1.5. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini adalah bahwa secara ekologis ekosistem terumbu karang akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di
sekitarnya, baik biotik maupun abiotik. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah kondisi kualitas perairan di sekitar ekosistem terumbu karang. Kondisi
perairan yang menerima banyak masukan nutrien akan merangsang tumbuhnya makro algae secara berlebihan di kawasan terumbu karang dan dapat menjadi
salah satu ancaman serius bagi pertumbuhan hewan karang. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dicari suatu upaya dalam rangka menyiapkan strategi untuk
melakukan pengelolaan ekosistem terumbu karang dikaitkan dengan kondisi kualitas perairannya.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, akan dilakukan kajian tentang keterkaitan kondisi terumbu karang dengan kondisi kualitas perairan,
makro alga dan factor- faktor terkait lainnya, antara lain; 1.
Mengidentifikasi kondisi terumbu karang dengan melihat persentase penutupan lifeform terumbu karang dan keanekaragamannya.
2. Mengidentifikasi kondisi kualitas perairan dengan melakukan pengukuran
parameter fisika dan kimianya. 3.
Menganalisis hubungan keterkaitan antara kondisi kualitas perairan dengan ekosistem terumbu karang.
Secara diagramatis kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan dalam Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang coral reef merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur CaCO
3
yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang
dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan
dengan terumbu karang di atas dibedakan antara binatang karang atau karang reef coral
sebagai individu organism atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang coral reef sebagai suatu ekosistem Sorokin 1995.
Terumbu karang coral reef sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni ut ama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan
dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung
dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi
banyak individu yang disebut koloni Sorokin 1995. Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan
karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan di daerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumb u dan ini
merupakan kelompok yang tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme
antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular Dinoflagellata unisular, seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di
jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis Sorokin 1995.
Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk
menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai
sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini
hidup di perairan pantailaut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup
binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25
o
-32
o
C Nybakken 1988.
Menurut Veron 1995 terumbu karang merupakan endapan massif deposit padat kalsium CaCO
3
yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur Calcareous algae dan organisme-organisme lain
yang mensekresikan kalsium karbonat CaCO
3
. Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu Scleractina merupakan penyusun yang paling
penting atau hewan karang pembangun terumbu reef-building corals. Karang batu termasuk ke dalam kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang
hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua subkelas yaitu Hexacorallia atau Zoantharia dan Octocorallia, yang keduanya
dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi. Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu
tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien oligotrofik. Veron 1995 mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah
unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi
dan memerlukan kualitas perairan alami pristine. Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang coral bleaching yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95. Suharsono 1996 mencatat
selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3
o
C di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai
dengan penjelasan McCook 1999 bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan mainland run off dapat membunuh terumbu
karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara nutrient overload berkontribusi
terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah overgrowth terhadap karang.
Morfologi Terumbu Karang
Terumbu karang memiliki tipe pertumbuhan dan karakteristik yang berbeda tergantung kepada kondisi lingkungan di sekitarnya. Menurut Dahl
1981 tipe pertumbuhan karang dan karakteristik masing- masing genera dari terumbu karang adalah lihat Gambar 2:
1. Tipe bercabang
Branching
Karang ini memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya.
2. Tipe Padat
Massive
Karang ini berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika beberapa bagian dari
karang tersebut mati, karang ini akan berkembang menjadi tonjolan, sedangkan bila berada di daerah dangkal bagian atasnya akan berbentuk
seperti cincin. Permukaan terumbu adalah halus dan padat.
3. Tipe Kerak
Encrusting
Karang seperti ini tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu. Karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta lubang- lubang kecil.
4. Tipe Meja
Tabulate
Karang ini berbentuk menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau
bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
5. Tipe Daun
Foliose
Karang ini tumbuh dalam bentuk lembaran- lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar.
6. Tipe Jamur
Mushroom
Karang ini berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.
Gambar 2. Tipe-tipe Pertumbuhan Karang Batu Dahl 1981
Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang
Pertumbuhan, penyebaran dan keanekaragaman karang tergantung kondisi lingkungannya. Kondisi pada kenyataannya tidak selalu tetap, tetapi seringkali
berubah karena adanya gangguan baik berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan biologis di ekosistem terumbu karang biasanya berupa pemangsaan.
Sedangkan faktor lainya dapat berupa faktor fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi karang antara lain, cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen.
Menurut Nybakken 1988, pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah :
1. Kedalaman
Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0 – 25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada
perairan yang lebih dalam antara 50 – 70 m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-
pulau. 2.
Suhu Temperatur Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran
suhu antara 23 C – 25
C. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu di bawah 18
C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36
C – 40 C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang
dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri
menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang.
3. Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis.
Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat CaCO
3
serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana
intensitas cahaya berkurang hingga 15 – 20 dari intensitas di permukaan. 4.
Salinitas Karang tidak dapat bertahan pada salinitas diluar 32 - 35
00
. Namun pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 42
00.
Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran
di atas terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan
yang didalam tubuhnya akan keluar. 5.
Sedimentasi Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang
adalah sedimentasi dimana sedimentasi yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Sedimentasi mengurangi
cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. Akibatnya, perkembangan terumbu karang di daerah yang
pengendapannya lebih besar akan berkurang atau menghilang Nybakken 1988. Terumbu karang lebih subur pada daerah yang bergelombang besar.
Gelombang itu memberi sumber air yang segar, oksigen dalam air, menghalangi pengendapan pada koloni karang Nybakken 1988. Substrat yang keras dan
bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan planula larva karang yang akan membentuk koloni baru Nontji 1987.
Pertumbuhan terumbu karang ke arah atas dibatasi oleh udara, dimana banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga
pertumbuhan mereka ke atas hanya terbatas sampai tingkat pasang surut terendah
Nybakken 1988.
Makroalga
Makroalga adalah kumpulan terminologi yang digunakan untuk jenis rumput laut dan beberapa alga yang menempel di dasar perairan. Makroalga pada
umumnya terlihat oleh mata telanjang. Menurut McCook 2001, makroalga diklasifikasikan sebagai tanaman laut karena mereka berfotosintesis merubah
cahaya menjadi makanan dan memiliki persamaan ekologi dengan tanaman lainnya.
Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi seperti bentuk tanaman, ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis, kemampuan bertahan terhadap
grazing perumputan dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifikasikan sebagai
berikut Rogers et al. 1994 : 1.
Turfs Alga : Kumpulan atau asosiasi beberapa spesies dari alga, sebagian
besar filamentous dengan pertumbuhan yang cepat, produktivitas dan rata- rata berkoloni yang tinggi. Turf memiliki biomass yang rendah per unit
area, tetapi mendominasi dalam proporsi yang besar pada area terumbu karang walaupun dalam terumbu karang yang sehat.
2. Fleshy macroalga
or rumput laut : Bentuk alga yang besar lebih kaku dan secara anatomi lebih komplek dibandingkan dengan turf alga, lebih sering
ditemukan di daerah terumbu karang yang datar dan herbivor yang rendah karena kadang mereka memproduksi partikel kimia ya ng menghalangi
grazing oleh ikan.
3. Crustose Alga
: Tanaman keras yang tumbuh sebagai kulit melekat pada terumbu karang dengan penampakan seperti lapisan cat daripada tanaman
biasa, memiliki pertumbuhan yang lambat. Menghasilkan calcium carbonate
batu kapur dan mungkin memiliki peran penting dalam sementasi kerangka terumbu karang secara bersama-sama.
Makroalga memiliki bentuk yang luas mulai dari jaringan kulit yang sederhana, foliose daun melambai sampai filamentous menyerupai benang
dengan struktur cabang yang sederhana sampai bentuk yang komplek dengan
memiliki spesialisasi untuk menangkap cahaya, reproduksi, pendukung, pengapungan dan menempel pada dasar perairan. Ukuran ma kroalga dapat
mencapai 3 – 4 meter seperti Sargassum. Makroalga juga dapat hidup pada terumbu karang yang sudah mati atau bebatuan, hampir semua spesies tidak dapat
hidup pada perairan yang berlumpur dan berpasir karena tidak memiliki akar yang dapat menambat pada sedimen seperti lamun. Makroalga merupakan pesaing
utama terumbu karang dalam memanfaatkan ruang sehingga kondisi macroalga yang berlimpah membuat degradasi terumbu karang dimana terjadi pergantian
fase dari terumbu karang menjadi makroalga walaupun tergantung pada jenis makroalganya Jompa McCook 2002.
2.2. Pencemaran Perairan dan Proses Eutrofikasi
Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian
pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri Odum 1993. Pencemaran perairan pesisir didefinisikan sebagai dampak negatif,
pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan ekosistem perairan serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya
dari ekosistem perairan yang disebabkan secara langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan manusia
GESAMP 1986. Secara garis besar sumber pencemaran perairan pesisir dan lautan dapat
dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu limbah industri, limbah cair pemukiman sewage , limbah cair perkotaan urban storm water, pertambangan, pelayaran
shipping, pertanian dan perikanan budidaya. Sedangkan bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah dari ketujuh sumber tersebut berupa
sediment, unsur hara nutrient, logam beracun toxic metal, pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substance bahan
yang menyebabkan oksigen terlarut dalam air berkurang Dahuri 2003. Eutrofikasi didefinisikan sebagai pengayaan enrichment air dengan
nutrienunsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer perairan Effendi
2003. Menurut Nixon 1995, eutrofikasi adalah proses peningkatan pengayaan bahan organik pada suatu ekosistem, yang umumnya melalui peningkatan
pemasukan nutrien. Sedangkan menurut Livingston 2001, Eutrofikasi adalah produksi materi organik yang membentuk dasar rantai makanan perairan. Nutrien
yang dimaksud adalah nitrogen dan fosfor. Beberapa elemen misalnya silikon, mangan dan vitamin merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan algae. Akan
tetapi elemen-elemen tersebut tidak dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi meskipun memasuki perairan dalam jumlah cukup banyak. Hanya elemen
tertentu, misalnya fosfor dan nitrogen, yang dapat menyebabkan perairan mengalami eutrofikasi Mason 1993.
Pada perairan tawar, fosfor P menjadi faktor pembatas karena keberadaannya yang relatif sedikit. Peningkatan kadar fosfor akan mengakibatkan
peningkatan produktivitas perairan. Pada perairan laut, biasanya yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan adalah nitrogen. Pada kondisi alami, alga memiliki
perbandingan kandungan elemen N dan P biasa disebut Redfield ratio sebesar 16:1. Jika rasio N dan P lebih besar dari 16:1 maka fosfor menjadi faktor
pembatas. Sebaliknya jika rasio N dan P lebih kecil dari 16:1, nitrogen menjadi faktor pembatas Mason 1993.
Faktor nutrien, terutama kadar nitrogen dan fosfor dalam perairan dijadikan pertimbangan dalam menentukan tingkat kesuburan perairan. Selain itu,
kondisi kecerahan perairan dan tutupan makroalga bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat kesuburan perairan.
Eutrofikasi dan Terumbu Karang
Eutrofikasi telah dikenal sebagai penyebab utama kerusakan terumbu karang yang tumbuh di daerah pesisir yang dekat dengan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi. Pengayaan fosfat dan nitrat menyebabkan terjadinya ledakan populasi fitoplankton dan zooplankton yang pada gilirannya
menyebabkan terjadinya kekeruhan air laut sehingga mengurangi penetrasi cahaya matahari, menyebabkan munculnya berbagai penyakit karang. Pengayaan fosfat
dan nitrat juga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya turf algae dan
filamentus algae secara tak terkendali yang akhirnya akan menutupi koloni karang Lapointe 1989.
Menurut Damar 2006, sisi negatif dari tingginya tingkat kesuburan perairan, antara lain, adalah berupa timbulnya kejadian bloom fitoplankton. Selain
dapat menimbulkan kematian massal ikan melalui berkurangnya nilai oksigen terlarut, blooming fitoplankton ini juga dapat mengganggu kawasan wisata bahari
melalui penurunan nilai estetika perairan. Disamping itu, adanya potensi timbulnya toxic algae bloom, seperti Dinophysis spp, Alexandrium spp, dan
Pseudonitszchia spp . Efek negatif lain dari tingginya kesuburan perairan adalah
potensi gangguan bagi ekosistem terumbu karang. Proses degradasi terumbu karang biasanya melalui suatu peristiwa
terjadinya pergeseran keseimbangan phase-shift, dimana suatu terumbu yang tadinya didominasi oleh karang keras Scleractinian menjadi terumbu yang
didominasi oleh ganggang- ganggang makro McCook 1999. Keberadaan makro alga yang cukup tinggi mencerminkan kondisi terumbu karang yang mengalami
degradasi. Faktor pengayaan nutrien dapat menyebabkan kematian karang dan peningkatan tutupan alga Szmant 2002.
Mekanisme lain yang mungkin terjadi dengan peningkatan unsur hara atau eutrofikasi pada ekosistem terumbu karang adalah semakin menurunnya populasi
hewan-hewan herbivora akibat pengaruh langsung dari perubahan kualitas perairan. Dengan demikian, maka eutrofikasi ini berpeluang meningkatkan
kelimpahan makroalga dari dua arah; yang pertama secara langsung meningkatkan pertumbuha n alga, dan yang kedua mengurangi konsumsi alga oleh hewan
herbivora. Pengaruh eutrofikasi tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan kelimpahan makroalga sebagai pesaing utama hewan karang, akan tetapi juga
secara langsung berpengaruh negatif terhadap fisiologi dan perkembangan hewan karang tersebut, misalnya terhadap perkembangan embrio dan planula karang
Tomascik dan Sander 1987. Dampak lain yang juga bisa timbul adalah meningkatnya bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang
Hallock 1988. Ada perbedaan karakteristik antara terumbu karang yang hidup pada
ekosistem yang mengalami pengayaan nutrien eutrofikasi dengan yang tidak
pada suatu kawasan. Perbedaan karakteristik terumbu karang ini dicirikan oleh Edinger et al. 2000 :
§ Pada perairan yang mengalami pengkayaan nutrien laju penyebaran individu
karang lebih rendah dibandingkan pada perairan yang tidak mengalami pengkayaan nutrien perairan bersih di lepas pantai pada kawasan yang
sama. §
Pada perairan yang mengalami pengkayaan nutrien total penutupan karang dan kepadatan jenis karang di dekat pantai terumbu lebih rendah
dibandingkan terumbu pada perairan bersih di lepas pantai, sedangkan penutupan algae dan invertebrate lebih tinggi di perairan yang mengalami
pengkayaan nutrien dibandingkan pada terumbu perairan bersih di lepas pantai.
§ Pada perairan yang mengalami pengkayaan nutrien intensitas bioerosi lebih
tinggi di terumbu dekat pantai dibandingkan pada terumbu di perairan yang tidak mengalami pengkayaan nutrien di lepas pantai.
2.3 Parameter Fisika Perairan