Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

negara-negara maju misalnya bahwa negara-negara berkembang tertentu sering melakukan pelanggaran HAM. Tuduhan ini menimbulkan kesan bahwa negara- negara maju atau Barat tidak pernah melakukan pelanggaran HAM, padahal dalam prakteknya di negara-negara majulah terdapat kasus kehidupan yang rasialis, ketidakadilan, dan lain-lain yang jelas melanggar HAM. Hal ini bisa jadi disebabkan pemahaman HAM yang berbeda antara masyarakat Barat dengan masyarakat Timur yang mempunyai kultur dan kebiasaan berbeda. Karena itu ada dua pendekatan untuk memahami HAM yaitu pendekatan Barat dan pendekatan Islam. 16 Kalau dipelajari ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan-ketentuan RasulNya dalam Al-Qur ’an dan hadits-hadits shahih, maka segera mengetahui adanya tujuan disyariatkannya muqasid al-Syariah. Secara umum dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudlarat. Dengan kata lain tujun hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia. Dalam pembahasannya Muqasid al-Syariah erat kaitannya dengan perlindungan HAM hal tersebut disebabkan dalam Muqasid al-Syariah memiliki dimensi perlindugan HAM yaitu: Pertama, Hifzh al-Dîn; artinya terjaga norma agama dari hal-hal yang mengotorinya, baik dari sisi akidah maupun amal, teori maupun praktek serta menjamin keutuhan agama yang menjadi pilihan rakyat secara umum dengan 16 Abul A’la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985, h. 15. tindakan preventif terhadap setiap potensi yang bisa mengganggu prinsip-prinsip agama yang qath’i. Kedua, Hifzh al-Nafs; yaitu melindungi hak hidup setiap individu dan masyarakat secara kolektif serta segala hal yang dapat mengacam jiwa. Seperti pemberantasan penyakit menular, hukuman bagi pelaku pembunuhan dan sebagainya. Ketiga, Hifzh al- ‘Aql; mencegah terjadinya khalal cacat pada akal yang dapat mengganggu daya pikir dan kreatifitas. Eksistensi akal sangat urgen sekali dalam menumbuhkembangkan semangat menggali nilai-nilai agama, sehingga tentunya harus dijaga dari hal-hal yang merusaknya. Seperti larangan terhadap minuman keras, narkotika, alkohol, zat aditif dan yang memiliki potensi merusak akal. Keempat, Hifzh al-Nasl; melestarikan kelangsungan generasi dengan mempermudah proses pernikahan, menghindari setiap kebijaksanaan yang dapat memutus kelangsungan hidup; seperti vasektomi, tubektomi, zina dan sebagainya. Kelima, Hifzh al-Mâl; mengembangkan sumber-sumber perekonomian rakyat, menjamin hak milik pribadi dan menjaga keamanan harta tersebut. 17 Di lain sisi dunia Barat selalu menisbahkan konsep mengenai HAM kepada Piagam Magna Carta di Inggris pada tahun 1215 yang sebenarnya tidak 17 Al-Hasani, Ismail, Nadlriyyah al- Maqashid ‘Inda al-Imam Muhammad ath-Thahir bin Asyur, Cairo: IIIT, 1995, h. 237. lebih dari sekedar sebuah perjanjian antara raja dan baron bangsawan Inggris. 18 Sebelumnya piagam tersebut tidak berisi prinsip-prinsip trial by juri peradilan oleh juri, Habeas Corpis surat perintah penahan dan pengawasan parlemen atas hak pajak. 19 Setelah abad ke-17 barulah dapat diketahui bahwa piagam Magna Carta mengandung prinsip-prinsip tersebut. Dapat dimaklumi bila setelah abad tersebut, konsep mengenai HAM banyak tertuang dalam undang-undang atau konstitusi yang berasal dari gagasan-gagasan para filosof dan pemikir hukum, seperti adanya Bill of Rights pada tahun 1688, Declaration of Independence pada tahun 1788 dan French Declaration pada tahun 1789. Puncak dari perkembangan konsep ini adalah dengan adanya deklarasi hak-hak asasi manusia sedunia oleh PBB yang dikenal dengan the Universal Declaration of Human Right pernyataan HAM sedunia pada tahun 1948. The Universal Declaration of Human Right ini dibentuk karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di beberapa negara sebagai akibat adanya perang dunia I dan perang dunia II yang membawa banyak kesengsaraan dan penderitaan pada rakyat. Menurut Alwi Shihab, DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dibentuk oleh PBB ini banyak diwarnai oleh perspektif barat sekuler yang bersifat antroposentris, yakni lebih menekankan peranan manusia dan kebebasan 18 Baharudin Lopa, Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia... ... h. 2. 19 A bul A’la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam... ... h. 16. serta haknya, ketimbang perspektif agama yang teosentris, yang menekankan peranan Tuhan dalam menentukan HAM. 20 Dalam DUHAM, konsep HAM tidak secara langsung disandarkan pada pemberian Allah SWT yang mutlak, tetapi merupakan konsep yang disusun oleh manusia dan disetujui oleh manusia lain. Dengan demikian, seolah-olah HAM merupakan hak manusia yang dengan sendirinya sudah dimiliki manusia tersebut dan bukan merupakan anugerah Allah SWT. Selain itu, menurut Alwi Shihab, deklarasi PBB juga bersifat individualistik dan kurang menekankan pentingnya solidaritas dan kebutuhan orang banyak. UDHR ini juga lebih menekankan hak daripada kewajiban, padahal hubungan antara keduanya sangat erat sebagai contoh adalah kebebasan mengemukakan pendapat merupakan hak fundamental tiap manusia, tetapi kebebasan tersebut harus didampingi oleh tanggung jawab dan kewajiban untuk menuturkan yang benar. Berbeda dengan konsep HAM Barat, dalam Islam, hak asasi manusia dipandang sebagai anugerah Allah SWT yang diberikan kepada tiap manusia tanpa terkecuali dan tidak dapat dihilangkan atau diganti. Hal ini bukan merupakan pemberian dari seorang raja atau lembaga legislatif yang bisa dicabut kembali apabila dipandang perlu. Dengan demikian konsep HAM dalam Islam bersifat teosentris artinya menekankan peranan Tuhan dalam menentukan HAM. Karena HAM adalah hak yang diberikan oleh Allah, maka tak satupun lembaga 20 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Jakarta: Mizan, 1999, h. 183. atau negara di dunia yang berhak merubah hak-hak yang telah dianugerahkan Allah tersebut tanpa ada alasan yang jelas. Hak-hak tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam, setiap manusia atau pemerintah yang mengaku sebagai muslim harus menerima, mengakui dan memberlakukan hak-hak asasi manusia tersebut. Konsep HAM dalam Islam lebih bersifat sosialis dan lebih menekankan kewajiban dan tanggung jawab daripada hak. Artinya, walaupun HAM bersifat fundamental dan dijunjung tinggi, ia tetap mengutamakan hak-hak orang banyak dan pengorbanan hak pribadi demi kebutuhan masyarakat. Sebenarnya, konsep tentang HAM sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Ini terbukti dengan terbentuknya Piagam Madinah yang menjelaskan pokok-pokok hubungan antara individu satu dengan individu lain dan masyarakat satu dengan masyarakat lain. Pada masa awal-awal di Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw adalah menyatukan masyarakat dan sekitarnya, yang terdiri dari beberapa suku dan agama. Langkah strategis ini melahirkan Piagam Madinah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan masyarakat majemuk. Dalam piagam tersebut diatur hubungan antara sesama masyarakat dan antara umat Islam dengan masyarakat lainnya, seperti: 1. Saling membantu dalam penanganan Wilayah Madinah. 2. Membela warga yang teraniaya. 3. Menghormati kebebasan beragama dan beribadah. 4. Menjaga hubungan bertetangga dengan baik. 5. Mangadakan musyawarah apabila terjadi sesuatu di antara mereka. 21 Dengan demikian, dalam Islam kebebasan manusia tidak diberikan dengan sebebas-bebasnya. Ada batasan-batasan tertentu yang mengatur antara hak pribadi dan hak masyarakat dan kebebasannya. Selama apa yang manusia lakukan tidak melanggar aturan syara’ maka hal itu bisa diterima, namun apabila kebebasannya telah melanggar atura n syara’ maka ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Sebagai contoh adalah kebebasan beragama. Islam menghormati adanya kebebasan beragama, yang dalam al- Qur’an dinyatakan dengan la ikraha fiddin tidak ada paksaan dalam menganut suatu agama. Akan tetapi, Islam memberikan ancaman hukuman terhadap seorang muslim yang pindah agama, karena agama adalah masalah prinsip yang tidak bisa dibuat permainan. Perbedaan konsep HAM antara Barat dan Islam ini dapat menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi mengenai HAM. Untuk itu negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI Organisasi Konferensi Islam menyusun sebuah deklarasi tentang HAM dalam Islam yang bersumber pada Al-Qur ’an dan Hadits. Deklarasi tersebut adalah Cairo Declaration CD yang dibentuk pada tahun 1990. Pada prinsipnya, menurut Alwi Shihab, Deklarasi Islam ini merupakan penyempurnaan dan pemberian nilai-nilai Islam terhadap Deklarasi universal 21 Munawir Sjadzali, dkk., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan PKSK, 1997, h. 79-80. PBB. 22 Karena perbedaan perspektif antara HAM Barat dan Islam sering menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. Walaupun beberapa deklarasi tentang HAM telah dibentuk, tetapi pada prakteknya masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan baik oleh suatu negara maupun oleh pribadi manusia. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai HAM, yang mengakibatkan nilai-nilai kemanusiaan kurang diresapi dalam jiwa setiap individu. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pribadi manusia, dibutuhkanlah pemahaman HAM secara spiritual.

D. Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif

Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 198450, tertanggal 25 Mei 1984. Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain: a Di negara yang belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi „kejahatan yang paling serius’, 23 yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekuensi yang sangat keji. 22 Alwi Shihab, Islam Inklusif ... ... h. 183 b Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif berlaku surut pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan. c Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila. d Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian. e Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai. f Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatifwajib. 23 Manfred Nowak, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary”, Revisi kedua,N.P.Engel,2005, h. 15. g Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan. h Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman. Dalam konvenan tersebut secara tidak langsung menolak hukuman mati terhadap pidana tertentu termasuk pidana narkotika dengan alasan HAM yang diungkapkan dengan bahasa memperketat hukuman mati. Jika dilihat dari pasal pasal konvenan tersebut ini memberikan pemembelaan pada terpidana. Jika pidana tersebut berkaitan dengan kejahatan narkotika maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan terhadap korban diabaikan, melihat jumlah korban narkotika itu lebih banyak dari pada jumlah terpidana. Dengan kata lain kepentingan pribadi lebih diutamakan dari pada kepentingan umum. PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul “Jaminan Perlindungan bagi mereka yang menghadapi hukuman mati”, akan tetapi tidak mengeluarkan jaminan terhadap korban akibat tindak pidana terutama narkotika. Sedangkan hukuman mati pada pidana narkotika adalah memberikan jaminan terhadap korban atas hak-hak korban yang diambil oleh terpidana, sehingga konvenan HAM tersebut tidak bisa membatasi hukuman mati terhadap pidana narkotika atas dasar lebih menguntungkan terpidana dari pada korban narkotika. Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A dengan tegas menyebutkan bahwa,“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 24 Beriku tnya UUD Pasal 28 I menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dik urangi dalam keadaan apa pun.” 25 Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya pandangan tentang hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”, sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang non-derogable rights oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau dalam situasi darurat. Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 menyebutkan : 1 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia yang diberikan oleh Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 24 Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28A Amandemen kedua UUD 1945 25 AmandemenKeduaUUD1945