Pengertian Cawir Metua Kepustakaan yang Relevan

Pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat juga menggunakan tanda- tanda dalam mempresetasikan kehidupannya dengan kebudayaannya di mana masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat memberi makna secara arbiter seperti yang dikemukakan oleh Pradopo 2001:71. Mereka menentukan maknanya sesuai dengan apa yang mereka utarakan, baik dengan cara berangan-angan ataupun sebagai aturan-aturan adat. Mereka menyesuaikan dengan bentuk dan kebiasaan yang mereka alami sehari-hari. Untuk itulah penulis memilih teori semiotik sebagai landasan dalam meneliti makna tanda atau lambang yang terkandung dalam upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.

2.1.2 Pengertian Cawir Metua

Upacara kematian adalah upacara yang ditujukan sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal.Pada masyarakat Batak Karo diberi berbagai istilah yang diberikan pada orang yang telah meninggal yaitu : enggo keri beras ijemputna sudah habis beras diambilnya, enggo seh padanna sudah samapi janjinya, enggo seh sibarna sudah tiba waktunya, enggo ngobah ngeluk sudah merubah takdir, enggo metua sudah tua, enggo keri kesahna sudah habis napasnya, enggo idilo Dibata sudah dipanggil Tuhan, enggo nadingken kegeluhen sudah meninggalkan kehidupan, enggo mate sudah meninggal. Itulah beberapa istilah atau nama yang diberikan pada orang yang telah meninggal. Sitepu 1996: 133. Dilihat dari proses waktu meninggalnya kematian pada masyarakat Karo dibedakan atas dua jenis yaitu: mate telpek artinya meninggal tiba-tiba dan mate modar Universitas Sumatera Utara artinya meninggal perlahan-lahan. Meninggal perlahan-lahan maksudnya adalah meninggal karena sakit ataupun sudah ada tanda-tanda sebelumnya. Sitepu 1996:133 mengatakan bila dilihat dari segi usia, masyarakat Karo membagi jenis kematian menjadi tujuh bagian yaitu: 1. Mate Gara-Gara, yaitu orang yang meninggal saat masih bayi dan belum tumbuh gignya. 2. Mate Danak-Danak, yaitu orang yang meninggal masih berusia 1-7 tahun. 3. Mate Erlajar Mejile, yaitu orang yang meninggal masih remaja. 4. Mate Anak PeranaSinguda-nguda, yaitu orang yang meninggal masih lajang atau gadis. 5. Mate Parang MbelinPernanden, yaitu orang yang meninggal telah berkeluarga berumur 35-45 tahun. 6. Mate Tua-tua, yaitu orang yang meninggal sudah orang tua tetapi anaknya belum semua menikah. 7. Mate Cawir Metua disebut juga Mate Kayat-kayaten, yaitu orang yang meninggal sudah tua dan semua anaknya sudah menikah. Mate cawir metua merupakan istilah yang diberikan kepada orang yang telah meninggal apabila yang meninggal sudah berusia lanjut. Berusia lanjut maksudnya sudah memiliki anak, cucu, cicit atau cacah dan semua anaknya sudah menikah inilah yang sebenarnya dapat dikatakan telah cawir metua. Namun saat sekarang ini ada kalanya orang yang meninggal itu sudah berusia lanjut, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah sebenarnya belum bisa dikatakan cawir metua dalam keadaan separti ini dapat Universitas Sumatera Utara dilaksanakan adat cawir metua tetapi harus dengan persetujuan dari pihak kalimbubu dan anak yang belum menikah tersebut. Tetapi apabila pihak kalimbubu dan anak yang belum menikah tidak memberi persetujuan maka tidak bisa dilakukan upacara adat cawir metua. Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo yang belum beragama di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada saat kematiannya maka rohnya akan sering menganggu keluarga yang ditinggalkan karena merasa tidak diharagai ataupun diingat oleh keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itulah, pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat setiap ada anggota keluarga yang meninggal cawir metua, selalu diadakan upacara adat yang sesuai dengan adat dan budayanya agar roh yang telah meninggal tidak pernah mengganggu keluarga yang ditinggalkan, tetapi memberi rezeki karna dihargai dan diingat oleh keluarga yang ditinggalkan.

2.1.3 Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Karo