2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya
Kortikosteroid merupakan derivat dari kolesterol, termasuk Prednisone, Prednisolone, dan Methylprednisolone. Agen inflamasi poten ini menimbulkan
efek yang bervariasi yaitu mereduksi jumlah dan aktivitas dari sel-sel sistem imun. Senyawa kortikosteroid digunakan untuk terapi anti-inflamasi Kuby 1992.
Suherman 1987 berpendapat bahwa penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit
tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering
disebut life saving drug, tetapi juga kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar
evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit nampak sudah sembuh tetapi infeksi di
dalam dapat terus menjalar. Salah satu indikasi klinis utama dari kortikosteroid adalah efek anti
inflamasinya. Kortikosteroid memiliki kemampuan untuk memblok enzim phospolipase, yang menimbulkan reaksi pembentukan prostaglandin, mediator
utama dari respon imun. Kortikosteroid juga menjaga sel dari trauma inflamasi dengan beberapa mekanisme, diantaranya menstabilkan membran sel untuk
mencegah perombakan, menstabilkan membran lisosom sehingga tidak melepaskan enzim rasa sakit, menghentikan sintesis histamin, menghambat
sintesis interleukin, dan mengurangi proses eksudasi Wanamaker dan Massey 2004.
Efek samping lokal penggunaan kortikosteroid, antara lain atropi kulit, eritema persisten, teleangiektasia, papula, dan pustula, steroid acne, gluteal
granuloma, hipertrichosis, perubahan pigmentasi, dan alergi. Sedangkan efek samping sistemiknya adalah ketidakseimbangan elektrolit, diabetes steroid,
peningkatan katabolisme protein, hipertensi arteri, dan osteoporosis Kansky 2000.
Terapi kortikosteroid menyebabkan menurunnya jumlah limfosit sebagai induksi dari lisisnya limfosit lympholisis. Seperti hormon steroid lainnya,
kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat menembus membran plasma dan
berikatan pada reseptor dalam sitosol. Kortikosteroid juga dapat mereduksi kemampuan makrofag dan netrofil untuk memfagositosis benda asing. Efek inilah
yang memberikan kontribusi dalam aksi anti-inflamasi kortikosteroid. Selain itu, kortikosteroid juga mereduksi kemotaksis, hal inilah yang membuat beberapa sel
inflamasi tertarik oleh aktivasi sel T
H.
Ekspresi dari molekul MHC II dan IL-1 yang diproduksi oleh makrofag otomatis juga akan tereduksi. Akhirnya
kortikosteroid juga akan menstabilisasi membran lisosom dari leukosit, sehingga terjadi penurunan level dari enzim lisosom dilepaskan pada situs inflamasi Kuby
1992. Forbes dan Altman 1998 berpendapat bahwa pada unggas kortikosteroid
dapat menjadi terapi untuk lesio polifolikuler. Lesi ini mengakibatkan pruritus. Pemberian kortikosteroid atau NSAID, agen inflamasi dapat menghilangkan
pruritus. Sedangkan Tully 2000 berpendapat pemberian obat topikal pada unggas harus diwaspadai dan tidak boleh terlalu banyak pemberiannya. Obat ini
dapat melekat di bulu dan akan termakan oleh unggas saat unggas melicinkan bulunya dengan paruh sehingga berdampak toksisitas. Kortikosteroid topikal perlu
diwaspadai penggunaannya. Banyak dilaporkan terjadi kematian setelah penggunaan kortikosteroid.
Prednisolone, salah satu golongan kortikosteroid yang digunakan untuk penyakit rematik. Dosis rendah Prednisolone dapat menyebabkan kerusakan
persendian. Efek paling serius paparan kortikostreoid adalah penekanan pitutari- adrenal. Kelenjar adrenal akan mengalami atropi lalu kehilangan kemampuan
untuk memproduksi kortikosteroid alami. Tubuh tidak akan dapat bertahan menghadapi stres sehingga tubuh akan selalu berada di bawah cekaman. Anti-
inflamasi kortikosteroid menurunkan fungsi imun. Respon infeksi akan meningkat seiring dengan berkurangnya jumlah limfosit. Berbagai infeksi seperti
tuberkulosis akan mudah menyebar bahkan sebelum terdiagnosa Thorp 2008.
2.4.2 Residu Hormon Steroid pada Manusia