melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi.
11
2 Teori relatif atau teori tujuan
Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi
hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:
a Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-
nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat preventif umum.
b Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan
mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat preventif khusus
.
12
Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan
untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai menjalani pidananya, ia akan
menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana.
11
Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, Bandung: Armico, 1988, h. 20.
12
Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983, h. 26.
3 Teori Gabungan
Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan
dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar
setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas
kebenaran. Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep
yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga
harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.
C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia,
namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan
kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional. Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan
Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahwa pidana mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada
analisa biaya keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi pidana mati tidak setimpal
dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi, berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan
pelanggaran HAM yang lebih besar.
13
Para ahli hukum menjelaskan pendirian mereka, bahwa pengalaman telah membuktikan bahwa ketertiban hukum di Indonesia dipertahankan dengan
merumuskan tanpa perlu dijatuhkanya pidana mati terhadap kejahatan berat, maka akan tiba waktunya untuk menghapuskan pidana mati sebagaimana halnya di
Belanda.
14
Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat
diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-
alasan yang benar”.
15
Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu
yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.
16
Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius extra ordinary crime.
13
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV Rajawali, 1982 h. 66.
14
W. L. G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Ned. W.v.S, Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934, h.15-16.
15
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan
, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, h. 25-26
16
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 27.
Ada kesamaan substansi antara pemikiran Jongker dan kedua pemikir hukum lainnya, seperti Lambroso dan Garofallo. Kedua pemikir ini berpendapat bahwa
pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat, yang berguna untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.
17
Kemudian belakangan ini di Indonesia telah muncul beberapa pemikir baru yang pro dengan keberadaan hukuman mati itu. Beberapa diantaranya adalah Bambang
Poernomo, mendukung adanya pidana mati berdasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya ancaman pidana mati, terutama terhadap kejahatan berat, kejahatan makar,
kejahatan korupsi dan kejahatan penyelundupan.
18
P emikiran bahwa pidana mati harus dipandang sebagai “noodrecht” dan dalam
rangka pemikiran hukum pidana sebagai sarana hukum pidana “ultimum remedium” sebagai obat terakhir. Juga ancaman pidana mati masih diperlukann bagi kejahatan
yang menyerang terhadap kehidupan manusia yang dilakukan secara bengis, untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman pidana yang berat seperti halnya
hukuman mati. Kemudian Hartawi A.M dalam The Death Penalty, yang dimuat di Jurnal Tahun I No. 5, menjabarkan bahwa bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana
mati dianggap sebagai suatu social defence, dan bahwa pidana mati itu merupakan suatu bentuk pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana
dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan akan menimpa
17
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 12-13.
18
Bambang Poernomo, Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1982, h. 19-20
masyarakat. Dari bencana atau bahaya kejahatan akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup
manusia dan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional
Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional.
Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan: “bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai
upaya perlindungan masyarakat jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat, namun dalam penerapannya diharapkan
bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungankepentingan individu pelaku tindak pidana
”.
19
Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum
pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui pendapatnya yang
menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangatlah sulit. Memang secara praktik kurang bisa dibuktikan,
tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak
efektif.
20
19
Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, h. 89.
20
Herliady , Efektivitas Hukuman Mati, http:herliady.blog.friendster.comefektivitas- hukuman-mati. Diakses pada 16 Juni 2016 pukul 21:00.