18 Minyak kelapa mengandung 84 persen trigliserida yang ketiga asam lemaknya jenuh, 12
persen trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan satu asam lemak tidak jenuh serta 4 persen trigliserida yang mempunyai satu asam lemak jenuh dan dua asam lemak tidak jenuh. Trigliserida
terdiri dari 96 persen asam lemak dan berdasarkan komposisi tersebut, maka sifat fisiko kimia minyak dapat ditentukan dari sifat fisiko kimia asam lemaknya. Asam lemak yang menyusun
minyak kelapa terdiri dari 80 persen asam lemak jenuh dan 20 persen asam lemak tidak jenuh Ketaren, 1996.
Selain gliserol dan asam lemak bebas, minyak juga mengandung bahan tidak tersabunkan yang jumlahnya kurang dari satu persen. Minyak kelapa mengandung 0.2 sampai 0.6 persen
bahan tidak tersabunkan, yang terdiri dari fosfatida, gums, sterol, lipochrome dan tokoferol Timms, 1994. Mutu minyak kelapa yang memenuhi persyaratan Standar Mutu yang telah
ditetapkan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Syarat mutu minyak kelapa sesuai SNI 01-2902-1992 Parameter Mutu
Ketentuan Kadar air maksimum
0.5 Kadar kotoran maksimum
0.05 Bilangan iod g iod100 g contoh
8.0-10.0 Bilangan penyabunan mg KOHg contoh
255-265 Bilangan peroksida maksimum mg oksigeng contoh
5.0 Asam lemak bebas maksimum asam laurat
5.0 Warnabau
normal Minyak pelikan
negatif Logam-logam berbahaya dan arsen
negatif Dewan Standarisasi Nasional 1992
D. KARAKTERISTIK MINYAK
Minyak nabati merupakan bahan baku yang digunakan untuk membuat produk margarin maupun shortening sehingga beberapa karakteristiknya akan mempengaruhi kualitas produk
margarin yang dihasilkan. Karakteristik fisik minyak yang terkait dengan kualitas margarin antara lain kandungan padatan lemak atau solid fat content SFC dan juga slip melting point.
Sementara karakteristik kimia minyak yang berpengaruh terhadap proses maupun hasil akhir produk margarin yang dihasilkan antara lain bilangan iod dan bilangan peroksida. Pengujian
karakteristik kimia minyak dilakukan pada saat seleksi minyak menjadi bahan baku untuk produksi margarin. Karakteristik kimia minyak tersebut akan memberi informasi mengenai jenis
dan spesifikasi minyak yang digunakan.
1. Kandungan Padatan Lemak
Kandungan padatan lemak atau solid fat content SFC merupakan proporsi padatan lemak yang terkandung di dalam suatu minyak pada suhu observasi tertentu. Menurut Weiss
1983, lemak padat sebenarnya terdiri dari campuran berbagai komponen padatan lemak yang
19 membentuk matriks kristal. Hal ini yang menahan porsi minyak cair di dalamnya seperti
sponge yang menahan air. Jika lemak didinginkan hingga suhu yang cukup, misalnya -30⁰C
maka lemak tersebut akan mengandung padatan lemak 100. Namun jika diberikan kondisi di atas titik cair nya, maka lemak tersebut akan menjadi lemak cair seluruhnya tanpa adanya
padatan lemak.
O’Brien 2004 menyebutkan bahwa pengukuran SFC atau SFI penting dalam industri margarin, shortening, dan industri pengolahan lemak lainnya. Menurut Gothra et.al 2002,
fungsi-fungsi produk shortening banyak dideskripsikan oleh industri dalam bentuk profil SFC- nya seperti dapat dilihat pada Lampiran 2. Kurva SFC yang dihasilkan akan membantu proses
untuk mencapai konsistensi dan performa yang diharapkan. Hal ini dibutuhkan untuk mengontrol proses dalam hidrogenasi, interestifikasi, dan pencampuran.
Berdasarkan Nielsen 1998, pengujian SFC pada prinsipnya adalah pendinginan minyak untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai tingkatan suhu. Kandungan padatan
lemak akan diuji pada beberapa suhu observasi, yaitu pada suhu 10⁰C, 20⁰C, 30⁰C, dan 40⁰C. Suhu observasi maupun jangkauan yang digunakan untuk menguji SFC dapat beragam sesuai
dengan kebutuhan pengujian Nielsen, 1998. O’Brien 2004 menjelaskan bahwa suhu observasi SFC untuk produk margarin pada suhu 10⁰C 50⁰F merupakan indikator daya oles
produk pada suhu refrigerator. SFC pada suhu observasi 21.1⁰C 70⁰F akan mengindikasikan ketahanan produk selama masa penyimpanan di suhu ruang dan SFC pada suhu observasi
33.3⁰C 92⁰F akan menunjukan karakteristik mouthfeel yaitu karakteristiknya saat meleleh di dalam mulut. Produk shortening juga memiliki suhu observasi SFC tipikal yang utamanya
ditujukan untuk melihat karakter produk tersebut dalam industri bakeri. O’Brien 2004 juga menjelaskan bahwa suhu observasi SFC untuk produk shortening pada suhu 10⁰C 50⁰F
mengindikasikan konsistensi produk pada saat adonan mengalami proses retarding. SFC pada suhu observasi 26.7⁰C 80⁰F akan mengindikasikan ketahanan produk selama proses
pengadukan adonan dan SFC pada suhu observasi 40⁰C 104⁰F akan menunjukan resistensi produk pada penyimpanan suhu tinggi.
Wan 2000 melaporkan bahwa kandungan padatan lemak dapat diukur menggunakan metode dilatometri. Peningkatan suhu akan menurunkan densitas dari lemak padat maupun
minyak cair akibat dari thermal expansion. Perubahan densitas maupun volume dari lemak ataupun minyak tersebut pada berbagai suhu observasi dapat diukur dengan menggunakan
dilatometer. Dilatometer merupakan piknometer yang secara khusus di desain untuk dapat mengukur perubahan volume yang sangat kecil secara spesifik mLg akibat adanya thermal
expansion
pada lemak, minyak, maupun campurannya. Pengujian dengan metode dilatometri membutuhkan waktu 5 jam. Hal ini terkadang menjadi penghambat jika diinginkan hasil yang
cepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perdagangan. Hasil dari pengukuran secara dilatometri berupa solid fat index SFI.
Metode terkini yang banyak digunakan sekarang untuk menguji kandungan padatan lemak adalah dengan menggunakan NMR nuclear magnetic resonance. Pada umumnya
dilakukan menggunakan spektrometer NMR dengan resolusi denyut yang rendah low- resolution pulse
. Standar deviasi dari denyut spektrometer NMR tidak boleh lebih besar dari 0.3 padatan. Menurut Hendrikse et. al. 1994, persentase solid yang dihasilkan dari
pengukuran dengan NMR dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara respon dari inti hidrogen dalam fase solid dengan respon dari keseluruhan inti hidrogen dalam sampel. Atom
hidrogen ini yang akan didefinisikan sebagai SFC.
20 Sampel diletakkan di dalam alat NMR dan diberikan denyut pulse berfrekuensi radio.
Hal ini akan menginduksi sinyal NMR dalam sampel yang kemudian menghasilkan kecepatan gelombang yang berbeda antara padatan maupun likuid dalam minyak tersebut. Sinyal yang
dihasilkan dari padatan lemak akan memiliki kecepatan lebih cepat daripada sinyal yang berasal dari fase likuid nya sehingga kedua komponen tersebut dapat dibedakan. Nilai SFC
akan dapat disimpulkan dari respon yang diberikan pada suhu yang sama oleh inti proton padatan pada denyut 10µs serta inti proton likuid triasilgliserida pada denyut 70µs Hendrikse
et.al.,
1994. Kelebihan NMR antara lain dapat melakukan pengujian secara independen menggunakan
tube yang berbeda untuk masing-masing perlakuan temperatur sehingga menghasilkan waktu
pengujian yang lebih efisien. Data yang dihasilkan SFI merupakan perbandingan empiris rasio solidlikuid
sedangkan hasil NMR merupakan nilai mutlak SFC sehingga akan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan Hendrikse et. al., 1994.
2. Slip Melting Point