Oil blend minyak sawit PO, stearin PS, dan minyak kelapa CNO

33 -20 20 40 60 80 8020 6040 4060 2080 Kurva SFC oil blend POCNO experiment dan teoritical pada berbagai suhu observasi T10.E T20.E T30.E T40.E T10.T T20.T T30.T T40.T SFC Fraksi POCNO Gambar 8. Kurva SFC hasil eksperimen E dan secara teoritis T untuk oil blend antara minyak sawit PO dan minyak kelapa CNO pada suhu observasi 10ºC T10, 20 ºC T20, 30 ºC T30, dan 40 ºC T40 Pada suhu observasi 20⁰C terjadi penyimpangan kurva SFC yang cukup jauh terhadap nilai teoritis 12.08SFC dan menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil. Kurva SFC yang dihasilkan juga tidak menunjukkan linieritas. Kondisi ini menunjukkan adanya interaksi antara PO dan CNO sebagai minyak penyusunnya. Interaksi yang dihasilkan pada kasus ini disebut dengan interaksi eutectic dan merupakan indikator compatibility minyaklemak. Sepeti yang dilaporkan oleh Noor Lida, dkk 2002, interaksi ini juga terjadi pada oil blend PO dengan palm kernel oil PKO dan umumnya terjadi pada minyaklemak yang tidak cocok dengan perbedaan volume molekular maupun polimorfnya. PKO sendiri merupakan salah satu jenis minyak asam laurat seperti CNO. Efek eutactic juga dapat terjadi akibat komponen yang satu memiliki SMP yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan komposisi lainnya, yaitu minyak kelapa terhadap minyak sawit. Pada kondisi pembuatan margarin atau shortening, interaksi eutectic dapat menguntungkan.

c. Oil blend minyak sawit PO, stearin PS, dan minyak kelapa CNO

Stearin dan minyak kelapa menghasilkan campuran minyak dengan karakter yang berbeda terhadap campurannya dengan minyak sawit. Pada hasil campuran PO dan PS, stearin cenderung akan meningkatkan nilai SFC yang dihasilkan. Sementara pada hasil campuran PO dan CNO, minyak kelapa akan cenderung menurunkan nilai SFC. Formulasi pertama dari pencampuran ketiga jenis minyak tersebut adalah formulasi dengan proporsi minyak kelapa dibuat tetap, yaitu 10. Proporsi 10 ini dengan melihat formulasi antara minyak sawit dan minyak kelapa sebelumnya. Sementara itu, proporsi stearin dijadikan semakin dengan peningkatan proporsi sebesar 20 sehingga pada formulasi awal ini akan didapatkan oil blend dengan proporsi CNOPOPSww yaitu 10900; 107020; 105040; 103060; dan 101080 seperti pada Tabel 10. 34 Hasil oil blend antara minyak sawit, stearin, dan minyak kelapa dengan berbagai formulasi menghasilkan karakter SFC seperti pada Gambar 9. Oil blend CNOPOPS= 107020 memiliki kurva SFC paling rendah, sedangkan CNOPOPS=101080 memiliki kurva SFC paling tinggi. Peningkatan proporsi stearin akan sejalan dengan peningkatan nilai SFC yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan kondisi binary oil blend antara PS dengan PO dimana karakter kurva SFC yang dihasilkan akan meningkat sesuai dengan peningkatan proporsi stearin yang dihasilkan. Bentuk kurva SFC oil blend CNOPOPS dihasilkan lebih dipengaruhi oleh bentuk kurva PO yang landai dan kurva SFC PS yang curam-landai. Proporsi CNO yang dibuat tetap mengakibatkan CNO tidak banyak mempengaruhi bentuk kurva oil blend yang dihasilkan namun penggunaan 10ww CNO menurunkan kurva SFC yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kurva SFC POPS. -20 20 40 60 80 100 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Karakter SFC oil blend PO, PS, dan CNO dengan peningkatan proporsi PS CNOPOPS=10900 CNOPOPS=107020 CNOPOPS=105040 CNOPOPS=103060 CNOPOPS=101080 PS CNO PO Sol id Fa t C ont ent Suhu °C Gambar 9. Karakter SFC berbagai kombinasi oil blend minyak sawit PO, stearin PS dan minyak kelapa CNO dengan variasi proporsi PS 20-80 Kurva SFC oil blend CNOPOPS dari hasil percobaan pada berbagai suhu observasi memiliki linieritas yang tinggi baik R 2 0.990. Proporsi stearin dalam oil blend mengakibatkan kurva SFC yang dihasilkan memiliki keteraturan. Suhu observasi 30⁰C menghasilkan kurva nilai selisih SFC yang paling rendah dengan nilai rata-rata 1.006SFC. Sementara pada suhu observasi 10⁰C, 20⁰C, dan 40⁰C masing-masing secara berurutan menghasilkan rata-rata selisih nilai 3.432SFC, 2.368SFC, dan 1.146SFC. Pada suhu observasi 10⁰C justru menghasilkan jarak yang paling jauh antara kurva SFC percobaan dengan teoritis ditunjukkan oleh selisih nilai SFC tertinggi. Pada tiap-tiap suhu observasi, nilai SFC percobaan yang dihasilkan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai SFC secara teoritis. Secara keseluruhan, hasil perhitungan statistik paired T-test antara kurva SFC hasil percobaan dengan kurva SFC secara teoritis menunjukkan bahwa kedua kurva tersebut berbeda nyata pada taraf signifikansi α=0.05. 35 10 20 30 40 50 60 70 80 10900 107020 105040 103060 101080 Kurva SFC oil blend CNOPOPS experiment dan teoritical pada berbagai suhu T10.E T20.E T30.E T40.E T10.T T20.T T30.T T40.T SFC Fraksi CNOPOPS Gambar10. Kurva SFC hasil eksperimen E dan secara teoritis T untuk oil blend antara minyak kelapa CNO, minyak sawit PO, dan stearin PS dengan variasi proporsi PS 0-80 pada suhu observasi 10ºC T10, 20 ºC T20, 30 ºC T30, dan 40 ºC T40 -20 20 40 60 80 100 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Karakter SFC oil blend PO, PS, dan CNO dengan proporsi CNO meningkat CNOPOPS=104545 CNOPOPS=204040 CNOPOPS=303535 CNOPOPS=403030 CNOPOPS=502525 CNO PO PS Sol id Fat C on tent Suhu °C Gambar 11. Karakter SFC oil blend minyak sawit PO, stearin PS, dan minyak kelapa CNO dengan variasi proporsi CNO 10-50 36 10 20 30 40 50 60 70 80 104545 204040 303535 403030 502525 Kurva SFC oil blend CNOPOPS experiment dan teoritical pada berbagai suhu observasi T10.E T20.E T30.E T40.E T10.T T20.T T30.T T40.T SFC Fraksi CNOPOPS Gambar 12. Kurva SFC hasil eksperimen E dan secara teoritis T untuk oil blend antara minyak kelapa CNO, minyak sawit PO, dan stearin PS dengan proporsi CNO 10 -50 pada suhu observasi 10ºC T10, 20 ºC T20, 30 ºC T30, dan 40 ºC T40 Formulasi oil blend CNOPOPS selanjutnya dilakukan dengan CNO sebagai variabel yaitu dengan proporsi minyak kelapa CNO yang semakin meningkat dari 10 hingga 50. Sedangkan proporsi antara minyak sawit PO dan stearin PS dibuat tetap dengan perbandingan 1:1. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh CNO di dalam oil blend tersebut. Sehingga formulasi yang dilakukan yaitu oil blend dengan proporsi CNOPOPS dalam persentase ww yaitu 104545; 204040; 303535; 403030; dan 502525 seperti yang tercantum pada Tabel 11. Kurva SFC hasil oil blend dengan perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil percobaan dengan tiga jenis minyak pada oil blend menunjukkan bahwa peningkatan proporsi CNO dalam oil blend CNOPOPS akan menurunkan nilai SFC yang dihasilkan seperti yang dihasilkan pada oil blend POCNO. Karakter kurva SFC CNO yang curam juga mempengaruhi bentuk kurva yang dihasilkan dalam oil blend. Kurva yang dihasilkan menjadi lebih curam bila dibandingkan dengan kurva oil blend CNOPOPS dengan proporsi CNO tetap pada Gambar 9. Hasil pengamatan perlakuan oil blend CNOPOPS dengan proporsi CNO yang semakin meningkat dapat pula disajikan berdasarkan suhu observasinya seperti pada Gambar 12 sehingga dapat terlihat perbandingan kurva SFC yang dihasilkan pada suhu observasi yang berbeda baik kurva secara eksperimen maupun secara teoritis. Kurva SFC yang dihasilkan memiliki linieritas yang tinggi baik pada suhu observasi 20⁰C, 30⁰C, dan 40⁰C yaitu dengan nilai R 2 ≥0.991. Kurva SFC pada suhu observasi 10⁰C mengalami penyimpangan dengan bentuk kurva cekung dengan rata-rata selisih nilai yang cukup tinggi 9.184SFC. Pada suhu yang sama, kurva SFC oil blend POCNO juga mengalami penyimpangan. Pada suhu 20⁰C, kurva SFC percobaan yang dihasilkan memiliki jarak terjauh dengan kurva SFC teoritis dibandingkan pengujian pada ketiga suhu observasi lainnya yaitu hingga mencapai selisih nilai SFC sebesar 20.29. Selisih nilai yang cukup 37 tinggi memperlihatkan bahwa kurva SFC yang dihasilkan berbeda dengan kurva SFC secara teoritis. Hal ini juga diperkuat dengan hasil perhitungan statistik paired T-test antara kurva SFC hasil percobaan dengan kurva SFC secara teoritis menunjukkan bahwa kedua kurva tersebut berbeda nyata pada taraf signifikansi α=0.05. Hasil dari karakterisasi oil blend yang telah dilakukan dapat dikombinasikan dengan formulasi oil blend produk yang telah dimiliki oleh PT SMII. Beberapa jenis margarin yang diproduksi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu margarin dengan tekstur keras untuk pembuatan produk cookies, margarin tekstur lunak untuk pembuatan produk bakery dan spread , serta margarin cair untuk keperluan pembuatan cake. Proses pembuatan margarin tekstur keras umumnya menggunakan minyak hasil hidrogenasi hydrogenated oil untuk meningkatkan nilai SFC dan titik cair sesuai yang diinginkan. Proses hidrogenasi yang digunakan memiliki peluang mengubah konfigurasi ikatan rangkap cis dalam minyak menjadi trans. Isu kesehatan menyangkut asam lemak trans yang terkait dengan penggunaan hydrogenated oil mulai menjadi perhatian konsumen. Stearin sebagai produk turunan minyak sawit yang secara alami dengan nilai kurva SFC dan titik cair yang tinggi dapat membantu dalam proses formulasi produk margarin tekstur keras tersebut dan mengurangi penggunaan hydrogenated oil. PT SMII juga memproduksi berbagai jenis shortening baik shortening yang bersifat plastis dan semi solid untuk produk-produk cake atau roti maupun flake shortening yang digunakan untuk produk pastry. PT SMII juga memproduksi beberapa jenis filler shortening. Minyak kelapa merupakan salah satu pilihan yang banyak digunakan oleh industri cookies sebagai komponen filler shortening karena sifatnya yang baik di mouth feel. Karakteristik minyak kelapa yang dihasilkan akan memberikan informasi dalam proses pembuatan oil blend. Penelitian yang dilakukan bukanlah tanpa cacat. Beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi nilai SFC yang dihasilkan antara lain konsistensi suhu. Alat NMR digunakan di dalam ruang dengan suhu sejuk 23-24ºC, sehingga pada suhu inkubasi 10ºC dan 20ºC tidak selalu tepat. Selisih waktu disaat tabung SFC diangkat dari water bath hingga dimasukkan dalam alat NMR juga dapat mempengaruhi nilai SFC yang dihasilkan.

2. Slip Melting Point