Disparitas Pembangunan Wilayah di Indonesia

16 6 Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Wilayah. Ketidaklancaran perdagangan antar wilayah disebabkan terutama oleh kurang memadainya infrastruktur, khususnya keterbatasan transportasi dan komunikasi. Faktor infrastruktur juga sangat berpengaruh pada kinerja perdagangan luar negeri ekspor-impor.

2.4. Disparitas Pembangunan Wilayah di Indonesia

Disparitas Pembangunan pada saat ini masih banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Rustiadi et al. 2009 menunjukan bahwa berdasarkan indeks Williamson, Indonesia masih memiliki disparitas antar wilayah yang tinggi dengan indeks disparitas sebesar 1,56. Tabel 2. Hal ini dapat dimengerti karena dari segi geografis, Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan tingkat keragaman antar wilayah. Setiap daerah dikaruniai sumberdaya yang berbeda, ada yang berlimpah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun buatan sedangkan ada daerah yang kurang sekali sumberdayanya. Kawasan Barat Indonesia KBI memiliki indeks disparitas 1,27 dengan migas dan 1,23 tanpa migas. Karakteristik wilayah dan sosial budaya masyarakat di KBI memang tak terlalu beragam antar daerah sehingga disparitas antar wilayah tidak terlalu tinggi. Beberapa daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah seperti Aceh dengan minyak dan gas bumi, Riau dengan minyak dan gas bumi, serta barang tambang lainnya dan hasil hutan. Disamping itu secara umum KBI memiliki tanah yang subur, yang cocok untuk pertanian atau perkebunan karena di wilayah ini banyak gunung berapi. Keadaan ini membuat pertanian serta kegiatan ekonomi secara luas lebih maju di KBI. Indeks disparitas di Kawasan Timur Indonesia mencapai 3,20 dengan migas atau 4,26 tanpa migas. Angka ini lebih tinggi dibanding KBI karena tingkat keragaman geografis dan sosial budaya masyarakat antar daerah di KTI juga lebih tinggi. Ada beberapa daerah yang berlimpah sumberdaya alam seperti Kalimantan dan Irian, sedangkan daerah di sekitarnya kurang. Daerah-daerah yang cocok untuk pertanian dan perkebunan yang intensif seperti di Sulawesi, sedangkan sebagian NTT dan NTB memiliki iklim dan tanah yang kering sehingga tidak cocok untuk pertanian. Kalimantan Timur dan Papua memiliki daerah-daerah 17 yang kaya sumberdaya alam seperti minyak, barang tambang dan hasil hutan. Karakteristik sosial budaya masyarakat di masing-masing pulau sangat beragam sehingga tingkat kemajuan yang dicapai antar wilayah juga berbeda. Tabel 2. Tingkat disparitas antar provinsi, pulau, kawasan dan nasional tahun 2000 berdasarkan Indeks Williamson Provinsi IW Provinsi IW Migas Non- Migas Migas Non- Migas 1. NAD 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bangka Belitung 8. Bengkulu 9. Lampung SUMATERA 10. DKI 11. Jawa Barat 12. Banten 13. Jawa Tengah 14. DI Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Bali JAWA BALI 3,56 0,31 0,44 0,84 0,33 0,42 0,10 0,37 0,34 1,50 0,51 0,81 0,79 0,67 0,40 1,38 0,39 1,18 2,39 0,34 0,44 0,26 0,26 0,37 0,10 0,37 0,36 0,73 0,51 0,83 0,79 0,70 0,43 1,61 0,39 1,31 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur KALIMANTAN 21. Sulawesi Utara 22. Gorontalo 23. Sulawesi Tengah 24. Sulawesi Selatan 25. Sulawesi Tenggara SULAWESI 26. NTB 27. NTT 28. Maluku 29. Maluku Utara 30. Papua LAINNYA 0,46 0,24 0,33 1,76 2,53 0,25 0,31 0,20 0,48 0,43 0,43 0,81 0,27 0,67 0,15 3,85 4,78 0,46 0,24 0,31 0,42 0,58 0,25 0,31 0,20 0,48 0,43 0,43 0,81 0,27 0,67 0,02 4,15 4,94 KBI 1,27 1,23 KTI 3,20 4,26 Indonesia 1,56 1,53 Sumber : Abel 2006 Secara deskriptif kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan dengan perbandingan secara langsung antara proporsi penduduk, luas wilayah dengan proporsi kontribusi wilayah terhadap PDRB secara keseluruhan PDRB Nasional. Tabel 3 memperlihatkan deskripsi pembangunan Kawasan Barat Indonesia KBI dan Kawasan Timur Indonesia KTI diperbandingkan. Dalam Tabel 2 terdeskripsikan bahwa di tahun 2002, KTI yang meliputi 74,2 wilayah 18 nasional, hanya dihuni 18,7 penduduk dan hanya menghasilkan 17,4 PDRB Nasional. Tabel 3. Persentase penduduk, luas wilayah dan PDRB pulau-pulau di KBI dan KTI tahun 2000 dan 2002 KawasanPulau Luas Wilayah Penduduk PDRB 2000 2002 2000 2002 KBI 35,79 81,50 81,32 82,62 82,60 Jawa 10,89 61,45 58,65 59,99 60,07 Sumatera 24,62 20,92 21,15 21,27 21,09 Bali 0,28 1,55 1,52 1,37 1,43 KTI 64,21 18,50 18,68 17,38 17,40 Kalimantan 27,73 5,56 5,58 9,58 9,48 Sulawesi 7,36 7,30 7,27 4,20 4,49 Nusa Tenggara 15,16 2,89 3,82 2,30 1,59 Papua 21,30 0,94 0,90 1,72 1,50 Maluku 4,42 0,93 1,11 0,37 0,35 Sumber : Rustiadi et al 2009 2.5 Tinjauan Penelitian-Penelitian Terdahulu tentang Disparitas Antar Wilayah Williamson 1966 melakukan penelitian tentang disparitas antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan disparitas pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping pola dan faktor penentu disparitas, Williamson juga mengamati proses terjadinya disparitas. Penelitian dan pengkajian tentang pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada disparitas ekonomi antar wilayah juga banyak dilakukan di Indonesia diantaranya oleh Sjafrizal 1997 serta Welly dan Waluyo 2000 dengan menggunakan data PDRB tanpa migas tahun 1983-1997 menunjukkan indeks ketimpangan bergerak dari 0,49 – 0,54. Indeks ketimpangan Indonesia jika dibandingkan dengan kelompok negara maju 0,49-0,54 dan berpendapatan menengah 0,46 akan berada di atas rata-rata. 19 Akita dan Alisjahbana 2002 dalam penelitiannya mengukur disparitas antar wilayah di Indonesia dengan menggunakan indeks Theil. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa selama periode tahun 1993-1997, terjadi peningkatan disparitas pendapatan regional yang cukup signifikan dari 0,262 menjadi 0,287 dimana sumber disparitas yang paling besar disumbangkan di dalam provinsi sekitar 50. Sedangkan pada tahun 1998, indeks Theil mengalami penurunan, dimana 75 dari penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya disparitas antar provinsi. Penelitian yang dilakukan oleh Giannetti dan Mariassunta 2002 menyatakan bahwa daerah-daerah khusus dengan sektor canggih pada awal periode sampel memiliki pendapatan perkapita yang lebih serupa, sementara daerah-daerah khusus dengan sektor-sektor tradisional tertinggal. Qing dan Kaiyuen 2005 menyatakan hasil empiris menunjukkan bahwa di antara semua faktor signifikan secara statistik, PDB per kapita dan dikotomi desa-kota adalah dua variabel yang paling penting yang mempengaruhi kesenjangan fiskal, dengan kontribusi total 60. Faktor-faktor yang relatif penting lainnya adalah struktur ekonomi dan kepadatan penduduk. Epifani dan Garcia 2005 menyatakan secara khusus migrasi dari pinggiran ke inti dapat mengurangi kesenjangan pengangguran dalam jangka pendek, tetapi memperburuk keadaan dalam jangka panjang. Chen dan Groenewold 2010 menganalisis efektivitas dari berbagai kebijakan oleh pemerintah daerah dan pusat dalam mengatasi disparitas, dan menemukan bahwa kebijakan pengurangan biaya migrasi internal efektif dalam mengurangi kesenjangan output per kapita. Kebijakan peningkatan produktivitas pertanian di wilayah pedalaman paling mungkin untuk mengurangi kedua kesenjangan. Fan et al. 2011 mempertimbangkan tiga unsur strategi dalam mengatatasi kesenjangan jangka panjang, yaitu infrastruktur, investasi sosial dan perlindungan, dan reformasi tata pemerintahan. Goletsis dan Chletsos 2011 mengidentifikasi kesenjangan regional dan pola pertumbuhan daerah merupakan faktor penting yang mempengaruhi perumusan kebijakan. Indikator tunggal, biasanya PDB berbasis, pendekatan telah mengungkapkan kekurangan yang signifikan. 20

III. METODE PENELITIAN