Disparitas Pembangunan Antar Wilayah

10 Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang balanced development. Isu pembangunan daerah yang berimbang menurut Murty 2000 tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah equally developed, juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keseragaman pola dan struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar setiap daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap daerah yang jelas- jelas beragam.

2.2. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah

Menurut Chaniago et al. 2000 disparitas diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Apabila dihubungkan dengan pembangunan sektoral atau wilayah, disparitas pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Disparitas pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain. Disparitas antar wilayah sangat terkait dengan distribusi pendapatan. Iskandar 1993 menjelaskan betapa pentingnya pemerataan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan oleh adanya peningkatan pendapatan dan perubahan distribusi pendapatan. Tetapi peningkatan pendapatan tidak akan banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sedangkan peningkatan pendapatan dalam arti meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nyata. Terjadinya disparitas regional dipicu oleh adanya perbedaan faktor anugerah awal endowment factor. Disparitas mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di 11 berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di pelbagai wilayah tersebut Sukirno, 1976. Menurut Myrdal 1957 perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah akan mengakibatkan pengaruh yang merugikan backwash effects mendominasi pengaruh yang menguntungkan spread effects yang dalam hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat, bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar wilayah atau disparitas regional Arsyad, 1999. Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman 1968 bahwa terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya disparitas pendapatan antar daerah. Disparitas pembangunan antar wilayah merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya. Menurut Anwar 2005, disparitas pembangunan baik dalam aspek antar kelompok masyarakat maupun menurut aspek spasial antar wilayah merupakan masalah pembangunan antar-wilayah yang tidak merata dan harus memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Terlebih lagi dalam negara berkembang seperti Indonesia, yang mempunyai struktur sosial dan kekuasaan power yang mengandung perbedaan tajam, akibat dari sisa-sisa penjajahan, sehingga strategi pembangunan semestinya diarahkan kepada peningkatan efisiensi ekonomi yang menyumbang kepada pertumbuhan yang sejalan dengan pemerataannya equity. Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah-masalah sosial politik. Hampir di semua negara, kebijakan-kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparitas antar wilayah. Namun pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, strategi pembangunan masa lalu yang terlalu menekankan efisiensi dan mengabaikan distribusi pemerataan ekonomi, telah melahirkan banyak kesenjangan dalam kehidupan masyarakat yang semakin melebar. Anwar 2005 juga menyebutkan bahwa dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini cenderung hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi makro dan menekankan 12 kepada kapital fisik ternyata pada sisi lain telah menimbulkan masalah ketimpangan pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Ditambah dengan terjadinya ”penyakit” dari penentu kebijakan yang urban bias, menyebabkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di kawasan metropolitan- megapolitan yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Disparitas pembangunan pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antarwilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash, yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju ke pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan- kawasan pusat pertumbuhan Rustiadi et al., 2009. Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pertumbuhan selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah hinterland. Akhirnya keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk ke kota-kota, sehingga timbul berbagai ”penyakit urbanisasi” yang luar biasa di perkotaan Anwar, 2005. Ketidakseimbangan pembangunan inter-regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub-optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembangunan agregat makro dari adanya interaksi pembangunan inter regional yang sinergis saling memperkuat Rustiadi et al., 2009. Pengukuran keberimbangan pembangunan wilayah dapat didekati dengan mengukur disparitas pembangunan antar wilayah. Disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah dapat dilakukan secara deskriptif dengan 13 memperbandingkan PDRB, pertumbuhan PDRB atau PDRB per kapita antar wilayah. Kesenjangan statis antar wilayah secara lebih terukur dapat dilakukan dengan menggunakan indeks-indeks kesenjangan spasial seperti Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Pengukuran didasarkan pada variasi hasil- hasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah : semakin besar nilai indeks yang menunjukkan variasi produksi ekonomi antar wilayah semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya, sebaliknya semakin kecil nilai ini menunjukkan kemerataan antar wilayah yang baik. Pengukuran indeks Williamson dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan penimbang. Dengan adanya penimbang tersebut, walaupun suatu daerah mempunyai PDRB per kapita yang ekstrim tinggi, namun kalau jumlah penduduknya relatif kecil, maka tidak akan terlalu menyebabkan kesenjangan terlalu tinggi. Sebaliknya walaupun besaran PDRB perkapita suatu wilayah hanya moderat saja dibandingkan wilayah lain yang kecil, namun jumlah penduduknya relatif besar maka akan menyebabkan kesenjangan secara keseluruhan.

2.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Antar Wilayah