Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler

(1)

ABSTRACT

KENYO PALUPI. Effect of Corticosteroid on Limfoid Organ of Broiler. Under direction of SRI ESTUNINGSIH and WIWIN WINARSIH.

Corticosteroid is an anti-inflammatory agent which have been used for poultry industry widely. The aim of this research was to study the effect of corticosteroid on lymphoid organ of broiler by histopathological analysis. Thirty commercial DOC (Day Old Chick) were divided into 2 groups. First group was control and second group was treated by corticosteroid (3 mg/Kg) orally. Each group was divided into 5 subgroups according to their sacrifice day at age from 2 week until 6 week. This treatment done for 6 weeks, broilers then were necropsied. The bursa of Fabricius, thymus, and spleen were collected as histopathological samples. Samples were processed routinely to prepared histopathology slide stained with Haematoxylin Eosin. The parameters observed include to measured the number of lymphoid follicle of bursa Fabricius and spleen, the number of lymphocyte of bursa, thymus and spleen, and width of bursa’s plica and cortex and medulla of thymus. Quantitative data were analyzed with T-student test. The observation results was corticosteroid caused immunossupression that showed by decrease of lymphocyte and lymphoid follicle numbers which are significant (p<0.05) compared to the control group. There were significant (p<0.05) compare to the control group on the number of small and large lymphoid follicles, high and wide of plica of bursa of Fabricius, width of medulla of thymus, and the number of lymphoid follicles of spleen.


(2)

ABSTRAK

KENYO PALUPI. Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan WIWIN WINARSIH.

Kortikosteroid merupakan senyawa anti-inflamasi yang digunakan secara luas khususnya dalam dunia peternakan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari efek kortikosteroid yaitu Prednisone pada organ limfoid ayam broiler. Sebanyak 30 ekor DOC dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kontrol dan kelompok kedua adalah perlakuan (diberikan Prednisone 3 mg/kg BB per oral). Masing-masing kelompok dibagi menjadi 5 kelompok sesuai umur perlakuan, mulai dari umur 2 minggu sampai 6 minggu. Perlakuan ini berlangsung selama 6 minggu setelah itu ayam dinekropsi. Organ limfoid yang disampling adalah bursa Fabricius, timus, dan limpa yang selanjutnya dibuat preparat histopatologi menggunakan pewarnaan Haematoxylin Eosin dan diamati. Parameter yang diamati antara lain, jumlah limfosit, jumlah folikel limfoid, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius, jumlah limfosit dan luas organ timus, serta jumlah limfosit dan folikel limfoid pada limpa. Data dianalisis secara kuantitatif dengan uji lanjut T-student. Hasil dari penelitian ini adalah kortikosteroid memberikan efek imunosupresi yang ditunjukkan menurunnya jumlah limfosit dan jumlah folikel limfoid organ limpa. Jumlah limfosit Bursa Fabricius, timus, dan limpa menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Jumlah folikel limfoid besar dan kecil, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius, luas medulla timus, dan jumlah folikel limfoid limpa menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05). Kortikosteroid memberikan efek yang signifikan terhadap organ limfoid ayam broiler.


(3)

PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID

AYAM BROILER

KENYO PALUPI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Kenyo Palupi B04070097


(5)

ABSTRAK

KENYO PALUPI. Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan WIWIN WINARSIH.

Kortikosteroid merupakan senyawa anti-inflamasi yang digunakan secara luas khususnya dalam dunia peternakan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari efek kortikosteroid yaitu Prednisone pada organ limfoid ayam broiler. Sebanyak 30 ekor DOC dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kontrol dan kelompok kedua adalah perlakuan (diberikan Prednisone 3 mg/kg BB per oral). Masing-masing kelompok dibagi menjadi 5 kelompok sesuai umur perlakuan, mulai dari umur 2 minggu sampai 6 minggu. Perlakuan ini berlangsung selama 6 minggu setelah itu ayam dinekropsi. Organ limfoid yang disampling adalah bursa Fabricius, timus, dan limpa yang selanjutnya dibuat preparat histopatologi menggunakan pewarnaan Haematoxylin Eosin dan diamati. Parameter yang diamati antara lain, jumlah limfosit, jumlah folikel limfoid, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius, jumlah limfosit dan luas organ timus, serta jumlah limfosit dan folikel limfoid pada limpa. Data dianalisis secara kuantitatif dengan uji lanjut T-student. Hasil dari penelitian ini adalah kortikosteroid memberikan efek imunosupresi yang ditunjukkan menurunnya jumlah limfosit dan jumlah folikel limfoid organ limpa. Jumlah limfosit Bursa Fabricius, timus, dan limpa menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Jumlah folikel limfoid besar dan kecil, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius, luas medulla timus, dan jumlah folikel limfoid limpa menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05). Kortikosteroid memberikan efek yang signifikan terhadap organ limfoid ayam broiler.


(6)

ABSTRACT

KENYO PALUPI. Effect of Corticosteroid on Limfoid Organ of Broiler. Under direction of SRI ESTUNINGSIH and WIWIN WINARSIH.

Corticosteroid is an anti-inflammatory agent which have been used for poultry industry widely. The aim of this research was to study the effect of corticosteroid on lymphoid organ of broiler by histopathological analysis. Thirty commercial DOC (Day Old Chick) were divided into 2 groups. First group was control and second group was treated by corticosteroid (3 mg/Kg) orally. Each group was divided into 5 subgroups according to their sacrifice day at age from 2 week until 6 week. This treatment done for 6 weeks, broilers then were necropsied. The bursa of Fabricius, thymus, and spleen were collected as histopathological samples. Samples were processed routinely to prepared histopathology slide stained with Haematoxylin Eosin. The parameters observed include to measured the number of lymphoid follicle of bursa Fabricius and spleen, the number of lymphocyte of bursa, thymus and spleen, and width of bursa’s plica and cortex and medulla of thymus. Quantitative data were analyzed with T-student test. The observation results was corticosteroid caused immunossupression that showed by decrease of lymphocyte and lymphoid follicle numbers which are significant (p<0.05) compared to the control group. There were significant (p<0.05) compare to the control group on the number of small and large lymphoid follicles, high and wide of plica of bursa of Fabricius, width of medulla of thymus, and the number of lymphoid follicles of spleen.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID

AYAM BROILER

KENYO PALUPI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler

Nama Mahasiswa : Kenyo Palupi

NRP : B 04070097

Program Studi : Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Mengetahui, Komisi Pembimbing

Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet. Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MS, APVet.

Pembimbing I Pembimbing II

Menyetujui,

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APvet. Wakil Dekan


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kortikosteroid

Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler” telah

diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada:

1. Keluarga tercinta, Ibu, Bapak, dan Riris, adik tersayang atas cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tiada henti tercurah kepada penulis.

2. Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet dan Dr. drh. Wiwin Winarsih, MS. APVet selaku dosen pembimbing tugas akhir atas ilmu, waktu, pelajaran hidup, kesabaran dan dukungan serta motivasi yang diberikan kepada penulis.

3. Drh. Faisal Jamin, M.Si yang senantiasa membantu dan mengarahkan penulis selama penelitian berlangsung.

4. Dr. drh. Chusnul Chaliq, MS, MM selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingannya sampai penulis meraih gelar sarjana.

5. Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS atas ilmu berorganisasinya.

6. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Phd, APVet atas segala masukan dalam seminar hasil penelitian.

7. Dr. drh. Hera Maheswari M.Si dan Dr. drh. Umi Cahyaningsih, M.Si atas segala masukan serta nasihat dalam ujian akhir sarjana.

8. Dosen dan Staf Laboratorium Patologi (Mas Bangkit, Mba Kiki, Pak Kasnadi, Pak Sholeh, dan Pak Endang) yang selalu bersedia membantu penulis.

9. Cholillurrahman yang selalu setia menampung air mata dan memberikan senyum kepada penulis.

10. Teman-teman Yayasan Patologi Bisa: Niken, Nova, Inez, Dara, Dian, Endah, Abas, Agung, Griv dan Nisa atas dukungan, semangat, dan kerjasamanya.

11. Teman-teman Wisma Geulis: Uji, Eka, Nyitong, Moy, Archi, Uwen, Rifki, Emil, Titi, Milah, Pitri, dan Sari yang selalu ada saat penulis dalam keadaan suka dan duka.

12. Teman-teman Polar Bear dan Smeki: Madu, Kiki, Rio, Darjat, Fahri, Wamen, Rissar, Pea, Andi, Binturong, Joko, Danang, Edi, Ganjar, dan Sukron atas keceriaan dan kesediaannya menjadi penari-penari FKH. 13. Komunitas seni Steril atas pengalaman dan masa-masa indah yang

diberikan kepada penulis.

14. Keluarga besar Gianuzzi FKH 44 yang akan selalu ada di hati penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, April 2012 Kenyo Palupi


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1989 di Yogyakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Heddy Julistiono dan Ibu Sri Rejeki Retno Wahyuningsih.

Penulis dibesarkan di Bogor dan menempuh sekolah taman kanak-kanak di TK Mesra. Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1995 di SD Negeri Bangka 3 Bogor, lalu melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor pada tahun 2001. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di dalam beberapa kegiatan mahasiswa, diantaranya menjadi anggota paduan suara Agriaswara sebagai alto 1 dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) musik Max pada tahun 2007/2008. Selain itu penulis pernah menjabat sebagai ketua Komunitas Seni Teatrikal dan Ilmiah (KS STERIL) pada tahun 2009/2010 dan anggota divisi Infokom Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar (SATLI) pada tahun 2009/2010. Penulis sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II tahun 2011/2012. Pada tahun 2011 penulis berpartisipasi dalam ADIC (Aceh Development International Conference) di Bangi, Malaysia.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan Penelitian ... 2

1.3Manfaat Penelitian ... 2

1.4Hipotesa ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Ayam Broiler ... 3

2.2Program Vaksinasi ... 4

2.3Respon Kekebalan Unggas ... 5

2.3.1 Bursa Fabricius ... 6

2.3.2 Timus ... 8

2.3.3 Limpa ... 10

2.4Kortikosteroid ... 12

2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya ... 15

2.4.2 Residu Steroid pada Manusia ... 16

3. METODOLOGI 3.1Waktu dan Tempat penelitian ... 19

3.2Alat dan Bahan Penelitian ... 19

3.3Metode Penelitian ... 20

3.3.1 Tahap Persiapan Kandang ... 20

3.3.2 Pengelompokkan Ayam Penelitian ... 20

3.3.3 Nekropsi dan Pengumpulan Sampel Organ ... 21

3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi ... 21

3.3.5 Pengamatan Preparat Histopatologi ... 22

3.3.6 Pengolahan Data... 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perubahan Histopatologis pada Bursa Fabricius Akibat Pemberian Kortikosteroid ... 24

4.2 Perubahan Histopatologis pada Timus Akibat Pemberian Kortikosteroid ... 32

4.3 Perubahan Histopatologis pada Limpa Akibat Pemberian Kortikosteroid ... 37

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

6. DAFTAR PUSTAKA ... 44


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Parameter Penelitian ... 23 2. Perbandingan Tinggi dan Lebar Plika Bursa Fabricius Kontrol

(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ... 25 3. Perbandingan Jumlah Folikel Limfoid Besar dan Kecil Bursa

Fabricius Kontrol (CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) .... 26 4. Perbandingan Jumlah Total Folikel Limfoid Bursa Fabricius

Kontrol (CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ... 28 5. Perbandingan Jumlah Limfosit Bursa Fabricius Kontrol

(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ... 30 6. Perbandingan Luas Medula dan Korteks Timus Kontrol (CC0)

dan Pemberian Kortikosteroid ... 32 7. Perbandingan Luas Timus Kontrol (CC0) dan Pemberian

Kortikosteroid (CC2) ... 34 8. Perbandingan Jumlah Limfosit Timus Kontrol (CC0) dan

Pemberian Kortikosteroid (CC2) ... 35 9. Perbandingan Jumlah Folikel Limfoid (pulpa putih) Limpa Kontrol

(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ... 37 10. Perbandingan Jumlah Limfosit Limpa Kontrol (CC0) dan

Pemberian Kortikosteroid (CC2) ... 49


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Ayam Broiler ... 3

2. Bursa Fabricius ... 8

3. Timus ... 10

4. Limpa Ayam ... 12

5. Konfigurasi Dasar Kortikosteroid... 13

6. Mekanisme Apoptosis Akibat Glukokortikoid ... 14

7. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Kontrol dan Perlakuan Perbesaran 4x dan 10x ... 29

8. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Kontrol dan Perlakuan Perbesaran 40x ... 31

9. Gambaran Histopatologi Timus Perbesaran Kontrol dan Perlakuan 4x ... 35

10. Gambaran Histopatologi Timus Perbesaran Kontrol dan Perlakuan 40x ... 36

11. Gambaran Histopatologi Limpa Perbesaran Kontrol dan Perlakuan 4x ... 38

12. Gambaran Histopatologi Limpa Perbesaran Kontrol dan Perlakuan 40x ... 40


(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Ternak ayam memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi. Mulai dari telur sampai daging ayam dikonsumsi masyarakat sebagai sumber protein hewani. Seiring dengan perkembangan zaman maka usaha ternak ayam broiler atau broiler yang pada mulanya hanya berkisar pada kegiatan atau usaha rakyat kemudian berkembang dengan pesat demi memenuhi permintaan daging dari masyarakat. Pemenuhan akan daging ayam tidak terlepas dari peternakan ayam bibit. Peternakan ayam bibit ini nantinya akan menghasilkan anak ayam atau Day Old Chick (DOC) komersial. DOC ini akan dipelihara oleh peternak untuk dibesarkan menjadi ayam broiler komersial. Ayam broiler merupakan jenis unggas dengan daya produktivitas tinggi yaitu dapat dipanen pada usia minggu ke-6 sampai minggu ke-7 dan bobot yang bertambah pesat yaitu sekitar 40 – 50 kali lipat dari bobot awalnya (± 1.5 kg). Hal ini yang membuat usaha ternak ayam dinilai sangat menguntungkan.

Pemeliharaan secara intensif harus dilakukan dalam usaha ternak ayam komersial. Pemeliharaan intensif dilakukan dengan fasilitas pemeliharaan dari segi perkandangan dan segi pakan yang diberikan untuk memenuhi sasaran pada tujuan produksi. Salah satu faktor pemeliharaan yang paling penting adalah manajemen kesehatan karena kesehatan merupakan landasan utama penentu kualitas dari sebuah peternakan. Manajemen kesehatan dilakukan dengan tindakan preventif dan tindakan kuratif. Tindakan preventif dilakukan untuk mencegah ternak terserang agen penyakit misalnya dengan pemberian vaksin. Sedangkan tindakakan kuratif merupakan tindakan pengobatan untuk menghilangkan agen penyakit.

Salah satu obat atau senyawa yang sering diberikan adalah kortikosteroid. Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak yang digunakan tidak sesuai dengan indikasi maupun dosis dan lama pemberian seperti pada penggunaan kortikosteroid sebagai obat untuk menambah nafsu makan dan menambah berat badan. Kortikosteroid dapat menimbulkan beberapa efek samping kompleks sehingga banyak dokter takut memberikan kortikosteroid dosis


(16)

besar yang sebenarnya diperlukan pada berbagai pengobatan inflamasi (Harmanto 2007).

Kortikosteroid yang digunakan pada ayam penelitian ini adalah Prednisone. Menurut Wissman (2006), Prednisone merupakan obat golongan kortikosteroid yang berfungsi sebagai anti-inflamasi dan bersifat imunosupresif, sedangkan pada unggas dapat mengatasi aspergillosis serta infeksi fungal lainnya. Pengawasan ketat diperlukan dalam penggunaan obat ini baik secara oral, topikal maupun parenteral. Namun kortikosteroid juga dapat menekan fungsi immunnologis dan mengaktifasi infeksi laten sehingga pada beberapa kasus kortikosteroid memberikan efek immunosupressi.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari kortikosteroid terhadap organ limfoid, yaitu timus, limpa, dan bursa Fabricius pada ayam broiler.

1.3 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui efek dari pemberian kortikosteroid terhadap sistem immunitas ayam broiler.

1.4 Hipotesis

H0 : Tidak terdapat perbedaan gambaran histopatologi organ limfoid antara ayam

broiler yang diberikan perlakuan (kortikosteroid) dengan ayam broiler kontrol negatif (tidak diberi kortikosteroid).

H1 : Terdapat perbedaan gambaran histopatologi organ limfoid antara ayam

broiler yang diberikan perlakuan (kortikosteroid) dengan ayam broiler kontrol negatif (tidak diberi kortikosteroid).


(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Broiler

Ayam broiler adalah jenis unggas yang memiliki laju pertumbuhan yang berbeda, pertambahan berat badan tiap minggu yang berbeda serta memiliki besar konsumsi pakan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan (North et al. 1990). Ayam broiler yang baik adalah ayam broiler yang pertumbuhanya cepat, warna bulu putih, tidak terdapat bulu-bulu berwarna gelap, serta memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang seragam (Mountney 1978). Ayam broiler dipasarkan pada bobot hidup antara 1.3-1.6 kg per ekor ayam yang dilakukan pada umur ayam 5-6 minggu karena ayam broiler yang terlalu berat akan sulit dipasarkan. Bahkan bila dipelihara sampai 8 bulan beratnya dapat mencapai 2 kg (Rasyaf 2008).

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh akan peningkatan sel-sel individual dimana pertumbuhan itu mencakup empat komponen utama yaitu adanya peningkatan ukuran otot, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adiposa dan peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Ciri dari ayam broiler ini adalah ukuran badan relatif besar, padat, kompak, dan berdaging penuh. Jumlah telur sedikit, bergerak lambat, tenang, dan lebih lambat mengalami dewasa kelamin. Adapun jenis ayam broiler ini antara lain Brahma Putra, Cochin China, Cornish dan Sussex (Sudaryani dan Santosa 2002).


(18)

2.2 Program Vaksinasi

Penyakit merupakan masalah besar yang cukup potensial yang telah mengubah industri peternakan ayam untuk mengembangkan vaksin. Industri vaksin berperan dalam pemeliharaan dan pengawasan kesehatan ayam. Program vaksinasi termasuk usaha pencegahan masuknya infeksi penyakit, selain itu jika dilihat dari kesehatan manusia, manusia akan terhindar dari residu obat yang terdapat dalam daging ayam yang pernah diberi obat akibat terpapar penyakit (Appleby 2004).

Menurut Leeson dan Summers (2000) vaksin berfungsi untuk menstimulasi sistem imun unggas tanpa menyebabkan tanda-tanda penyakit yang jelas. Banyak diantaranya berfungsi untuk melindungi unggas dari infeksi virus, beberapa jenis vaksin lainnya telah dikembangkan untuk perlindungan terhadap cekaman bakteri tertentu (lebih sering disebut bakterin dibanding vaksin) dan juga untuk koksidiosis. Program vaksinasi bagi peternak bertujuan untuk melindungi unggas muda dan dewasa dari infeksi, selain itu vaksinasi juga bertujuan untuk mengoptimumkan antibodi maternal pada anak ayam broiler. Pada saat sejumlah dosis vaksin diberikan, unggas akan memproduksi antibodi yang dilepaskan oleh bursa Fabricius tergantung usia dari unggas tersebut.

Vaksin yang digunakan pada unggas dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu vaksin hidup dan vaksin inaktif. Vaksin inaktif terdiri dari antigen yang dipekatkan dikombinasikan dengan minyak emulsi atau adjuvant alumunium hidroksida. Vaksin jenis ini memberikan ketahanan tubuh yang lebih lama, terutama jika dikombinasikan dengan vaksin hidup. Vaksin ini dapat berisi dua atau tiga jenis antigen dan diberikan secara parenteral. Sedangkan vaksin hidup biasanya hanya berisi satu jenis antigen dan diaplikasikan secara aerosol, melalui air minum, dan dalam beberapa kasus dapat diberikan secara injeksi. Antigen dapat berupa penyakit yang telah dilemahkan sehingga tingkat virulensinya rendah (Jordan 1994).

Menurut Marangon dan Busani (2006) faktor yang mempengaruhi kemanjuran vaksin yang berkaitan dengan individu ayam adalah kekebalan maternal dan imunosupresi, status sanitasi serta faktor genetis. Optimumnya antibodi maternal disertai status sanitasi faktor genetik yang baik mendukung


(19)

program vaksinasi sedangkan imunosupresi dapat merusak organ kekebalan sehingga menghambat program vaksinasi.

Program vaksin yang umum diberikan untuk ayam broiler antara lain vaksin Marek’s disease yang diberikan kepada ayam umur 18 hari masa embrio secara in-ovo. Vaksin Newcastle disease dan Infectious Bronchitis yang diberikan pada ayam umur 1 hari atau setelah menetas dengan rute spray cabinet. Vaksin ND dan IB kembali diberikan pada usia 14 hari melalui minuman. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin adalah kejadian penyakit di daerah tersebut, ketersediaan vaksin, periode stres, kondisi iklim, dan faktor lain yang mempengaruhi program vaksinasi (North et al. 1990).

2.3 Respon Kekebalan Unggas

Tubuh melindungi dirinya sendiri melawan benda asing, seperti bakteri dan virus, melalui aksi sistem kekebalan tubuh. Masuknya virus dan bakteri merangsang aksi dari limfosit (sel darah putih) dan makrofag (scavangers) dalam tubuh. Limfosit diproduksi dan diatur oleh bursa (sel B) dan timus (sel T). Sel B bermigrasi ke limpa dan limfonodus, tempat antigen menstimulasi antibodi, akivitas ini merujuk pada kekebalan humoral. Timus yang ditemukan di leher ayam memproduksi sel T dibawah perintah hormon. Dewasa kelamin sangat menentukan produksi sel T. Sel T bekerja sama dengan makrofag untuk memusnahkan bakteri, virus dan benda asing lainnya. Aksi sel T tersebut merujuk pada kekebalan seluler (Leeson dan Summers 2000).

Imunitas humoral (bursa) adalah pertahanan utama melawan bakteri, sementara kekebalan seluler menjalankan fungsinya dalam melawan virus. Sel B diinduksi untuk membagi dan menspesialisasi serta bersifat peka saat masuk ke peredaran darah. Sel B memiliki masa hidup 3-5 hari dalam peredaran darah. Sel B memiliki sistem memori sehingga sel B mampu melipatgandakan aksinya saat ada infeksi dari antigen yang sudah dikenali, proses ini juga yang memengaruhi kekebalan tubuh melalui vaksinasi. Sedangkan sel T dari timus merespon antigen dengan cara menghasilkan sel efektor dan sel memori. Sel efektor bereaksi langsung pada virus dan melepaskan zat kimia yang disebut limfokin yang membantu menarik sel imun lain, seperti makrofag dan limfosit-limfosit lain ke


(20)

antigen yang berikutnya akan mengaktivasi sel-sel tersebut untuk tahap proses kekebalan (Leeson dan Summers 2000).

Bangsa burung memproduksi tiga jenis antibodi, yaitu IgM, IgG, dan IgA. Respon antibodi primer dimulai dengan perkembangan antibodi IgM. Setelah itu IgG dan IgA diproduksi. Walaupun IgG unggas dan mamalia memiliki fungsi biologi yang mirip, namun IgG unggas memiliki pasangan yang lebih panjang dibandingkan milik mamalia dan tidak memiliki engsel molekul yang dikodekan. Sehingga IgG unggas lebih sering disebut dengan IgY. IgA berperan dalam kekebalan lokal di saluran respirasi dan pencernaan. Pada unggas IgA diangkut ke hati kemudian disimpan di empedu (Schultz 1999).

Jaringan limfomieloid berkembang dari epitelial kubus sebaris (bursa Fabricius dan timus) atau mesenkim (limpa, limfonodus, dan sumsum tulang) yang didiami oleh sel-sel haematopoietik. Pada organ limfoid pusat, sel stem haematopoietik memasuki bursa atau timus dan berkembang menjadi sel imunokompeten B dan T. Sel-sel imun yang telah dewasa memasuki sirkulasi dan mendiami organ limfoid perifer, diantaranya limpa, limfonodus, dan usus, bronkhus dan jaringan limfoid yang bergabung dengan kulit (Davison 2003). Menurut Aughey dan Frye (2001), sistem limfoid Aves terdiri dari limpa, timus, nodul lokal di dinding pembuluh dan mukosa limfatik serta bursa Fabricius

2.3.1 Bursa Fabricius

Bursa Fabricius adalah kelenjar limfoepitelial yang terdapat di dorsal kloaka. Secara umum bursa Fabricius akan mengalami atropi setelah penetasan namun pada beberapa jenis burung tergantung usia (contohnya burung dari genus gallinae) (Freeman 1971). Menurut Davison (2008) bursa Fabricius ayam memiliki bentuk dan ukuran seperti kastanye dan lokasinya diantara kloaka dan sakrum. Saluran bursa yang menyerupai celah menghubungkan dengan lumen bursa. Sebagai diverticulum kloaka, bursa memiliki struktur epitel silindris. Bursa dikelilingi oleh permukaan otot yang tebal dan licin. Selama kontraksi otot, tekanan folikel-folikel memperkuat aliran sel di dalam medula dan aktivitas limfatik di setiap lipatan plika bursa.


(21)

Glick (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan bursa Fabricius dapat dipelajari dalam tiga bentuk. Pertama pertumbuhan yang cepat dari ayam baru menetas sampai tiga atau empat minggu. Kedua, periode plateu selama lima atau enam minggu berikutnya. Ketiga, regresi yang terjadi sebelum pematangan seksual.

Pertumbuhan maksimum bursa Fabricius dicapai saat ayam berumur 4-12 minggu dan mengalami regresi secara lengkap pada waktu mencapai kematangan seksual yaitu pada umur 14 – 20 minggu. Pada tahap ini bursa akan mengkerut, terjadi pembentukan jaringan ikat lebih intensif, deretan epitel menjadi berlipat-lipat, parenkimnya digantikan dengan jaringan lemak dan sel-sel limfoid di dalam folikel limfoid digantikan oleh kista (Riddel 1987).

Riddel kembali mengungkapkan struktur bursa Fabricius adalah permukaan dalamnya terdiri dari lipatan longitudinal (plika) besar dan kecil. Lipatan yang besar mencapai keseluruhan dari panjang lumen bursa sedangkan lipatan yang kecil tidak mencapai lumen. Lipatan-lipatan ini terdiri dari folikel bursa dan di bawahnya terdapat matriks jaringan ikat, dari lipatan bursa melalui lumen untuk tiap folikel yang disebut lumen bursa. Jumlah total lipatan mukosa pada bursa yang matang atau dewasa sekitar 10-15 plika (Cross 1987).

Menurut Tizard (1987) bursa adalah organ limfoid primer yang fungsinya sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari pembentuk antibodi. Karena itu sel ini disebut sel B. Di samping itu, bursa juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yaitu, dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi. Bursa juga mengandung sebuah pusat kecil sel T tepat di belakang lubang salurannya.

Gambaran histopatologi pada bursa Fabricius diantaranya atropi. Akumulasi stres yang tidak spesifik, seperti malnutrisi, manajeman kandang yang buruk, dan infeksi dapat menginduksi atropi prematur dan imunosupresi pada bursa Fabricius. Infeksi virus pada unggas dapat menyebabkan regresi bursa, nekrosis folikel limfoid sampai limfositolisis. Badan inklusi virus baik intranukleus maupun intrasitoplasma dapat ditemukan dalam makrofag dan limfosit. Infeksi bakteri jarang menyerang bursa Fabricius. Namun jika terinfeksi, organ akan membesar dan tidak beraturan serta terdapat abses yang dikelilingi


(22)

oleh makrofag dan sel raksasa. Infeksi jamur jarang ditemukan. Peradangan gabungan heterofil, limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel raksasa dapat ditemukan pada infeksi jamur. Sedangkan infeksi protozoa akan menyebabkan bursa Fabricius edema. Paparan toxin dapat menyebabkan deplesi limfositik dan limfositolisis. Malnutrisi dan kekurangan vitamin A menyebabkan atropi bursa. Neoplasma atau limfosarkoma pada unggas diinduksi oleh retrovirus (Schmidt 2003).

Gambar 2 Bursa Fabricius: (1) lumen, (2) pseudostratified columnar epitelial, (3) folikel, dan (4) muskularis (sumber: Nassar 2008).

2.3.2 Timus

Timus adalah organ yang sangat penting pada hewan muda. Perkembangannya dimulai dari saat sebelum pubertas sampai dewasa. Ukuran timus akan semakin mengecil seiring dengan pertambahan umur hewan. Pada permukaan timus dapat ditemukan lapisan lemak, elemen fibrosa dan jaringan timus. Timus terbentuk dari kantung faringeal ketiga (Dyce et al. 2002). Menurut Hammond (2005) Pembentukan timus pada masa embrional diinduksi oleh kantong endodermal. Secara anatomis, timus ayam terletak pada sisi kanan dan kiri saluran pernafasan (trakhea). Warnanya pucat kuning kemerah-merahan, bentuknya tidak teratur dan berjumlah 3-8 lobi pada masing-masing leher. Tiap lobus dihubungkan oleh jaringan ikat dan membentuk suatu untaian yang berada dekat dengan vena jugularis (Getty 1975).


(23)

Tizard (1987) mengungkapkan bahwa timus tediri dari kortex dan medula. Korteks terdiri dari limfosit dan epitel retikulum. Limfosit T (thymocytes) yang telah meninggalkan sumsum tulang di bagian organ imunitas yang kompeten telah bermigrasi dan menempati korteks. Pada titik ini, limfosit T telah terbagi menjadi sel imun yang jauh lebih kompeten. Pada beberapa bagian lobus akan tampak kegelapan akibat populasi dari sel-sel ini. Sedangkan di dalam medula terdapat benda bulat yang dikenal sebagai badan timus (korpuskulus Hassal) yang fungsinya tidak diketahui. Benda ini mengandung keratin dan mungkin sebagai petunjuk adanya kegagalan keratinisasi oleh sel epitelial. Penyediaan darah ke timus berasal dari arteri yang masuk melalui jaringan ikat pembatas dan menjulur sebagai arteriol sepanjang pertemuan pertemuan kortiko-medula. Kapiler yang terjadi dari arteriol ini memasuki korteks dan melingkar kembali ke medula.

Pada hewan umur muda, timus bersifat sangat aktif yang secara normal mengalami involusi menjelang pubertas dan bertambahnya umur. Proses involusi ditandai dengan berkurangnya secara bertahap limfosit terutama di daerah korteks, pembesaran dari sel-sel epitel retikuler dan parenkim diganti oleh sel lemak. Pada hewan dewasa, timus terdiri dari jalur-jalur tipis parenkim di mana banyak sel-sel epitel retikuler membesar yang dikelilingi jaringan lemak (Dellman 1989).

Histopatologi yang sering terdapat pada timus unggas, diantaranya sistik, atropi, dan neoplasia. Sistik pada timus unggas jarang ditemukan sebagai lesi insidentil. Etiologi sistik tidak diketahui, namun sistik dapat terbentuk dari dilatasi saluran timofaringeal persisten. Pada sistik dapat teramati sel-sel epitel squamosa yang berlapis-lapis sehingga menjadi tebal dan material-material menyerupai koloid. Atropi dicirikan dengan hilangnya populasi limfosit dan hilangnya batas perbedaan antara medula dan korteks. Avian Influenza, virus Marek, serta beberapa virus penyebab IBD (Infectious Bursal Disease) dapat menimbulkan lesi yang serupa pada unggas. Stres akibat nutrisi dan paparan hormon kortison juga dapat menyebabkan atropi. Neoplasia pada timus dapat tumbuh dari sel-sel epitel atau limfosit. Tumor epitelial dapat diklasifikasikan sebagai thymoma sedangkan tumor limfosit diklasifikasikan sebagai lymphosarkoma. Massa tumor dapat terbentuk di semua bagian subkutis leher mulai dari mandibula sampai pangkal dada. Massa dapat berupa sistik dan hemoragi (Schmidt et al. 2003).


(24)

Gambar 3 Organ timus terdiri medula dan korteks yang dibungkus oleh kapsula. Setiap lobus timus dihubungkan oleh trabekula (sumber: Bellham 2011).

2.3.3 Limpa

Limpa bangsa burung berbentuk bulat, berstruktur merah kecoklatan yang berada di lambung bagian kanan. Perbedaan dengan limpa mamalia adalah dari struktur anatomi dan fungsinya. Limpa pada ayam memiliki kapsul jaringan ikat yang tebal dan kerangka yang tersusun atas sel retikular. Pulpa merah dan pulpa putih melapisi bagian limpa dengan jumlah yang sama. Pulpa mengisi 80-90% bagian limpa dan sisanya merupakan jaringan penghubung. Pulpa putih membaur dan tidak tampak jelas batas-batasnya. Pulpa putih terdiri dari sel limfoid yang berakumulasi di ujung cabang arteri limpa. Pulpa merah termasuk sinus venosus dan jaringan spons terdiri dari limfosit, sel retikular, makrofag, sel plasma, dan sel darah merah. Perbedaan pulpa merah dan pulpa putih pada ayam kurang jelas jika dibandingkan dengan mamalia. Fungsi dari limpa pada unggas adalah (a) memfagositosis sel darah merah oleh makrofag di pulpa merah, (b) limfositpoiesis di pulpa putih, dan (c) menyerap antigen serta memproduksi antibodi oleh sel limfoid di pulpa merah dan putih. Hal ini dapat dikatakan limpa sebagai gudang penyimpanan darah (Herenda 1996).

Davison et al. (2008) menyatakan setelah proses haematopoiesis selesai maka pulpa merah akan berubah fungsi menjadi penyaring sel-sel eritrosit yang mengalami penuaan. Pengamatan imunohistokimia menunjukkan matriks


(25)

ekstraseluler limpa sangat kompleks, dengan setiap bagian memiliki bagian spesifik yang berkontribusi dalam proses adhesi dan migrasi sel-sel leukosit. Sel limfoid dan sel non-limfoid dapat dikenali oleh pulpa merah. Terdapat banyak makrofag pada pulpa merah. Sedangkan sel-sel non-limfoid seperti heterofil tersebar di sinus pulpa merah. Sturkie (2000) berpendapat pulpa putih terdiri atas 3 daerah, yaitu PALS (periarteoral lymphatic sheath), pusat germinal, dan daerah periellipsoid white pulp (PWP). Arteri pusat yang masuk ke PWP menjadi penicilliform capillary (PC). Daerah PC dikelilingi capillary sleeve (CS). CS disulam oleh ellipsoid-associated cell (EAC) yang mengikat beragam substansi yang memasuki CS melalui stomata oleh sel endothelial dari daerah PC. Pada unggas daerah limpa terdiri dari CS yang diselaputi EAC beserta sel B dan makrofag.

Limpa memiliki reaksi dengan antigen. Antigen yang masuk secara intravena akan dijerat paling tidak sebagian, di dalam limpa yang diambil oleh makrofag baik yang terdapat di zona pembatas maupun yang membatasi sinusoid pulpa merah. Sel ini membawa antigen ke folikel primer dalam pulpa putih, setelah itu sel penghasil antibodi akan bermigrasi. Sel penghasil antibodi ini menempati zona pembatas dan pulpa merah, dan di daerah inilah produksi antibodi ini pertama kali ditemukan. Pembentukan pusat germinal juga terjadi dalam folikel primer dalam beberapa hari, walaupun hal ini tidak langsung berkaitan dengan produksi antibodi. Pada hewan yang sudah memiliki antibodi yang bersirkulasi, penjeratan antigen oleh sel dendrit dalam folikel sekunder menjadi penting. Seperti halnya pada tanggap kebal primer, sel penghasil antibodi berpindah dari folikel ini menuju ke pulpa merah dan zona pembatas, tempat sebagian besar produksi antibodi berlangsung, walaupun sebagian antibodi bisa juga diproduksi di dalam folikel sekunder yang hiperplastik (Tizard 1987).

Atropi dan pembesaran limpa sulit untuk dibedakan dengan ukuran normal organ. Atropi dapat disebabkan oleh beberapapa mekanisme seperti hemosiderosis, usia yang sudah tua, kelainan sekresi, dan kelanjutan dari kongesti. Kongesti pada limpa merupakan hal yang umum dan dapat terlihat adanya akumulasi darah yang berwarna gelap saat diinsisi. Penyebab yang paling sering adalah akibat ethanasia dengan barbituat. Kongesti juga dapat ditemukan pada


(26)

anemia hemolitik dengan eritrosit yang mengalami retensi dalam pulpa merah. Pembesaran limpa dengan berbagai alasan cenderung berakibat thrombosis dan infark. Adanya diskret pada nodul yang muncul saat permukaan limpa diinsisi merupakan indikasi dari hiperplasia limfoid benign nodular (Carlton dan McGavin 1995).

Menurut Schimidt et al. (2003) penyakit viral yang sering menyerang organ limpa unggas adalah Avian Polyomavirus, Herpesvirus, dan Avipoxvirus. Akibat agen ini, limpa unggas mengalami pembesaran atau splenomegali. Ayam merupakan reservoir terbesar Salmonella khususnya Salmonella thypimurium yang menyebabkan splenomegali dan infiltrasi limfosit, makrofag, dan heterofil. Penyakit degeneratif yang biasa menyerang limpa adalah amiloidosis. Hal ini disebabkan substansi protein yang bersifat patologis dan menjadi deposit di jaringan serta organ. Umumnya limpa akan tampak pucat dan padat jika diinsisi. Sedangkan karsinoma metastatik jarang ditemukan pada organ ini.

Gambar 4 Limpa ayam: (1) kapsula, (2) pulpa merah, (3) pulpa putih, (4) arteri, dan (5) nodul limfatik (sumber: Nassar 2008).

2.4 Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan bagian dari hormon steroid yang diproduksi di korteks adrenal. Kortikosteroid memiliki peran yang luas dalam sistem fisiologis seperti respon stres, respon imun, dan regulasi dalam proses inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, pengaturan level elektrolit darah


(27)

dan tingkah laku. Glukokortikoid dan mineralkortikoid merupakan jenis dari kortikosteroid. Glukokortikoid contohnya kortisol berfungsi untuk mengatur metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Selain itu, kortisol juga berperan sebagai anti inflamasi dengan mencegah pelepasan phospholipid, mengurangi kerja eosinofil dan beberapa mekanisme lainnya. Sedangkan mineralkortikoid contohnya aldosteron yang mengatur kadar air dengan menaikkan sodium di ginjal (Kansky et al. 2000).

Kansky juga mengungkapkan struktur dasar kortikosteroid terdiri dari 21 cincin atom-karbon sterol. Aktivitas dari kortikosteroid meningkat dengan adanya ikatan tak jenuh antara dua atom karbon pertama. Kortikosteroid yang pertama kali dibuat untuk kepentingan klinis tidak mengandung halogen. Halogenisasi dari struktur dasar steroid posisi 9 alpha tidak hanya dapat meningkatkan aktivitas tapi juga meningkatkan efek samping.

Menurut Suherman (1987) kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan yang responsif melalui membran plasma secara difusi pasif, kemudian bereaksi dengan reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sisntesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid.

Gambar 5 Konfigurasi dasar kortikosteroid (sumber: Kansky 2000)

Prednisone merupakan glukokortikoid sintetis yang memiliki kekuatan 4 kali lebih poten dibandingkan glukokortikoid alami yang diproduksi dalam tubuh. Tubuh yang terpapar stres akan menstimuli hipotalamus untuk memproduksi CRH (Corticotropin Realeasing Hormon). CRH akan memberi sinyal kepada pituitari


(28)

anterior untuk memproduksi ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal untuk menseksresikan hormon glukokortikoid. Glukokortikoid dalam tubuh diantaranya akan mempengaruhi organ hati, otot, lemak dan limfosit (Bowen 2006).

Glukokortikoid menyebabkan deplesi limfosit melalui mekanisme apoptosis (programme cell death). Prinsip dari mekanisme ini adalah reseptor glukokortikoid yang terdapat pada sitoplasma sel akan aktif saat menempel dengan ligan. Saat berikatan, dalam sel akan terjadi peristiwa beruntun yang melibatkan beberapa senyawa protein yang akhirnya akan menyebabkan sel mengalami apoptosis. Peristiwa ini disebut cascade. Reseptor yang berikatan dengan ligan akan menempuh 2 jalan, yakni genomik dan non-genomik. Genomik terjadi saat ikatan reseptor-ligan merangsang gen dalam sel untuk memproduksi senyawa pro-apoptosis yang kemudian akan bereaksi dalam membran mitokondria. Sitokrom akan keluar dari mitokondria dan mengaktivasi enzim caspase yang akan menginduksi apoptosis. Sedangkan jalur non-genomik terjadi tanpa ada rangsangan perubahan gen. Namun pada mekanisme ini diketahui terdapat protein Bcl-2 dan Bcl-xL yang merupakan senyawa anti-apoptosis yang dalam keadaan tertentu akan menghambat kerja protein pro-apoptosis (Schlossmaker et al. 2011).


(29)

2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya

Kortikosteroid merupakan derivat dari kolesterol, termasuk Prednisone, Prednisolone, dan Methylprednisolone. Agen inflamasi poten ini menimbulkan efek yang bervariasi yaitu mereduksi jumlah dan aktivitas dari sel-sel sistem imun. Senyawa kortikosteroid digunakan untuk terapi anti-inflamasi (Kuby 1992).

Suherman (1987) berpendapat bahwa penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi juga kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit nampak sudah sembuh tetapi infeksi di dalam dapat terus menjalar.

Salah satu indikasi klinis utama dari kortikosteroid adalah efek anti inflamasinya. Kortikosteroid memiliki kemampuan untuk memblok enzim phospolipase, yang menimbulkan reaksi pembentukan prostaglandin, mediator utama dari respon imun. Kortikosteroid juga menjaga sel dari trauma inflamasi dengan beberapa mekanisme, diantaranya menstabilkan membran sel untuk mencegah perombakan, menstabilkan membran lisosom sehingga tidak melepaskan enzim rasa sakit, menghentikan sintesis histamin, menghambat sintesis interleukin, dan mengurangi proses eksudasi (Wanamaker dan Massey 2004).

Efek samping lokal penggunaan kortikosteroid, antara lain atropi kulit, eritema persisten, teleangiektasia, papula, dan pustula, steroid acne, gluteal granuloma, hipertrichosis, perubahan pigmentasi, dan alergi. Sedangkan efek samping sistemiknya adalah ketidakseimbangan elektrolit, diabetes steroid, peningkatan katabolisme protein, hipertensi arteri, dan osteoporosis (Kansky 2000).

Terapi kortikosteroid menyebabkan menurunnya jumlah limfosit sebagai induksi dari lisisnya limfosit (lympholisis). Seperti hormon steroid lainnya, kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat menembus membran plasma dan


(30)

berikatan pada reseptor dalam sitosol. Kortikosteroid juga dapat mereduksi kemampuan makrofag dan netrofil untuk memfagositosis benda asing. Efek inilah yang memberikan kontribusi dalam aksi anti-inflamasi kortikosteroid. Selain itu, kortikosteroid juga mereduksi kemotaksis, hal inilah yang membuat beberapa sel inflamasi tertarik oleh aktivasi sel TH. Ekspresi dari molekul MHC II dan IL-1

yang diproduksi oleh makrofag otomatis juga akan tereduksi. Akhirnya kortikosteroid juga akan menstabilisasi membran lisosom dari leukosit, sehingga terjadi penurunan level dari enzim lisosom dilepaskan pada situs inflamasi (Kuby 1992).

Forbes dan Altman (1998) berpendapat bahwa pada unggas kortikosteroid dapat menjadi terapi untuk lesio polifolikuler. Lesi ini mengakibatkan pruritus. Pemberian kortikosteroid atau NSAID, agen inflamasi dapat menghilangkan pruritus. Sedangkan Tully (2000) berpendapat pemberian obat topikal pada unggas harus diwaspadai dan tidak boleh terlalu banyak pemberiannya. Obat ini dapat melekat di bulu dan akan termakan oleh unggas saat unggas melicinkan bulunya dengan paruh sehingga berdampak toksisitas. Kortikosteroid topikal perlu diwaspadai penggunaannya. Banyak dilaporkan terjadi kematian setelah penggunaan kortikosteroid.

Prednisolone, salah satu golongan kortikosteroid yang digunakan untuk penyakit rematik. Dosis rendah Prednisolone dapat menyebabkan kerusakan persendian. Efek paling serius paparan kortikostreoid adalah penekanan pitutari-adrenal. Kelenjar adrenal akan mengalami atropi lalu kehilangan kemampuan untuk memproduksi kortikosteroid alami. Tubuh tidak akan dapat bertahan menghadapi stres sehingga tubuh akan selalu berada di bawah cekaman. Anti-inflamasi kortikosteroid menurunkan fungsi imun. Respon infeksi akan meningkat seiring dengan berkurangnya jumlah limfosit. Berbagai infeksi seperti tuberkulosis akan mudah menyebar bahkan sebelum terdiagnosa (Thorp 2008).

2.4.2 Residu Hormon Steroid pada Manusia

Agen anabolik digunakan pada ternak untuk meningkatkan pertumbuhan. Terdapat dua macam steroid, yaitu steroid yang terdapat dan disintesis dalam tubuh (steroid endogenus) dan steroid yang berasal dari luar tubuh (steroid


(31)

eksogenus). Steroid eksogenus mengandung ester dari steroid endogenus, contohnya estradiol benzoat dan testosteron propionat. Senyawa-senyawa ini akan masuk ke tubuh manusia melalui makanan. Steroid yang terkonsumsi manusia memiliki kecenderungan akan menganggu produksi endokrin. Mengkonsumsi daging yang terpapar senyawa ini meningkatkan level hormon dalam tubuh manusia. Akumulasi steroid eksogenus dalam tubuh akan berselisih dengan steroid endogenus dalam 3 cara. Pertama, aktivitas biologis steroid eksogenus akan lebih kuat dibanding steroid endogenus. Kedua, steroid eksogenus dimetabolis secara berbeda, dan ketiga, steroid eksogenus akan memberikan efek berbeda dibanding steroid endogenus (Zeliger 2011).

Hormon steroid diberikan pada ayam dengan tujuan mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Selain itu hormon ini juga dapat meningkatkan massa otot ayam sebelum disembelih. Hal ini membantu peternak untuk meningkatkan keuntungan dan mempercepat panen ayam broiler tanpa mengeluarkan banyak biaya. Namun kandungan hormon steroid tersebut masih terdapat pada daging ayam bahkan setelah proses pemasakan, artinya saat mengkonsumsi, manusia akan terpapar oleh hormon ini dan menimbulkan efek negatif pada tubuh konsumen (Ankeny 2011).

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan Pasal 58 ayat 1 menyebutkan bahwa dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.

Akumulasi senyawa steroid dalam daging berpotensi menimbulkan efek yang buruk bagi manusia selaku konsumen. Efek yang ditimbulkan mencangkup gangguan pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas, seperti imunotoksisitas, genotoksisitas, dan karsinogenisitas (Addis et al. 1999). Menurut Gandhi dan Snedeker (2003) beberapa steroid sintetis, contohnya diethylstilbestrol (DES), ditemukan dapat meningkatkan resiko kanker vagina. Paparan hormon steroid yang berkepanjangan juga dapat meningkatkan resiko kanker payudara. Hormon steroid yang terdapat pada makanan dilaporkan menyebabkan pubertas yang lebih


(32)

cepat pada anak-anak perempuan. Sedangkan studi lain di Italia menunjukkan bahwa residu hormon steroid pada daging sapi dan ayam dinilai dapat menyebabkan pembesaran payudara baik pada anak perempuan maupun anak laki-laki.


(33)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Fasilitas Kandang Percobaan FKH IPB, Laboratorium Histopatologi, dan Laboratorium Photo, Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian berlangsung dari bulan September 2009 sampai dengan bulan Februari 2010.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. 30 ekor ayam broiler berumur 1 hari (DOC).

2. Bahan imunosupressan kortikosteroid yaitu Prednisone (3 mg/Kg BB) (Jamin 2011).

3. Vaksin Newcastle Disease (ND) strain La-Sota dan vaksin Gumboro (IBD) yang merupakan vaksin aktif

4. Vitamin, antibiotik, dan ransum dari produk komersil serta air yang diberikan secara ad libitum

5. Kebutuhan sanitasi kandang, diantaranya air bersih isi ulang, deterjen, insektisida, formalin 10%, dan enilconalone 15 % konsentrasi (150 g/L) sebagai fungisida.

6. Sekam

7. Bahan nekropsi dan pembuatan preparat histopatologi, yaitu larutan buffer netral formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, alkohol 95%, dan alkohol absolut), larutan penjernih (xylol), parafin granul histoplast dengan titik leleh 56-57 0C, pewarna Meyer’s Hematoksilin, Eosin dan lithium karbonat.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Alat pemeliharaan ayam seperti kandang, timbangan, dan syringe


(34)

3. Alat pembuatan preparat histopatologi Autotechnic Tissue Processor, mikrotom, paraffin embedding console, tissue cassette, waterbath, pisau mikrotom, gelas objek, gelas penutup, inkubator, spidol dan label.

4. Mikroskop cahaya untuk mengamati preparat histopatologi, digital eye piece camera beserta seperangkat komputer untuk mengambil gambar jaringan

5. Software Image J® for Microsoft Windows® untuk menghitung dan mengukur jaringan.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Tahap Persiapan Kandang

Langkah-langkah persiapan kandang sebelum dimulai penelitian, adalah: 1. Kandang disemprot dengan menggunakan air bersih dan dibersihkan dari

limbah ternak sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan sebanyak 2 kali agar kandang benar-benar bersih.

2. Kandang disemprot deterjen dan insektisida dengan komposisi 200 l air ditambah insektisida 500 ml dan 1 kg deterjen.

3. Kandang disemprot formalin 10% dengan komposisi 180 l air ditambah 20 l formalin teknis.

4. Pengapuran lantai dan dinding kandang selama 3-5 hari.

5. Sekam ditaburkan dengan ketebalan 7-12 cm kemudian disemprot fungisida enilconalone 15% dengan konsentrasi 150g/L untuk mencegah penyimpangan hasil penelitian akibat infeksi penyakit sebelum ayam dimasukkan.

3.3.2 Pengelompokan Ayam Penelitian

Hari pertama dilakukan penimbangan DOC dan ditempatkan pada kandang sesuai dengan pengelompokkannya. Hari ke-empat dilakukan vaksinasi ND pada DOC melalui tetes mata. Aklimatisasi dilakukan 7 hari sebelum ayam diberikan perlakuan. Ayam divaksin IBD pada hari ke-11 melalui tetes mata. Vaksinasi ND kembali dilakukan pada hari ke-19 melalui cekokan. Ayam broiler


(35)

diberikan pakan komersil dan minum secara ad libitum yang diganti setiap pagi dan sore hari.

Ayam broiler berjumlah 30 ekor dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol (CC0) dan kelompok perlakuan (CC2) yang diberikan Prednisone 3 mg/kg BB secara per oral (Jamin 2011) setiap hari mulai dari umur ayam 2 minggu. Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor ayam. Mulai dari umur 1 minggu sampai 6 minggu, sebanyak 3 ekor dari masing-masing kelompok dinekropsi setiap minggunya.

3.3.3 Nekropsi dan Pengumpulan Sampel Organ

Mulai dari minggu kedua sampai minggu keenam sebanyak 3 ekor ayam diambil dari kandang secara acak menurut kelompok per minggunya. Sebelum dinekropsi, ayam dikorbankan dengan cara disembelih. Nekropsi dilakukan untuk mengamati perubahan patologi (PA) dan mengambil organ untuk selanjutnya diamati secara histopatologi (HP). Organ yang diambil adalah timus, limpa, dan bursa Fabricius. Organ-organ tersebut dimasukkan ke dalam pot plastik yang berisi larutan BNF 10% dan diberi label. Setelah organ terfiksasi sempurna di dalam larutan BNF 10% selama 24 jam maka organ siap dijadikan preparat histopatologi.

3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ timus, limpa, dan bursa Fabricius yang telah difiksasi dalam larutan BNF 10% dipotong setebal 0.5 cm lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette kemudian direndam kembali ke dalam larutan BNF 10%. Proses selanjutnya adalah dehidrasi dengan cara merendam organ berturut-turut ke dalam alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I dan alkohol absolut II. Tahapan selanjutnya adalah clearing atau penjernihan dengan xylol kemudian organ direndam dalam paraffin I dan paraffin II. Proses tersebut berjalan secara otomatis dalam alat Sakura® tissue processor.

Tahap selanjutnya adalah meletakkan organ dalam alat pencetak blok paraffin kemudian diisi sedikit paraffin dengan bantuan paraffin embedding console. Letak organ diusahakan tepat berada di tengah blok paraffin. Paraffin


(36)

yang sudah mulai mengeras kembali ditambahkan paraffin cair hingga penuh dan dibiarkan sampai beku kemudian dilepaskan dari cetakan. Selanjutnya dilakukan pemotongan jaringan (sectioning) setebal 5µm dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan berupa pita (ribbon) kemudian diletakkan di atas permukaan air pada waterbath dengan suhu 45°C agar lipatan paraffin hilang. Sediaan diangkat dengan menggunakan object glass yang telah diberikan albumin agar organ merekat sempurna. Sediaan diletakkan dalam inkubator bersuhu 60°C selama satu malam.

Sediaan yang sudah berada dalam inkubator selama semalam selanjutnya dideparafinisasi dalam xylol sebanyak dua kali. Proses selanjutnya adalah rehidrasi dengan merendam sediaan dalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol absolut sampai dengan alkohol 80% yang lamanya masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan dibilas dengan air bersih lalu dikeringkan. Setelah kering maka sediaan siap memasuki proses pewarnaan. Sediaan organ timus, limpa dan bursa Fabricius dilakukan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).

Pewarnaan HE dimulai dengan merendam sediaan dalam Mayer’s

Haematoxylin selama delapan menit, sediaan dibersihkan dengan air mengalir selama 30 detik. Sediaan direndam dalam lithium karbonat selama 15-30 detik, dibersihkan kembali dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dalam larutan Eosin selama 2 menit lalu dibersihkan dengan air mengalir hingga akhirnya dikeringkan. Setelah kering, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% dan alkohol absolut I masing-masing sebanyak 10 kali, direndam dalam alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit. Sediaan ditutup dengan cover glass yang sudah diberikan perekat permount. Preparat didiamkan sampai perekat mengering.

3.3.5 Pengamatan Preparat Histopatologi

Pengamatan perubahan histopatologi atau respon organ limfoid dilakukan dengan cara:

1. Pengamatan mikroskopis untuk mengamati jumlah limfosit, jumlah folikel limfoid bursa Fabricius dan limpa, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius, serta luas timus terhadap pengaruh bahan imunosupresan kortikosteroid,


(37)

yaitu Prednisone 3 mg/Kg BB dan korelasinya dengan pertambahan umur ayam.

2. Pembuatan foto mikrograf digital eye piece camera terhadap perubahan histopatologi pada organ limfoid. Pengamatan pada foto dilakukan dengan luas 2909.09 x 2327.27 µm2.

3. Pengamatan dilakukan dengan menyesuaikan pembesaran okuler dan objektif. Hal ini dilakukan dengan cara seperti yang tercantum pada tabel 2 dibawah ini.

4. Perhitungan jumlah sel dan pengukuran organ dilakukan dengan menggunakan software Image J® for Microsoft Windows®.

Tabel 1 Parameter Penelitian

No Organ Pembesaran Objektif Objek Pengamatan

1 Timus 4x Luas Korteks

Luas Medula 40x

Luas Total Timus Jumlah Limfosit 2 Bursa Fabricius 4x Panjang Plika Bursa

Lebar Plika Bursa 10x Jumlah Folikel Limfoid 40x Jumlah Limfosit

3 Limpa 10x

40x

Jumlah Pulpa Putih Jumlah Limfosit

3.3.6 Pengolahan Data

Hasil data berupa jumlah limfosit bursa Fabricius, timus dan limpa, jumlah folikel limfoid limpa dan bursa Fabricius, panjang dan lebar plika bursa Fabricius, serta luas timus dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji T-student untuk melihat perbedaan nyata antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan kortikosteroid.


(38)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Organ limfoid primer unggas terdiri dari timus dan bursa Fabricius sedangkan pada mamalia terdiri dari sumsum tulang. Limpa, limfonodus dan MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue) termasuk dalam organ limfoid sekunder. Limfosit B mengalami pematangan di bursa Fabricius sedangkan limfosit T mengalami pendewasaan di timus. Limfosit dihasikan oleh organ limfoid primer segera memasuki peredaran darah lalu dikirim ke organ limfoid sekunder. Pada organ limfoid sekunder ini limfosit dijaga tetap hidup dan siap beradaptasi saat antigen datang (Elgert 2009).

Beberapa faktor diyakini dapat menghambat dan menurunkan sistem kekebalan tubuh. Saat sistem ini turun maka tubuh akan mudah terserang penyakit. Salah satunya adalah stres. Menurut Shini (2010) stres (sering digunakan untuk menyebut stresor atau respon stres) merupakan suatu kondisi tubuh dalam merespon infeksi akut maupun kronis. Stresor adalah faktor yang menimbulkan respon tersebut. Respon stres adalah mekanisme yang kompleks, dan mekanisme ini mempengaruhi perilaku, psikologis, metabolisme, dan reaksi imunologis tubuh demi beradaptasi dan bertahan pada lingkungan. Stresor yang digunakan dalam penelitian ini adalah kortikosteroid. Ayam broiler diberikan kortikosteroid untuk mengetahui status respon imun selama pertumbuhan.

4.1Perubahan Histopatologi pada Bursa Fabricius Akibat Pemberian Kortikosteroid

Ukuran bursa Fabricius dapat dijadikan sebagai indikator umur hewan. Bursa berukuran besar menandakan umur hewan masih muda sedangkan bursa yang mengalami atropi menandakan hewan sudah dewasa. Pembentukan bursa Fabricius dipengaruhi oleh hormon seks steroid yang dihasilkan oleh gonad (Broughton 2003). Pengaruh kortikosteroid terhadap bursa Fabricius tidak dapat dibedakan antara kelompok kontrol dengan perlakuan secara patologi anatomi, sehingga dilakukan pengamatan secara histopatologi. Pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius meliputi ukuran plika, jumlah folikel limfoid, dan limfosit.


(39)

Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius (µm) antara kelompok

kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).

Umur Ayam (minggu)

Tinggi Plika (µm) Lebar Plika (µm)

CC0 CC2 CC0 CC2

2 3025.87±1153.00a 2981.33±1074.40a 2214.40±332.89a 1376.20±321.90b 3 3235.74±630.36a 2238.11±339.51b 1680.00±272.55a 1216.00±292.42b 4 2961.81±958.61a 3623.33± 674.90a 1754.20±332.37a 1542.60±486.80a 5 3691.77±1276.00a 2961.44±705.56a 3691.77±1276.04a 1334.20±433.20b 6 2347.05±1476.00a 2788.78±990.14a 1528.50± 395.02a 1295.20± 295.00a

Keterangan: huruf superscript pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda

nyata (P<0.05).

Hail uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) antara tinggi plika kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan setelah diberikan kortikosteroid selama 3 minggu. Sedangkan penghitungan lebar plika terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada umur 2, 3, dan 5 minggu. Kortikosteroid dapat menekan perkembangan bursa Fabricius, sehingga plika memendek. Plika bursa Fabricius pada kelompok yang diberikan kortikosteroid (CC2) dari umur 2, 3, 4, 5, dan 6 minggu memiliki lebar yang lebih kecil daripada kelompok kontrol (CC0). Pada kelompok perlakuan (CC2) tampak lebar plika cenderung mengecil sejalan dengan waktu pemberian kortikosteroid. Namun tinggi plika kelompok perlakuan (CC2) pada umur 4 minggu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (CC0) yang menunjukkan terdapat respon yang variatif. Variasi respon pada tinggi dan lebar plika dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan ayam sehingga ayam tidak 100% seragam. Menurut Pastoret et al. (1998), faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ukuran bursa Fabricius diantaranya genetik, agen infeksius, nutrisi, lingkungan, dan reseptor hormon.

Bahan aktif dari Prednisone, yaitu steroid dapat mempengaruhi perkembangan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius. Berdasarkan hasil penelitian, steroid dapat menyebabkan imunosupresi yang ditunjukkan dengan mengecilnya ukuran plika bursa Fabricius kecuali pada kelompok ayam umur 5 minggu. Kelompok ayam umur 5 minggu yang diberikan kortikosteroid memiliki


(40)

plika yang lebih pendek daripada kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan faktor bobot badan yang tidak sama antar kelompok. Semakin besar bobot badan ayam maka semakin besar pula ukuran bursa Fabriciusnya. Selain itu faktor umur dapat mempengaruhi perkembangan bursa Fabricius. Bursa Fabricius pada ayam yang berumur 3 minggu mengalami perkembangan yang pesat, umur 4-8 bursa Fabricius dalam kondisi statis, dan umur ayam di atas 8 minggu perkembangannya menurun. Oleh karena itu, kortikosteroid tidak mempengaruhi tinggi plika bursa Fabricius. Penelitian yang dilakukan Glick pada tahun 1957 dalam Taylor dan McCorkle (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perkembangan bursa dengan level hormon. Pemberian baik kortikosteroid maupun hormon androgen dapat menyebabkan regresi bursa Fabricius.

Parameter lain yang diamati adalah penghitungan jumlah folikel limfoid besar dan limfoid kecil bursa Fabricius. Withers et al. (2006) menyatakan terdapat dua macam folikel yang terbentuk, yakni folikel besar dan kolikel kecil setelah terjadi infeksi IBDV (Infectious Bursal Disease Virus) pada ayam muda. Folikel kecil memiliki batas korteks dan medula yang belum jelas sedangkan folikel besar berperan aktif dalam proliferasi limfosit B. Hasil uji satistik T-student terhadap jumlah folikel limfoid dapat dilihat pada Tabel 3 dan jumlah folikel keseluruhan pada bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3 Perbandingan jumlah folikel limfoid besar dan kecil bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam satu plika).

Umur (minggu)

Jumlah Folikel Besar Jumlah Folikel Kecil

CC0 CC2 CC0 CC2

2 9.87±6.81a 11.67±5.52a 11.67±6.67a 18.70±10.37b

3 11.70±3.97a 11.30±4.15a 7.67±2.61a 11.33±4.70b

4 11.00±4.5a 9.53±3.31a 12.00±4.29a 19.10±7.87b

5 9.40±5.45a 7.80±2.18b 12.80±6.99a 19.73±15.74a

6 8.20±5.29a 9.00±2.73b 14.73±8.71a 12.73±7.38a

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) pada jumlah folikel limfoid besar kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada umur 5 dan 6 minggu. Kelompok ayam umur 2 dan 6 minggu memiliki jumlah folikel limfoid besar yang lebih banyak daripada kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Graczyk (2003) bahwa imunisasi pada ayam


(41)

yang disertai pemberian hormon steroid mengakibatkan peningkatan berat bursa Fabricius sebesar 50%. Hormon steroid dan imunisasi tersebut dapat merangsang pembentukan folikel limfoid sekunder (folikel besar). Kelompok kontrol ayam umur 5 dan 6 minggu menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kelompok perlakuan. Namun jumlah folikel limfoid besar pada kelompok ayam umur tersebut lebih banyak daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan pengaruh pada ayam umur 5 dan 6 minggu.

Penghitungan jumlah folikel limfoid besar menunjukkan hasil yang berbeda dengan jumlah folikel limfoid kecil. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) jumlah folikel limfoid kecil pada ayam kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan umur 2, 3, dan 4 minggu. Sedangkan ayam umur 5 dan 6 minggu tidak memiliki perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuannya. Ayam umur 2, 3, dan 4 minggu kelompok perlakuan memiliki folikel limfoid kecil lebih banyak daripada kelompok perlakuan. Perkembangan folikel limfoid bursa Fabricius dimulai pada saat embrio memasuki umur 10 hari. Prekursor limfosit memasuki jaringan epitel lalu menembus membran yang kemudian akan berploriferasi di medula lalu memasuki korteks. Kumpulan prekursor limfosit tersebut membentuk folikel limfoid primer (kecil). Folikel limfoid ini akan terus tumbuh dan berkembang sampai ayam mencapai pertumbuhan optimum pada umur 7-13 minggu, yakni saat ayam mencapai dewasa kelamin (Klein dan Horejsi 1997). Jumlah folikel limfoid kecil kelompok kontrol yang lebih besar daripada kelompok perlakuan dapat mengindikasikan bahwa kortikosteroid tidak mempengaruhi jumlah folikel limfoid kecil pada ayam umur 2, 3, dan 4 minggu. Hal ini disebabkan pertumbuhan folikel limfoid saat umur tersebut dalam kondisi optimum.

Folikel primer (kecil) akan terus berkembang menjadi folikel limfoid sekunder (besar) untuk respon imun humoral. Status respon imun humoral dapat diketahui melalui penghitungan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius. Hasil uji statistik terhadap jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 5. Kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05) tetapi jumlah folikel keseluruhan kelompok perlakuan cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol.


(42)

Pemberian imunisasi (vaksin IBDV) saat umur ayam 11 hari menyebabkan timbulnya respon imun dari folikel limfoid primer yang semakin aktif untuk berubah menjadi folikel sekunder. Selain itu karena adanya pengaruh kortikosteroid yang dapat merangsang pembentukan folikel limfoid sekunder mengakibatkan jumlah folikel limfoid keseluruhan pada kelompok perlakuan lebih banyak daripada kelompok kontrol. Pemberian kortikosteroid pada ayam mengakibatkan peningkatan berat bursa Fabricius sebesar 50% (Graczyk 2003). Namun kelompok perlakuan (CC2) ayam umur 6 minggu jumlah folikel limfoid keseluruhan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol (CC0) karena pada ayam umur ini secara alami perkembangannya mulai menurun (Taylor dan McCorkle 2009).

Tabel 4 Perbandingan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius antara kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan(CC2) (dalam satu plika).

Umur (minggu) CC0 CC2

2 21.50±12.66a 30.33±14.55a

3 19.40±5.10a 22.60±6.35a

4 23.00±80a 28.60±8.07a

5 22.40±11.10a 27.50±14.53a

6 22.93±12.82a 21.73±8.25a

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Folikel limfoid primer ditemukan pada DOC namun folikel limfoid sekunder baru dapat dilihat pada ayam berumur 7 hari. Jumlah minimal folikel limfoid keseluruhan yang dapat ditemukan pada saat ayam baru menetas adalah 205±10.8 dan jumlah maksimal pada umur 17 minggu adalah 535±21.15 (Albogoghobeish 2003). Jumlah folikel limfoid keseluruhan pada bursa Fabricius dalam penelitian baik kelompok kontrol (CC0) maupun perlakuan (CC2) umur 2,

3, 4, 5, dan 6 minggu berkisar 194−303 folikel. Jumlah ini masih normal dalam

perkembangan bursa Fabricius pada ayam umur 2. 3, 4, 5, dan 6 minggu.

Gambar 7 menunjukkan bahwa pengaruh pemberian kortikosteroid terhadap panjang dan lebar plika pada kelompok kontrol (A) tidak terlalu terlihat perbedaannya dengan kelompok perlakuan (B) jika diamati pada pembesaran objektif 4x. Perbedaan bursa Fabricius secara histopatologi baru dapat terlihat pada pembesaran objektif 10x melalui penghitungan jumlah folikel limfoid


(43)

keseluruhan. Jumlah follikel limfoid keseluruhan kelompok perlakuan (D) cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol (C). Plika bursa yang diamati dengan perbesaran objektif 10x pada kelompok kontrol (C) menunjukkan jaringan muskularis yang lebih padat dibandingkan plika bursa kelompok perlakuan (D). Gambar histopatologi kelompok perlakuan (D) menunjukkan adanya edema atau akumulasi cairan pada jaringan interlobulernya sehingga membuat kepadatan jaringan intertisium bursa Fabricius berkurang.

Gambar 7 Gambaran histopatologi bursa Fabricius umur 4 minggu perbesaran 4x pada kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE dilakukan pengukuran panjang dan lebar plika (P). Perhitungan jumlah folikel limfoid (FL) pada kontrol (C) dan perlakuan (D) dilakukan dengan perbesaran 10x. Edema (E) tampak pada kelompok perlakuan.

Parameter lain yang dapat diamati dari organ bursa Fabricius adalah jumlah limfosit. Limfosit B dihasilkan dan mengalami pematangan dalam folikel limfoid bursa Fabricius. Limfosit B berproliferasi di bagian korteks folikel limfoid. Limfosit B muda akan bermigrasi ke medula jika mendeteksi adanya antigen. Adanya antigen akan memicu pembentukan, pendewasaan limfosit B, dan

P

FL FL

E

A

B

C

D

0.5 mm


(44)

produksi imunoglobulin (Williams 2011). Menurut Cheville (2006), edema merupakan akumulasi cairan di jaringan intertisial. Edema disebabkan 2 mekanisme, yaitu meningkatnya tekanan hidrostatis dalam darah atau menurunnya tekanan osmotik koloid dalam plasma darah. Edema biasanya ditemukan pada peradangan yang disertai meningkatnya jumlah sel radang dan kerusakan jaringan. Edema akibat proses homeostasis tubuh tidak disertai sel-sel radang dan kerusakan jaringan. Glukokortikoid dalam tubuh menyebabkan ekstravasasi cairan ke jaringan intertisial, sedangkan mineralkortikoid menyebabkan retensi cairan. Akumulasi cairan atau edema dapat terjadi akibat kerja hormon tersebut. Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).

Umur

(minggu) CC0 CC2

2 1164.30±148.95a 1111.20±163.11a

3 1058.80±132.54a 729.80±112.33b

4 1125.40±187.05a 762.80±159.96b

5 1403.90±213.56a 888.30±103.41b

6 1431.70±141.52a 903.10±178.25b

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol berbeda nyata (P<0.05) dengan kelompok perlakuan saat ayam berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Saat ayam umur 2 minggu kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05) namun kelompok kontrol tetap memiliki jumlah limfosit yang lebih banyak daripada kelompok perlakuan sama seperti ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Limfosit B sangat dibutuhkan sebagai mekanisme pertahanan tubuh ayam usia muda karena ayam usia muda sangat rentan terhadap agen penyakit. Rendahnya jumlah limfosit B mengakibatkan antibodi tidak dapat diproduksi secara optimum. Steroid dapat menghambat perkembangan dan pendewasaan limfosit B (Male et al. 2006).

Mekanisme penghambatan pembentukan dan fungsi limfosit B oleh kortikosteroid yakni dengan cara menghambat tahap awal pematangan limfosit B.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Addis P, Thomas B, Crooker B. 1999. Generic Enviromental Impact Statement on Animal Agriculture: A Summary of the Literature Related to the Effects of Animal Agriculture on Human Health. [terhubung berkala]. http://www.eqb.state.mn.us/geis/ LS_Humanhealth.pdf [9 November 2011]. Alboghobeish N, Mayahi M. 2003. Developmental Study of Lymphoid Tissue of

Bursa Fabricius in Lokal Chicken. The 11th International Syposiom of the World Association of Veterinary Laboratory Diagnostticians and OIE Seminar on Biotechnology in Bangkok, Thailand. hlm 20.

Anderson G, Jenkinson EJ 2008. Bringing the Timus to the Bench. The J Immunology 181(11):7435-7436.

Ankeny S. 2011. What Kinds of Harmful Chemicals Do They Feed Chickens. [terhubung berkala]. http://www.ehow.com/info_8474758_kinds-chemicals-do-feed-chickens.html [9 November 2011].

Appleby MC, Mench JA, Hughes BO. 2004. Poultry Behaviour and Welfare. London: CABI Publishing. hlm 178.

Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology: with clinical correlates. London: Manson Publishing. hlm 247.

Bellham S. 2011. Key Histology Features: Timus. [terhubung berkala]. http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/histology/timus.gif [8 Maret 2012].

Broughton JM. 2003. Size of the Bursa of Fabricius In Relation to Gonad Size and Age In Laysan and Black-Footed Albatrosses. The Condor (96):203-207. Bloom, Fawcett DW. 2002. A Textbook of Histology 12th edition. New York:

Chapman and Hall. hlm 385.

Bowen R. 2006. Glucocorticoid. [terhubung berkala]. http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/endocrine/adrenal/gluco.html [25 Maret 2012].

Careem MF, Hunter DB, Lambourne MD, Barta J, Sharif S. 2007. Ontogeny of Cytokine Gene Expression in the Chicken Spleen. Poultry Sci (86): 1351-1355.

Carlton WG, McGavin DM. 1995. Thompson’s Special Veterinary Pathology. St. Louis: Mosby. hlm 114.

Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology Third Edition. Oxford: Blackwell Publishing. hlm: 147.


(2)

Cross GM. 1987. Proceeding of Workshop on Avian Histopathology. Aus. Vet. Poultry Association. hlm 123.

Davison F, Kaspers B, Schat KA. 2008. Avian Immunology. London: Elsevier. hlm 13.

Davison TF. 2003. The Immunologist’s Debt to the Chicken. British Poultry Sci

(44): 6–2.

Dellman B. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah Hartono R. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. hlm 88.

Dhabhar FS. 2008. Enhancing versus Suppressive Effects of Stres on Immune Function: Implications for Immunoprotection versus Immunopathology. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology 4(1):2-11.

Doneley B, Doneley R. 2010. Avian Medicine and Surgery in Practice: Companion and Aviary Birds. Manson Publishing: Barcelona. hlm 336. Dyce, Sack, Wensing. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. Pennsylvania:

Saunders. hlm 74.

Elgert KD. 2009. Immunology: Understanding The Immunology System. New Jersey: Wiley-Blacwell. hlm 44.

Elmore SA. 2006. Enhanced Histopathology of The Timus. Toxicol Pathol 34(5): 656-665.

Franchini A, Marchesini E, Ottaviani E. 2004. Corticosterone 21-acetate In Vivo Induces Acute Stres in Chicken Timus Cell Proliferation, Apoptosis and Cytokine Responses. Hitol Hispathol (19): 693-699.

Freeman, B. M. 1971. The Corpuscles and the Physical Characteristic of Blood. in: Phisiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Vol. 2. pp. 841-850. D. J Bell and B. M. Freeman, eds. Academic Press INC, London

Forbes NA, Altman RB. 1998. Self Assessment Colour Review of Avian Medicine. Barcelona: Manson Publishing Ltd. hlm: 34.

Gandhi R, Snedeker SM. 2003. Consumer Concerns About Hormons in Food. [terhubung berkala]. http://envirocancer.cornell.edu/Factsheet/Diet/fs37. hormons.cfm [9 November 2011].

Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of Domestic AnimalsI. 5th Edition. Philadelphia: W.B Saunders Company. hlm 181.


(3)

Glick B. 1956. Normal Growth of The Bursa of Fabricius. Di dalam: Taylor RL, McCorkle FM. 2009. A Landmark Contribution to Poultry Science-Immunological Function of The Bursa Fabricius. Poultry Science 88(4): 816-823.

Glick B. 2000. Immunophysiology. Sturkieís Avian Physiology. Editor : G.C. Whittow. Fifth Edition. London: Academic Press. hlm 658-659.

Graczyk S, Kuryszko J, Madej J. 2003. Reactivity of Spleen Germinal Centres in Immunized and ACTH-treated Chickens. Acta Vet (72): 523-531.

Guyton AC, Hall EJ 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.ed ke-9. Setawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Hlm 1103-1106.

Hadipour MM, Farjadian SH, Azad F, Kamravan M, Dehghan A. 2011. Nepropathogenicity of H9N2 Avian Influenza Virus in Commercial Broiler Chicken Following Intratracheal Inoculation. J Animal and Veterinary Advances 10(13): 1706-1710.

Hammond, WS. 2005. Origin of Timus in the Chick Embryo. J Morphology. Volume 95(3):501-521.

Harmanto N, Subroto MA. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm 41-42.

Herenda DC, Franco DA. 1996. Poultry Disease and Meat Hygiene: A Color Atlas. Iowa: University Press. hlm 32.

Jamin F. 2011. Kajian patologi imunosupresi akibat pemberian kortikostreoid dan infeksi Candida Albicans pada ayam broiler. [Tesis] Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Jordan FTW. 1994. Poultry Disease. London: Baillere Tindall. hlm 418.

Kansky A, Podrumac B, Godic A. 2000. Nonflourinated Corticosteroid Topical Preparations in Children. ACTA 9(2):20-24.

Kansky A, Podrumac B, Godic A. 2000. Nonflourinated Corticosteroid Topical Preparations in Children. [terhubung berkala]. http://ibmi.mf.uni-lJsi/acta-apa/acta-apa-00-2/kansky.html [4 Oktober 2011].

Klein J, Horejsi V. 1997. Immunology Second Edition. UK: Blackwell Science. Kong FK, Chen CL, Cooper MD. 2002. Reversible Disruption of Thymic

Function by Steroid Treatment. The J Immunology 168(12):6500-6505. Kuby J. 1997. Immunology. New York: WH Freeman. hlm 376.


(4)

Lechner O, Dietriech H, Wiegers GJ, Vacchio M, Wick G. 2001. Glucocorticoid Production in the Chicken Bursa and Timus. International Immunology 13(6): 769-776.

Leeson S, Summers JD. 2000. Broiler Breeder Production. London: Nottingham University Press. hlm 67-77.

Luzicoza EM, Evimova OA. 2009. Reaction of Bcl-2 Positive Splenic Cells to Glucocoticoids. Bul Exp Bio and Med 147(2): 257-261.

Male DK, Brostoff J, Roitt IM. 2006. Immunology. Canada: Mosby. hlm: 312. Marangon S, Busani L. 2006. The Use of Vaccination in Poultry Production. Rev.

sci. tech. Off. int. Epiz. Volume 26 (1): 265-274.

Mebius RE, Kraal G. 2005. Structure and Function of The Spleen. [Review] Nature Publishing Group. hlm 606-616.

Mountney G. 1978. Poultry Products Technology. Connecticut: The Avi Publishing Company. hlm 4.

Nassar P. 2008. Avian Bursa Fabricius (25x) - Slide C40: Bursa of Fabricius.[terhubung berkala]. http://cal.vet.upenn.edu/projects/histo/ Lab8lymphatics/Lab8hsc30avspleen2x.htm [24 Oktober 2011].

Nassar P. 2008. Avian Spleen (100x) - Slide C28: Avian Spleen.[terhubung berkala].http://cal.vet.upenn.edu/projects/histo/Lab8lymphatics/Lab8hsc28av spleen10x.htm [24 Oktober 2011].

North MO, Weaver WD, Bell DD. 1990. Commercial chicken production manual. New York: AVI Publishing Inc. hlm 460.

Pastoret PP, Griebel P, Bazin H, Govaerts A. 1998. Handbook of Vertebrate Immunology. California: Academic Press. hlm: 104.

Purba D. 2011. Harga Daging Ayam Broiler Merangkak Naik. [terhubung berkala]. http://obrolanbisnis.com/harga-daging-ayam-broiler-merangkak-naik [4 Oktober 2011].

Rasyaf M. 2008. Panduan Beternak Ayam Broiler. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 8.

Riddel C. 1987. Avian Histopathology. American Association of Avian Pathologist University of Pennsylvania, New Boston Center Pennsylvania. hlm 8-14.


(5)

Rose SP. 1997. Principles of Poultry Science. Wellington: CAB International. hlm 34.

Sagiyama K, Tsuchida M, Kawamura H, Wang S, Li C, Bai X, Nagura T, Nozoe S, Abo T. 2004. Age-related Bias in Function of Natural Killer T Cells and Granulocytes After Stres: Reciprocal Association of Steroid Hormons and Sympathetic Nerves. Clinical and Exprimental Immunology 135(10):56–63.

Sanford EE, Orr M, Balfanz E, Bowerman N, Li X, Zhou H, Johnson TJ, Kariyawasam S, Liu S, Nolan LK. 2011. Spleen Transcriptome Response to Infection With Avian Pathogenic Escherichia Coli in Broiler Chicken. BMC Genomics 12(469): 1-13.

Schalm OW, Feldman BF, Zinkl JG, Jain NC. 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. Lipincott: Wiley. hlm 344.

Schmidt RE, Reavill DR, PHlmen DN. 2003. Pathology of Pet and Aviary Birds. Iowa: Blacwell Publishing. hlm 133-140.

Schlossmacher G, Stevens A, White A. 2011. Glucocorticoid Receptor Mediated Apoptosis: Mechanisms of Resistance in Cancer Cells. J Endocrinol 211(10): 17-25.

Schultz RD. 1999. Veterinary Vaccines and Diangnostics. London: Academic Press. hlm 488.

Shi Y, Devadas S, Greeneltch KM, Yin D, Mufson RA, Zhou J. 2003. Stresed to Death: Implication of Lymphocyte Apoptosis For Psychoneuroimmunology. Brain, Behaviour, and Immunity 17(2):18-26.

Shini S, Huff GR, Shini A, Kaise P. 2010. Understanding Stres-Induced Immunosuppression: Exploration of Cytokine. Poultry Sci 89(10): 841-851. Sturkie PD, Whittow GC. 2000. Stukie’s Avian Physiology. London: Academic

Press. hlm 660.

Sudaryani T, Santosa H. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 21.

Suherman. 1972. Farmakologi dan Terapi edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm 112.

Taylor RL, McCorkle FM. 2009. A Landmark Contribution to Poultry Science-Immunological Function of The Bursa Fabricius. Poultry Science 88(4):816-823.


(6)

Thorp CM. 2008. Pharmacolgy for the Help Health Care Professions. West Sussex : Blackwell Publishing. hlm 119.

Tizard Ian. 1987. Veterinary Immunology an Introduction Third Edition. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm 59.

Tully TN, Lawton MPC, Dorrestein GM. 2000. Avian Medicine. Edinburgh: Elsevier Science. hlm 93.

Wannamaker BP, Massey K. 2004. Applied Pharmacology for Vetenerian Technicians. Missouri: Saunders Elsevier.

Wei XL, Zhou JN, Shi YF. 2003. Lymphocyte reduction induced by hindlimb unloading: distinct mechanisms in the spleen and timus. Cell Research 13(6):465-471.

Williams AE. 2011. Immunology : Mucosal and Body Surface Defences. West Sussex: Wiley Blacwell. hlm 114.

Wissman, MA. 2006. Avian Medicine A-Z. [terhubung berkala]. http://www.exoticpetvet.net/avian/avianmeds.html [22 Oktober 2011].

Withers DR, Davison TF, Young JR. 2006. Diversified Bursal Medulary B Cells Survive and Expand Independently After Depletion Following Neonatal Infectious Bursal Disease Virus Infection. Immunology 117(4):558-565. Woodland DL, Kohlmeier JE. 2009. Migration, maintenance and recall of

memory T cells in peripheral tissues. Nature Reviews Immunology (9):153-161.

Zeliger H. 2011. Human Toxicology of Chemicals Mixtures. Oxford: Elsevier. hlm 109.

Zimmerman J, Korricker L, Ramirez A. 2012. Disease of Swine 10th Edition. Oxford: Wiley-Blacwell. hlm 247.