10
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi
Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, dan Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon Suren yang berasal dari Desa Cibadak, Sukabumi. Pohon ini memiliki diameter sebesar 22 cm
dan umur 11 tahun. Bagian pohon yang digunakan dalam penelitian adalah bagian kayu teras. Daun yang berasal dari pohon Suren ini dideterminasi di Herbarium
Bogoriense LIPI untuk memastikan jenis pohon tersebut secara ilmiah. Bahan lainnya yang digunakan adalah telur A. salina, air laut, kertas saring, pelarut
seperti n-heksan, etil asetat, metanol, pereaksi Lieberman-Burchard, H
2
SO
4,
FeCl
3
, amonia, dan DMSO Dimethyl Sulfoxide. Pelarut yang digunakan adalah pelarut
teknis yang telah disuling dengan menggunakan suhu sesuai titik didih pelarut. Peralatan yang digunakan adalah gelas pelarut seperti labu, erlenmeyer, tabung
reaksi, gelas piala, gelas ukur, pipet volumetrik, serta alat berupa Willey mill, Hammer mill, Vacuum Liquid chromatography, kromatografi lapis tipis dan
rotary evaporator.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Penyiapan Contoh Uji
Pada tahapan ini contoh uji diambil dari bagian kayu teras pangkal, tengah dan ujung batang Suren sebagai ulangan. Bagian kayu teras didapatkan dari log
dengan menyerut log menggunakan mesin penyerut kayu di Bengkel Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk memisahkan bagian kayu gubal dengan bagian
11 kayu teras. Bagian teras dibuat hingga ukuran chips dengan menggunakan alat
yang sama, kemudian chips tersebut dikeringudarakan. Setelah kering, seluruh contoh uji digiling dengan menggunakan Willey mill dan disaring hingga
berbentuk serbuk dengan ukuran seragam 40-60 mesh dengan menggunakan Hammer mill. Contoh uji yang digunakan adalah sebanyak 1 kg untuk setiap
bagian sebagai ulangan.
3.3.2 Ekstraksi dan Fraksinasi
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi secara berkesinambungan dengan menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol. Teknik ekstraksi
dengan cara maserasi dilakukan dengan merendam contoh uji sebanyak 1 kg dalam 4 L pelarut n-heksan selama 1 hari pada suhu kamar, kemudian disaring.
Perendaman dan penyaringan dilakukan beberapa kali dengan jumlah pelarut yang sama hingga cairan hasil perendaman kelihatan tidak berwarna lagi bening.
Setelah itu, residunya direndam dengan pelarut etil asetat hingga bening dan direndam kembali dengan methanol hingga bening. Teknik ekstraksi dilakukan
dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Ekstrak dari setiap contoh uji yang dihasilkan dari maserasi kemudian dipekatkan sampai 100 ml dan 250 ml,
disesuaikan dengan kepekatan ekstrak dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu sekitar 40-50
o
C dan putaran 50 rpm.
3.3.3 Penentuan Kadar Ekstraktif
Kadar ekstrak setiap contoh uji dihitung terhadap bobot kering tanur serbuk. Masing-masing contoh uji yang telah dipekatkan diambil 5 ml dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2
o
C untuk mendapatkan berat ekstrak padatan. Penentuan berat ekstrak padatan dilakukan dengan pengulangan
sebanyak 2 kali untuk setiap contoh uji dan dibuat rata-rata dari seluruh ulangan tersebut. Berat kering tanur setiap contoh uji diperoleh berdasarkan kadar air
serbuk awal. Kadar ekstrak dari hasil ekstraksi dan fraksinasi dihitung terhadap berat
kering tanur serbuk dengan menggunakan rumus :
12 Keterangan :
Wa = Berat ekstrak padatan g
Wb = Berat kering tanur serbuk g
3.3.4 Uji Bioaktivitas dengan Brine Shrimp Lethality Test BSLT
Pengujian BSLT diawali dengan penetesan telur, dengan cara menempatkan telur dalam kotak penetesan yang telah berisi air laut. Kotak
penetasan diberi lampu pijar, aerasi dan kemudian didiamkan selama dua hari. Kemudian dilakukan penyiapan larutan ekstrak uji. Pengujian dilakukan sebanyak
lima variasi konsentrasi, yaitu 1.000 µgml, 500 µgml, 200 µgml, 100 µgml, dan 10 µgml.
Larutan ekstrak uji dibuat 5 variasi konsentrasi dengan konsentrasi dua kali lipat dari pengujian, yaitu 2.000 µgml, 1.000 µgml, 400 µgml, 200 µgml,
dan 20 µgml. Larutan induk dibuat dengan melarutkan 30 mg ekstrak kering dalam 15 ml air laut, bila contoh uji sukar larut ditambahkan beberapa tetes
Dimethyl Sulfoxide DMSO sebelum penambahan air laut. Larutan induk ini memiliki konsentrasi 2.000 µgml. Dari larutan induk dilakukan pengenceran
dengan air laut hingga didapat konsentrasi 1.000 µgml, yaitu dengan melarutkan 7,5 ml larutan induk dalam air laut hingga 15 ml. Larutan dengan konsentrasi 400
µgml didapat dengan pengenceran 6 ml larutan 1.000 µgml dengan air laut hingga 15 ml. konsentrasi 200 µgml didapat dengan pengenceran 7,5 ml larutan
400 µgml hingga 15 ml. Larutan dengan konsentrasi 200 µgml diencerkan hingga didapat konsentrasi 20 µgml dengan cara yang sama.
Pengujian bioaktivitas dilakukan dengan memasukkan 20 ekor larva udang ke dalam tabung reaksi dalam 2,5 ml air laut dan ditambahkan 2,5 ml larutan uji.
Penambahan air laut ini menurunkan konsentrasi larutan uji menjadi setengahnya, yaitu 1.000 µgml, 500 µgml, 200 µgml, 100 µgml, dan 10 µgml. Setiap
konsentrasi larutan uji dilakukan 6 kali pengulangan. Kontrol dibuat dengan penambahan DMSO untuk mengetahui pengaruhnya. Setelah 1 hari 24 jam
dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah larva yang mati dan yang hidup.
13 Hasil pengamatan jumlah larva udang yang mati digunakan untuk
menghitung mortalitas, yaitu dengan menggunakan rumus:
Keterangan: Ma
= Mortalitas teramati N1
= Jumlah larva udang yang mati setelah pengujian N2
= Jumlah larva udang awal
Nilai mortalitas teramati kemudian dikoreksi dengan mortalitas kontrol. Nilai perhitungan mortalitas terkoreksi dapat dihitung dengan menggunakan
rumus dari Abbot 1925 dalam Negara 2005 :
Keterangan : MT
=Mortalitas terkoreksi Ma
=Mortalitas teramati Mk
=Mortalitas kontrol
3.3.5 Fraksinasi
Fraksinasi dilakukan terhadap ekstrak yang memiliki bioaktivitas paling tinggi pada pengujian. Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan metode Vacuum
Liquid Chromatography VLC. Sebanyak 15 g ekstrak dicampurkan dengan sedikit silika gel dan kemudian digerus hingga diperoleh campuran yang berbentuk
halus. Timbang 300 g silika gel kemudian tambahkan n-heksan dan aduk hingga merata. Campuran silika dan n-heksan kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan
diratakan dengan menggunakan alat penggetar hingga tidak terdapat rongga pada kolom. Ekstrak yang telah dicampur dengan silika ditambahkan n-heksan dan
kemudian dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi sedikit, diratakan dan diberi
14 getaran hingga ekstrak tersebar secara merata.
Elusi kolom dilakukan dengan menggunakan n-heksan: etil asetat dan etil asetat: metanol dengan perbandingan yang ditingkatkan secara bertahap sebesar
5. Elusi diawali dengan n-heksan 100 dan diakhiri metanol 100. Eluen yang digunakan sebanyak 200 ml untuk setiap perbandingan. Hasil kromatografi
ditampung setiap 100 ml ke dalam botol. Setiap larutan di dalam setiap botol dianalisis dengan kromatografi lapis tipis KLT. Larutan dalam botol-botol uji
yang menunjukkan pola noda yang sama berdasarkan uji KLT digabungkan menjadi satu.
3.3.6 Pengukuran Rendemen hasil fraksinasi VLC
Larutan dalam botol uji yang telah diketahui kelompoknya melalui pengujian KLT digabungkan dan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
40
o
C. Setelah ekstrak tersebut kering, ekstrak ditimbang sebagai berat fraksi. Rendemen proses VLC dihitung dengan menggunakan rumus :
Rendemen VLC=
Hasil fraksinasi ini diuji kembali bioaktivitasnya dengan menggunakan metode BSLT pada konsentrasi yang lebih rendah.
3.3.7 Analisis Fitokimia Kualitatif Fraksi Dengan Kromatografi Lapis Tipis KLT
Identifikasi kandungan senyawa pada fraksi dilakukan dengan menggunakan beberapa pereaksi, yaitu H
2
SO
4
, Lieberman-Burchard, amonia, dan FeCl
3
10. Setelah plat KLT dielusi dengan pengembang yang sesuai, plat dikeringkan dan kemudian disemprot dengan menggunakan pereaksi H
2
SO
4.
Setelah dilakukan penyemprotan, plat dikeringudarakan dan kemudian dioven pada suhu 103±2
C selama 5 menit atau hingga muncul warna pada plat KLT. Aplikasi pereaksi Lieberman-Burchard dan FeCl
3
10 dilakukan dengan cara yang sama. Aplikasi amonia sedikit berbeda dengan pereaksi lainnya. Amonia
diuapkan dalam botol hingga jenuh kemudian plat KLT dimasukkan ke dalam
15 botol dan dibiarkan hingga terjadi perubahan warna.
Identifikasi terpenoid dan steroid dilakukan dengan menggunakan pereaksi Lieberman-Burchard. Warna merah sampai ungu menunjukkan adanya
triterpenoid, sedangkan warna hijau menunjukkan adanya senyawa steroid. Identifikasi senyawa golongan fenolik dilakukan dengan menggunakan pereaksi
FeCl
3
10. Jika timbul warna hitam setelah penyemprotan pereaksi FeCl
3
10 menunjukkan adanya senyawa fenolik dalam ekstrak. Identifikasi senyawa
golongan flavonoid dilakukan dengan menggunakan uap amonia. Jika timbul warna kuning atau kuning-coklat setelah pemberian uap amonia menunjukkan
adanya flavonoid dalam ekstrak. Bila tanpa pereaksi kimia, di bawah lampu UV 365 nm, flavonoid akan berwarna biru, kuning atau hijau, tergantung dari
strukturnya.
3.4 Analisis Data Bioaktivitas
Data mortalitas yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis probit untuk mengetahui kematian larva udang A. salina pada tingkat 50
LC
50
dengan menggunakan asumsi distribusi weibull pada selang kepercayaan 95. Analisis probit dilakukan dengan menggunakan program minitab 14 for
windows.
16 Gambar 1 Skema proses penelitian bioaktivitas kayu teras Suren.
Fraksi 1 Fraksi 2
Fraksi 3 Fraksi…
Penetapan rendemen dan bioaktivitas
Penentuan profil KLT Penetapan rendemen dan bioaktivitas
Serbuk kayu teras Suren 40-60 mesh Maserasi dengan n-heksan
sampai bening
Ekstrak n-heksan Residu
Ekstrak Etil Asetat Residu
Ekstrak Metanol Residu
Maserasi dengan Metanol sampai bening
Maserasi dengan Etil Asetat sampai bening
Fraksinasi ekstrak potensial
17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Bioaktivitas Ekstrak Kasar Kayu Teras Suren