Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut. 26 Pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun. 27 Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVIIMPR1998 tersebut Pasal 1 menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini 26 Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana... ... h. 56. 27 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 82. di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga tercantum dalam amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Carel Von Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat. 28 Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor IIIMPR 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai Hukum Dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet. 29 Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan dan sikap bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari Pancasila yang antara lain mengedepankan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan 28 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... .... h. 52. 29 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia... .... h. 74. Beradab, maka sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke dalam Pasal 28 A itu. Indonesia sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, oleh karena itu Indonesia masih mencantumkan Pasal-Pasal tentang pidana mati dalam produk peraturan perundang-undangannya, di samping harus diakui banyak pula yang mendukung terhadap pidana mati. 30 Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain setingkat undang-undang diatur dalam UU No. 2PNPS1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer “UU 2PNPS1964”. Dalam Pasal 1 UU 2PNPS1964 disebutkan antara lain bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil Brimob yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira lihat Pasal 10 ayat 1 UU 2PNPS1964. Dalam UU 2PNPS1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana 30 Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2009, h. 57. hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan lihat Pasal 7. Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati “Perkapolri 122010”. Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 122010 disebutkan antara lain bahwa hukuman matipidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berlakunya sistem hukum dengan peradilannya secara proporsional, akan menambah kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum. Oleh karenannya, perlu dicermati didalam sistem peradilan bergantung pada sistem hukum yang dianut oleh suatu masyarakat. Meskipun demikian, ada sejumlah asas-asas peradilan yang secara universal menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern saat ini. Dan tentu saja, juga ada hal-hal spesifik dari setiap sistem peradilan tersebut. 31 Kemudian, dalam Pasal 4 Perkapolri 122010 ditentukan tata cara pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut: a. persiapan; b. pengorganisasian; c. pelaksanaan; dan d. pengakhiran. 31 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, h. 103 Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri 122010 sebagai berikut: 1 terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati; 2 pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan; 3 regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 dua jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati; 4 regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 satu jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan; 5 regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 dua belas pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 lima meter sampai dengan 10 sepuluh meter dan kembali ke daerah persiapan; 6 Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”; 7 Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati; 8 setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemu dian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan ”LAKSANAKAN”; 9 Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 dua belas pucuk senjata api laras panjang dengan 3 tiga butir peluru tajam dan 9 sembilan butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 satu butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor; 10 Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa; 11 Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 tiga menit dengan didampingi seorang rohaniawan; 12 Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak; 13 Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana; 14 Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati; 15 Jaksa Eksekutor memberikan tandaisyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana; 16 Komandan Pelaksana memberikan tandaisyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana; 17 Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat; 18 Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas; 19 Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana; 20 Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata; 21 Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak; 22 Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata; 23 Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir; 24 Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga; 25 Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan; 26 Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana; 27 Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan 28 Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”. Dalam hal pelaksanaan pidana mati ini dijatuhkan kepada beberapa orang terpidana dalam satu putusan, pidana mati dilaksanakan serempak pada waktu dan tempat yang sama namun dilaksanakan oleh regu penembak yang berbeda lihat Pasal 16 Perkapolri 122010. 32 Secara Teoritis dapat dikatakan bahwa ancaman hukuman mati menimbulkan efek jera deterrent effect yang sangat tinggi. Efek jera hukuman mati tersebut merupakan faktor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Hal ini pada gilirannya akan meurunkan jmlah tindak pidana terkait. Secara logika memang masuk akal, namun tidak terdapat data statistik 32 http:www.hukumonline.comklinikdetailcl441hukuman-mati diakses tanggal 14 Mei 2016 Pukul 20:00 wib empiris dan riset yang secara meyakinkan mendukung kesimpulan tersebut dan yang terjadi justru sebaliknya.

E. Negara Yang Tidak Memberlakukan Hukuman Pidana Mati

Ahli Prof. William Schabas Keterangan Tertulis, tanggal 2 Mei 2007 menegaskan bahwa untuk kejahatan-kejahatan yang menurut standar Internasional jelas termasuk dalam kategori most serious crimes seperti genosida, crimes against humanity, dan war crimes, tribunal-tribunal PBB yang mengadili penjahat perang di Eks-Yugoslavia1993, Rwanda 1994 maupun Sierra Leone 2002 tidak memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi. Statue of the International Criminal Court 1998 juga membatasi bahwa hukuman maksimum adalah seumur hidup. 33 Sebanyak 84 negara turut menandatangani Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional, tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati di New York, 15 Desember 1989 silam. Berikut segelintir atau beberapa negara-negara yang telah menandatangani hukum internasional, kecuali Indonesia, perihal pidana cabut nyawa sekaligus diterapkan di peraturan domestik negara peserta, berikut penulis paparkan beberapa negara yang menghapus hukuman pidana mati, yaitu: 1. Australia, mnyetakan diri terlibat aksesi peraturan tersebut sejak 2 Oktober 1990. 33 Todung Mulya Lubis Alexander Lay, Kontrovesi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009, h. 330. 2. Brazil, menyatakan diri ikut aksesi perjanjian tersebut pada 25 September 2009.Angola, turut menandatangani pada 24 September 2013 dan belum meratifikasi. 3. Argentina, menyatakan keterlibatan pada 20 Desember 2006 dan meratifikasinya sejak 2 September 2008. 4. Kanada, menandatangani secara aksesi sejak 25 November 2005. 5. Denmark, turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 24 Februari 1994.. 6. Perancis, terlibat secara aksesi sejak 2 Oktober 2007. 7. Jerman, turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan diratifikasi pada 18 Agustus 1992. 8. Italia turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 14 Februari 1995. 9. Inggris Raya dan Irlandia Utara, turut menandatangani sejak 31 Maret 1999 dan meratifikasi pada 10 Desember 1999. 10. Belanda, turut terlibat perjanjian sejak 9 Agustus 1990 dan meratifikasi pada 26 Maret 1991. 11. Selandia Baru, turut terlibat sejak 22 Februari 1990 dan meratifikasi pada 22 Februari 1990. 12. Portugal, turut menyatakan diri terlibat sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 17 Oktober 1990. 13. Spanyol, turut menandatangani sejak 23 Februari 1990 dan meratifikasi pada 11 Aprril 1991. 14. Swedia, , turut menandatangani sejak 13 Feb 1990 dan meratifikasi pada 11 Mei 1990. 15. Turki, turut menandatangani sejak 6 April 2004 dan meratifikasi pada 2 Maret 2006. 34 Di dalam bukunya Ernest Bowen Rowlands yang berjudul Judgement of Death mengatakan bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan dikembalikan kepada yang dipidana mati, sedang kekhilafan yang terjadi dalam dijatuhkannya pidana penjara, jika terdakwa masih hidup dia dapat dibebaskan, rugi dapat digantikan, nama baik dapat dikembalikan dan untuk waktu dalam penjara dapat diberikan pengganti kerugian berupa uang, namun pada pidana mati tak mungkin. 35 34 http:news.okezone.comread20150428337114158284-negara-kecuali-indonesia- yang-hapus-hukuman-mati diakses pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 20:0 wib 35 M. J. Van Bemmelen, Het Probleem van de Doodstraf, Amsterdam: 1948, h. 22 52

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA

A. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Piagam Magna Charta Inggris pada tahun 1215 yang membentuk suatu kekuasaan monarki yang terbatas. Hukum mulai berlaku tidak hanya untuk rakyat, akan tetapi juga berlaku untuk para bangsawan dan keluarga kerajaan. Piagam Magna Charta atau disebut juga Magna Charta Libertatum The Great Charter of Freedoms dibuat di masa pemerintahan Raja John King John of England dan berlaku bagi raja-raja Inggris yang berkuasa berikutnya. Isi pokok dokumen tersebut adalah hendaknya raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorangpun dari rakyat. Selain itu Magn a Charta juga memuat penegasan bahwa “tiada seorangpun boleh ditangkap atau dipenjarakan atau diusir dari negerinya atau dibinasakan tanpa secara sah diadili oleh hakim- hakim yang sederajat dengannya” judicium parjum suorum. 1 Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill Of Right di Inggris pada tahun 1689 yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun tanpa dasar hukum yang jelas. Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa manusia 1 Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, h. 52.