Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual

(1)

KATONENG-KATONENG

PADA UPACARA

CAWIR METUA

DALAM BUDAYA KARO:

KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR MELODI,

DAN MAKNA TEKSTUAL

Tesis

Program Studi Magister (S.2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni Pertunjukan

Oleh

USAHA GINTING NIM 107037003

Kepada

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PESETUJUAN

Judul Tesis : KATONENG-KATONENG PADA UPACARA CAWIR METUA

DALAM BUDAYA KARO: KAJIAN FUNGSI, STRUKTUR MUSIK, DAN MAKNA TEKSTUAL

Nama : USAHA GINTING

Nomor Pokok : 1070 37003

Program Studi : Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Ketua, Anggota,

Drs. Irwansyah, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001 NIP 195812131986011002

Program Studi:

Magister (S.2) Penciptaan dan

Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya

Ketua, Dekan,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A.


(3)

ABSTRACT

This magister thesis entitled Katoneng-Katoneng in Cawir Metua Ceremony at Karonese Culture: Analysis of Function, Music Structure, and Textual Meaning. The aims of this research are anAlyze and reach the goal about three aspect of katoneng-katoneng (Karonese traditional ceremony song genre): (a) uses and functions, (b) melodic musical structure; and (c) the meaning of song text.

To analyze the three aspects in katoneng-ketoneng I uses field works metodhs, as a participant observer, interview works, and recording data in the audiovisual formats. This research project also use qualitative method, which choose the key informant (as traditional Karonese singer called in Karo terminology perkolong-kolong) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. To study about katoneng-katoneng functions in Karo cultural generally or specially in cawir metua ceremony (“grand” die ceremony), I use functionalism theory both in cultural anthropology and ethnomusicology disciplines. Then, to analyze musical structure in the focus for melody aspect which singing by Sumpit br Ginting, I use weighted scale theory. After that, to studied the meaning of katoneng-katoneng, I use semiotic theory which based on both emic and ethic approaches.

In this research discover some scientific results as follows. Generally, katoneng-katoneng use in the context of mengket rumah mbaru (coming to the new house ceremony in Karonese culture), pesta tahun (yearly fiesta), and cawir metua

(“grand “ die ceremony). These three contexs link to the thanks expression to the God with Her blessing. Especially in cawir metua ceremony, this songs functioned as: honorably to ancestor which die; thanks to the God about die as the complete human; ritual legitimation; emotional expression; continuity of culture; and social integration.

Then the melodic structure of katoneng-katoneng is using scales hexatonic (six-tone), using prime perfect intervals until major sixth, it’s ambitus in one octave, and strophic melodic formulas. Textual meanings contained in katoneng-katoneng is stressed to counsel and consolation to the raccoon rakut sitelu to sukut (host) and gratitude at implementation of the party, with the use of diction and style language that is motivated by concepts of culture Karo.

Keywords: katoneng-katoneng, cawir metua, function, structure of music, textual meaning.


(4)

INTISARI

Tesis ini berjudul Katoneng-Katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek nyanyian tradisional Karo katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan penggunaan), (b) struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna tekstual.

Untuk mengkaji ketiga aspek tersebut penulis menggunakan metode-metode: penelitian lapangan yang bertindak sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan wawancara, perekaman data dalam bentuk audiovisual. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif dengan memilih informan kunci yaitu perkolong-kolong (penyanyi) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. Untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng baik dalam konteks budaya Karo yang luas maupun secara khusus pada upacara cawir metua, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin antropologi budaya dan etnomusikologi. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik dengan fokus pada melodi yang dilantunkan Sumpit br Ginting, penulis menggunakan teori weighted scale. Seterusnya untuk mengkaji makna tekstual katoneng-katoneng ini digunakan teori semiotik yang berbasis kepada penafsiran secara emik dan etik sekaligus.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Katoneng

-katoneng umum digunakan pada konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rmah baru), pesta tahun, dan cawir metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya. Khusus dalam upacara cawir metua, fungsinya adalah: sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia, sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; sebagai pengabsahan upacara; sebagai pengungkapan emosional; sebagai kesinambungan kebudayaan; dan sebagai integrasi sosial. Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada), dengan menggunakan interval prima murni sampai sekta mayor, ambitus satu oktaf, dan formula melodik yang strofik. Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah menekankan kepada nasihat dan penghiburan pihak rakut sitelu kepada sukut (tuan rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta, dengan menggunakan diksi dan gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsep-konsep kebudayaan Karo.

Kata kunci: katoneng-katoneng, cawir metua, fungsi, struktur music, makna tekstual.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2015

Usaha Ginting NIM 107037003


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat Tuhan tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini bertajuk

Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual.

Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan jenjang S-2 dan memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada Program Magister (SS-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tesis ini adalah hasil penelitian mengenai eksistensi katoneng-katoneng dalam kebudayaan masyarakat Karo, terutama yang digunakan dalam konteks upacara cawir metua. Perlu diketahui bahwa katoneng-katoneng juga digunakan pada upacara

mengket rumah mbaru dan juga pesta tahun di Tanah Karo Simalem. Ada tiga pokok masalah yang penulis kaji di dalam tesis magister ini, yaitu tentang fungsi, struktur musik, dan makna tekstual katoneng-katoneng.

Secara kelembagaan, pertama sekali penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara dan segenap jajarannya atas segala kebijakan pengelolaan studi magister seni penulis selama ini. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Dekan FIB USU, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan segenap jajarannya yang juga memberikan banyak pelajaran terutama dalam konteks studi penulis selama ini. Arahan-arahan mereka tersebut membuat penulis semakin termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Selama proses penyusunan tesis, penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dari para pembimbing, yakni Bapak Irwansyah, M.A. selaku pembimbing I dan juga


(7)

Bapak Bapak Drs Torang Naiborhu, M.Hum., dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Terima kasih atas segala saran-saran konstruktif keilmuan dari mereka ini, yang dapat memberikan pencerahan dan tambahan wawasan keilmuan bagi penulis. Tim pembimbing dan penguji ini sungguh banyak membantu penulis terutama kesabaran dan ketelatenan dalam penulisan tesis ini. Begitu pula ucapan terima kasih kepada seluruh dosen yang mengajar di Program Studi Magister Penciptaan dan pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Mereka itu adalah: Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.; Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.; Dr. Muhizar Muchtar, M.S.; Dr. Ridwan Hanafiah, M.A.; Dra. Rithaony, M.A.; Yusnizar Heniwaty, SST, M.Hum.; Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.; Drs. Perikuten Tarigan, M.A., dan

lain-lainnya.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai pada Program studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan administratif dan lainnya kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis. Yang pertama adalah ibunda almarhum C. br Pinem, juga ayahanda P. Ginting yang telah mendidik penulis sejak sekolah dasar, menangah, kemudian sampai pula di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, dan kini pada Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam rangka studi ini, sebagai seorang anak, maka penulis juga mengabadikan peristiwa cawir metua ibunda penulis dalam kajian tesis ini. Semoga saja apa yang


(8)

dituliskan ini menjadi semangat ananda untuk mengabdi kepada masyarakat Karo, serta bangsa Indonesia pada umumnya.

Kepada Teman-teman kuliah angkatan 2010 Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, diucapkan terimakasih untuk kebaikannya. Demikian pula angkatan 2009, 2011, 2012, 2013, dan 2014, semoga ilmu yang kita peroleh dapat kita abdikan kepada kepentingan nusa dan bangsa Indonesia ini.

Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang berkenan, mohon jangan disimpan di dalam hati. Akhir kata, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penyusunan tesis ini. Semoga hasil penelitian dari tesis ini dapat berguna bagi dunia penelitian seni pada umumnya dan bagi kebudayaan musikal masyarakat Karo pada khususnya. Terkahir kali, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati bangsa ini menjadi bangsa yang maju, damai, sentosa, dan bertakwa.

Medan, 10 Februari 2015 Penulis,

Usaha Ginting NIM 107037003


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... iii

INTISARI ... iv

PERNYATAAN ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM ... xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii

PERNYATAAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 20

1.3 Pembatasan Masalah ... 21

1.4 Tujuan dan Manfaat ... 22

1.4.1 Tujuan penelitian ... 22

1.4.2 Manfaat penelitian... 22

1.5 Konsep dan Teori ... 23

1.5.1 Konsep ... 23

1.5.1.1 Katoneng-katoneng ... 24

1.5.1.2 Cawir metua ... 25

1.5.1.3 Kebudayaan ... 26

1.5.1.4 Fungsi ... 27

1.5.1.5 Struktur melodi ... 29

1.5.1.6 Makna teks ... 29

1.5.2 Teori ... 30

1.5.2.1 Teori fungsionalisme ... 30

1.5.2.2 Teori weighted scale ... 39

1.5.2.3 Teori semiotik ... 40

1.6 Tinjauan Pustaka ... 42

1.7 Metode Penelitian ... 54

1.7.1 Studi perpustakaan ... 56

1.7.2 Wawancara ... 56

1.7.3 Pengamatan ... 57

1.7.4 Metode Transkripsi dan Analisis ... 57

1.8 Organisasi Tulisan ... 58

BAB II. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO DAN KEBUDAYAANNYA ... 60

2.1 Geografis ... 63

2.2 Sistem Kekekrabatan ... 67

2.3 Sistem Kepercayaan ... 76

2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional ... 78

2.5 Kesenian ... 80

2.5.1 Seni sastra ... 81

2.5.2 Seni ukir ... 85


(10)

2.5.3.2.1 Musik vokal ... 87

2.5.3.2.2 Musik instrumental ... 88

2.5.3.3 Ensambel musik tradisional Karo... 89

2.5.3.3.1 Gendang lima sidalanen ... 89

2.5.3.3.2 Gendang telu sidalanen ... 97

2.5.3.3.3 Solo instrumen ... 98

2.5.4 Seni tari ... 101

2.5.4.1 Tari berkaitan dengan adat ... 102

2.5.4.2 Tari berkaitan dengan ritual keagamaan ... 104

BAB III. DESKRIPSI UPACARA CAWIR METUA, SERTA PENGGUNAAN GENDANG DAN KATONENG-KATONENG ... 109

3.1 Siklus Hidup Manusia dalam Konsep Kebudayaan Karo ... 109

3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo ... 114

3.3 Pengertian Cawir Metua ... 117

3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua ... 119

3.5 Proses Upacara Cawir Metua ... 120

BAB IV. PENGGUNAAN DAN FUNGSI KATONENG-KATONENG ... 137

4.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ... 137

4.2 Penggunaan Katoneng-katoneng dalam Budaya Karo ... 142

4.2.1 Penggunaan pada upacara mengket rumah mbaru ... 143

4.2.2 Penggunaan pada upacara cawir metua ... 146

4.2.3 Penggunaan pada pesta tahun ... 149

4.2 Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua ... 154

4.2.1 Fungsi sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia ... 154

4.2.2 Fungsi sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya ... 156

4.2.3 Fungsi sebagai pengabsahan upacara ... 157

4.2.4 Fungsi sebagai pengungkapan emosi ... 158

4.2.5 Fungsi sebagai kesinambungan kebudayaan ... 160

4.2.6 Fungsi sebagai integrasi sosial ... 161

BAB V. KAJIAN STRUKTUR MELODI LAGU KATONENG-KATONENG .. 165

5.1 Proses Transkripsi dan Hasil Notasi ... 163

5.2 Tangga Nada ... 168

5.3 Nada Dasar ... 170

5.4 Nada yang Digunakan ... 174

5.5 Interval ... 175

5.6 Pola Kadensa ... 175

5.7 Formula Melodi ... 177

5.8 Kontur ... 178

BAB VI. MAKNA TEKS LAGU KATONENG-KATONENG ... 181

6.1 Seputar Studi teks Nyanyian ... 181

6.2 Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting ... 182

6.3 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Sembuyak ... 183

6.4 Makna Teks Katoneng-katoneng untuk Kalimbubu ... 187


(11)

7.2 Saran-saran ... 195 DAFTAR PUSTAKA ... 196 DAFTAR INFORMAN ... 197


(12)

DAFTAR PETA, GAMBAR, TABEL, BAGAN, DAN DIAGRAM

Peta 2.1 Kabupaten Karo ... 65

Gambar 2.1 Lambang Kabupaten Karo ... 66

Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Setiap Kecamatan di Kabupaten Karo ... 68

Tabel 2.2 Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima ... 65

Bagan 2.1 Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima dan Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo ... 78

Gambar 2.2 Penarune ... 93

Gambar 2.3 Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen ... 94

Gambar 2.4 Sarune ... 96

Gambar 2.5 Gendang Singindungi ... 98

Gambar 2.6 Gendang Singanaki ... 98

Gambar 2.7 Penganak dan Palu-palu ... 100

Gambar 2.8 Gung dan Palu-palu ... 101

Bagan 3.1 Daur Hidup dan Jenis Kematian dalam Persepsi Kebudayaan Karo ... 122

Gambar 3.1 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng ... 132

Gambar 3.2 Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek ... 133

Gambar 3.3 Foto Kelompok Kalimbubu Diwakili Laki-laki Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting ... 136

Gambar 3.4 Kelompok Kalimbubu Diwakili Perempuan Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting ... 137

Gambar 3.5 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh (Kerabat Adat) ... 138

Gambar 3.6 Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh ... 138

Diagram 5.1 Persentase Penggunaan Masing-masing Nada pada Melodi Katoneng-katoneng ... 65


(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Drs. Usaha Ginting

Alamat : Jln. Letjen Jamin Ginting 177 B Medan Agama : Katholik

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : - Tamat dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Taneh Pinem pada tanggal 14 Desember 1973.

- Tamat dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Harapan Taneh Pinem pada tanggal 4 Desember 1976.

- Tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Garuda Medan pada tanggal 28 April 1981.

- Tamat Strata Satu (S-1) Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara pada tanggal 3 September 1988.


(14)

ABSTRACT

This magister thesis entitled Katoneng-Katoneng in Cawir Metua Ceremony at Karonese Culture: Analysis of Function, Music Structure, and Textual Meaning. The aims of this research are anAlyze and reach the goal about three aspect of katoneng-katoneng (Karonese traditional ceremony song genre): (a) uses and functions, (b) melodic musical structure; and (c) the meaning of song text.

To analyze the three aspects in katoneng-ketoneng I uses field works metodhs, as a participant observer, interview works, and recording data in the audiovisual formats. This research project also use qualitative method, which choose the key informant (as traditional Karonese singer called in Karo terminology perkolong-kolong) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. To study about katoneng-katoneng functions in Karo cultural generally or specially in cawir metua ceremony (“grand” die ceremony), I use functionalism theory both in cultural anthropology and ethnomusicology disciplines. Then, to analyze musical structure in the focus for melody aspect which singing by Sumpit br Ginting, I use weighted scale theory. After that, to studied the meaning of katoneng-katoneng, I use semiotic theory which based on both emic and ethic approaches.

In this research discover some scientific results as follows. Generally, katoneng-katoneng use in the context of mengket rumah mbaru (coming to the new house ceremony in Karonese culture), pesta tahun (yearly fiesta), and cawir metua

(“grand “ die ceremony). These three contexs link to the thanks expression to the God with Her blessing. Especially in cawir metua ceremony, this songs functioned as: honorably to ancestor which die; thanks to the God about die as the complete human; ritual legitimation; emotional expression; continuity of culture; and social integration.

Then the melodic structure of katoneng-katoneng is using scales hexatonic (six-tone), using prime perfect intervals until major sixth, it’s ambitus in one octave, and strophic melodic formulas. Textual meanings contained in katoneng-katoneng is stressed to counsel and consolation to the raccoon rakut sitelu to sukut (host) and gratitude at implementation of the party, with the use of diction and style language that is motivated by concepts of culture Karo.

Keywords: katoneng-katoneng, cawir metua, function, structure of music, textual meaning.


(15)

INTISARI

Tesis ini berjudul Katoneng-Katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Budaya Karo: Kajian Fungsi, Struktur Musik, dan Makna Tekstual. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek nyanyian tradisional Karo katoneng-katoneng, yaitu: (a) fungsi (dan penggunaan), (b) struktur musik dengan fokus pada melodi, dan (c) makna tekstual.

Untuk mengkaji ketiga aspek tersebut penulis menggunakan metode-metode: penelitian lapangan yang bertindak sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan wawancara, perekaman data dalam bentuk audiovisual. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif dengan memilih informan kunci yaitu perkolong-kolong (penyanyi) Siti Aminah (Sumpit) br Ginting. Untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng baik dalam konteks budaya Karo yang luas maupun secara khusus pada upacara cawir metua, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin antropologi budaya dan etnomusikologi. Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik dengan fokus pada melodi yang dilantunkan Sumpit br Ginting, penulis menggunakan teori weighted scale. Seterusnya untuk mengkaji makna tekstual katoneng-katoneng ini digunakan teori semiotik yang berbasis kepada penafsiran secara emik dan etik sekaligus.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Katoneng

-katoneng umum digunakan pada konteks upacara mengket rumah mbaru (memasuki rmah baru), pesta tahun, dan cawir metua. Ketiga konteks ini berkait erat dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya. Khusus dalam upacara cawir metua, fungsinya adalah: sebagai penghormatan kepada leluhur yang meninggal dunia, sebagai ekspresi bersyukur kepada Tuhan atas berkat-Nya; sebagai pengabsahan upacara; sebagai pengungkapan emosional; sebagai kesinambungan kebudayaan; dan sebagai integrasi sosial. Kemudian struktur melodi katoneng-katoneng adalah menggunakan tangga nada heksatonik (enam nada), dengan menggunakan interval prima murni sampai sekta mayor, ambitus satu oktaf, dan formula melodik yang strofik. Makna-makna tekstual yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah menekankan kepada nasihat dan penghiburan pihak rakut sitelu kepada sukut (tuan rumah) dan rasa syukur ats terselenggaranya pesta, dengan menggunakan diksi dan gaya bahasa yang dilatarbelakangi oleh konsep-konsep kebudayaan Karo.

Kata kunci: katoneng-katoneng, cawir metua, fungsi, struktur music, makna tekstual.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan kebudayaan etnik. Kebudayaan ini tersebar dari wilayah Aceh sampai Papua, atau dari Sabang di ujung barat sampai ke Merauke di ujung timur, dan dari Rote di ujung utaranya sampai Talaud di ujung selatan. Negara ini juga memiliki konsep kebudayaan multikultural yang diwadahi dalam filsafat kebangsaan bhinneka tunggal ika, biar berbeda-beda tetap satu juga. Keberadaan multikultural Indonesia ini juga tercermin di dalam kawasan Sumatera Utara.

Sumatera Utara1

1

Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara yang dikenal sekarang terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada perbedaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, dalam bukunya Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918:1 dan 9). Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia, yang mencerminkan budaya multikultural. Kawasan ini dihuni etnik natif: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias. Begitu juga etnik-etnik Nusantara seperti: Ageh Raya, Kluet, Simeulue, Alas, gayo, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Makasar, dan lainnya. Kawasan ini juga dihuni oleh etnik-etnik dunia yang datang dengan berbagai motif sosiobudaya seperti orang-orang: Hokkien, Kwong Fu, Hakka, Khek, Kanton, Tamil, Kerala, Sindi, Punjabi, Sikh, Arab, Eropa, dan lain-lainnya. Secara administratif provinsi yang beribu kota Medan ini, didukung pula oleh pemerintahan kabupaten dan kota, seperti: Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Tapanuli Selatan, Madina, Padanglawas Utara, Padanglawas Selatan, Kota Sibolga,

adalah salah satu provinsi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keberadaan masyarakat yang


(17)

heterogen, dengan berdasar kepada nilai-nilai multikulturalisme. Etnik-etnik yang mendiami kawasan Sumatera Utara ini, dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa.

Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.

The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities — Pakpak-Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Goldsworthy, 1979:6).

Tebingtinggi, Kota Pematangsiantar, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan (Humbamas), Samosir, Toba Samosir (Tobasa), Dairi, Pakpak-Bharat, juga Karo.


(18)

Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.2 Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat—dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.3

Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473.606 km (Fisher, 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat

2Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku,

yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin. Jika mereka melakukan pelanggaran terhadap norma yang telah ditetapkan secara adat ini, maka mereka biasanya dikenakan sanksi sosial dan budaya.

3

Selain dari etnik natf yang biasa diuraikan dan dikaji oleh para ilmuwan, di Sumatera Utara terdapat juga dua etnik natif lainnya di wilayah Tapanuli Bahagian Selatan, yaitu orang-orang Lubu dan Siladang. Mengenai eksistensi mereka belum banyak dikaji oleh para ahli, namun bagaimanapun mereka adalah termasuk ke dalam kategori etnik Sumatera Utara, yang keberadaannya harus diperhatikan dan mengikutsertakan mereka dalam konteks membangun


(19)

Indonesia, yang terentang dari 6º LU sampai 6º LS secara latitudinal dan 95º sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington, 1963:203). Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan (Whitington, 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher, 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell, 1973:80-81).

Seperti terurai di tas, salah satu etnik natif Sumatera Utara adalah etnik Karo. Berdasarkan wilayah budayanya etnik Karo ini mendiami kawasan Kabupaten Karo, sampai juga ke Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan lainnya. Ditambah juga berbagai kawasan perantauannya di zaman Indonesia merdeka, seperti Riau, Riau Kepulauan, Jakarta, Bandung, dan berbagai tempat di kawasan Indonesia. Secara budaya, orang-orang Karo ini membagi wilayah budaya mereka, ke dalam dua kategori yaitu Karo Gugung, yang wilayahnya berada pada dataran tinggi Bukit Barisan, dan Karo Jahe [Ka.ro Ja.hê] yang bermukim di dataran rendah (pesisir timur) Sumatera Utara.


(20)

Secara umum masyarakat Karo memiliki seni musik, baik itu musik instrumentalia, nyanyian, atau gabungan keduanya. Secara ensambel, di dalam kebudayaan Karo dikenal gendang lima sidalanen, gendang telu sidalanen, dan ensambel musik keyboard [ki.bod] Karo. Di antara musik vokal atau nyanyian Karo, yang paling terkenal dan menjadi induk dari semua lagu-lagu tradisional Karo adalah katoneng-katoneng.4

Katoneng-katoneng [ka.to.nêng-ka.to.nêng] merupakan nyanyian tradisional etnik5

4

Istilah katoneng-katoneng ini, dalam konteks bahasa Karo terjadi dua versi penyebutan. Yang pertama adalah katoneng-katoneng yang secara fonetis diucapkan ka.to.nêng-ka.to.nêng. Kemudian versi kedua ada yang menyebutnya kateneng-kateneng, yang secara fonetis diucapkan dengan ka.tê.nêng-ka.tê.nêng. Kedua versi penyebutan ini merujuk kepada genre seni yang sama dan memiliki makna yang sama. Keduanya hanyalah ekspresi dari dialek dan sosiolok di dalam kebudayaan Karo.

Karo yang sangat rumit, baik ditinjau dari aspek struktural maupun konteks sosialnya. Dari aspek struktural, di samping melodi lagunya yang sangat khas, teks nyanyiannya pun harus diciptakan dengan spontanitas sesuai dengan situasi yang berlangsung dalam konteks upacara apa ia digunakan. Secara fungsional, lagu-lagu katoneng-katoneng ini, difungsikan dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya di dalam masyarakat Karo, seperti: upacara mengket rumah mbaru (masuk ke rumah baru), cawir metua (kematian seseorang yang

5

Dalam buku-buku antropologi (misalnya Narroll 1964), kelompok etnik atau suku bangsa didefinisikan sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpuln bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menhasilkan suku bangsa dan bangsa yang


(21)

berbeda-dipandang sempurna di dalam masa kehidupannya), sampai juga pesta guro-guro aron, sebagai ekspresi masyarakat Karo yang agraris, kerja tahun, dan lain-lainnya.

Pada umumnya, mereka yang mampu melakukan aspek estetis, fungsional, spontanitas tersebut adalah perkolong-kolong6 (penyanyi dan penari profesional Karo); terutama perkolong-kolong yang mengkhususkan dirinya untuk tugas itu. Dalam kenyataan sosial, pada kebudayaan Karo, beberapa di antara mereka, menurut pengamatan penulis adalah: Jenni br Sembiring, Sumpit br Ginting, Ngalemisa br Ginting, Ramlah br Karo, Arus Perangin-angin, Sabar br Sitepu, Unjuk br Ginting, dan lain sebagainya.7

Ada juga perkolong-kolong lain yang tidak mengkhususkan diri untuk tugas profesional itu. Menurut pengamatan penulis adalah: Anita br Sembiring, Samuel Sembiring, Nana br Sitepu, Keleng Barus, Ardin Ginting, dan lain sebagainya. Nama-nama yang disebutkan terakhir ini, adalah mereka yang menerima tugas hanya untuk acara-acara hiburan; misalnya acara gendang guro-guro aron, kerja tahun, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada acara-acara hiburan

6

Dalam kebudayaan musik Karo, perkolong-kolong ini dapat dipahami sebagai seorang penyanyi profesional, yang dibayar untuk bernyanyi dalam sebuah aktivitas budaya tertentu karena keahliannya tersebut. Perkolong-kolong ini bisa saja perempuan dan boleh juga laki-laki. Di sisi lain, dalam persepsi pemusik tradisional Karo penyanyi dengan pemain musik dibedakan istilahnya. Untuk penyanyi tersebut disebut perkolong-kolong, sementara pemusik secara umum disebut dengan si erjabaten [si ér.ja.ba.tên]. Kemudian kelompok pemusik atau pemain musik ini dibagi lagi kepada peranannya dalam gendang lima sedalanen atau telu sedalanen. Kalau ia bermain gung disebut si malu gung, kalau ia pemain sarune [sa.ru.né] disebut panarune [pa.na.ru.né]pemain gendang disebut si malu gendang, dan seterusnya.

7

Penulisan huruf br adalah singkatan dari kata beru, yang artinya anak perempuan dari ayah yang bermerga tertentu. Penulisan seperti ini lazim dilakukan oleh orang-orang Karo, dan


(22)

sejenis ini, nyanyian katoneng-katoneng dilantunkan hanya sekedarnya; yakni pada saat pembukaan acara.

Menurut keterangan perkolong-kolong Arus Perangin-angin, lagu

katoneng-katoneng merupakan indung (induk) dari lagu-lagu Karo. Artinya bahwa seseorang yang telah menguasai secara teknis nyanyian katoneng-katoneng, dengan sendirinya dianggap menguasai lagu-lagu Karo lainnya. Selanjutnya, menurut keterangan bapak Timbangen Perangin-angin yang juga merupakan seorang perkolong-kolong yang dipandang sebagai senior dalam kebudayaan Karo, bahwa ada setidaknya enam kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang perkolong-kolong agar mampu menyajikan lagu katoneng-katoneng

dengan baik. Kriteria-kriteria tersebut adalah: (1) Memahami bahasa Karo dengan baik.

(2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang adat atau peradatan Karo. (3) Mampu memproduksi rengget (ornamen) dengan sempurna. (4) Tidak terlalu sering menyanyikan syair secara berulang-ulang.

(5) Mengerti akan makna dari melodi sarune, serta mampu melaksanakannya dengan baik.

(6) Mampu mengungkapkan teks dengan menggunakan anding-andingen

Karo.8

8Anding-andingen

adalah perumpamaan dalam tradisi lisan pada kebudayaan Karo. Perumpamaan ini bisa saja dinyanyikan, dituturkan, didongengkan, dan berbagai jenis enkulturasi tradisi lisan lainnya. Lebih jauh lagu pengungkapanm teks anding-andingen ini juga berarti bahwa perkolong-kolong tersebut memahami dan menghayati filsafat kebudayaan Karo pada umumnya,


(23)

Nyanyian katoneng-katoneng biasanya ditampilkan dalam upacara mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), upacara cawir metua (meninggal dunia), maupun acara adat lainnya, seperti: pembukaan pada acara guro-guro aron, pesta

kerja tahun (pesta tahunan), dan lain sebagainya. Dengan demikian sebagai sebuah genre nyanyian tradisional, penggunaan katoneng-katoneng ini cukup luas di dalam kebudayaan Karo.

Namun demikian, dalam realitas sosial, kehadiran perkolong-kolong

terutama pada upacara mengket rumah mbaru dan upacara cawir metua bukanlah suatu keharusan, karena banyak pelaksanaan upacara dimaksud di atas tanpa menghadirkan perkolong-kolong. Hal itu terjadi disebabkan pertimbangan ekonomi, karena untuk mendatangkan seorang perkolong-kolong saja, pihak sukut

(penyelenggara upacara adat) harus mengeluarkan biaya berkisar 2 sampai 3 juta. Meskipun jumlah itu kadang-kadang masih dapat dirundingkan oleh kedua belah pihak (sukut dan perkolong-kolong). Selain pertimbangan ekonomi, alasan lain juga adalah karena pertimbangan adat. Karena apabila pihak sukut mendatangkan perkolong-kolong, maka harus melibatkan kaum kerabat lebih banyak untuk pelaksanaan upacara adatnya.

Pada acara guro-guro aron dan kerja tahun, perkolong-kolong

sepengetahuan penulis, secara budaya wajib dilibatkan. Biasanya mereka terdiri dari 2 (dua) orang—seorang perkolong-kolong laki-laki dan seorang perkolong-kolong perempuan (sepasang). Pada acara ini, peran perkolong-kolong tidak hanya menyampaikan nyanyian katoneng-katoneng, tetapi juga melantunkan


(24)

lagu-lagu tradisional lainnya, seperti misalnya: lagu-lagu Sada Perarih, Diding-diding,

Rimo Malem, Olakisat, dan lain sebagainya. Selain itu, perkolong-kolong juga menampilkan atraksi lain yang sangat digemari oleh orang Karo, yakni adu perkolong-kolong (berupa perlombaan atau pertandingan kemahiran dan keterampilan estetika mereka).

Pada pesta perkawinan adat karo, lagu katoneng-katoneng berisikan nasehat dan doa kepada kedua mempelai agar rukun dan damai dalam rumah tangga yang baru. Dalam upacara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru) lagu katoneng-katoneng berisikan doa agar keluarga yang memasuki rumah yang baru, sehat-sehat dan dikaruniai rejeki yang berlimpah. Sedangkan dalam upacara

cawir metua (kematian), lagu katoneng-katoneng berisikan tentang doa dan penghiburan kepada keluarga yang berduka, karena ditinggalkan salah seorang kerabatnya ke alam kubur.

Pada acara guro-guro aron teks nyanyian katoneng-katoneng juga berisikan doa dan apresiasi terhadap kerja panitia penyelenggara, sedangkan pada acara kerja tahun teks nyanyian katoneng-katoneng berisikan tentang ucapan syukur terhadap panen yang berhasil untuk tahun ini, serta harapan dan doa agar masa-masa yang akan datangpun aktifitas pertanian mendapat hasil yang berlimpah, sehingga acara seperti ini dapat dilaksanakan lagi pada tahun depan.

Perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu tersebut sesuai dengan kemampuannya. Karena setiap perkolong-kolong memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya, maka mereka


(25)

mempunyai pola tersendiri dalam penyajian melodi maupun teks nyanyian

katoneng-katoneng dalam berbagai upacara yang diikutinya. Sehingga, pola tersebut dapat dianggap sebagai ciri khas dari perkolong-kolong yang bersangkutan.

Meskipun perkolong-kolong memiliki kebebasan untuk membentuk struktur teks dan melodi lagu, namun teks nyanyian katoneng-katoneng pada umumnya memiliki struktur yang tetap dan baku. Ketiga struktur itu terdiri dari: (1) pembukaan, (2) isi, dan (3) penutup.

Bagian pertama, nyanyian katoneng-katoneng adalah pembukaan yang mana teksnya merupakan sebuah pengantar bagi seorang perkolong-kolong untuk memperkenalkan diri kepada mereka yang terlibat di dalam upacara berkenaan.

Perkolong-kolong akan menyatakan merga/beru (klen) apa yang disandangnya, menyebutkan darimana ianya berasal, menetapkan posisi adatnya dengan pihak

sukut (yang punya hajatan). Kesempatan ini juga digunakan perkolong-kolong

untuk memperkenalkan teman-temannya yang lain dari kelompok si erjabaten

(pemain musik tradisional). Bagian selanjutnya dari teks pembukaan nyanyian

katoneng-katoneng melukiskan situasi, alasan atau tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut.

Bagian kedua, merupakan teks isi yang biasanya berisi nasehat, dan pengharapan, dan juga penghiburan kepada pihak yang berduka cita. Bagian ini merupakan bagian yang sangat dramatis, karena merupakan inti dari keseluruhan teks nyanyian katoneng-katoneng. Tidak jarang pada bagian ini, kelompok adat


(26)

tertentu (terutama kerabat dekat/saudara kandung yang meninggal dunia) sampai menitikkan air mata ketika mendengarkan nyanyian dari perkolong-kolong. Pada bagian ini juga adakalanya perkolong-kolong memposisikan diri sebagai orang yang sudah meninggal itu, seolah-olah sedang menyampaikan kata-kata nasehatnya kepada keluarganya maupun kerabat lainnya.

Bagian ketiga, adalah teks penutup adalah bagian akhir dari nyanyian

katoneng-katoneng. Teksnya berisikan permohonan maaf perkolong-kolong

kepada pihak-pihak yang diwakilkannya maupun kepada pihak-pihak lain yang menjadi tujuan nyanyiannya, jika seandainya ada kata-kata yang kurang berkenan. Dengan rendah hati perkolong-kolongakan menyatakan bahwa ianya tidak bermaksud lancang berkata-kata, namun karena hanya sedemikian kemampuan yang dimilikinya.

Penyajian lagu katoneng-katoneng pada pola di atas ini biasanya dilakukan pada sesi pertama perkolong-kolong menyampaikan nyanyiannya. Namun, pada penyajian sesi kedua dan seterusnya, perkolong-kolong sering tidak lagi menggunakan struktur yang pertama tetapi langsung menuju struktur yang kedua, dan dilanjutkan dengan struktur yang ketiga.

Bahasa yang dipergunakan dalam nyanyian katoneng-katoneng

menggunakan strata tertentu dalam bahasa Karo yang disebut dengan cakap lumat

(bahasa halus). Kata-kata yang diucapkan tidak seluruhnya mengandung makna denotatif, tetapi lebih cenderung kepada makna konotatif. Kata-kata yang bermakna konotatif mempunyai efek yang lebih dalam, yang mengandung


(27)

falsafah-falsafah tertentu dari orang Karo. Di antara falsafah hidup orang karo yang tercermin di dlam teks katoneng-katoneng itu adalah dalam frase bahasa

tambar malem mergana (artinya Perangin-angin marganya, dengan segala kelebihan klen ini); tinebus Ginting mergana (istri dari marga Ginting dan segala kelebihan kultural dan historis dari perempuan Karo ini), dan lain sebagainya.

Dalam penyajian lagu katoneng-katoneng sering juga digunakan majas

(figurative language), yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Pemakaian gaya bahasa metafora terutama ditujukan kepada pihak kalimbubu untuk menunjukkan penghormatan pihak lain kepada kelompok ini. Misalnya untuk pemakaian bahasa dibata idah kami (artinya tuhan kami yang nampak). Hal itu untuk menunjukkan bahwa pihakkalimbubu ditempatkan pada posisi yang tinggi dan agung. Gaya bahasa simbolisme terutama ditujukan kepada anak beru, untuk menunjukkan tanggung jawab dan kesetiannya kepada pihak kalimbubu kepada kelompok ini. Pemakaian bahasa kuda dalan kami, piso ntelap kami, pergani-ganin kami, dan lain sebagainya menunjukkan hal itu.

Dalam musik vokal Karo, ornamen (hiasan) memainkan peranan penting. Kualitas suatu penyajian musik vokal Karo tergantung kepada beberapa aspek. Ornamen lagu merupakan aspek yang paling menonjol. Seorang penyanyi Karo harus menguasai ornamen tersebut. Ornamen tidak bisa dipakai dengan bebas, ada bagian-bagian tertentu dari lagu yang memerlukan ornamen. Misalnya ketika mengakhiri frase sebuah lagu, ataupun dipakai bersamaan pada ketika gong berbunyi. Seorang perkolong-kolong tidak dapat dengan pasti mengetahui di mana


(28)

suatu ornamen digunakan dalam sebuah lagu, dengan demikian ornamen merupakan bagian yang intrinsik dari penyanyi, namun tidak terlepas dari melodi lagu itu sendiri.

Donington (1980) memberikan defenisi ornamen dalam musik dalam sebuiah kalimat sebagai berikut:

That element in music which is decorative rather than structural, and which in particular includes both free ornamentation and specific ornaments, whether indicated by notes or signs in the notation or left to be improvised at the discretion of the performer.

Artinya adalah bahwa elemen di dalam musik yang lebih bersifat dekoratif (hiasan saja) ketimbang struktural, dan yang menjadi bahagiannya termasuk ornamentasi bebas dan ornamen khusus; apakah ditandai dengan nada-nada atau tanda-tanda dalam notasinya atau l;ebih jauh dilakukannya improvisasi ol;eh para seniman musik.

Ornamen dalam musik vokal Karo termasuk katoneng-katoneng disebut dengan istilah rengget. Ornamen ini dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:

rengget gedang (ornamen panjang) dan rengget peltep (ornamen pendek).

Rengget gedang adalah beberapa buah nada yang dinyanyikan dengan cepat dengan menggunakan teknik slur (meluncur). Biasanya dilakukan pada akhir sebuah kalimat lagu. Rengget peltep yang sering disebut sembeb adalah hampir sama dengan rengget gedang, namun nada (bunyi) yang dihasilkan lebih pendek dari renggetgedang, dan biasanya dilakukan bukan pada akhir sebuah kalimat lagu, melainkan pada akhir sebuah frase.


(29)

Ada beberapa pola melodi nyanyian katoneng-katoneng yang disajikan

perkolong-kolong, di antaranya: Simelungun Rayat, Jungut-jungut, Tangis-tangis, dan lain-lain. Lagu-lagu ini akan terasa lebih kontekstual dan memiliki makna yang dalam ketika disertai dengan pola-polanya.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa katoneng-katoneng ini, mendasarkan garapannya kepada dua hal yaitu, melodi dan teks. Teks yang mendapatkan peran di sini, membuat musik Karo ini masuk ke dalam kategori logogenik. Istilah logogenik ini adalah untuk menjelaskan sebuah genre musik atau komposisi musik yang penekanan utamanya adalah pada teks nyanyian, sementara struktur melodi dan ritme mengiringinya. Logogenik selalu dikaitkan dengan musik vokal atau nyanyian, tidak dikaitkan dengan musik instrumentalia. Dalam musik yang berkategori logogenik ini, maka hubungan musik dengan bahasa menjadi sangat penting untuk dilihat dan dikaji. Bagaimanapun ada hubungan yang erat antara bahasa, sastra, dan musik, termasuk di dalam kebudayaan Karo yang menjadi topik dalam kajian ini, terutama di dalam konteks

katoneng-katoneng yang dinyanyikan perkolong-kolong dan diiringi gendang lima sidalanenatau telu sidalanen.

Kemudian ditinjau dari konteks sosialnya katoneng-katoneng selalu digunakan dalam berbagai upacara,. Seperti mengket rumah mbaru, pesta perkawinan, kerja tahun, guro-guro aron, dan juga kematian dalam hal ini kematian cawir metua. Upacara yang terakhir ini pun di dalam kebudayaan Karo penuh dengan makna-makna dan nilai budaya.


(30)

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah, dihargai sebagai sebuah prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas (pakaian adat lengkap) yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhan emas), bulang-bulang,

dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan). Semuanya ini nanti akan dipakai pada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai. Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu. Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria. Dalam pelaksanaan upacara ini, maka salah satunya adalah menggunakan nyanyian katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong. Tema utamanya adalah tentang riwayat hidup yang meninggal serta bagaimana kesedihan sekaligus kegembiraan kerabatnya karena telah mencapai predikat kematian cawir metua.


(31)

Latar belakang katoneng-katoneng seperti diurai di atas, sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologis sebagai bidang keilmuan yang penulis geluti selama ini. Apa yang dimaksud etnomusikologi itu adalah seperti diuraikan berikut ini.

Ethnomusicology is the study of music in its cultural context. Ethnomusicologists approach music as a social process in order to understand not only what music is but why it is: what music means to its practitioners and audiences, and how those meanings are conveyed

Ethnomusicology is highly interdisciplinary. Individuals working in the field may have training in music, cultural anthropology, folklore, performance studies, dance, cultural studies, gender studies, race or ethnic studies, area studies, or other fields in the humanities and social sciences. Yet all ethnomusicologists share a coherent foundation in the following approaches and methods: 1) Taking a global approach to music (regardless of area of origin, style, or genre). 2) Understanding music as social practice (viewing music as a human activity that is shaped by its cultural context). 3) Engaging in ethnographic fieldwork (participating in and observing the music being studied, frequently gaining facility in another music tradition as a performer or theorist), and historical research.

Ethnomusicologists are active in a variety of spheres. As researchers, they study music from any part of the world and investigate its connections to all elements of social life. As educators, they teach courses in musics of the world, popular music, the cultural study of music, and a range of more specialized classes (e.g., sacred music traditions, music and politics, disciplinary approaches and methods). Ethnomusicologists also play a role in public culture. Partnering with the music communities that they study, ethnomusicologists may promote and document music traditions or participate in projects that involve cultural policy, conflict resolution, medicine, arts programming, or community music. Ethnomusicolo-gists may work with museums, cultural festivals, recording labels, and other institutions that promote the appreciation of the world’s musics

org/?page=whatisethnomusicology).

berdasarkan kutipan dalam situs web etnomusikologi.org tersebut, maka dapat dipahami bahwa etnomusikologi merupakan studi musik dalam konteks


(32)

budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Para ahli etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut etnomusikolog, biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut.

Secara keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para ilmuwan yang bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekeligus), dan penelitian sejarah musik.

Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia, musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus (misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan


(33)

disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya, penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya, rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.

Berdasarkan sejarah keilmuan etnomusikologi, secara dasar terjadi gabungan (fusi) dua disiplin ilmu yaitu musikologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri—sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music


(34)

sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).

Menurut pendapat Merriam seperti pada kutipan di atas, para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena pembahagian ini, maka selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Dampaknya adalah menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana (ilmuwan) etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks


(35)

etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian, kerja keilmuan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi seperti tersebut di atas.

Berdasarkan latar belakang katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, dan disertai kajiannya secara etnomusikologis dalam konteks interdisipliner keilmuan, maka penulis membuat penelitian ini dalam tajuk: Katoneng-katoneng pada Upacara Cawir Metua dalam Kebudayaan Karo: Kajian Fungsi, Struktur Melodi, dan Makna Tekstual Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka berikutnya adalah menentukan pokok masalah, atau lazim disebut juga dengan pertanyaan penelitian, atau masalah penelitian.

1.2 Pokok Permasalahan

Uraian pada bagian sebelumnya menyebutkan bahwa nyanyian katoneng-katoneng adalah nyanyian yang sangat rumit, karena teks nyanyiannya diciptakan oleh perkolong-kolongsesuai dengan konteks penyajiaannya. Di samping itu, teks nyanyian katoneng-katoneng harus disesuaikan dengan melodi lagunya.

Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian tentang teks dan melodi

katoneng-katoneng secara mendalam dan menyeluruh. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan ini lebih menempatkan katoneng-katoneng


(36)

dalam konteks budaya masyarakatnya, seperti contohnya: penelitian terhadap aspek historis, fungsi musik, dan sekilas penyajiannya.

Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif terhadap nyanyian

katoneng-katoneng perlu dilakukan untuk mengetahui dan memahami dengan lebih mendalam tentang struktur melodi dan makna dari nyanyian katoneng-katoneng. Maka dalam tesis ini, penulis menentukan dua pokok masalah, yaitu:

(1) Bagaimana fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

(2) struktur melodis lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

(3) Bagaimana makna tekstual lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo?

Untuk pokok masalah pertama yaitu fungsi katoneng-katoneng akan dikaji berdasarkan dua titik pandang yaitu penggunaan dan fungsinya. Untuk struktur melodi katoneng-katoneng ini, maka unsur yang akan dikaji mencakup: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi interval, formula melodi, pola-pola kadensa, nada-nada yang digunakan, dan kontur. Selain itu, secara etnosains Karo, dalam menganalisis struktur melodi ini, penulis menggunakan cara pandang orang Karo seperti konsep dan terapan rengget (estetika improvisasi dalam budaya musik Karo), bentuknya yang berkait dengan sastra Karo, dan lain-lainnya.


(37)

Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua

dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi aspek-aspek: makna denotatif (makna yang sebenarnya) dari kata per kata dan kalimat per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis. Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun

katoneng-katoneng ini.

1.3 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan yang berhubungan dengan katoneng-katoneng, peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik.

1.4Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng


(38)

Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam kebudayaan.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip keindahan penyajiannya.

3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng

yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua.

2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang akan datang.

3. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menempatkan berbagai ragam seni pertunjukan yang mengikuti kaidah-kaidah tradisi di


(39)

dalam kebudayaan Karo, yang disesuaikan pula dengan perkembangan zaman.

4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat mengembangkan disiplin ilmu-ilmu seni khususnya etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis.

5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era globalisasi dan perubahan zaman.

1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep

Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsep-konsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep-konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan (dikotomi) makna.

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan


(40)

argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177).

Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: (a) katoneng-katoneng, (b) cawir metua, (c) kebudayaan, (d) struktur melodi, (e) makna teks. Seterusnya konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini.

1.5.1.1Katoneng-katoneng

Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints (2002) disebutkan bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua (kematian), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), dan lain sebagainya.

Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya; yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara

cawir metua termasuk jenis lament song, yaitu sebuah lagu yang berhubungan dengan kematian dan cenderung sedih.


(41)

1.5.1.2Cawir metua

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan

cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak

kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emas(pakaian adat lengkap)yang terdiri dari sertali (perhiasan dari sepuhen emas), bulang-bulang

dan tudung (kain adat uniul laki-laki dan perempuan); yang manasemuanya ini nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum (suami istri), anak laki-laki almarhum (suami istri), serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).

Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai.Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu.Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria.


(42)

1.5.1.3 Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin

Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa, “segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.” Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism.


(43)

1.5.1.4 Fungsi

Kata fungsi yang digunakan dalam tajuk tesis ini merujuk kepada pengertian yang diajukan oleh Bronislaw Malinowski. Menurutnya, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena pada awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keinginan manusia (human need) itu. Dengan pengertian seperti ini, maka seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.9

Sesuai dengan pendapat Malinowski, nyanyian katoneng-katoneng pada masyarakat Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo secara umum. Lagu ini timbul dan berkembang, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu,

9

Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku


(44)

akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, perlambangan, komunikasi, dan lainnya.

A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal.

Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, lagu katoneng-katoneng

dalam budaya Karo bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Karo. Nyanyian ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya yaitu masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan

konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya respons terhadap kepemilikan rumah baru, pesta panen atau kerja tahun, kematian cawir metua, dan masalah-masalah lainnya.


(45)

1.5.1.5 Struktur melodi

Yang dimaksud dengan struktur melodi, adalah terdiri dari dua kata yaitu struktur dan melodi. Yang dimaksud struktur dalam tulisan ini adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka layang-layang, dan seterusnya (Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.

1.5.1.6 Makna teks

Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, misalnya kutipan dari Kitab Suci untuk pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan teks adalah lirik yang disajikan dalam bentuk nyanyian tradisional Karo


(46)

yang disebut katoneng-katoneng. Lirik lagu ini memiliki makna-maknanya yang dapat diungkap melalui latar belakang kebudayaan Karo. Makna-makna tersebut ada yang bersifat makna sesungguhnya yaiu makna denotatif, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam dan holistik, yaitu makna konotatifnya. Makna-makna inilah yang kemudian dianalisis dan ditafsir dalam tesisi ini.

1.5.2 Teori

Teori yang dijadikan sebagai landasan dalam kerja ilmiah adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa baiik alam atau kemasyarakatan terjadi. Teori merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35).

Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis terhadap struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua

dalam kebudayaan Karo, maka dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai dengan fenomena yang diamati. Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka penelitian yang kemudian dituliskan dalam bentuk tesis ini, dapat diuraikan sebagai berikut.

1.5.2.1 Teori fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi nyanyian katoneng-katoneng khusus pada upcara cawir metua dalam kebudayaan Karo, penulis menggunakan teori dalam disiplin


(47)

antropologi yang disebut fungsionalisme. Teori ini dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (hidup tahun1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayah beliau adalah seorang profesor dalam ilmu sastra Slavik. Olehkarena itu tidaklah mengherankan jikalau Malinowski mendapatkan pendidikan yang kelak memberikannya suatu kerja akademis juga. Pada tahun 1908 beliau lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama kajiannya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Dia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.

Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan dia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkannya tertarik kepada ilmu etnologi. Dia melanjutkan pelajarannya ke London School of Economics. Namun karena di Perguruan Tinggi itu tidak ada ilmu folklor atau etnologi, maka dia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya dalam ilmu etnologi, adalah C.G. Seligman. Pada tahun 1916 dia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai pengganti disertasi, yaitu: (a) The Family among the Australian Aborigines (1913) dan (b) The Native of Mailu (1913). Kemudian pada tahun 1914 dia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian. Selepas perang


(48)

dunia pertama pada tahun 1918, dia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai pembantu ahli di London School of Economics.

Dia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Dia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ditawari untuk menjadi profesor antropologi di University Yale pada tahun 1942. Namun pada tahun itu juga dia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya, H. Cairns, dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski, 1944).

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry, 1957:82), yaitu:

(1) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, perilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada


(49)

keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;

(3) Fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhadap ilmu psikologi juga tampak ketika dia mengunjungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana dia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yang ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, dasar dari proses belajar adalah tidak lain adalah ulangan-ulangan kepada reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.

Seperti yang telah diuraikan di atas, ketika Malinowski julung kali menulis karangan-karangannya tentang berbagai aspek masyarakat Trobiand sebagai satu kesatuan, dia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur kebudayaan


(50)

manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan learning theory sebagai dasar, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia meninggal dunia. Bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan satu rangkaian keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu usur kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan. Ilmu juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keperluan itu. Dengan pemahaman ini, kata Malinowski, seseorang peneliti bisa mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel berjudul “The Group and the Individual in Functional Analysis” dalam jurnal American Journal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan telah menjadi kebiasaan. Setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam


(51)

suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menuurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu keperluan sekunder dari satu entitas kepada sebuah masyarakat. Keperluan pokok atau dasar manusia adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan dasar itu. Untuk memenuhi keinginan dasar ini, maka muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan terhadap makanan menimbulkan keinginan sekunder yaitu keinginan untuk kerjasama dalam mengumpulkan makanan atau untuk produksi makanan. Untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan dasar para warga masyarakat.

Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat tradisional (primitif). Dia menjelaskan bahwa nilai yang praktis dari teori fungsionalisme adalah bahwa teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka


(1)

DAFTAR INFORMAN 1. Nama : Timbangan Perangin-angin Alamat : Medan

Pekerjaan : Wiraswasta dan pemusik tradisional Karo (penggual) 2. Nama : Mail bangun

Alamat : kabanjahe

Pekerjaan : Wiraswasta dan pemusik tradisional Karo (penggual) 3. Nama : Arus Perangin-angin

Alamat : Medan

Pekerjaan : Perkolong-kolong 4. Nama : Sumpit br Ginting Alamat : Kabanjahe

Pekerjaan : Perkolong-kolong 5. Nama : Asli Sembiring Alamat : Tiga Binanga

Pekerjaan : Pemusik tradisional Karo (penarune) 6. Nama : Deking Sembiring

Alamat : Kabanjahe

Pekerjaan : Pemusik tradisional Karo (penarune) 7. Nama : Ramlah br Karo

Alamat : Medan

Pekerjaan : Perkolong-kolong 8. Nama : Sehat Sembiring Alamat : Negeri Jahe


(2)

GLOSARI

Adat: Tata aturan untuk perbuatan, kebiasaan, dan lainnya yang selalu dijadikan dasar dalam bertindak pada kebudayaan etnik tertentu, yang diwariskan secara turun-temurun.

Anak beru: Anak perempuan (wanita) sebagai keturunan dari klen anak

perempuan dalam sebuah merga di Tanah Karo, dapat juga dimaknai sebagai pihak penerima wanita dalam konsep adat perkawinan etnik Karo.

Anak perana: Perjaka atau pemuda lajang.

Anak simantek: Kelompok gadis dan perjaka yang ikut dalam pelaksanaan

gendang guro-guro aron.

Anak surat: Tanda untuk mematikan atau merubah tulisan berupa huruf

Karo yang berjumlah delapan.

Aron: Kelompok pekerja pada masyarakat Karo.

Baka: Keranjang rotan berbentuk segi empat

Begu: Roh orang yang meninggal dunia dalam persepsi kosmologi Karo.

Bere-bere: Klen atau nama keturunan bagi laki-laki dan perempuan

yang berdasarkan beru ibu.

Birawan atau

berawan:

Roh yang tertinggal atau pergi dari tubuh seseorang karena sebuah peristiwa yang menakutkan, yang mengakibatkan orang tersebut menjadi sakit-sakitan.

Beru: Keturunan berjenis kelamin perempuan, atau klen yang dibawa oleh perempuan.


(3)

Cawir metua: Sebuah keadaan kematian dalam adat Karo yaitu apabila yang meninggal telah berusi lanjut, kemudian telah memiliki anak, cucu, cicit, bahkan cacah, serta syarat yang harus dipenuhi semua anaknya sudah berumah tangga.

Cokong-cokong: Satu aktivitas pemberian dukungan berupa uang pada saat

acara menari (landek) maupun menyanyi.

Dibata: Tuhan atau dewa-dewa dalam konsep religi awal

masyara-kat Karo, contoh Dibata Kaci-kaci.

Empo: Laki-laki yang menikah.

Endek: Irama, ritme, atau gerakan naik dan turun tubuh pada waktu

menari (landek).

Gendang aron: Komposisi musik yang digunakan oleh pemuda dan

pemudi, terutama dalam konteks gendang guro-guro aron.

Gendang Pendudu Tendi

Judul satu komposisi musik tradisional Karo yang digunakan dalam upacara kematian.

Guru Sibaso: Dukun tradisional Karo, yang dipandang menguasai

ilmu-ilmu gaib.

Erpangir: Aktivitas biasanya dalam bentuk upacara membersihkan

diri, yang disebut erpangir kulau, membersihkan diri pada air bersih yang mengalir.

Gundala-gundala: Seni pertunjukan teater tradisi Karo, pemainnya

mengguna-kan topeng

Indung surat: Huruf atau abjad kuno Karo yang berjumlah 21 buah.

Jambur: Balai desa, atau eumah adat di desa, bangunan rumah yang

berdasar pada arsitektur tradisional Karo, biasanay digunakan untuk rapat dan upacara-upacara adat.


(4)

Kerja tahun: Sebuah pesta tradisional masyarakat Karo yang agraris yang diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Karo dalam satu desa tertentu atau kecamatan tertentu.

Mate nguda: apabila usia yang meninggal dunia ini relative masih muda,

boleh jadi belum berumah tangga, atau sudah berumah tangga, namun belum kesemua anak-anaknya berumah tangga.

Maneh-maneh: Benda-benda warisan atau kenang-kenangan dari seseorang

yang telah meninggal dunia.

Merga: Garis keturunan dalam satu klen yang ditarik berdasarkan

garis keturunan ayah.

Ndilo wrai udan: Upacara tradisional Karo untuk tujuan memohon kepada

Tuhan agar turunlah hujan, setelah terjadi kemarau.

Ngukal tulan-tulan: Upacara tradisional Karo yang bertujuan untuk

mengumpulkan tulang atau kerangka orang yang sudah meninggal dunia selama sekian tahun dan dikuburkan kembali ke kuburan baru, disebut juga dengan ngampeken tulan-tulan.

Nurun: Upacara penguburan dalam konteks upacara kematian.

Ose: Pakaian yang dipakai dalam sebuah upacara adat tradisional Karo.

Pemasun-masun: Pemberian kata-kata petuah agar memperoleh berkat dari

Tuhan Yang maha Kuasa.

Perbegu: Kepercayaan kuno masyarakat Karo di era animisme dan

dinamisme.


(5)

Perkolong-kolong: Seorang penyanyi baik wanita maupun laki-laki yang juga pandai menari, dan melakukan pemasu-masun.

Perman: Menantu perempuan dalam konteks kekerabatan etnik

Karo, sering disebut pula dengan permain.

Perumah begu: Upacara yang dilakukan pada malam hari untuk memanggil

roh orang yang telah meninggal dunia.

Rakut sitelu: Ikatan yang tiga dalam sistem kekerabtan Karo, terdiri dari

senina, kalimbubu, dan anak beru.

Rengget: Ornamentasi atau hiasan melodi dalam nyanyian-nyanyian

Karo.

Rende: Aktivitas menyanyi.

Rose: Memakai pakaian adat Karo pada konteks upacara tertentu.

Runggu: Aktivitas musyawarah untuk mencapai mufakat dalam

kebudayaan Karo.

Sembuyak: Saudara kandung, saudara satu perut (rahim).

Sukut: Pihak yang menyelenggarakan upacara (pesta) adat, atau

dapat dimaknai sebagai tuan rumah.

Tabah-tabah galuh: yaitu kematian dalam persepsi adat Karo apabila seseorang

yang usianya belum sampai ke dalam tahap usia lanjut, tetapi semua anak-anaknya sudah berumah tangga atau berkeluarga, yang dalam bahasa Karo disebut dengan sai utang.


(6)

Turang: Hubungan kekerabatan (kinship) antara seorang wanita dan laki-laki yang memiliki klen yang sama atau satu saudara.

Uis beka buluh: Kain adat Karo yang berwarna merah, kuning, violet, dan