yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal adalah untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu
namun secara tidak lansung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
43
Konsep diversi yang menjadi roh dalam UU SPPA ini merupakan wujud dari pembaharuan hukum pidana yang tidak hanya bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan melainkan juga untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Diversi juga merupakan wujud dari kebijakan non penal yang pada
dasarnya menjauhkan penggunan sanksi pidana didalamkan melainkan memberikan sanksi baru yang berada diluar jalur sanksi pidana dengan sanksi
yang lebih baik bagi si pelaku karena sanksi tersebut dibuat secara bersama-sama dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak tanpa menghilangkan
tanggung jawab anak sebagai pelaku dan juga tetap menegakan wibawa hukum. Bahwa pemidanaan dimaksudkan sebagai alternatif terakhir penghukuman suatu
perbuatan pidana ultimum remeium, dengan kata lain ultimum remedium itu mensyaratkan terlebih dahulu upaya pemberian sanksi lain non penal berupa
ganti rugi, denda, peringatan atau hal lainnya sebelum digunakan sarana pidana berupa penjara sanksi badan.
C. Pendekatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Hadirnya diversi sebagai mekanisme baru proses penyelesaian perkara pidana anak dalam peradilan pidana anak menimbulkan konsekuensi mengenai
metode atau pendekatan apa yang digunakan didalamnya, dengan harapan agar
43
Ibid, hlm. 26-28.
Universitas Sumatera Utara
diversi tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Model pendekatan yang digunakan harus mempunyai semangat yang sama dengan diversi yaitu
perlindungan anak dari proses peradilan. Maka agar dapat tercapainya cita-cita dari diversi tersebut digunakan suatu pendekatan yang sesuai dengan semangat
diversi itu sendiri, yaitu Restoratif Justice atau Keadilan Restoratif.
44
Pendekatan dengan menggunakan restoratif justice dinilai tepat dan sesuai dengan diversi karena sama-sama menjauhkan sipelaku dari pembalasan sebagai
konsekuensi atas perbuatannya, yang mana pembalasan tersebut berupa bentuk penderitaan bagi sipelaku. Peradilan pidana anak dengan restoratif justice
bertujuan untuk : 1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak
2. Mengutamakan penyelesaian diluar proses peradilan 3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan
4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak 5. Mewujudkan kesejaterahan anak
6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan 7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
8. Meningkatkan keterampilan hidup anak
45
Konsep pada pendekatan restoraif justice menggunakan proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan
membawa korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk
44
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,keluarga
pelakukorban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
45
M.Nasir Djamil, Op Cit, hlm.133-134.
Universitas Sumatera Utara
bersama-sama berbicara. Pertemuan tersebut diupayakan oleh mediator selaku pihak netral tidak memihak antara korban dan pelaku, dalam pertemuan itu
mediator memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Tujuan dari
penjelasan yang diberikan pelaku kepada korban ini agar korban nantinya dapat memahami dan menerima kondisi pelaku yang menyebabkan pelaku melakukan
tindak pidana yang menimbulkan kerugian bagi korban. Penjelasan pelaku ini juga menunjukan bahwa sipelaku mau bertanggung jawab atas perbuatannya
tersebut kepada korban dan juga kepada masyarakat.
46
Pendekatan restoratif justice awalnya dikenal dan dilaksanakan di Negara Kanada pada tahun 1970, dengan melaksanakan sebuah program penyelesaian
kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut dengan Victim Offender
Mediation VOM.
47
Program yang dilaksanakan tersebut merupakan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku
tindak pidana, dengan cara mempertemukan pelaku dan korban terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi anak
pelaku yang kemudian menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan perkara. Program ini bertujuan untuk memberikan rasa tanggung jawab bagi
masing-masing pihak baik pelaku maupun korban karena melalui program ini
46
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia ; Pengembangan Konsep Diversi Dan Restoratif Justice, Bandung : PT Refika Aditama, 2009, hlm. 180-181.
47
Victim Offender Mediation adalah suatu proses yang menyediakan kemauan korban sebagai pokok dari kejahatan dan kekerasan untuk bertemu dengan pelaku, dalam suasana aman
dan teratur dengan membuat tanggung jawab lansung dari pelaku dengan adanya bentuk kompensasi kepada korban.
Universitas Sumatera Utara
pelaku dan korban dianggap sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik- baiknya sehingga di harapkan dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-
anak pelaku tindak pidana. Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Kanada mengemukakan lima
prinsip dalam restoratif justice, yaitu : 1.
Restoratif justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam
perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini
merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memecahkan persoalan ini.
2. Restoratif justice mencari solusi untuk mengembalikan dan
menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini juga upaya penyembuhan atau
pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya.
3. Restoratif justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi
pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui semua kesalahannya
serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain.
4. Restoratif justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga
masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara
korban dan pelaku serta mereintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari
masa lalunya demi masa depan yang lebih cerah.
5. Restoratif justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk
mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan
bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena faktor
kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri seperti faktor ekonomi, sosial budaya dan bukan
bersumber pada diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan
diposisikan sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.
48
48
Marlina, Hukum Penitensier, Bandung : PT Refika Aditama, 2011, hlm. 74-75.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan restoratif justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restoratif justice itu sendiri memiliki
makna keadilan yang merestorasi. Restorasi berbeda dengan restitusi yang terdapat di dalam proses peradilan pidana konvensional yang mana meniti
beratkan hanya kepada ganti rugi terhadap korban ganti rugi berupa materi, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban
dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja
sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Helen Cowie dan Dawn Jenifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama
dalam restoratif justice sebagai berikut : 1.
Perbaikan, bahwa bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan atau pembalasan dendam tetapi tentang
keadilan. 2.
Pemulihan hubungan, bahwa bukanlah bersifat hukuman bagi para pelaku kriminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan
memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan lansung, antara korban dan pelaku
kriminal yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain.
3. Reintegrasi, bahwa pada tingkatannya yang terluas, memberikan arena
tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan
Universitas Sumatera Utara
kriminalitas serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.
Peradilan anak dengan model restoratif justice berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku anak tidaklah efektif tanpa adanya
kerja sama dan ketelibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip ini yang menjadi dasarnya adalah bahwa keadilan yang paling baik terlayani apabila setiap
pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan, dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka
dengan sistem peradilan anak.
49
Konsep ini menjadi penting karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku
untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Pada dasarnya dalam proses peradilan pidana konvensional setiap tindak pidana tanpa
memperhitungkan perbuatannya akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi kewenangan para penegak hukum, sehingga partisipasi aktif
dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi karena semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
50
D. Tujuan Diversi