4.2 Perubahan Histopatologi pada Timus Akibat Pemberian Kortikosteroid
Pengamatan luas timus termasuk medula dan korteks dilakukan untuk mengetahui efek imunosupresi dari kortikosteroid. Hasil uji statistik T-student
terhadap perbandingan luas medula dan korteks timus pada kelompok kontrol CC0 dan perlakuan CC2 dapat dilihat pada Tabel 6. Luas medula pada ayam
umur 2 minggu kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata dengan kelompok perlakuan P0.05. Ayam kelompok kontrol memiliki medula yang lebih luas
daripada kelompok perlakuan. Namun pada ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu luas medula kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan.
Secara umum medula kelompok perlakuan CC2 lebih luas dibandingkan koelompok kontrol kecuali pada ayam umur 2 minggu.
Tabel 6 Perbandingan luas medula dan korteks timus
µm2 kelompok
kontrol CC0 dengan perlakuan CC2 dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm
2
.
Umur minggu
Luas Medula x1000µm
2
Luas Korteks x1000µm
2
CC0 CC2
CC0 CC2
2 26700± 249.37
a
189.79± 30.11
b
1199.36± 299.16
a
688.96± 257.66
a
3 283.62± 96.78
a
545.86± 431.74
a
1108.93± 389.13
a
1559.99± 794.04
a
4 488.99± 203.34
a
793.47± 626.86
a
1484.97± 482.34
a
1887.77± 223.00
a
5 390.2± 327.16
a
722.26± 453.27
a
1383.83± 784.69
a
1725.03± 62.68
a
6 353.51± 295.78
a
537.26± 231.48
a
1283.78± 754.31
a
1438.2± 485.09
a
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata P0.05.
Menurut Dellman 2006, struktur medula hanya mengandung sedikit limfosit dan didominasi limfosit kecil sehingga warnanya lebih terang
dibandingkan dengan korteks timus. Sedangkan korteks timus memiliki warna lebih gelap karena berisi banyak limfosit dan proses pematangan limfosit T terjadi
di dalamnya. Pemberian kortikosteroid dapat menghambat pembentukan dan fungsi
limfosit B. Limfosit B yang sedikit pada medula akan semakin sedikit jumlahnya karena pengaruh kortikosteroid dan mengakibatkan pengecilan area medula. Oleh
karena itu pada kelompok ayam yang diberikan kortikosteroid khususnya umur 2 minggu medulanya lebih kecil daripada kontrol. Namun kortikosteroid tidak
berpengaruh pada kelompok ayam 3, 4, 5, dan 6 minggu. Medula kelompok perlakuan lebih luas daripada kelompok kontrol.
Timus merupakan organ limfoid yang memiliki respon terbesar terhadap fluktuasi hormon. Reduksi limfosit akibat steroid pada bagian medula timus dapat
menyebabkan sel-sel epitel menjadi tampak lebih jelas. Sel-sel epitel juga akan mengalami pertambahan jumlah dan ukuran. Namun hiperplasia tersebut harus
dibedakan dengan neoplasia Elmore 2006. Hal inilah yang menyebabkan ukuran medula pada timus kelompok perlakuan CC2 lebih luas dibandingkan timus
kelompok kontrol CC0. Penghitungan luas korteks antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan tidak berbeda nyata P0.05. Saat ayam umur 2 minggu, kelompok kontrol memiliki korteks yang lebih luas daripada kelompok perlakuan. Namun
saat ayam berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan memiliki korteks yang lebih luas daripada kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemberian kortikosteroid berpengaruh pada ayam umur 2 minggu yang menyebabkan korteks timus menjadi sempit namun tidak pada ayam umur 3, 4, 5,
dan 6 minggu. Korteks kelompok perlakuan CC2 memiliki luas yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol CC0 disebabkan respon korteks yang besar
terhadap hormon steroid. Elmore 2006 menyatakan reseptor hormon steroid pada korteks timus lebih banyak dibandingkan medula.
Penyempitan korteks timus pada kelompok perlakuan CC2 umur 2 minggu dapat berpengaruh terhadap jadwal vaksinasi yang diberikan pada hari ke-
11. Menurut Woodland dan Kohlmeier 2009, setelah timus merespon vaksin maka antigen spesifik sel T memori akan didistribusi ke perifer. Sel-sel tersebut
akan menjadi pertahanan baris pertama terhadap infeksi sekunder patogen. Timus merupakan organ limfoid primer yang berperan sebagai tempat
diferensiasi limfosit T. Setiap lobul timus memiliki bagian gelap yang disebut korteks dan bagian terang disebut medula. Korteks memproduksi limfosit secara
kontinyu. Walaupun mengalami apoptosis dan difagositosis oleh makrofag, banyak yang bermigrasi ke medula lalu memasuki aliran darah melalui dinding
pembuluh darah Bloom dan Fawcett 2002. Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan luas timus pada kelompok kontrol CC0 dengan kelompok
perlakuan CC2 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan luas timus
µm
2
kelompok
kontrol CC0 dengan perlakuan CC2 dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm
2
. Umur minggu
Luas CC0
µm
2
Luas CC2
µm
2
2 1466.37± 529.53
a
878.75± 273.28
a
3 1392.59± 483.25
a
2105.86± 1225.31
a
4 1973.97± 656.58
a
2681.24± 796.63
a
5 1774.04± 1095.59
a
2447.29± 511.59
a
6 1637.30± 934.96
a
1975.22± 714.51
a
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata P0.05.
Luas timus antara kontrol CC0 dan kelompok perlakuan CC2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata P0.05. Kelompok kontrol ayam umur 2
minggu memiliki timus yang lebih luas daripada kelompok perlakuan CC2. Namun pada umur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan CC2 memiliki
timus yang lebih luas daripada kelompok kontrol CC0. Perkembangan timus secara umum pada unggas mencapai maksimum pada umur 16 minggu. Selama
masa embrionik sampai sebelum pubertas, timus akan tumbuh dan berkembang dengan pesat Schalm et al. 2000. Luas timus pada kelompok perlakuan CC2
lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol pada umur 2 minggu. Timus merupakan organ limfoid yang paling peka terhadap steroid.
Steroid menyebabkan penekanan terhadap timus sehingga dapat terjadi imunosupresi Elmore 2006. Penekanan organ pada umur 2 minggu dapat
memberikan pengaruh buruk pada pemberian vaksin yang dilakukan pada hari ke- 11 memasuki umur 2 mimggu. Menurut Zimmerman 2012, jika vaksin
diberikan dalam kondisi hewan imunosupresi maka vaksin tidak akan mampu menstimuli tubuh untuk memproduksi antibodi. Hasilnya adalah tubuh akan
rentan terhadap penyakit. Hal ini disebut kegagalan vaksin. Gambar histopatologi timus ayam dapat dilihat pada Gambar 9.
Efek dari kortikosteroid pada timus dapat diamati dari jumlah dan perkembangan limfosit. Anderson dan Jenkinson 2008 menyatakan bahwa pada
pertengahan tahun 1970an diketahui limfosit memiliki peran dalam respon imun. Limfosit diketahui memiliki sifat dan fungsi imunitas yang diproduksi pada organ
yang berbeda-beda. Sel yang memiliki kemampuan memproduksi antibodi diantaranya diproduksi pada bursa Fabricius pada bangsa burung, sedangkan
timus merupakan kunci kekebalan yang berguna untuk menghasilkan limfosit dengan fungsi sitotoksik efektor.
Gambar 9 Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 4x dengan
pewarnaan HE terhadap kontrol A dan perlakuan B menunjukkan luas korteks K dan medula M.
Menurut Lechner et al. 2001, perkembangan limfosit sangat dipengaruhi oleh faktor antigen. Limfosit muda atau yang belum dewasa merupakan subjek
seleksi respon baik positif maupun negatif pada organ limfoid primer tergantung derajat reaktivitas tubuh terhadap antigen. Limfosit T dipilih dalam timus
sedangkan sel B diproduksi oleh bursa Fabricius pada unggas. Glukokortikoid diketahui dapat menginduksi apoptosis pada timosit dan limfosit B yang belum
dewasa. Jumlah limfosit pada organ timus dalam penelitian ini dihitung untuk mengetahui efek supresan dari stresor kortikosteroid terhadap kepadatan organ
limfoid. Hasil uji statistik terhadap jumlah limfosit antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberi kortikosteroid dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Perbandingan jumlah limfosit timus kelompok kontrol CC0 dengan perlakuan CC2 dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm
2
. Umur minggu
CC0 CC2
2 3307.30±440.91
a
2975.00±227.77
b
3 3919.10±458.34
a
2920.70±359.60
b
4 3996.10±445.35
a
2564.70±503.62
b
5 3914.20±105.05
a
2547.00±278.76
b
6 3765.40±247.27
a
2429.30±378.04
b
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata P0.05
A B
K K
M M
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada timus kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata P0.05 dengan kelompok yang
diberi kortikosteroid. Jumlah limfosit timus yang diberi kortikosteroid CC2 lebih sedikit daripada kelompok kontrol CC0. Timus merupakan salah satu organ
yang memiliki banyak reseptor glukokortikoid. Stres akibat induksi kortikosteroid dapat menstimulasi kejadian apoptosis pada timosit ayam. Sel-sel timosit yang
masih muda lebih rentan terhadap induksi kortikosteroid daripada sel T yang sudah dewasa. Populasi sel timik akan mengalami reduksi setelah 12 jam
diberikan kortikosteroid. Tidak hanya mengalami apoptosis namun kortikosteroid juga dapat mereduksi aktivitas mitosis. Hewan muda lebih sensitif terhadap
paparan kortikosteroid Franchini et al. 2004. Steroid dapat menghambat aktivasi dan proliferasi limfosit T. Penghambatan ini mengakibatkan limfosit T menjadi
tidak responsif terhadap interleukin I sehingga sintesis interleukin II juga terhambat Roitt et al. 2001.
Gambar 10 Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 40x pada kontrol A dan perlakuan B dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya deplesi
D limfosit L pada organ yang diberi kortikosteroid.
Gambar 10 menunjukkan bahwa limfosit pada timus kelompok kontrol A lebih banyak daripada kelompok yang diberi kortikosteroid B. Limfosit yang
terpapar stres akibat kortikosteroid akan mengalami apoptosis sehingga folikel limfoid timus akan mengalami deplesi. Kong et al. 2002 menyatakan hormon
steroid memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresi sehingga hormon ini banyak digunakan untuk penyakit autoimun, alergi, peradangan, dan tumor
limfoid malignan. Namun steroid juga dikenal memiliki efek apoptosis terhadap
A B
L L
D
limfosit pada timus, baik pada mamalia maupun unggas. Steroid dalam dosis tinggi selain mengganggu timopoiesis, juga dapat menghambat suplai limfosit T
ke perifer. Induksi stres steroid akan memengaruhi pembentukan limfosit T pada timus sehingga menyebabkan timus atropi. Penurunan level sel T pada timus
akibat stres akan berdampak pada imunosupresi beberapa organ imun lainnya. Atropi timus dan teraktivasinya sel NKT Natular Killer T adalah akibat dari
penyuntikkan glukokortikoid, namun tidak terlalu berdampak pada level granulosit Sagiyama et al. 2004.
4.3 Perubahan Histopatologi pada Limpa Akibat Pemberian Kortikosteroid