Pengaruh penyimpanan terhadap mutu biskuit yang diperkaya dengan tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein Kedelai (Glycine max)

(1)

ARDHITA RUKMI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

PENGARUH PENYIMPANAN TERHADAP MUTU BISKUIT YANG

DIPERKAYA DENGAN TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias

gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max)

ARDHITA RUKMI

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(3)

Nama : Ardhita Rukmi

NIM : I14061261

       

  Menyetujui:  

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc) NIP: 19510719 198403 2 001

(Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS) NIP: 19600205 198903 2 002  

     

Mengetahui

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

(Dr. Ir. Budi Setiawan, MS) NIP. 19621218 198703 1 001  

     


(4)

Catfish Flour (Clarias gariepinus) and Soybean’s Protein Isolate (Glycine max). Under Direction of CLARA M.KUSHARTO and SRI ANNA MARLIYATI.

The objective of this research was to study the effect of storage on organoleptic, chemical, and total microbial values of biscuits enriched with catfish flour (Clarias gariepinus) and soybean’s protein isolate (Glycine max). The storage method was used ESS (Extended Storage Studies) method for 0-28 weeks. The products were packaged in polypropylene (PP) keep in stoples and nonstoples. The study showed that there were significant differences in acceptance (hedonic and hedonic quality), water content, total carbohydrate, value of free fatty acid, and peroxide value between biscuits keep in stoples and nonstoples with the length time of storage (p<0,05), while the packaging had significant differences effect on hedonic quality and water content (p<0.05). No differences exist in ash, protein, and fat content, and total microbial values of biscuits keep in stoples and nonstoples. The interaction between length time of storage and packaging wasn’t significant influenced on acceptance, chemical, and total microbial values of biscuits during storage. During 28 weeks of storage at room temperature (27-290C), biscuits were justified safe to be consumed. Based on observation, biscuits keep in stoples had a slower decrease of quality rather than biscuits keep in nonstoples during storage.


(5)

Diperkaya dengan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max). Dibimbing oleh Clara M. Kusharto dan Sri Anna Marliyati.

Makanan yang bermutu sangat penting untuk kebutuhan semua orang agar dapat hidup sehat. Oleh karena itu sangat penting adanya jaminan mutu pangan, baik dari segi kandungan gizi, sensori, maupun keamanan pangan untuk dikonsumsi. Biskuit fungsional untuk balita rawan gizi yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sangat tinggi kandungan proteinnya dan sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan balita (Kusharto 2008). Di sisi lain, kandungan zat gizi yang tinggi ini dapat menjadi faktor yang mendukung terjadinya penurunan mutu fisik, kimiawi, serta biologi biskuit yang akhirnya akan mengurangi umur simpannya. Oleh karena itu studi tentang pengaruh penyimpanan terhadap mutu biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sangat penting dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat dari biskuit tersebut.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh penyimpanan terhadap mutu biskuit yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai (Glycine max). Tujuan khusus penelitian ini antara lain mengkaji pengaruh penyimpanan suhu ruang (stoples dan nonstoples) terhadap 1) sifat organoleptik biskuit (warna, aroma, rasa, dan tekstur), 2) sifat kimiawi biskuit (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida), 3) total mikroba biskuit (Total Plate Count / TPC).

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Kusharto, dkk (2008) yang berjudul ’Makanan Fungsional Berbasis Protein Ikan dan Prebiotik untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi’. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2009 sampai Februari 2010. Metode penyimpanan yang digunakan adalah metode ESS (Extended Storage Studies). Penelitian ini meliputi tahap penyimpanan sampel penelitian pada suhu ruang (27-290C) selama selang waktu 28 minggu dengan 15 kali titik uji organoleptik serta 8 kali titik uji proksimat (kadar air, abu, protein, lemak), ketengikan (kadar asam lemak bebas/ALB dan peroksida), dan mikrobiologi (Total Plate Count/TPC). Berat setiap bungkus biskuit setara dengan 50 g. Biskuit dalam kemasan plastik polipropilen ini kemudian diberi perlakuan penyimpanan stoples (polietilen) (S) dan nonstoples (NS).

Rancangan percobaan yang digunakan untuk penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL-F) dengan dua faktor perlakuan yaitu waktu penyimpanan dan kemasan. Data hasil penelitian diolah menggunakan Microsoft Excell for Windows, kemudian dianalisis menggunakan SAS System for Windows v 9.3. Data hasil uji kimia, mikrobiologi, dan mutu hedonik dianalisis dengan uji beda “Analysis of Variance (Anova)”, apabila hasil uji menunjukkan adanya perbedaan perlakuan maka dilakukan uji lanjutan “Duncan’s Multiple Range Test”. Data hedonik biskuit dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dan jika perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Dunn.

Kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan biskuit selama penyimpanan cenderung mengalami penurunan. Secara umum, panelis lebih menyukai biskuit S daripada biskuit NS, kecuali untuk parameter warna biskuit. Faktor lama penyimpanan kedua jenis kemasan biskuit berpengaruh nyata terhadap kesukaan panelis terhadap warna, rasa, aroma,


(6)

penyimpanan, kecuali untuk tekstur biskuit NS.

Hasil uji mutu hedonik biskuit selama penyimpanan cenderung berfluktuasi, tetapi jika dibandingkan antara kondisi biskuit pada titik awal dengan titik akhir penyimpanan, maka rerata skor mutunya berkurang. Skor mutu hedonik biskuit S lebih tinggi daripada NS. Faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata terhadap mutu aroma, rasa, dan tekstur, sedangkan untuk mutu warna hanya dipengaruhi secara nyata oleh faktor kemasan saja (p<0.05).

Faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar air biskuit, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak biskuit kedua kemasan. Faktor lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat biskuit, sedangkan kemasan tidak berpengaruh nyata. Interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat biskuit. Mulai minggu ke-12, kadar air biskuit pada kedua kemasan biskuit melebihi persyaratan SNI. Kadar abu, protein, lemak, dan karbohidrat selama penyimpanan cenderung stabil.

Faktor lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar asam lemak bebas dan kadar peroksida biskuit, sedangkan faktor kemasan dan interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata. Kadar asam lemak bebas biskuit pada penyimpanan minggu ke-12 telah melebihi persyaratan biskuit menurut Standar Malaysia. Kadar peroksida biskuit selama penyimpanan masih di bawah persyaratan SNI. Berdasarkan hasil uji kadar air dan kadar asam lemak bebas pada biskuit kedua jenis kemasan, maka mutu kimiawi biskuit masih dapat memenuhi persyaratan sampai penyimpanan 10 minggu.

Hasil TPC biskuit kedua kemasan selama penyimpanan cenderung stabil, kecuali pada minggu ke-20 untuk biskuit NS. Meskipun demikian, jumlah mikroba sampai akhir penyimpanan masih di bawah persyaratan SNI. Berdasarkan hasil sidik ragam, faktor lama penyimpanan dan faktor kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah koloni mikroba. Secara mikrobiologi, biskuit kedua jenis kemasan dengan lama penyimpanan 28 minggu masih aman untuk dikonsumsi. Hasil observasi uji organoleptik, kimiawi, dan mikrobiologi menunjukkan bahwa biskuit pada penyimpanan 28 minggu suhu ruang masih aman untuk dikonsumsi.


(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengaruh Penyimpanan Terhadap Mutu Biskuit yang Diperkaya dengan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max)”. Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga tercinta (Mami, Om John, Mbak Dhian, Mas Prihat, Mas Bowo, Dex Dhias, Aretha, Nathania) serta Yulius Andri yang selalu setia dan penuh kesabaran menemani, membantu, dan memberi dukungan moril. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak lain yang telah banyak membantu:

1. Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan asuhan, masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir

2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan tugas akhir ini 3. Pak Mashudi serta Fitria Dwinanda (teman seperjuangan) atas saran,

arahan, bantuan, dukungan, dan kebersamaan selama ini, terutama selama penelitian

4. Teman-teman Koplag (Komunitas Penelitian Laboratorium Gizi) dan para panelis, para pembahas seminar, kakak-kakak S2 (Mbak Rati, Mbak Maripat, Mbak Vera, dan Mbak Reisi), serta para laboran yang telah banyak membantu dan memberi masukan

5. Keluarga Bapak Sa’ad yang telah bersedia membuatkan biskuit penelitian ini, serta Bapak Anis, Kak Mpin dan Kak Kokom yang telah banyak membantu pada awal penelitian ini

6. Semua pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis ucapkan banyak terima kasih

Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi semua yang membaca. Terima kasih.

Bogor, Januari 2011


(8)

pasangan Bapak Mikael Arwadi dan Ibu Christina Maria Roosmini. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Pangudi Luhur 3 (tahun 2000), SMP PL Bintang Laut (tahun 2003), dan SMA PL St. Yosef Solo pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah satu tahun mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswi Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).

Selama masa perkuliahan penulis pernah menjadi anggota Divisi Eksternal KeMaKI 2007-2008 dan anggota KorMa (Koor Mahasiswa) KeMaKI. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Bahan Makanan (IBM) untuk tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011, Evaluasi Nilai Gizi untuk tahun ajaran 2009/2010, serta Penilaian Status Gizi untuk tahun ajaran 2010/2011. Penulis pernah mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang pengabdian masyarakat tahun 2009. Selain itu, penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) tahun 2009 di Desa Rancamaya, Bogor Selatan serta Internship di bidang Dietetik di RSUD Cibinong tahun 2010. Penulis juga aktif dalam kepanitian acara seperti FUNNY FAIR 2008 dan The Power of Diet 2009.

Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, dengan melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Penyimpanan terhadap Mutu Biskuit yang Diperkaya dengan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max)”.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Biskuit yang Diperkaya dengan Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai ... 3

Syarat Mutu Biskuit ... 3

Penyimpanan Pangan ... 4

Suhu Penyimpanan ... 5

Umur Simpan ... 6

Penentuan Umur Simpan ... 7

Pengemasan ... 7

Kerusakan Pangan ... 9

Deteriorasi ... 9

Penyebab Kerusakan Pangan ... 9

Ketengikan ... 11

Mutu Pangan ... 12

Mutu Organoleptik Pangan ... 12

Mutu Kimiawi Pangan ... 13

Mutu Mikrobiologik Pangan ... 13

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Tahapan Penelitian ... 14

Rancangan Percobaan ... 17

Pengolahan dan Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Sifat Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan ... 18

Perubahan Sifat Kimia Biskuit Selama Penyimpanan ... 27

Perubahan Total Mikroba Biskuit Selama Penyimpanan ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(10)

   

DAFTAR TABEL

Halaman

Syarat mutu biskuit ... 4

Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhan ... 5

Pengaruh faktor terhadap reaksi deteriorasi produk pangan ... 9

Hasil uji organoleptik terhadap warna biskuit selama penyimpanan ... 19

Hasil uji organoleptik terhadap rasa biskuit selama penyimpanan ... 21

Hasil uji organoleptik terhadap aroma biskuit selama penyimpanan ... 23


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Diagram alir tahapan penelitian ... 15

Penerimaan panelis terhadap warna biskuit selama penyimpanan ... 19

Penerimaan panelis terhadap rasa biskuit selama penyimpanan ... 21

Penerimaan panelis terhadap aroma biskuit selama penyimpanan ... 22

Penerimaan panelis terhadap tekstur biskuit selama penyimpanan ... 25

Penerimaan panelis terhadap keseluruhan biskuit selama penyimpanan... 26

Kadar air biskuit selama penyimpanan... 28

Kadar abu biskuit selama penyimpanan ... 29

Kadar protein biskuit selama penyimpanan ... 30

Kadar lemak biskuit selama penyimpanan ... 31

Kadar karbohidrat biskuit selama penyimpanan... 32

Kadar asam lemak bebas biskuit selama penyimpanan ... 33

Kadar peroksida biskuit selama penyimpanan ... 35


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Formula biskuit yang diperkaya tepung ikan lele dumbo dan

isolat protein kedelai………... ... 44

Lembar uji organoleptik ... 44

Prosedur uji kimia ... 46

Prosedur analisis mikrobiologi ... 49

Data uji kesukaan panelis terhadap warna biskuit S ... 50

Data uji kesukaan panelis terhadap warna biskuit NS ... 50

Data uji kesukaan panelis terhadap rasa biskuit S ... 51

Data uji kesukaan panelis terhadap rasa biskuit NS ... 51

Data uji kesukaan panelis terhadap aroma biskuit S ... 52

Data uji kesukaan panelis terhadap aroma biskuit NS ... 52

Data uji kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit S ... 53

Data uji kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit NS ... 53

Data uji kesukaan panelis terhadap keseluruhan biskuit S ... 54

Data uji kesukaan panelis terhadap keseluruhan biskuit NS ... 54

Hasil uji Kruskal Wallis biskuit S selama penyimpanan ... 55

Hasil uji Kruskal Wallis biskuit NS selama penyimpanan ... 55

Hasil uji lanjut Dunn untuk warna biskuit S ... 56

Hasil uji lanjut Dunn untuk warna biskuit NS ... 57

Hasil uji lanjut Dunn untuk rasa biskuit S ... 58

Hasil uji lanjut Dunn untuk rasa biskuit NS ... 59

Hasil uji lanjut Dunn untuk aroma biskuit S ... 60

Hasil uji lanjut Dunn untuk aroma biskuit NS ... 61

Hasil uji lanjut Dunn untuk tekstur biskuit S ... 62


(13)

Hasil uji lanjut Dunn untuk keseluruhan biskuit S ... 64

Hasil uji lanjut Dunn untuk keseluruhan biskuit NS ... 65

Data rerata uji mutu hedonik biskuit S selama penyimpanan ... 66

Data rerata uji mutu hedonik biskuit NS selama penyimpanan ... 66

Hasil sidik ragam mutu warna biskuit selama penyimpanan ... 67

Hasil sidik ragam mutu rasa biskuit selama penyimpanan ... 67

Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu rasa biskuit ... 67

Hasil sidik ragam mutu aroma biskuit selama penyimpanan ... 68

Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu aroma biskuit ... 68

Hasil sidik ragam mutu tekstur biskuit selama penyimpanan ... 68

Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu tekstur biskuit ... 69

Kadar air biskuit selama penyimpanan ... 69

Hasil sidik ragam kadar air biskuit selama penyimpanan ... 69

Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar air biskuit ... 70

Kadar abu biskuit selama penyimpanan ... 70

Hasil sidik ragam kadar abu biskuit ... 70

Kadar protein biskuit selama penyimpanan ... 70

Hasil sidik ragam kadar protein biskuit ... 70

Kadar lemak biskuit selama penyimpanan ... 71

Hasil sidik ragam kadar lemak biskuit ... 71

Kadar total karbohidrat biskuit selama penyimpanan ... 71

Hasil sidik ragam kadar total karbohidrat biskuit ... 71

Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar total karbohidrat biskuit ... 72

Kadar asam lemak bebas biskuit selama penyimpanan ... 72

Hasil sidik ragam kadar asam lemak bebas biskuit ... 72

Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar asam lemak biskuit ... 73


(14)

Hasil sidik ragam kadar peroksida biskuit ... 73

Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar peroksida ... 74

Total mikroba biskuit selama penyimpanan ... 74


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Makanan yang bermutu sangat penting untuk kebutuhan semua orang agar dapat hidup sehat. Oleh karena itu sangat penting adanya jaminan mutu pangan, baik dari segi kandungan gizi, sensori, maupun keamanan pangan untuk dikonsumsi. Hal ini masih sangat rendah di Indonesia, terbukti dengan masih banyaknya kasus keracunan pangan yang terjadi. Menurut data Badan POM, pada bulan Januari-September 2004, terdapat 3734 kasus keracunan pangan, 30% disebabkan oleh makanan olahan rumah tangga, 28,8% dari catering, 11% dari makanan jajanan, dan 16,4% dari industri (BPOM 2004 di dalam Nurjanah 2006). Keracunan ini sebagian besar disebabkan oleh adanya cemaran mikrobiologi pada makanan yang dipicu oleh berbagai hal seperti cara pemilihan dan penanganan bahan baku, proses produksi, pengemasan, pendistribusian, dan penyimpanan produk akhir yang kurang baik.

Biskuit fungsional yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai untuk balita rawan gizi sangat tinggi kandungan proteinnya dan sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan balita (Kusharto 2008). Di sisi lain, kandungan protein yang tinggi ini dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung terjadinya penurunan mutu fisik, kimiawi, serta biologi biskuit yang akhirnya akan mengurangi umur simpannya.

Sangat penting melakukan penanganan yang tepat pada produk biskuit ini untuk mencegah penurunan mutu akibat kontaminasi mikroba maupun kontaminan lain dan mencegah bahaya yang ditimbulkan akibat kontaminasi tersebut. Herawati (2008) menyebutkan bahwa pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan dan distribusi. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan faktor penyimpanan maupun umur simpan produk pangan itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi umur simpan biskuit antara lain adalah bahan baku pangan, cara pengemasan, dan suhu penyimpanan. Oleh karena itu studi tentang pengaruh penyimpanan terhadap mutu biskuit yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sangat penting dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat dari biskuit tersebut.


(16)

Tujuan Tujuan Umum:

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh penyimpanan terhadap mutu biskuit yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai (Glycine max).

Tujuan Khusus:

1. Mengkaji pengaruh penyimpanan suhu ruang (stoples dan nonstoples) terhadap sifat organoleptik biskuit (warna, aroma, rasa, dan tekstur) 2. Mengkaji pengaruh penyimpanan suhu ruang (stoples dan nonstoples)

terhadap sifat kimiawi biskuit (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, asam lemak bebas, dan bilangan peroksida)

3. Mengkaji pengaruh penyimpanan suhu ruang (stoples dan nonstoples) terhadap total mikroba biskuit (Total Plate Count / TPC)

Kegunaan Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberi data mengenai mutu biskuit yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai selama penyimpanan pada suhu kamar kepada pengguna. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberi data mutu biskuit ini selama penyimpanan kepada produsen sehingga dapat dijadikan acuan dasar dalam penentuan masa simpan produk ini.

   


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Biskuit yang Diperkaya dengan Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai

Biskuit yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai merupakan salah satu makanan fungsional berbasis protein ikan yang digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak balita rawa gizi (Kusharto 2008). Biskuit ini mempunyai kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit juga mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit. Daya cerna

protein biskuit secara in vitro sebesar 89.34%. Rendemen biskuit sebesar

84,29%, daya serap air 1.79 ml/g, kerenyahan 246.60 sedangkan untuk kekerasan adalah 397.82. Secara umum tekstur biskuit renyah dan tidak terlalu rapuh (Mervina 2009).

Biskuit ini dapat dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau setara dengan 50 gram biskuit, yang dapat memberikan 280 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak (Mervina 2009).

Tepung ikan lele dumbo yang ditambahkan ke dalam biskuit ini mempunyai karakteristik, yaitu untuk tepung kepala ikan kadar air 9.63% (bk), Aw 0.6612, kadar abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04% (bk), kadar lemak 9.39% (bk), kadar karbohidrat 7.84% (bk), densitas kamba 0.45 g/ml, dan derajat putih 29%, sedangkan untuk tepung badan ikan adalah kadar air 8.68% (bk), Aw 0.7068, kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak 10.83% (bk), kadar karbohidrat 11.83% (bk), densitas kamba 0.37 g/ml, dan derajat putih 30.96% (Mervina 2009).

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai (Koswara 1995).

Syarat Mutu Biskuit

Syarat mutu biskuit yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti yang terdapat dalam Tabel 1. Selain itu biskuit umumnya berwarna coklat keemasan,


(18)

permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah, dan ringan serta aroma yang menyenangkan. Menurut Standar Malaysia MS 1434:1998

untuk semi-sweet biscuits and cookies syarat mutu biskuit antara lain kadar air

maks. 4%, kadar protein min. 4.5%, kadar lemak 7% - 18%, kadar asam lemak bebas maks. 1%, dan kadar peroksida maks. 6 mEq/kg.

Tabel 1 Syarat mutu biskuit SNI 1992 01-2973-1992

Komponen Syarat mutu

Air Maks. 5%

Protein Min. 9%

Lemak Min. 9.5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maks. 1.5%

Logam Berbahaya Negatif

Serat Kasar Maks. 0.5%

Kalori (per 100 gr) Min. 400

Jenis Tepung Terigu

Bau dan Rasa Normal

Warna Tekstur

Cemaran mikroba (TPC)

Normal Normal

Maks 104

Menurut Vail et al (1978) mutu biskuit tergantung pada komponen

pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan yang tidak sesuai dengan proporsi dan cara pembuatan yang tepat.

Tipikal biskuit dalam kemasan biasanya mempunyai umur simpan 6 bulan, tapi sebenarnya umur simpan produk cenderung jauh lebih besar. Biskuit yang berbahan baku sumber lemak biasanya berusia 6 bulan. Biskuit yang mengandung banyak gula berumur satu tahun dan yang berbahan baku tepung biji-bijian dapat disimpan sampai satu tahun atau lebih (Baigrie 1993 dan Manley 2000).

Penyimpanan Pangan

Cara penyimpanan bahan pangan selama berbagai proses pengolahan dan tingkat penjualan merupakan hal yang utama dalam menentukan keamanan dan mutu dari aspek mikrobiologi. Bakteri patogen yang berhubungan dengan

bahan pangan tidak dapat tumbuh di luar kisaran suhu antara 4–600C, sehingga

bahan pangan yang berada di luar kisaran tersebut akan aman. Penyimpanan pangan harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan karakteristik masing-masing pangan (Syarief & Halid 1993).


(19)

Kondisi penyimpanan produk pangan dapat menyebabkan susut zat gizi pangan tersebut, selain itu juga mempengaruhi spesies mikroorganisme yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Faktor penyimpanan yang perlu diperhatikan adalah suhu penyimpanan. Kondisi penyimpanan ini sedikit mempengaruhi aktivitas air dan potensial redoks. Aktivitas air dari bahan pangan dapat naik oleh keadaan penyimpanan yang lembab. Permukaan bahan pangan yang berhubungan dengan udara akan memungkinkan perkembangan jenis-jenis mikroorganisme oksidatif, sedangkan pengemasan secara vakum akan memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme anaerob atau falkutatif anaerob (Syarief & Halid 1993).

1. Suhu Penyimpanan

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan organisme. Jika suhu naik, kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat. Sebaliknya jika suhu turun, kecepatan metabolisme turun dan pertumbuhan diperlambat. Jika suhu naik atau turun, tingkat pertumbuhan mungkin terhenti, komponen sel menjadi

tidak aktif dan sel-sel dapat mati (Buckle et al 1985).

Berdasarkan hal di atas, beberapa hal sehubungan dengan suhu bagi setiap organisme dapat digolongkan menjadi suhu minimum, suhu optimum, dan suhu maksimum. Jika suhu di bawah suhu minimum dan di atas suhu maksimum pertumbuhan mikroorganisme tidak terjadi lagi. Suhu optimum adalah suhu dimana pertumbuhan mikrooragnisme paling cepat. Suhu ini selalu lebih mendekati suhu maksimum daripada suhu minimum. Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya

Kelompok Suhu pertumbuhan

minimum (0C)

Suhu pertumbuhan

optimum (0C)

Suhu pertumbuhan

maksimum (0C)

Psikrofil Psikrotrof Mesofil Thermofil Thermotrof -15 -5 5 smpai 10

40 15

10 25 30 sampai 37 45 sampai 55 42 sampai 46

20 35 45 60 sampai 80

50

Sumber: Buckle et al 1985

Suhu simpan membantu menghasilkan umur simpan yang diperlukan untuk tingkat gizi tertentu. Suhu simpan maksimum bergantung pada zat gizi, karena setiap zat gizi mempunyai energi pengaktifan tertentu.


(20)

2. Umur Simpan

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi

kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible

(tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan juga disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Beberapa negara maju telah menetapkan peraturan bahwa produk makanan harus menentukan tanggal minimum dimana produk tersebut mulai

rusak. Best before merupakan tanggal yang menunjukkan jangka waktu

minimum dari produk diproduksi sampai produk tidak dapat diterima lagi secara

fisik dan kualitasnya, sedangkan use by date merupakan tanggal yang

menunjukkan jangka waktu minimum dari produk diproduksi sampai mengalami kerusakan mikrobiologis yang berbahaya bagi kesehatan (Ellis 1994 di dalam Kusumaningrum 2002).

Menurut Ellis (1994) di dalam Kusumaningrum (2002), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Menurut Syarief et al (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur

simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan dan kemasan keseluruhan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.


(21)

3. Penentuan Umur Simpan

Menurut Syarief et al (1989), secara garis besar umur simpan dapat

ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (Extended Storage

Studies, ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (Accelerated Storage Studies, ASS atau Accelerated Storage Shelf Life ). Umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep tersebut (Floros 1993).

Penentuan umur simpan dengan metode konvensional atau ESS adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi lingkungan sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penentuan dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan análisis parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini metode ini sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari tiga bulan. Metode ESS ini dapat juga diterapkan pada produk yang mempunyai waktu kadaluarsa lebih dari tiga bulan, tetapi akan lebih baik jika

digunakan bersamaan dengan metode ASS dengan bantuan Weibull Hazard

Analysis, dengan demikian akan dapat menyingkat waktu penentuan kadaluarsa. Metode ini biasanya juga digunakan untuk mengukur produk yang telah siap edar atau produk yang masih dalam tahap penelitian (Arpah 2001).

Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu produk pangan (deteriorasi). Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat (3-4 bulan), serta ketepatan dan akurasinya tinggi, tetapi relatif mahal. Metode ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung. Kesempurnaan model ini secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang diperoleh dengan nilai ESS. Hasil yang bervariasi dapat terjadi akibat ketidaksempurnaan model dalam mendeskripsikan sistem, yang terdiri atas produk, bahan, pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001).

Pengemasan

Biskuit merupakan produk yang mudah menyerap air dan oksigen, oleh sebab itu bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap komponen volatil, terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar, dan mampu melindungi produk dari kerusakan


(22)

mekanis. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak (Manley 1998).

Pengemasan produk untuk memberikan perlindungan yang aman hingga penyajian. Beberapa sifat fisika-kimia produk dipastikan akan sangat erat berkaitan dengan penyimpanan dan masa simpan. Aspek keamanan pangan yang mungkin terjadi berkaitan dengan pengemasan adalah bahan kimia

pengawet, kebocoran, kegagalan pengawetan, kontaminasi container, pengaruh

atmosfer bebas, dan kemungkinan respirasi produk (Syarief et al 1989).

Fungsi-fungsi suatu kemasan antara lain harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran, pencemaran lainnya, kerusakan fisik, air, oksigen, dan sinar, harus berfungsi secara benar, efisien, dan ekonomis dalam proses pengepakan, harus mempunyai suatu tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut rancangan (bentuk, ukuran, dan berat pangan), dan harus memberi pengenalan,

keterangan, dan daya tarik penjualan (Syarief et al 1989).

Kemasan mempengaruhi nilai gizi bahan pangan dengan cara mengatur derajat sejumlah faktor yang berkaitan dengan pengolahan, penyimpanan, dan penanganan zat yang dapat bereaksi dengan komponen bahan pangan. Faktor-faktor tersebut antara lain cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, pemindahan

panas, kontaminasi, dan serangan makhluk hayati (Syarief et al 1989).

Bahan pengemas yang digunakan antara lain plastik, aluminium foil,

kertas minyak, karton berlipat dan kaleng berbentuk persegi atau bulat. Aluminium foil, plastik, dan kertas minyak termasuk dalam kemasan primer, yaitu kemasan yang melapisi, melindungi atau kontak langsung dengan produk, sedangkan karton berlipat termasuk kemasan sekunder, yaitu kemasan yang melapisi, melindungi kemasan primer. Fungsi kemasan kaleng dapat dikategorikan sebagai kemasan primer maupun sekunder. Jenis-jenis plastik antara lain selofan, selulosik, poliolefin, turunan vinil, poliester, pliofilm, dll (Syarief et al 1989).

Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utama dari polipropilen antara lain ringan (densitas 0,9

g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, tidak

transparan dalam bentuk kemasan kaku. Polipropilen mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari polietilen (PE). Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk


(23)

murni pada suhu -300C mudah pecah sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanannya terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku. Polipropilen bersifat lebih kaku dari PE dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Tahan terhadap suhu tinggi sampai

dengan 1500C, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi.

Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim yang bagus. Mengeluarkan benang-benang plastik pada suhu tinggi. Tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzene, silikon, toluene, terpentin, dan asam nitrat kuat

(Syarief et al 1989).

Kerusakan Pangan 1. Deteriorasi

Kerusakan pangan dimulai dengan penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya, yang disebut sebagai deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula diawali dengan hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi, dan abrasi (Arpah 2001). Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan

Faktor Utama Effek Deterioratif

Oksigen Oksidasi lipid, kerusakan vitamin, kerusakan

protein, dan oksidasi pigmen

Uap air Kehilangan/kerusakan vitamin, perubahan

organoleptik, reaksi pengcoklatan (browning),

dan oksidasi lipid

Cahaya Oksidasi, pembentukan bau/perubahan flavor,

kerusakan vitamin, dan kerusakan pigmen/perubahan warna

Mikroorganisme Pembentukan racun, kehilangan nutrisi, dan

keracunan/alergi Kompresi/bantingan, vibrasi,

abrasi, dan penanganan secara kasar

Perubahan organoleptik dan kebocoran pada pengemas

Bahan kima toksik/bahan

kimia off-flavour

Off-flavour, perubahan organoleptik, perubahan kimia, dan pembentukan racun


(24)

2. Penyebab Kerusakan Pangan

Penyebab kerusakan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang secara alamiah sudah ada dalam produk dan tidak dapat dicegah hanya dengan pengemasan saja, dan yang tergantung dari lingkungan sekitar dan mungkin dapat dikendalikan hampir semuanya oleh pengemasan. Penyebab utama kerusakan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan enzim, dan

perubahan kimia (Buckle et al 1985).

Golongan pertama penyebab kerusakan pangan meliputi perubahan fisik karena suhu dan perubahan-perubahan biokimia dan kimia karena mikroorganisme atau karena interaksi antara berbagai komponen dalam produk pangan. Golongan kedua penyebab kerusakan pangan meliputi kerusakan secara mekanis, perubahan kadar air pangan, penyerapan dari dan interaksi dengan oksigen, dan hilang atau bertambahnya cita rasa. Mikroorganisme dapat mengakibatkan berbagai perubahan fisik dan kimiawi dari suatu bahan pangan. Bentuk-bentuk kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme antara lain adalah berjamur, pembusukan, berlendir, perubahan warna, berlendir kental seperti tali,

kerusakan fermentatif, dan pembusukan bahan-bahan berprotein (Buckle et al

1985).

Populasi mikroorganisme yang berada dalam suatu bahan pangan umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat bersifat fisik, kimia,

atau biologis. Menurut Mossel dalam Buckle et al 1985 faktor-faktor tersebut

dibagi menjadi 4, yaitu faktor intrinsik (sifat-sifat dari bahan pangan itu sendiri), faktor pengolahan, perubahan dari mikroflora awal sebagai akibat dari cara pengolahan bahan pangan (pemanasan, pengeringan, pengawetan, dan pembekuan), faktor ekstrinsik (kondisi lingkungan dari penanganan dan penyimpanan bahan pangan), dan faktor implisit sifat-sifat dari organisme itu sendiri (laju pertumbuhan spesifik, simbiosis, dan antagonisme antarmikroorganisme).

Faktor intrinsik pada kerusakan bahan pangan, antara lain aktivitas air, derajat keasaman, potensial redoks, zat-zat gizi, dan struktur biologis. Bahan

pangan dengan kadar air tinggi (aw 0,95 – 0,99) dapat ditumbuhi oleh semua

jenis mikroorganisme, tetapi karena bakteri dapat tumbuh lebih cepat daripada kapang dan khamir, maka kerusakan akibat bakteri lebih banyak dijumpai. Bahan


(25)

pangan dengan kadar gula tinggi sering dirusak oleh khamir. Bahan pangan yang lebih kering cenderung mengalami kerusakan akibat kapang yang dapat tumbuh pada nilai aktivitas air yang lebih rendah lagi. Nilai pH bahan pangan umumnya berkisar antara 3,0 sampai 8,0. Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 5,0-8,0, maka hanya jenis-jenis tertentu saja yang ditemukan pada bahan

pangan yang mempunyai nilai pH rendah (Buckle et al 1985).

Potensial redoks dari suatu sistem biologis adalah suatu indeks dari tingkat oksidasinya. Potensial redoks ini berhubungan dengan komposisi kimia dari bahan pangan dan tekanan parsial oksigen selama penyimpanan. Zat-zat gizi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah zat hidrat arang, lemak, dan protein. Zat-zat ini dipecah oleh mikroorganisme dengan enzim amilolitik, lipolitik, dan proteolitik yang dihasilkannya. Struktur biologis seperti lapisan kulit dan kulit telur, testa dari biji-bijian, dan kutikula dari bagian-bagian tanaman mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam bahan pangan (Buckle et al 1985).

3. Ketengikan

Ketengikan diartikan sebagai kerusakan atau perubahan bau dan flavor dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Kemungkinan kerusakan atau ketengikan dalam lemak dapat disebabkan oleh 4 faktor, yaitu absorbsi bau oleh lemak, aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aksi mikroba, dan oksidasi oleh oksigen udara atau kombinasi dari dua atau lebih dari penyebab kerusakan tersebut (Ketaren 2008).

Tipe penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan, yaitu ketengikan oleh oksidasi, ketengikan oleh enzim, dan ketengikan oleh proses hidrolisa. Sebelum proses ketengikan berbagai jenis minyak dan lemak akan

mengalami perubahan flavor dan bau. Hal ini dikenal dengan reversion.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dari reversion adalah suhu,

cahaya/penyinaran, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi. Jika suhu penyimpanan lemak atau

minyak dinaikkan, maka waktu untuk menghasilkan flavor reversion akan lebih

singkat (Ketaren 2008).

Ketengikan oleh oksidasi (oxidative rancidity) terjadi karena proses

oksidasi oleh oksigen udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak dan sejumlah kecil persenyawaan yang merupakan konstituen yang cukup penting. Sebagai contoh adalah persenyawaan yang membuat bahan pangan menjadi


(26)

menarik, misalnya persenyawaan yang menimbulkan aroma, flavor, warna, dan sejumlah vitamin. Proses oksidasi oleh oksigen udara secara spontan dapat terjadi jika bahan pangan yang berlemak dibiarkan kontak dengan udara. Kecepatan proses oksidasi tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan, misal suhu dan cahaya (Ketaren 2008).

Bahan pangan berlemak dengan kadar air dan kelembaban udara tertentu merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan jamur. Jamur tersebut

mengeluarkan enzim, seperti enzim lipoclastic yang dapat menguraikan

trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Semua enzim yang termasuk golongan lipase mampu menghidrolisa lemak netral (trigliserida) sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol, namun enzim tersebut inaktif oleh panas. Enzim peroksida dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga terbentuk peroksida yang dapat menyebabkan ketengikan. Selain itu enzim ini

juga dapat mengoksidasi asam lemak jenuh pada ikatan karbon atom β,

sehingga membentuk asam keton dan akhirnya membentuk metil keton (Ketaren 2008).

Mutu Pangan

Mutu pangan didefinisikan sebagai kelompok sifat atau faktor pada pangan yang membedakan tingkat pemuas atau aseptabilitas (penerimaan) dari pangan tersebut bagi pembeli atau konsumen. Mutu bahan pangan yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh seorang konsumen, mungkin masih dapat diterima oleh konsumen lainnya, sehingga definisi dari kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme menjadi sangat subyektif. Menurut Syarief dan Halid (1993) mutu pangan dapat dibedakan menjadi:

1. Mutu Organoleptik Pangan

Mutu organoleptik pangan merupakan sifat-sifat produk pangan yang hanya dikenali atau diukur dengan proses penginderaan, yaitu dengan menggunakan pancaindera. Mutu organoleptik ini meliputi bentuk, ukuran, warna, tekstur, aroma, dan rasa. Pengujian indrawi/organoleptik ini penting dan harus dilakukan pada produk pangan untuk pemeriksaan mutu pangan, pengendalian proses selama pengolahan berlangsung, dan sebagai metode pengukuran sifat mutu dalam penelitian. Perubahan organoleptik dan zat gizi terjadi selama penyimpanan, yang besarnya tergantung pada suhu penyimpanan, sistem pengemasan, dan sifat produknya.


(27)

2. Mutu Kimiawi Pangan

Mutu kimiawi pangan berhubungan dengan zat-zat kimia baik makro maupun mikro yang menyusun pangan tersebut. Zat kimia makro penyusun pangan adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Komponen kimia lain yang juga penting dalam mempengaruhi mutu stabilitas, terutama pada produk pangan kering adalah air.

Sifat-sifat kimia yang penting dalam pengawasan pangan meliputi komposisi kimia dan gizi, kandungan kimia aktif, zat kimia yang berhubungan dengan kesehatan, zat tambahan, zat kimia yang berkaitan dengan pengolahan, dan zat kimia yang berhubungan dengan pencemaran. Karena zat kimia mempengaruhi mutu produk pangan maka perlu adanya pengawasan mutu yang dapat dilakukan baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif.

3. Mutu Mikrobiologik

Mikroba dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan dan penurunan mutu produk pangan, tetapi tidak semua mikroba merugikan. Pada produk pangan basah dan semibasah mikroba berada dalam bentuk vegetatif, sedangkan bentuk spora mikroba terdapat pada hampir semua produk pangan. Produk pangan kering biasanya tidak atau sedikit mengandung bakteri tetapi dapat mengandung kapang dalam jumlah besar, terutama dalam bentuk spora yang memberi pengaruh negatif pada mutu pangan.

Suatu produk yang ditumbuhi mikroba mula-mula akan mengalami perubahan sifat-sifat produk. Perubahan sifat ini tergantung pada jenis produk pangan dan jenis mikroba yang tumbuh. Perubahan ini mengarah pada penurunan mutu dan kerusakan pangan yang dapat berbahaya bagi kesehatan. Selain itu adanya mikroba ini juga akan mempengaruhi daya awet atau daya simpan produk pangan.


(28)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 28 minggu mulai bulan Agustus, 2009 sampai Februari, 2010, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan penulisan hasil sampai bulan November, 2010. Penelitian ini bertempat di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium Penilaian Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dan Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk uji organoleptik, uji kimia dan mikrobiologis adalah sampel yang akan diteliti yaitu biskuit yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai dalam kemasan siap edar, hasil penelitian Kusharto, dkk (2008). Bahan lain untuk uji organoleptik adalah air putih. Formula biskuit disajikan pada Lampiran 1. Bahan lain yang digunakan untuk uji kimia

(proksimat dan ketengikan) adalah selenium mix, H2SO4 pekat, indikator mm:mb

2:1, NaOH 30%, H3BO3 3%, HCl, aquades, heksan, pelarut asam

asetat-kloroform 1:1, kalium-iodid, larutan pati 1%, sodium tiosulfat 0,1 N, etanol 95%, indikator fenolftalein 1%, dan larutan NaOH 0,1 N. Bahan lain yang digunakan

untuk uji mikrobiologis dengan metode Total Plate Count (TPC) adalah larutan

pengencer NaCl, dan Plate Count Agar (PCA).

Uji proksimat menggunakan peralatan seperti desikator, cawan alumunium, oven, timbangan analitik, sudip, cawan porselen, tanur, labu kjedahl, alat destruksi, alat destilasi, erlenmeyer, labu semprot, corong, pipet volumetrik

25 mL, labu lemak, soxhlet, buret, stirer, dan pipet. Peralatan yang digunakan

untuk uji mikrobiologis antara lain cawan petri steril, pipet mikro, oven, autoclaf,

vortex, dan alat penghitung koloni (colony counter). Peralatan untuk uji

organoleptik antara lain piring saji, pensil, dan lembar kuisioner. Tahapan Penelitian

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Kusharto, dkk (2008) yang berjudul ’Makanan Fungsional Berbasis Protein Ikan dan Prebiotik untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi’. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode ESS (Extended Storage Studies).

Penelitian ini meliputi tahap penyimpanan sampel penelitian selama selang waktu 28 minggu dengan 15 kali titik uji organoleptik serta 8 kali titik uji kimiawi


(29)

dan mikrobiologi. Penelitian ini dilakukan dengan dua kali ulangan penelitian dan dua kali ulangan analisis (duplo) untuk setiap perlakuan sampel dan uji-uji yang dilakukan. Sampel biskuit siap edar menggunakan plastik dengan jenis plastik PP (polypropylene). Biskuit dalam kemasan plastik ini kemudian diberi perlakuan penyimpanan stoples (S) dan nonstoples (NS) pada suhu ruang. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian 1. Pengemasan

Kemasan primer yang digunakan adalah kemasan plastik berjenis PP dengan ketebalan rata-rata 0,069088 mm dan berukuran 15,2 cm x 7,7 cm. Berat biskuit dalam setiap kemasan plastik setara 50 g. Kemasan sekunder (stoples) yang digunakan selama penyimpanan biskuit terbuat dari plastik PP dengan ukuran volume 10 liter dan ketebalan 1 mm.

2. Penyimpanan

Penyimpanan dilakukan dengan metode konvensional atau ESS (Extended Storage Studies) yaitu penyimpanan pada suhu ruang. Kondisi ruang

penyimpanan bersuhu antara 27-290C dan kelembaban udara antara 75-80%.

Suhu di dalam stoples berkisar antara 26.5-29.90C, sedangkan kelembabannya

berkisar 75-82%.

Biskuit

Pengemasan

Penyimpanan nonstoples Penyimpanan stoples

Penyimpanan selama 28 minggu pada suhu kamar

Uji kimiawi dan mikrobiologi, setiap 4 minggu

Uji organoleptik setiap 2 minggu


(30)

3. Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan dengan memberikan penilaian terhadap warna, rasa, aroma, dan tekstur sampel yang diteliti. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik) dengan menggunakan skala angka 1-5 dan uji mutu hedonik dengan menggunakan skala garis 1-9. Panelis dianggap menerima biskuit jika memberikan skor 3-5 (biasa sampai sangat suka) untuk uji kesukaan dan skor lebih besar sama dengan 5 (normal) untuk uji mutu hedonik. Biskuit dapat dikatakan masih diterima jika minimal 50% panelis memberikan skor tersebut pada saat pengujian hedonik (Taub & Singh 1998). Kuesioner uji organoleptik disajikan pada Lampiran 2.

Pengujian organoleptik ini menggunakan sepuluh orang panelis tetap semiterlatih. Kriteria pemilihan panelis antara lain pernah mengikuti pelatihan organoleptik, tidak alergi terhadap makanan yang diujikan, bersedia mengikuti pengujian organoletik secara berkala selama penelitian berlangsung, dan panelis tidak dalam keadaan lapar atau kenyang pada saat uji organoleptik. Setiap mencicipi sampel yang diuji, panelis diharuskan meminum air putih terlebih dahulu sebagai penetral rasa makanan yang telah dimakan sebelumnya.

4. Uji Kimia

Uji kimia meliputi uji proksimat dan uji ketengikan. Uji proksimat dilakukan untuk melihat kestabilan kandungan zat gizi makro, terutama lemak dan protein biskuit selama penyimpanan. Uji ini dilakukan empat minggu sekali sehingga total uji proksimat selama penyimpanan adalah 8 kali. Uji proksimat yang dilakukan adalah uji kadar air (metode oven), abu (metode tanur), protein

(metode micro-Kjeldahl), dan lemak (metode Soxhlet). Prosedur uji proksimat

dan cara perhitungannya disajikan pada Lampiran 3.

Uji ketengikan ini dilakukan untuk melihat penurunan kualitas lemak (kerusakan lemak) yang terjadi pada sampel selama penyimpanan. Uji ketengikan yang digunakan adalah uji asam lemak bebas (ALB) dan uji kadar peroksida. Prosedur uji ketengikan dan cara perhitungannya disajikan pada Lampiran 3f dan 3g.

5. Uji Mikrobiologis

Uji mikrobiologis yang dilakukan adalah pengujian total mikroba yang

dilakukan dengan menggunakan metode hitungan cawan (Plate Count).

Pemupukan biakan mikroba dilakukan dari 10-1 sampai 10-5 (tergantung jenis


(31)

uji mikrobiologis dengan metode Total Plate Count (TPC) dan perhitungannya disajikan pada Lampiran 4.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan untuk penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL-F) dengan dua faktor perlakuan yaitu waktu penyimpanan dan kemasan. Peubah respon yang diamati adalah hasil uji organoleptik (uji kesukaan dan mutu hedonik), hasil uji proksimat (kadar air, abu, lemak, protein), hasil uji ketengikan (asam lemak bebas dan peroksida), dan

hasil uji mikrobiologi (TPC) biskuit. Secara sistematis, bentuk umum dari

rancangan tersebut adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + єijk

Yijk : peubah respon akibat faktor A taraf ke-i , faktor B taraf ke-j dengan

ulangan ke-k

µ : nilai tengah populasi

Ai : pengaruh faktor kemasan pada taraf ke-i

Bj : pengaruh faktor lama penyimpanan pada taraf ke-j

ABij : pengaruh interaksi antara faktor kemasan dan lama penyimpanan

Єijk :galat pada faktor kemasan taraf ke-i, faktor lama

penyimpanan taraf ke-j pada ulangan ke-k

i : banyaknya taraf pada faktor kemasan (i=stoples, nonstoples)

j : banyaknya taraf pada faktor lama penyimpanan (j=0, 4, 8, 12, 16, 20,

24, dan 28 minggu)

k : banyaknya ulangan (k=1,2)

Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil penelitian diolah menggunakan Microsoft Excell for Windows,

kemudian dianalisis menggunakan program SAS System for Windows v 9.3.

Data hasil uji kimia, mikrobiologi, dan mutu hedonik dianalisis dengan uji

parametrik menggunakan uji beda “Analysis of Variance (Anova)”, apabila hasil

uji menunjukkan adanya perbedaan diantara perlakuan maka dilakukan uji

lanjutan “Duncan’s Multiple Range Test” untuk menentukan mana perlakuan

yang memberikan respon yang berbeda dan yang sama. Hasil uji kesukaan biskuit selama penyimpanan dianalisis dengan uji nonparametrik menggunakan

uji peringkat Kruskal Wallis dan jika perlakuan berpengaruh nyata maka

dilakukan uji lanjut Dunn (Hollander 1973).


(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan

Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 28 minggu penyimpanan biskuit. Hal ini dilakukan karena perubahan mutu sensori biskuit selama penyimpanan lebih cepat dideteksi daripada perubahan mutu zat gizinya. Baigrie (2003) menyatakan bahwa uji sensori menghasilkan respon yang lebih cepat dalam mendeteksi off flavor dari suatu produk. Penurunan signifikan pada kualitas sensori makanan berprotein dapat terjadi selama penyimpanan dengan minimal perubahan zat gizi (Taub & Singh 1998).

Secara umum selama penyimpanan 28 minggu terjadi penurunan penerimaan panelis dan skor mutu hedonik terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan biskuit kedua jenis kemasan (K). Persentase penerimaan dan rerata skor mutu hedonik biskuit S selama penyimpanan cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Keseluruhan biskuit S dan NS masih dapat diterima pada penyimpanan 28 minggu. Berikut ini uraian tiap parameter organoleptik.

Warna. Hasil penilaian penerimaan panelis terhadap warna biskuit selama penyimpanan berfluktuasi. Penerimaan panelis terhadap warna biskuit S sebanyak 65% sampai 100% dengan deskripsi warna biskuit normal sampai cerah (rerata skor mutu 5.4 sampai 7.1), sedangkan untuk biskuit NS penerimaan panelis terhadap warna sebesar 70% sampai 100% dengan deskripsi warna biskuit agak gelap sampai agak cerah (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.5) (Gambar 2 dan Tabel 4). Biskuit bermutu baik jika berwarna normal (kuning kecoklatan). Selama penyimpanan, penerimaan panelis terhadap warna biskuit mengalami penurunan dengan deskripsi warna biskuit cenderung lebih gelap daripada warna awalnya. Berdasarkan parameter warna biskuit dapat dikatakan bahwa warna biskuit uji sampai akhir penyimpanan 28 minggu masih diterima oleh panelis. Sebagian besar panelis memberi skor suka untuk warna biskuit.


(33)

Gambar 2 Penerimaan panelis terhadap warna biskuit selama penyimpanan Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap warna kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Berdasarkan uji lanjut Dunn, tingkat kesukaan panelis untuk biskuit S tidak berbeda nyata selama penyimpanan, sedangkan untuk biskuit NS kesukaan panelis pada minggu ke-0 dan 28 berbeda nyata (Lampiran 11a dan 11b). Penilaian panelis terhadap mutu warna biskuit menunjukkan bahwa sampel biskuit pada minggu ke-28 berwarna agak gelap.

Tabel 4 Hasil uji organoleptik terhadap warna biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 4 4 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3

NS 4 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 3

Rerata S 6.4 7.1 6.5 6.4 7.0 5.4 6.0 6.0 5.6 6.3 6.6 5.8 6.9 5.9 5.9

NS 6.4 5.5 5.8 5.1 6.5 5.6 4.9 5.8 5.7 5.5 4.5 5.1 6.0 6.3 5.1

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap mutu warna biskuit, sedangkan faktor kemasan berpengaruh nyata terhadap mutu warna biskuit (p<0.05) (Lampiran 17). Hal ini sesuai dengan pernyataan Taub dan Singh (1998) bahwa warna makanan antara lain dipengaruhi oleh pengolahan, kemasan, dan cahaya.

Warna biskuit dapat dipengaruhi oleh faktor pengolahan. Kondisi oven mempengaruhi suhu dan waktu pemanggangan biskuit. Menurut Manley (2000), pemanggangan biskuit dalam oven akan menghasilkan warna coklat pada permukaan biskuit akibat reaksi Maillard. Pemanggangan dalam suhu tinggi dan waktu terlalu lama akan menyebabkan kelembaban biskuit rendah dan warnanya

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

stoples 10 95 10 10 90 80 10 95 90 85 80 75 75 65 85

nonstoples 10 85 95 10 90 95 10 90 95 85 70 80 80 90 75 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Penerimaan (%)


(34)

menjadi lebih gelap. Biskuit uji ini dipanggang selama 20 menit dengan suhu awal pemanggangan 140 0C dan suhu akhir 160 0C.

Selama penyimpanan, biskuit yang dikemas dengan kemasan NS mempunyai warna lebih gelap dibandingkan dengan biskuit S. Hal ini diduga karena oksidasi lemak pada biskuit NS lebih besar daripada biskuit S. Oksidasi lemak menyebabkan makanan berwarna coklat atau gelap. Oksidasi ini dapat terjadi selama penyimpanan dan pengolahan produk (Ketaren 2008).

Kerusakan lemak terutama akibat oksidasi terjadi jika produk kontak dengan oksigen dan bila ditambah kontak dengan uap air maka kerusakan lemak akan semakin besar karena terjadi pula hidrolisis lemak. Oksidasi lemak selama penyimpanan sangat erat hubungannya dengan kemasan. Perbedaan jenis kemasan mempengaruhi kontak atau penetrasi uap air dan oksigen dari luar kemasan ke dalam kemasan. Wadah yang terbuat dari plastik kurang baik karena secara perlahan-lahan masih terjadi perembesan udara melalui pori-pori plastik (Winarno 1980). Penetrasi gas maupun uap air dalam kemasan S lebih lambat karena terhalang oleh kemasan sekunder. Hal ini didukung dengan hasil uji kadar air biskuit S yang cenderung lebih rendah daripada biskuit NS (Lampiran 21).

Rasa. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu rasa biskuit selama penyimpanan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penyimpanan dengan deskripsi rasa biskuit semakin tidak enak. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu rasa biskuit S selama penyimpanan cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Panelis yang menyukai rasa biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 60% sampai 100% dengan deskripsi rasa biskuit agak tidak enak sampai agak enak (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.9), sedangkan penerimaan untuk biskuit NS berkisar antara 35% sampai 100% dengan deskripsi rasa biskuit tidak enak sampai agak enak (rerata skor mutu 3.7 sampai 6.5) (Gambar 3 dan Tabel 5). Biskuit bermutu baik jika rasanya normal (enak). Rasa biskuit NS pada minggu ke-18 sampai minggu ke-24 dapat dikatakan tidak diterima (penerimaan kurang dari 50%).

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa biskuit S pada lama penyimpanan minggu ke-14 dengan minggu ke-0, 2, 4, dan 12 serta minggu ke-28 dengan minggu ke-0, 2, dan 12 berbeda nyata berdasarkan uji


(35)

lanjut Dunn. Berdasarkan penilaian panelis terhadap mutu rasa biskuit S, pada titik awal penyimpanan biskuit mempunyai rasa agak enak, minggu ke-28 mempunyai rasa normal, dan pada minggu ke 14 biskuit mempunyai rasa agak tidak enak.

Gambar 3 Penerimaan panelis terhadap rasa biskuit selama penyimpanan Uji lanjut Dunn pada penyimpanan biskuit NS menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa biskuit minggu ke-0 dengan minggu ke-16, 18, 20, 22, 24, dan 28, minggu ke-2 dan 4 dengan minggu ke-20, 22, dan 24, minggu ke-18 dengan minggu ke-4, minggu ke-24 dengan minggu ke-6 dan 10 berbeda nyata (Lampiran 12a dan 12b). Uji mutu rasa biskuit NS menunjukkan bahwa biskuit mempunyai rasa agak enak pada minggu ke-0, 2, dan 4, rasa normal pada minggu ke-6, 10, dan 14, serta rasa agak tidak enak pada minggu ke-16 sampai akhir penyimpanan.

Tabel 5 Hasil uji organoleptik terhadap rasa biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 4 4 4 3 3

NS 4 4 4 4 3 4 3 3 2 2 2 2 2 3 3

Rerata S 6.3 7.0 6.9 5.0 6.4 5.7 5.9 4.4 5.6 5.5 5.6 6.0 5.7 5.6 5.3

NS 6.3 6.5 6.1 5.0 6.0 5.5 4.5 5.2 4.7 4.6 3.8 4.4 4.1 4.8 4.7

Perbedaan mutu rasa biskuit dapat dipengaruhi oleh faktor pengolahan dan penyimpanan. Pemanggangan berlebih akan menyebabkan pengeringan pada produk berlanjut, warna produk akan semakin gelap, dan rasa produk berkembang menjadi pahit (Manley 2000).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap mutu rasa biskuit, sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata (Lampiran 18a). Hasil uji

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

stoples 10 10 10 75 85 80 80 60 70 75 65 80 75 70 60

nonstoples 10 90 95 85 65 85 90 70 50 45 35 40 40 75 55 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Penerimaan (%)


(36)

lanjut Duncan memperlihatkan bahwa mutu rasa biskuit pada minggu ke-10 sampai minggu ke-28 tidak berbeda nyata. Mutu rasa biskuit minggu ke-0, 2, 4, dan 8 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-10 sampai ke-28 (Lampiran 18b).

Faktor kemasan berpengaruh terhadap penurunan mutu rasa. Biskuit NS mempunyai rasa yang lebih tidak enak daripada biskuit S. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, hal ini diduga akibat perbedaan jenis kemasan yang mempengaruhi kontak atau penetrasi uap air dan oksigen dari luar kemasan ke dalam kemasan yang menyebabkan kerusakan lemak dan akhirnya mempengaruhi rasa biskuit.

Penurunan mutu rasa biskuit diduga akibat kerusakan lemak selama penyimpanan, terutama oksidasi lemak. Hasil uji kadar asam lemak bebas dan peroksida biskuit menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan lemak secara signifikan selama penyimpanan. Menurut Ketaren (2008), asam lemak bebas, walaupun berada dalam jumlah kecil dapat mengakibatkan rasa tidak lezat. Ketika proses ketengikan dimulai, rasa getir juga mulai muncul pada produk. Aroma. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu aroma biskuit berfluktuasi dan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penelitian dengan deskripsi aroma biskuit semakin amis. Sebanyak 60% sampai 100% panelis menyukai aroma biskuit S dengan deskripsi aroma biskuit dari agak amis sampai tidak amis (rerata skor mutu 4.6 sampai 7.1), sedangkan penerimaan untuk biskuit NS berkisar antara 35% sampai 100% panelis dengan deskripsi aroma biskuit agak amis sampai tidak amis (rerata skor mutu 4.1 sampai 7.1) (Gambar 4 dan Tabel 6). Biskuit dikatakan bermutu baik jika beraroma normal (beraroma menyenangkan).

Gambar 4 Penerimaan panelis terhadap aroma biskuit selama penyimpanan

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

stoples 100 100 100 65 65 80 60 65 90 75 65 85 75 70 65

nonstoples 100 95 100 75 75 80 65 70 60 60 40 35 55 60 65 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Penerimaan (%)


(37)

Secara umum, setelah minggu ke-4 persentase penerimaan terhadap aroma biskuit menurun pada kedua jenis biskuit, tetapi persentase penerimaan terhadap aroma biskuit S cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Pada minggu ke-20 dan 22 persentase penerimaan terhadap aroma biskuit NS kurang dari 50%. Hal ini didukung oleh skor mutu aroma biskuit yang kurang dari 5 pada minggu tersebut.

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Hasil uji lanjut Dunn tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskuit S menunjukkan bahwa lama penyimpanan 0 minggu berbeda nyata dengan lama penyimpanan 14 dan 20 minggu. Uji mutu hedonik terhadap aroma biskuit S memperlihatkan bahwa biskuit beraroma tidak amis pada minggu ke-0, agak amis pada minggu ke-14, dan beraroma normal pada minggu ke-20.

Pada biskuit NS, tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskuit pada lama penyimpanan 0 minggu berbeda nyata dengan 12, 16, 18, 20, 24, dan 26 minggu, demikian juga lama penyimpanan 22 minggu berbeda nyata dengan minggu ke-0, 2, dan 4 (Lampiran 13a dan 13b). Berdasarkan penilaian mutu aroma biskuit NS, pada minggu ke-0 biskuit beraroma tidak amis dan pada minggu ke-22 beraroma agak amis.

Tabel 6 Hasil uji organoleptik terhadap aroma biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 4 2 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 4

NS 4 4 4 3 3 3 3 4 3 2 2 2 2 3 3

Rerata S 7.2 7.1 6.4 5.5 5.3 6.0 5.3 4.6 6.3 5.7 5.3 5.2 6.1 6.3 6.1

NS 7.2 6.4 6.2 5.1 5.8 4.7 5.2 5.2 5.6 4.2 4.6 4.9 6.4 5.9 5.3

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata terhadap mutu aroma biskuit (p<0.05), tetapi tidak terdapat pengaruh nyata antara interaksi keduanya terhadap mutu aroma biskuit (Lampiran 19a). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma biskuit berbeda nyata pada minggu-minggu tertentu. Minggu ke-0 dengan minggu ke-2 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan ke-4 sampai ke-28 penyimpanan. Minggu ke-2, 4, dan 24 tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan minggu ke 6 sampai 22 serta minggu ke-28 penyimpanan. Minggu ke-4, 16, 24, 26, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu


(38)

ke-0, 8, 6, 1ke-0, 12, 14, 18, 2ke-0, dan 22. Minggu ke-8, 16, 24, 26, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-0, 2, 4, 6, 10, 12, 14, 18, 20, dan 22. Minggu ke-6, 8, 10, 12, 16, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke 0, 2, 4, 14, dan minggu ke-18 sampai ke-26. Minggu ke-6, 8, 10, 12, 28 dan 22 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke 0, 2, 4, 16, 24, dan 26. Minggu ke-6, 8, 10, 12, 14, 18, 20, dan 22 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-0, 2, 4, 16, 24, 26, dan 28 (Lampiran 19b).

Aroma yang tidak enak diduga disebabkan oleh kerusakan lemak akibat oksidasi selama penyimpanan. Bau amis antara lain ditimbulkan dari terbentuknya trimetil amin dari lesitin mentega dan susu bubuk yang digunakan sebagai bahan pembuatan biskuit ini. Pembentukan trimetil amin dari lesitin bersumber pada pemecahan ikatan C-N gugus choline dalam molekul lesitin yang disebabkan oleh zat pengoksidasi, seperti gugus peroksida dalam lemak (Ketaren 2008).

Penurunan aroma juga diduga disebabkan oleh kemasan biskuit yang digunakan. Selain lama penyimpanan, permeabilitas kemasan dan volume gas dalam kemasan turut mempengaruhi kadar air sehingga kualitas lemak juga akan terpengaruh. Menurut Wijaya dkk (1994), pada plastik, uap air masih dapat menembus kemasan ini sehingga selama penyimpanan produk menyerap air cukup tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lemak karena hidrolisis yang akhirnya dapat mempengaruhi aroma biskuit.

Tekstur. Selama penyimpanan, penerimaan panelis terhadap tekstur biskuit berfluktuasi, tetapi cenderung menurun dibanding dengan titik awal penyimpanan (Gambar 5) dengan deskripsi tekstur biskuit semakin tidak renyah. Tekstur biskuit NS mempunyai penerimaan dan skor mutu yang lebih rendah daripada biskuit S. Panelis yang dapat menerima tekstur biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 60% sampai 100% dengan deskripsi tekstur biskuit normal sampai agak renyah (rerata skor mutu 5.5 sampai 6.8), sedangkan penerimaan biskuit NS berkisar antara 25% sampai 100% dengan deskripsi tekstur biskuit agak keras sampai agak renyah (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.5) (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan bahwa biskuit S lebih renyah daripada biskuit NS. Biskuit dikatakan bermutu baik jika teksturnya normal (renyah). Mulai minggu ke-20 penerimaan tekstur biskuit NS kurang dari 50%, sehingga dapat dikatakan bahwa tekstur tersebut tidak diterima oleh panelis.


(39)

Gambar 5 Penerimaan panelis terhadap tekstur biskuit selama penyimpanan Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis terhadap tekstur kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit S tidak berbeda nyata selama penyimpanan, sedangkan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit NS berbeda nyata pada minggu ke-0, 4, dan 8 dengan minggu ke-20, 26, dan 28, demikian pula minggu ke-2 berbeda nyata dengan minggu ke-26 (Lampiran 14a dan 14b). Hasil penilaian mutu tekstur biskuit NS menunjukkan bahwa biskuit bertekstur agak renyah pada minggu ke-0 sampai ke-4, agak tidak renyah pada minggu ke-20, dan normal pada minggu ke-26.

Tabel 8 Hasil uji organoleptik terhadap tekstur biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 3 3 3 4 3 4 3 3 2 4 4 2 3

NS 4 4 3 3 4 3 3 2 2 2 1 2 2 2 2

Rerata S 6.6 6.6 6.9 5.9 5.8 6.4 5.7 5.7 5.7 5.5 6.0 6.2 6.5 5.9 5.9

NS 6.6 6.6 6.1 5.7 6.2 5.9 5.0 5.3 4.7 5.1 4.4 5.3 5.1 5.5 5.4

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap mutu tekstur biskuit, sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata (p>0.05) (Lampiran 20a). Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa mutu tekstur biskuit pada minggu ke-0, 2, dan 4 tidak berbeda nyata. Minggu ke-12, 14, 16, 18, dan 20 tidak berbeda nyata. Mutu tekstur biskuit pada lama penyimpanan 0, 2, dan 4 berbeda nyata dengan minggu ke-12, 14, 16, 18, dan 20 (Lampiran 20b).

Penurunan mutu tekstur diduga disebabkan oleh pertambahan kelembaban biskuit selama penyimpanan. Menurut Taub dan Singh (1998),

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

stoples 90 95 95 100 85 75 90 60 85 75 60 75 90 60 60

nonstoples 90 80 100 80 80 70 75 65 50 55 40 40 35 25 35 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Penerimaan (%)


(40)

pertambahan kelembaban pada makanan kering akan menyebabkan hilangnya kerenyahan dan bertambahnya kekerasan (kurang mudah untuk dipatahkan). Peningkatan kelembaban biskuit uji dapat dilihat dari peningkatan kadar airnya. Penurunan skor mutu tekstur (kerenyahan menurun) biskuit secara signifikan terjadi pada minggu ke-12, dimana pada minggu tersebut terjadi pula peningkatan kadar air secara signifikan. Kemasan S lebih dapat menghambat penurunan mutu tekstur daripada kemasan NS karena penetrasi uap air ke dalam biskuit menjadi lebih terhambat.

Penerimaan keseluruhan. Modus tingkat kesukaan panelis terhadap penerimaan keseluruhan biskuit S dan NS selama penyimpanan berkisar antara 2 sampai 4 (Lampiran 9a dan 9b). Penilaian organoleptik keseluruhan biskuit ini merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap warna, aroma, rasa, tektur, serta penampakan biskuit. Menurunnya penilaian terhadap minimal satu faktor di atas diduga akan mempengaruhi penilaian organoleptik secara keseluruhan. Persentase panelis yang menerima keseluruhan parameter organoleptik biskuit selama penyimpanan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Penerimaan panelis terhadap keseluruhan biskuit selama penyimpanan

Kesukaan panelis terhadap keseluruhan parameter organoleptik kedua biskuit berfluktuasi selama penyimpanan dan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penelitian. Penerimaan terhadap keseluruhan parameter sensori biskuit NS lebih rendah daripada biskuit S. Panelis yang menerima keseluruhan parameter organoleptik biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 60% sampai 100%, sedangkan untuk biskuit NS berkisar antara 40% sampai 100%. Keseluruhan parameter sensori biskuit NS mempunyai

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

stoples 100 100 100 95 95 80 90 65 90 85 60 80 80 75 70

nonstoples 100 90 100 100 80 85 75 90 55 55 45 40 50 65 60 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Penerimaan (%)


(41)

penerimaan kurang dari 50% pada minggu ke-20 dan 22. Pada akhir penyimpanan kedua jenis biskuit masih diterima oleh panelis.

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis terhadap keseluruhan parameter organoleptik kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Berdasarkan uji lanjut Dunn penerimaan panelis terhadap biskuit S berbeda nyata pada minggu ke-2 dan 4 dengan minggu ke-14 dan 28, minggu ke-0 dengan minggu ke-14, serta minggu ke-2 dengan minggu ke-20 penyimpanan. Pada biskuit NS, penerimaan panelis minggu ke-0 berbeda nyata dengan minggu ke-16, 18, 20, 22, 24, 26, dan 28, minggu ke-2 berbeda nyata dengan minggu ke-22 dan 24, minggu ke-4 berbeda nyata dengan minggu ke-16, 20, 22, 24, dan 28, serta minggu ke-22 dengan minggu ke-6 dan 10 penyimpanan (Lampiran 15a dan 15b). Karena penilaian hedonik keseluruhan ini meliputi semua parameter organoleptik dan penampakan biskuit, maka perbedaan penilaian yang signifikan beberapa parameter organoleptik biskuit selama penyimpanan turut mempengaruhi penilaian organoleptik keseluruhan biskuit.

Perubahan Sifat Kimia Biskuit Selama Penyimpanan Kandungan Zat Gizi

Kadar Air. Mutu bahan pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh kandungan airnya. Kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan pangan. Winarno (1997) menyatakan bahwa kadar air umumnya berbanding lurus dengan aw. Semakin kecil kadar air,

maka semakin kecil aw, sehingga semakin awet bahan pangan tersebut karena

pertumbuhan mikroba menjadi terhambat.

Selama penyimpanan, kadar air biskuit yang disimpan dalam kemasan S maupun NS mengalami peningkatan. Kadar air biskuit selama penyimpanan 28 minggu pada suhu ruang dengan kemasan NS berkisar antara 3,30% sampai 6,92% (bb), sedangkan untuk biskuit kemasan S berkisar antara 3,69% sampai 5,76% (bb) (Gambar 7).

Syarat kadar air biskuit pada SNI 01-2973-1992

adalah maksimum sebesar 5% (bb), sehingga dapat dikatakan kadar air

biskuit mulai minggu ke-12 sampai pada akhir titik penyimpanan tidak

memenuhi persyaratan tersebut.


(1)

 

70

Lampiran 22b Hasil uji lanjut Duncan pengaruh waktu terhadap kadar air biskuit

selama penyimpanan

Pengelompokan Duncan

Nilai Tengah N

Waktu

A

A

6.3125

4

20

A

A

6.0600

4

24

A

A

6.0450

4

28

A

A

5.8125

4

16

A

5.6825 4

12

B

B

3.7975

4

4

B

B

3.7850

4

0

B

3.4925

4

8

Nilai tengah dengan huruf sama, tidak berbeda nyata

Lampiran 23 Kadar abu (%bk) biskuit selama penyimpanan

Kemasan Ulangan

Lama Penyimpanan (minggu)

0 4 8 12 16 20 24 28

S

1

2.72 2.82 2.85 2.94 3.13 2.84 2.86 2.89

2

2.84 2.83 2.79 2.85 2.85 2.99 2.86 2.83

Rata-rata

2.78 2.83 2.82 2.89 2.99 2.91 2.86 2.86

NS

1

2.72 2.94 2.88 3.02 2.89 3.12 2.94 2.93

2

2.84 2.78 2.69 2.87 2.85 2.89 2.87 2.88

Rata-rata

2.78 2.86 2.79 2.94 2.87 3.01 2.90 2.91

Lampiran 24 Hasil sidik ragam kadar abu biskuit selama penyimpanan

Sumber Variasi

df

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung Pr > F

Waktu

7

0.1109

0.0158

1.93

0.1304

Kemasan

1

0.0066

0.0066

0.81

0.3825

Waktu * Kemasan 7

0.0393

0.0056

0.68

0.6838

*Signifikansi lebih kecil dari

α

= 0.05, berbeda nyata

Lampiran 25 Kadar protein (%bk) biskuit selama penyimpanan

Kemasan Ulangan

Lama Penyimpanan (minggu)

0 4 8 12 16 20 24 28

S

1

19.2

20.12

18.69

18.68

18.58

19.28 19.74 19.93

2

20.05

19.56

18.05

18.65

18.01

20.62 20.06 19.44

Rata-rata 19.63

19.84

18.37

18.67

18.30

19.95 19.90 19.68

NS

1

19.2

17.72

18.86

18.8

17.78

20.64 21.06 19.39

2

20.05

19.23

18.41

18.28

18.51

18 18.51 20.27

Rata-rata 19.63

18.48

18.64

18.54

18.15

19.32 19.78 19.83

Lampiran 26 Hasil sidik ragam kadar protein biskuit selama penyimpanan

Sumber Variasi

df

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung Pr > F

Waktu

7

11.5636

1.6519

2.38

0.0711

Kemasan

1

0.4876

0.4876

0.70

0.4138

Waktu * Kemasan 7

1.9152

0.2736

0.39

0.8916


(2)

Lampiran 27 Kadar lemak (%bk) biskuit selama penyimpanan

Kemasan Ulangan

Lama Penyimpanan (minggu)

0 4 8 12 16 20 24 28

S

1

23.31

23.55

22.55

21.93

22.89

21.97 22.43 22.16

2

21.62

21.40

21.15

21.76

21.53

21.30 21.08 21.23

Rata-rata 22.47

22.48

21.85

21.84

22.21

21.64 21.75 21.69

NS

1

23.31

23.82

23.33

24.25

23.93

25.09 25.05 23.28

2

21.62

21.69

19.59

21.48

21.08

21.89 21.28 21.04

Rata-rata 22.47

22.76

21.46

22.86

22.51

23.49 23.16 22.16

Lampiran 28 Hasil sidik ragam kadar lemak biskuit selama penyimpanan

Sumber Variasi

df Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung Pr > F

Waktu

7

3.1283

0.4469

0.18

0.9866

Kemasan

1

3.0443

3.0443

1.20

0.2893

Waktu * Kemasan

7

3.9590

0.5656

0.22

0.9740

Signifikansi lebih kecil dari

α

= 0.05, berbeda nyata

Lampiran 29 Kadar total karbohidrat (%bk) biskuit selama penyimpanan

Kemasan Ulangan

Lama Penyimpanan (minggu)

0 4 8 12 16 20 24 28

S

1

50.86

50.56

52.03

51.56

50.43

50.72 49.64 49.48

2

51.81

51.59

54.52

50.81

51.79

48.87 50.20 50.53

Rata-rata 51.34

51.07

53.27

51.19

51.11

49.80 49.92 50.00

NS

1

50.86

51.77

51.16

47.92

49.61

44.38 44.60 48.48

2

51.81

52.41

56.48

51.48

50.88

50.15 50.60 49.09

Rata-rata 51.34

52.09

53.82

49.70

50.25

47.26 47.60 48.78

Lampiran 30a Hasil sidik ragam kadar karbohidrat (%bk) biskuit selama

penyimpanan

Sumber Variasi

df Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung Pr > F

Waktu

7

77.2460

11.0352

2.74

0.0451

Kemasan

1

5.8824

5.8824

1.46

0.2446

Waktu * Kemasan

7

11.6699

1.6671

0.41

0.8799


(3)

 

72

Lampiran 30b Hasil uji lanjut Duncan pengaruh waktu terhadap kadar karbohidrat

biskuit selama penyimpanan

Pengelompokan Duncan

Nilai Tengah N

Waktu

A

A

53.548 4

8

B

B

A

A

51.583

4

4

B

B

A

A

51.335

4

0

B

B

A

A

50.678

4

16

B

B

A

50.443

4

12

B

B

49.395

4

28

B

B

48.760

4

24

B

48.530

4

20

Nilai tengah dengan huruf sama, tidak berbeda nyata

Lampiran 31 Kadar asam lemak bebas (%) biskuit selama penyimpanan

Kemasan Ulangan

Lama Penyimpanan (minggu)

0 4 8 12 16 20 24 28

S

1

0.91

0.76

0.66

1.20

0.49

0.40 0.26 0.18

2

0.91

0.74

0.77

1.10

0.44

0.18 0.24 0.14

Rata-rata 0.91

0.75

0.71

1.15

0.46

0.29 0.25 0.16

NS

1

0.88

0.72

0.74

1.00

0.42

0.34 0.22 0.16

2

0.91

0.76

0.74

1.18

0.45

0.36 0.28 0.21

Rata-rata 0.90

0.74

0.74

1.09

0.44

0.35 0.25 0.19

Lampiran 32a Hasil sidik ragam kadar asam lemak bebas biskuit selama

penyimpanan

Sumber Variasi

df

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung Pr > F

Waktu

7

3.2150

0.4593

124.87

<.0001*

Kemasan 1

0.0000 0.0000

0.00

0.9771

Waktu * Kemasan 7

0.0097

0.0014

0.38

0.9033


(4)

Lampiran 32b Hasil uji lanjut Duncan pengaruh waktu terhadap kadar asam

lemak bebas biskuit selama penyimpanan

Pengelompokan Duncan

Nilai Tengah N

Waktu

A

1.1200 4

12

B

0.9025 4

0

C

C

0.7450

4

4

C

0.7275

4

8

D

0.4500

4

16

E

E

0.3200

4

20

F

F

E

0.2500 4

24

F

0.1725

4

28

Nilai tengah dengan huruf sama, tidak berbeda nyata

Lampiran 33 Kadar peroksida (mg Eq/kg) biskuit selama penyimpanan

Kemasan Ulangan

Lama Penyimpanan (minggu)

0 4 8 12 16 20 24 28

S

1

0.00 1.55 1.73 2.12 4.34 3.27 2.59 1.84

2

0.00 1.34 1.31 2.78 4.23 4.13 1.66 1.31

Rata-rata

0.00 1.45 1.52 2.45 4.29 3.70 2.13 1.58

NS

1

0.00 0.96 1.56 1.85 2.74 4.87 3.86 1.83

2

0.27 1.63 1.62 2.33 3.47 2.57 2.42 1.59

Rata-rata

0.14 1.29 1.59 2.09 3.11 3.72 3.14 1.71

Lampiran 34a Hasil sidik ragam kadar peroksida biskuit selama penyimpanan

Sumber Variasi

df

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung Pr > F

Waktu

7

42.4653

6.0665

17.24

<.0001*

Kemasan

1

0.0124

0.0124

0.04

0.8535

Waktu * Kemasan 7

2.6041

0.3720

1.06

0.4328


(5)

 

74

Lampiran 34b Hasil uji lanjut Duncan pengaruh waktu terhadap kadar peroksida

biskuit selama penyimpanan

Pengelompokan Duncan

Nilai Tengah N

Waktu

A

A

3.7100 4 20

A

3.6950 4 16

B

B

2.6325 4 24

C

C

B

2.2700 4 12

C

C

1.6425

4

28

C

C

1.5550

4

8

C

1.3700

4

4

D

0.0675

4

0

Nilai tengah dengan huruf sama, tidak berbeda nyata

C. Data Total Mikroba Biskuit Selama Penyimpanan

Lampiran 35 Total mikroba (koloni/g) biskuit selama penyimpanan

Kemasan Ulangan

Lama Penyimpanan (minggu)

0 4 8 12 16 20 24 28

S

1

115 160 55 135 45 55 82 180

2

155 90 65 85 125 80 200 70

Rata-rata

135 125 60 110 85 68 141 125

NS

1

115 125 100 120 150 1095 105 340

2

155 130 90 100 175 70 28 110

Rata-rata

135 128 95 110 163 583 66 225

Lampiran 36 Hasil sidik ragam total mikroba biskuit selama penyimpanan

Sumber Variasi

df

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung Pr > F

Waktu

7

166655

23808

0.66

0.7022

Kemasan

1

53669

53669

1.49

0.2403

Waktu * Kemasan 7

234381

33483

0.93

0.5114


(6)

Lampiran 35 Gambar biskuit selama penyimpanan

Biskuit uji tanpa kemasan Biskuit dengan kemasan primer (PP)