Tahun 1985. The Beijing Rules salah satu instrumen hukum yang sering digunakan sebagai landasan administrasi peradilan bagi anak. Universitas Sumatera Utara terhadap pelanggar-pelanggar hukum anak akan selalu sepadan dengan keadaan- keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya”. Dengan demikian tujuan penting dalam peradilan anak adalah memajukan kesejaterahan anak penghindaran sanksi-sanksi yang sekedar menghukum semata dan menekankan pada prinsip proporsionalitas tidak hanya didasarkan pada pertimbangan beratnya pelanggaran hukum tetapi juga pada pertimbangan keadaan-keadaan pribadinya, seperti status sosial, keadaan keluarga, kerugian yang ditimbulkan atau faktor lain yang berkaitan dengan keadaan pribadi yang akan mempengaruhi kesepadanan reaksi-reaksinya. Lahirnya UU SPPA ini sebagai bentuk pembaharuan sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Abintoro Prakoso menyatakan bahwa tujuan pembaharuan sistem peradilan pidana anak adalah sebagai berikut : 1 Melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyonsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. 2 Mewujudkan hukum yang secara konprehensif melindungi anak yang berhadapan dengan hukum, adanya perubahan paradigma yang mendasarkan peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejaterahan anak serta memberikan perlindungan khusus yang berhadapan dengan hukum. Kondisi aparat penegak hukum yang cendrung bersikap kaku dalam hal pemahaman untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak sebagai pelaku tindak pidana menjadi salah satu alasan untuk mendorong perubahan dalam sistem peradilan pidana anak, karena tinginya kasus-kasus anak yang berakhir di penjara. Sementara itu dengan model pemenjaraan yang ada di Indonesia pada saat ini Universitas Sumatera Utara dianggap gagal dalam melakukan pembinaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, hal ini dapat dilihat masih banyaknya anak yang kembali terlibat dalam proses hukum residivis. Kritikan terhadap efektifitas penjara terhadap anak yang berhadapan dengan hukum telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam mencari alternatif hukuman lain untuk anak selain hukuman penjara. 38 Pembaharuan sistem peradilan pidana anak merupakan salah satu bentuk dari pembaharuan hukum pidana penal reform yang dilakukan melalui pembaharuan peraturan perundang-undangan dibidang peradilan anak itu sendiri yang merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana penal policy. 39 Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek kebijakan yang melatarbelakanginya, berupa kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum. Usaha untuk membuat suatu kebijakan peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Di Indonesia penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan sudah dianggap hal yang wajar dan normal sehingga eksistensinya tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini dapat dilihat dari praktek peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku selama ini yang mana penggunaan hukum pidana sudah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan lagi. 38 Edy Ikshan, Op Cit, hlm. 31. 39 Menurut Marc Ancel Politik Hukum Pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Universitas Sumatera Utara Sehingga dapat dikatakan pula bahwa kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik kriminal 40 yang merupakan suatu usaha dalam penanggulangan kejahatan. 41 Penanggulangan kejahatan tidak hanya berorientasi kepada pemberantasan kejahatan itu semata, melainkan juga mengandung konsepsi perlindungan didalamnya, karena pada dasarnya politik kriminal tersebut dilaksanakan dengan pendekatan yang bersifat rasional. Konsepsi perlindungan tersebut akan membawa konsekuensi pada pendekatan rasional, seperti yang dikemukakan oleh Johannes Andenaes bahwa apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu. 42 Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan maka terdapat dua bentuk kebijakan yang digunakan, yaitu dengan menggunakan penal menggunakan sanksi pidana dan kebijakan non penal menggunakan sanksi diluar sanksi pidana seperti sanksi perdata, administrasi dan lain-lain. Kebijakan penal lebih mengedepan penjatuhan sanksi kepada pelaku dengan tujuan untuk dapat menanggulangi kejahatan sedangkan dengan menggunakan kebijakan non penal merupakan suatu usaha yang mengenyampingkan sanksi pidana sebagai alat menanggulangi kejahatan, dan usaha yang dilakukan tersebut meliputi bidang 40 Menurut Sudarto Politik Kriminal adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 41 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 21. 42 Ibid, hlm. 35-36. Universitas Sumatera Utara yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu namun secara tidak lansung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. 43 Konsep diversi yang menjadi roh dalam UU SPPA ini merupakan wujud dari pembaharuan hukum pidana yang tidak hanya bertujuan untuk menanggulangi kejahatan melainkan juga untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Diversi juga merupakan wujud dari kebijakan non penal yang pada dasarnya menjauhkan penggunan sanksi pidana didalamkan melainkan memberikan sanksi baru yang berada diluar jalur sanksi pidana dengan sanksi yang lebih baik bagi si pelaku karena sanksi tersebut dibuat secara bersama-sama dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak tanpa menghilangkan tanggung jawab anak sebagai pelaku dan juga tetap menegakan wibawa hukum. Bahwa pemidanaan dimaksudkan sebagai alternatif terakhir penghukuman suatu perbuatan pidana ultimum remeium, dengan kata lain ultimum remedium itu mensyaratkan terlebih dahulu upaya pemberian sanksi lain non penal berupa ganti rugi, denda, peringatan atau hal lainnya sebelum digunakan sarana pidana berupa penjara sanksi badan.

C. Pendekatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.