49
a
b Gambar 15
Monyet ekor panjang di HPGW : a jantan dewasa b induk dan bayi
5.3.2 Faktor Fisik Ketinggian tempat dan Topografi
Ketinggian tempat dan topografi merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor
panjang. Topografi ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW adalah berbukit-bukit.
Hasil pengukuran di lapangan menunjukan bahwa Kelompok A ditemukan pada ketinggian 611 – 769 mdp, rata-rata ketinggian 597, 88 mdpl. Kelompok A
lebih sering ditemukan pada ketinggian 652 – 772 mdpl dengan frekwensi perjumpaan 78 kali. Berbeda dengan kelompok A, Kelompok B ditemukan pada
ketinggian 410 - 582 mdpl, rata-rata ketinggian 467,74 mdpl. Perjumpaan terbanyak ditemukannya Kelompok B adalah pada ketinggian 410 – 530 mdpl,
dengan frekwensi perjumpaan 22 kali. Kelompok C ditemukan pada ketinggian 430 – 582 mdpl, rata-rata ketinggian adalah 520,83 mdpl. Kelompok C lebih
sering ditemukan pada ketinggian 410 – 530 mdpl dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 30 kali. Sedangkan kelompok D ditemukan pada ketinggian 518 – 540
50 mdpl. Perjumpaan terbanyak Kelompok D adalah pada ketinggian 410 – 530 mdpl
dengan frekwensi perjumpaan 6 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok diberbagai ketinggian tersaji pada Tabel 11.
Tabel 11 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai ketinggian Ketinggian
tempat mdpl Frekwensi perjumpaan kali
Kelompok A Kelompok B
Kelompok C Kelompok D
410 – 530 22
30 6
531 – 651 6
5 23
5 652 - 772
78 Berdasarkan hasil pengukuran monyet ekor panjang di HPGW ditemukan
pada keinggian pada 410 – 772 mdpl, rata-rata ketinggian adalah 597,88 mdpl. Secara keseluruhan monyet ekor panjang lebih sering ditemukan pada ketinggian
652 – 772 mdpl dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 78 kali dan frekwensi perjumpaan terendah pada ketinggian 531 – 651 mdpl yaitu sebanyak 39 kali.
Ketinggian tempat ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW sama dengan penelitian Surya 2010 monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan
Batu Tegi Lampung ditemukan pada ketinggian 500 mdpl. Berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti 2010 bahwa monyet ekor panjang di SM Paliyan
Yogyakarta ditemukan pada ketinggian 200 mdl dan di Hutan Kaliurang Yogyakarta monyet ekor panjang ini temukan pada keinggian di atas 800 mdpl.
Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan adanya hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan
ketinggian tempat P-Value 0,05. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap ketinggian tempat. Hasil
perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat menggunakan metode Chi square
selengkapnya tersaji pada Lampiran 3.
Suhu
Komponen iklim mikro yang diukur pada penelitian ini adalah suhu udara dan kelembaban. Suhu dan kelembaban sangat menentukan kondisi cuaca pada
suatu daerah. Suhu udara merupakan salah satu komponen fisik habitat yang
51 dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang di
HPGW. Berdasarkan hasil pengukuran suhu di bawah tajuk, Kelompok A ditemukan
pada suhu 22 – 31
o
C, rata-rata suhu adalah 25,67
o
C. Kelompok A paling banyak ditemukan pada suhu 26 – 29
o
C, dengan frekwensi perjumpaan tertinggi kelompok A adalah 88 kali. Kelompok B ditemukan pada suhu 24 – 26
o
C, rata- rata suhu 25,67
o
C. Frekwensi perjumpaan terbanyak Kelompok B adalah 26 kali pada suhu 22 – 25
o
C. Kelompok C ditemukan pada suhu 22 – 27
o
C, rata-rata suhu adalah 26,27
o
C. Berbeda dengan kelompok A, B, C, Kelompok D ditemukan pada suhu 26 – 27
o
C, rata-rata suhu 26,27
o
C. Kelompok D hanya ditemukan pada suhu 26 – 29
o
Tabel 12 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai suhu di bawah tajuk
C, dengan frekwensi perjumpaan 11 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok terkait dengan suhu
tersaji pada Tabel 12.
Suhu
o
Frekwensi perjumpaan kali C
Kelompok A Kelompok B
Kelompok C Kelompok D
22 – 25 35
26 25
26 – 29 48
1 28
11 30 – 32
1 Secara keseluruhan monyet ekor panjang ditemukan pada suhu 22 – 31
o
C, rata-rata suhu 25,43
o
C. Frekwensi perjumpaan terbanyak monyet ekor panjang di HPGW adalah 88 kali pada suhu 26 – 29
o
C. Hal ini berbeda dengan penelitian Kusmardiatuti 2010 monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta ditemukan
pada suhu 35 – 36
o
C, sedangkan monyet ekor panjang di Hutan Kaliurang Yoyakarta ditemukan pada suhu 23 – 24
o
C. Tetapi hal ini tidak berbeda dengan penelitian Surya 2010 monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan
Batu Tegi Lampung ditemukan pada suhu 27 – 28
o
Tidak berbeda dengan hasil perhitungan sebelumnya, hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan adanya hubungan antara
frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan suhu X C.
2
hitung X
2
. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap suhu. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi
52 perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan suhu menggunakan metode
Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 4.
Kelembaban
Satu komponen penting lainnya yang berpengaruh pada iklim mikro adalah kelembaban. Kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan
kandungan uap air aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air Rushayati Arief 1997. Kelembaban udara merupakan salah satu komponen
fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang di HPGW.
Pengukuran kelembaban pada penelitian ini, menggambarkan bahwa Kelompok A ditemukan pada kelembaban 66 – 85 , rata-rata kelembaban 75,79
. Kelompok A sering ditemukan pada kelembaban 73 – 79 dengan frekwensi perjumpaan terbanyak adalah 45 kali. Berbeda dengan kelompok A, Kelompok B
ditemukan pada kelembaban 77 – 82 , rata-rata kelembaban 78.89 . Kelompok B paling banyak ditemukan pada kelembaban 73 – 79 , dengan frekwensi
perjumpaan 45 kali. Kelompok C ditemukan pada kelembaban 71 – 80,5 , rata- rata kelembaban 77,04 . Frekwensi perjumpaan terbanyak Kelompok C adalah
38 kali pada kelembaban 73 – 79 . Sedangkan Kelompok D ditemukan pada kelembaban 79 – 83 , rata-rata kelembaban 81,45 . Kelompok D paling
banyak ditemukan pada kelembaban 80 – 86 dengan frekwensi perjumpaan terbanyak yaitu 9 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok
terkait dengan kelembaban tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelembaban di
bawah tajuk Kelembaban
Frekwensi perjumpaan kali Kelompok A
Kelompok B Kelompok C
Kelompok D 66 – 72
19 1
73 – 79 45
22 38
2 80 – 86
20 5
14 9
Secara keseluruhan monyet ekor panjang di HPGW ditemukan pada kelembaban 66 – 85 , rata-rata kelembaban 77 . Satwa ini paling banyak
ditemukan pada kelembaban 73 – 79 dengan frekwensi perjumpaan terbanyak
53 yaitu 107 kali. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti 2010
monyet ekor panjang di SM Paliyan ditemukan pada kelembaban 60 – 75 , tetapi berbeda dengan kelembaban ditemukannnya monyet ekor panjang di Hutan
Kaliurang Yogyakarta yaitu 87 – 95 . Kondisi ini juga tidak berbeda dengan penelitian Surya 2010 monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan
Batu Tegi Lampung ditemukan pada kelembaban 77 – 79 . Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan terdapat
hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelembaban P-Value 0,05. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat
preferensi monyet ekor panjang terhadap kelembaban. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang
dengan kelembaban menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada
Lampiran 5.
Kelerengan
Kelerengan adalah salah satu komponen fisik habitat yang diduga mempunyai pengaruh terhadap keberadaan satwa liar, termasuk monyet ekor
panjang di HPGW. Hasil pengukuran kelerengan dimana ditemukan monyet ekor panjang di HPGW adalah 0 - 78 .
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan Kelompok A lebih sering dijumpai pada kelerengan 27 – 53 dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 69
kali sedangkan frekwensi perjumpaan terendah adalah 6 kali pada kelerengan 54 – 80 . Tidak berbeda dengan Kelompok A, Kelompok B lebih banyak ditemukan
pada kelerengan 27 – 53 dengan frekwensi perjumpaan 19 kali, sedangkan frekwensi perjumpaan terendah terjadi pada kelerengan 54 – 80 yaitu 1 kali
perjumpaan. Kelompok C berbeda dengan Kelompok A dan B, frekwensi perjumpaan terbanyak pada kelerengan yang sama dengan Kelompok A dan B
yaitu pada kelerengan 27 – 53 sebanyak 31 kali, tetapi frekwesi perjumpaan terendah terjadi pada kelerengan yang berbeda dengan Kelompok A dan B yaitu
pada kelerengan 0 – 26 dengan perjumpaan 5 kali. Kelompok D tidak berbeda dengan Kelompok C, Kelompok D sering ditemukan pada kelerengan 27 – 53
dengan perjumpaan sebanyak 5 kali sedangkan perjumpaan terendah terjadi pada
54 kelerengan 0 – 26 dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 2 kali. Frekwensi
perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok di berbagai kelerengan tersaji pada Tabel 14.
Tabel 14 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelerengan Kelerengan
Frekwensi perjumpaan kali Kelompok A
Kelompok B Kelompok C
Kelompok D 0 – 26
9 7
5 2
27 – 53 69
19 31
5 54 – 80
6 1
17 4
Secara keseluruhan monyet ekor panjang di HPGW lebih sering ditemukan pada kelerengan 27 – 53 dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 124 kali dan
perjumpaan terendah adalah 23 kali pada kelerengan 0 – 26 . Sedangkan perjumpaan pada kelerengan 54 – 80 terjadi sebanyak 28 kali.
Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan terdapat hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan
kelerengan P-Value 0,05. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap kelerengan. Hasil perhitungan statistik
uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelerengan menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada
Lampiran 6.
5.3.3 Kondisi Biotik Struktur Vegetasi