HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Antibodi Poliklonal Antiekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba Dan Kerbau Pada Kelinci

Gambar 2 Hasil AGPT; a presipitasi antibodi anti ES Fasciola gigantica asal domba KP pada minggu ke-4 dengan antigen ES Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur; b presipitasi antibodi anti ES Fasciola gigantica asal domba KP pada minggu ke-6 dengan antigen ES Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur. Gambar 3 Hasil AGPT; a presipitasi antibodi anti ES Fasciola gigantica asal kerbau KH pada minggu ke-12 dengan antigen ES Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur terbentuk samar; b presipitasi antibodi anti ES Fasciola gigantica asal kerbau KH pada minggu ke-14 dengan antigen ES Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur. Pemeriksaan terhadap adanya antibodi anti ES Fasciola gigantica pada masing-masing kelinci setelah dua kali penyuntikkan yaitu penyuntikkan pertama minggu ke-0 maupun kedua minggu ke-1 belum menunjukkan adanya presipitasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya antibodi yang terbentuk atau antibodi belum dibentuk pada saat itu. Pengujian keberadaan antibodi dengan uji AGPT memerlukan konsentrasi yang cukup tinggi. Antibodi minimal dalam serum yang dapat dideteksi oleh uji AGPT yaitu 30 µgml Tizzard 2004. Ag. ES FG Domba Ag ES FG Kerbau Ag ES FG Kerbau Ag. ES FG Domba KP 4 KP 4 KP 4 KH 4 KH 4 KP 3 KP 2 KP 1 KH 4 KH 2 KH 3 KH 1 a b KH 5 KH 5 KH 5 KH 5 KH 5 KH 5 KH 6 KH 6 KH 6 KH 6 KH 6 KH 6 a b Penelitian lain menunjukkan respon pembentukkan antibodi pada kelinci yang diinfeksi 20 metaserkaria Fasciola gigantica muncul setelah 2 minggu pasca infeksi. Peningkatan level antibodi terjadi setelah 8-10 minggu pasca infeksi dan menurun hingga mencapai level yang stabil setelah 12-14 minggu pasca infeksi Mahmoud et al. 2008. Antibodi yang berperan dalam presipitasi antigen merupakan imunoglobulin G Ig G. Ig G merupakan imunoglobulin yang memiliki fungsi untuk netralisasi toksin, antigen virus, serta presipitasi antigen terlarut Allan 1980. Mekanisme produksi Ig G diinisiasi oleh limfokin yang disekresikan oleh sel T helper. Limfokin akan menggertak proliferasi sel plasma dari limfosit B untuk memproduksi Ig G ketika terdapat paparan antigen untuk pertama kalinya. Sel plasma akan membentuk imunoglobulin M Ig M sebelum membentuk Ig G. Ig M merupakan antibodi yang pertama kali dibentuk oleh sel plasma pada respon primer setelah paparan antigen pertama. Produksi Ig M akan menurun dan produksi Ig G meningkat Black 2005. Paparan antigen baru yang sama untuk kedua kalinya booster, akan mengaktivasi sel memori dan menimbulkan respon antibodi kedua kali yang jauh lebih cepat dan kuat dalam respon sekunder Guyton dan Hall 2007. Hal ini disebabkan sel memori berproliferasi dengan cepat membentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. Pada respon sekunder, Ig M diproduksi dalam jumlah kecil dan dengan waktu yang singkat untuk kemudian Ig G diproduksi dalam jumlah besar Black 2005. Ig G merupakan antibodi dominan yang jumlahnya mencapai 75 dari total serum darah normal Guyton dan Hall 2007. Ig G mencapai konsentrasi yang signifikan pada vaskular dan ruang ekstravaskular, dan memiliki masa hidup yang cukup panjang yaitu 23 hari Jackson 1978. Ig G juga berkontribusi dalam aktivitas antibodi di jaringan tubuh. Pemaparan berulang antigen dilakukan untuk mempertahankan keberadaan antibodi spesifik berupa Ig G dalam darah Barriga 1981. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi anti ES Fasciola gigantica asal domba terbentuk lebih cepat dibandingkan antibodi terhadap ES Fasciola gigantica asal kerbau. Perbedaan waktu untuk menimbulkan respon pembentukkan antibodi pada inang hewan yang diinjeksi imunogen dapat bervariasi dan tergantung pada imunogenisitas, bentuk dan stabilitas stimulant, spesies hewan, rute injeksi, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi pertama yang terbentuk Herscowitz 1978. Respon inang terhadap imunogen yang diberikan tidak hanya ditentukan oleh sifat fisikokimia imunogen, namun juga ditentukan oleh beberapa faktor terkait inang, termasuk kedalamnya yaitu genetik, umur, status nutrisi, dan efek sekunder yang diturunkan dari suatu proses penyakit Jackson 1978. Kelinci yang digunakan pada penelitian ini memiliki rataan umur, bobot badan, jenis kelamin, dosis injeksi, nutrisi, serta rute injeksi yang sama, sehingga perbedaan waktu pembentukkan antibodi antara kedua kelinci dapat disebabkan karena adanya perbedaan karakter antigen protein ES Fasciola gigantica. Perbedaan antara karakter ES Fasciola gigantica dapat memengaruhi respon pembentukkan antibodi. Kedua jenis antigen tersebut merupakan protein yang berasal dari spesies cacing yang sama, namun ES Fasciola gigantica yang dihasilkan dapat memiliki karakter protein yang berbeda. Morfologi inang asal Fasciola yang berbeda akan memengaruhi profil protein ES yang dihasilkan. Perbedaan morfologi Fasciola tergantung pada inang definitifnya Ashour et al. 1999. Berdasarkan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE, antigen ES Fasciola gigantica dari isolat asal kerbau memiliki sembilan pita protein dengan berat molekul berkisar antara 14-80 kDa 14, 25, 40, 43, 47, 56, 69, 73, dan 80 kDa pada penelitian Satrija 2009, sedangkan ES Fasciola gigantica dari isolat asal sapi memiliki 6 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 15-42 kDa 15, 16, 20, 24, 33, dan 42 kDa pada penelitian Meshgi et al. 2008b. Profil protein whole worm dan produk ES Fasciola yang dihasilkan akan berbeda antara isolat Fasciola yang berasal dari domba dan isolat Fasciola yang berasal dari sapi Meshgi et al. 2008a. Antigen somatik Fasciola gigantica dan ES Fasciola hepatica dari isolat asal sapi memiliki jumlah pita protein yang berbeda. Antigen somatik Fasciola hepatica memiliki delapan pita protein dengan berat molekul berkisar antara 18- 62 kDa 18, 22, 24, 33, 36, 42, 46, dan 62 kDa, sedangkan antigen somatik F. gigantica memiliki 11 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 18-68 kDa 18, 22, 24, 33, 36, 42, 46, 57, 60, 62, dan 68 kDa Meshgi et al. 2008b. Perbedaan karakter protein Fasciola disebabkan oleh spesies cacing yang sama dari inang yang berbeda, spesies cacing yang berbeda dari inang yang sama, ataupun karena variasi geografis Ashour et al. 1999; Karimi 2008; Meshgi et al. 2008a. Pembentukan antibodi kelinci dipengaruhi oleh antigenisitas protein ES Fasciola gigantica yang disuntikkan. Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan Tizard 2004. Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa yaitu ukuran molekul antigen harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks Kuby 2007. Struktur kimia protein ES Fasciola gigantica yang besar dan kompleks, akan menghasilkan antibodi yang semakin cepat. Sifat antigenik atau imunogenik ES dari cacing golongan nematoda dan trematoda berasal dari kutikula dan tegumen Lightowlers dan Rickard 1988. Hasil AGPT menunjukkan bahwa antibodi yang terbentuk juga dapat mendeteksi antigen lain dari jenis cacing yang sama namun berasal dari hewan yang berbeda. Antibodi terhadap ES Fasciola gigantica asal domba dapat membentuk presipitasi terhadap antigen ES Fasciola gigantica asal kerbau. Demikian juga dengan antibodi terhadap ES Fasciola gigantica asal kerbau yang membentuk presipitasi terhadap antigen ES Fasciola gigantica asal domba. Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap ES Fasciola gigantica asal domba dengan antigen ES Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk pada minggu ke-4 Gambar 4a. Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap ES Fasciola gigantica kerbau dengan antigen ES Fasciola gigantica asal domba terbentuk secara samar-samar pada minggu ke-12 Gambar 4b. Masing-masing presipitasi mengalami penebalan pada minggu ke-6 dan minggu ke-14 Gambar 5a b. Gambar 4 Hasil AGPT; a serum kelinci yang dinjeksi ES Fasciola gigantica asal domba membentuk presipitasi terhadap antigen ES Fasciola gigantica asal kerbau; b presipitasi terbentuk terhadap antigen ES Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi ES Fasciola gigantica asal kerbau . Gambar 5 Hasil AGPT; a Serum kelinci yang dinjeksi ES Fasciola gigantica asal domba membentuk penebalan presipitasi terhadap antigen ES Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-6; b Presipitasi mengalami penebalan terhadap antigen ES Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi ES Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-14. Antibodi poliklonal yang terdapat dalam serum kelinci menyebabkan reaksi silang dengan pembentukan presipitasi terhadap antigen yang berbeda. Antibodi poliklonal merupakan antibodi yang memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda Smith 1995. Antibodi poliklonal memiliki fungsi untuk mengikat berbagai epitop pada permukaan molekul antigen penginduksi Frank 2002. Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah epitop antigen determinan berbeda pada antigen sehingga menimbulkan multireaktivitas yang menyebabkan reaksi silang. Reaksi silang dapat terjadi karena epitop yang sama dimiliki oleh a b KP 1 KH 1 Ag ES FG Kerbau KP 2 KP 3 KH 2 KH 3 KH 5 KH 5 KH 5 KH 5 KH 5 KH 5 Ag ES FG Domba a b KP 4 KP 4 KP 4 KH 4 KH 4 KH 4 KH 6 KH 6 KH 6 KH 6 KH 6 KH 6 Ag ES FG Kerbau Ag ES FG Domba antigen berbeda atau epitop yang secara struktur mirip atau memiliki keserupaan dengan epitop pembuat peka priming epitop, dikenali oleh antibodi Smith 1995; Kuby 2007. Prinsip tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan derajat hubungan diantara molekul antigen Tizzard 2004. Antigen somatik F. gigantica asal kerbau, sapi dan domba memiliki karakter protein dengan berat molekul yang sama yaitu 34 dan 28 kDa Yocananth et al. 2005. Tiga pita protein dengan berat molekul yang sama juga ditemukan pada ES dan antigen somatik dari F. hepatica and F. gigantica yaitu 24, 33, dan 42 kDa Meshgi et al. 2008b. Hal tersebut dapat menjelaskan respon pembentukkan antibodi silang terhadap antigen yang berbeda. Reaksi silang juga terjadi diantara protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan Moneizia expansa. Reaksi silang yang terjadi disebabkan polipeptida yang berasal dari protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan Moneizia expansa memiliki kesamaan struktur Eman dan Kadria 2000. Antibodi poliklonal Ig G anti Fasciola gigantica hasil pemurnian dengan filtrasi kolom diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen ES Fasciola gigantica . Presipitasi pada hasil AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan mampu mengikat antigen ES Fasciola gigantica Gambar 6. Presipitasi yang terbentuk ada uji AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan dari serum kelinci pada penelitian ini, dapat menjadi sumber bahan diagnostik untuk menguji antigen ES Fasciola gigantica baik pada kerbau maupun domba. Gambar 6 Hasil AGPT; a Presipitasi Ig G dengan antigen ES Fasciola gigantica asal kerbau antigen ES terletak ditengah sumur; b Presipitasi Ig G dengan antigen ES Fasciola gigantica asal domba antigen ES terletak ditengah sumur. Ag ES FG Domba a b Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ig G Ag ES FG Kerbau Ig G

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Penyuntikkan antigen ES Fasciola gigantica pada kelinci, dengan dosis 150 µgekor mampu menginduksi produksi antibodi anti ES Fasciola gigantica asal domba setelah tiga kali penyuntikkan, sedangkan antibodi anti ES Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk setelah lima kali penyuntikkan. 2. Karakteristik antigen ES Fasciola gigantica yang disuntikkan pada kelinci pada penelitian ini, mempengaruhi perbedaaan waktu pembentukkan antibodi anti ES Fasciola gigantica.

5.2 Saran

Penelitian yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui spesifisitas dan sensitivitas Ig G antibodi poliklonal terhadap Fasciola gigantica dalam mendeteksi antigen yang berasal dari cacing lain dari golongan trematoda. DAFTAR PUSTAKA Alirahmi H, Farahnak A, Golmohamadi T, Esharghian MR. 2010. Comparative assay of glutathione s-transferase GSTs activity of excretorysecretory materials and somatic extract of Fasciola spp parasites. Acta Med Iran 48 6:367-370. Allan D. 1980. Outlines Of Animal Immunobiology. London: Balliere Tindall. Ashour AA, Zakiya E, Abeer AK, Elham AN. 1999. Studies on the liver fluke Fasciola in Egypt: I- morphological and morphometrical studies. J Egypt Soc Parasitol 29 3:979-996. Balqis U. 2006. Karakterisasi Protease dari EkskretoriSekretori Stadium L3 Ascaridia galli [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barriga OO. 1981. The Immunology of Parasitic Infections. Baltimore: University Park Press. hlm 1-16. Black JG. 2005. Microbiology: Principles and Explorations 6 th Ed . Virginia: John Wiley Sons, Inc. hlm 470-492. Boulanger P, Bannister GL, Gray DP, Ruckerbauer GM, Willis NG. 1967. The use of the agar double-diffusion precipitation test for the detection of the virus in swine tissue. Can J Comp Med Vet Sci 30. Bradford MM. 1976. A Rapid and Sensitive Method for The Quantitation of Microgram Quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein Dye Binding. Anal Biochem 72: 248-254. Charlier J, De Meulemeester L, Claerebout E, Williams D, Vercruysse J. 2008. Qualitative and quantitative evaluation of coprological and serological techniques for the diagnosis of fasciolosis in cattle. Vet Parasitol 153:44– 51. Copeman DB, Copland RS. 2008. Importance and Potential Impact of Liver Fluke in Cattle and Buffalo. Di dalam: Gray GD, Copland RS, Copeman DB, editor. Overcoming Liver Fluke as a Constraint to Ruminant Production in South-East Asia . Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research ACIAR. De Buysscher EV, Patterson RM. 1995. Respon Imun Tanggap Kebal: Suatu Revisi Singkat. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research .