Analisis Kualitas Protein Secara Biologi Pada Tepung Campuran Beras-Pisang Awak Masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Tepung Kecambah Kedelai (Glycine max L. Merrill)

(1)

ANALISIS KUALITAS PROTEIN SECARA BIOLOGI PADA TEPUNG CAMPURAN BERAS-PISANG AWAK MASAK (Musa paradisiaca var. Awak) YANG DIVARIASIKAN DENGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

DAN TEPUNG KECAMBAH KEDELAI (Glycine max L. Merrill)

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 091000032 ISNATUR RAHMI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ANALISIS KUALITAS PROTEIN SECARA BIOLOGI PADA TEPUNG CAMPURAN BERAS-PISANG AWAK MASAK (Musa paradisiaca var. Awak) YANG DIVARIASIKAN DENGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

DAN TEPUNG KECAMBAH KEDELAI (Glycine max L. Merrill)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

NIM.091000032 ISNATUR RAHMI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

ABSTRAK

Kualitas protein merupakan syarat penting dalam pembuatan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Pembuatan MP-ASI yang berkualitas memenuhi >70% kualitas kasein.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk menganalisis kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang divariasikan dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kecambah kedelai (Glycine max L. Merrill). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 taraf perlakuan yaitu tepung protein whey, tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai (TPLK) dan tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo (TPL). Kualitas protein diketahui dengan menghitung nilai Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) dari hewan percobaan yaitu mencit jantan lepas sapih (Usia 23 hari) sebanyak 18 ekor.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Gizi Pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara selama Oktober-Desember 2013. Selanjutnya dilakukan analisis kadar nitrogen feses dan urin mencit di Balai Riset Standardisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk perhitungan nilai BV dan NPU.

Kualitas protein berdasarkan nilai PER pada TPLK dan TPL yaitu : 1,28 dan 0,94. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada nilai PER menunjukkan bahwa pemberian ransum TPLK dan TPL tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan mencit. Kualitas protein berdasarkan nilai BV pada TPLK dan TPL yaitu 17,33% dan 14,47 %. Sedangkan nilai NPU pada TPLK dan TPL masing-masing sebesar 18,53% dan 16,22%. Berdasarkan nilai PER, BV dan NPU yang diperoleh menunjukkan bahwa TPLK dan TPL belum memenuhi standard MP-ASI sesuai dengan 224/Menkes/SK/II/2007.

Disarankan pembuatan tepung TPLK dan TPL sebaiknya dilakukan dengan pengolahan yang sekaligus sehingga mengurangi proses pengeringan berulang yang menyebabkan kerusakan pada kandungan gizi khusunya protein. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan hewan uji tikus untuk melihat perbedaan pertambahan berat badan dan PER yang diperoleh.

Kata Kunci: Kualitas Protein, Pisang Awak, Tepung Kecambah Kedelai, Ikan Lele Dumbo


(5)

ABSTRACT

Protein quality is an important requirement in the manufacture of complementary feeding. Standard of complementary feeding quality was >70% casein quality.

This experimental research aims to analyze the protein quality of the flour mixture rice-banana ‘Awak’ ripe (Musa paradisiaca var. Awak) that varied with African catfish (Clarias gariepinus) and soybean sprouts (Glycine max L.Merrill). This research used a Completely Randomized Design with three treatments were: whey protein powder, banana ‘Awak’ ripe flour mixture African catfish and soybean sprouts (TPLK) and the mixture of banana ‘Awak’ ripe flour and african catfish (TPL). Protein quality was calculating the value of Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV) and Net Protein Utilization (NPU) of 18 male mices, 23 days old. This research was conducted in the Laboratory of Food Nutrition of Public Health Faculty, University of North Sumatera during October to December 2013. Further, analysis of feces and urine’s nitrogen of mice in Industry Standardization Research Center Medan (BARISTAND).

Protein quality of TPLK and TPL from PER value were: 1.28 and 0.94. The results of analysis of variance (ANOVA) showed the PER value of TPLK and TPL doesn’t give a significantly different effect of the mice’s growth. The BV value were 17.33% and 14.47%, and the NPU value were 18.53% and 16.22%. Based on PER, BV and NPU values showed that TPLK and TPL hasn’t met the standard of complementary feeding appropriate 224/Menkes/SK/II/2007.

It’s suggested, making TPLK and TPL flour should be done at a time so reduce the drying process repeatedly that damage the nutritional content especially protein. Besides, need further research using rats to see the difference weight gain and PER value.

Keywords: Protein quality, Banana “Awak”, Soybean Sprouts Flour, African Catfish.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Isnatur Rahmi

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 30 April 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Gurilla No. 10 B Medan Perjuangan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1997-2003 : Madrasah Ibtidaiyah Negeri Medan Tembung 2. 2003-2006 : Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan 3. 2006-2009 : Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, kemudahan, dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kualitas Protein Secara Biologi Pada Tepung Campuran Beras-Pisang Awak Masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Tepung Kecambah Kedelai (Glycine max L. Merrill)”, guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua Orang tua tercinta, Ayahanda H. Ishak Hamzah dan Ibunda Hj. Nur’aini Husein, atas kasih sayang, bimbingan, dukungan, nasehat dan do’a sepenuh hati. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memotivasi penulis dari awal masa perkuliahan sampai dengan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Jumirah, Apt. M.Kes, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak berbagi ilmu, membimbing, menasehati, serta memotivasi penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.


(8)

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, member saran dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan bimbingan, serta kritik dan saran yang membangun bagi penulis. 6. Ibu Fitri Ardiani, SKM, MPH selaku Dosen Penguji yang telah banyak

memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis.

7. Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM, Ph.D, selaku Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah mendukung dan memotivasi penulis selama ini.

8. Bang Marihot Oloan Samosir, ST, selaku staf Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah banyak membantu penulis saat proses penelitian serta penyelesaian administrasi penelitian.

9. Para Dosen dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat.

10. Bapak Al Hamra selaku Kepala Laboratorium MMH, Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan (BARISTAND), yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di Laboratorium tersebut.

11. Kakak, abang dan adik tersayang, serta semua keponakan tercinta yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dukungan serta semangat tiada tara kepada penulis selama ini.


(9)

12. Sahabat tersayang, Widya Annisa yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu, memberikan arahan, serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

13. Kawan-kawan seperjuangan dari awal di FKM USU 2009, Adelina Irmayani, Defi Wahyuningsih, Suliyanti, Rahmawati Hsb, Shafratul Husna, dan Mbak Nur Aswat yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

14. Keluarga Besar di Laboratorium Pangan dan Gizi FKM USU, Kak Epi, Bang Sehat, Kak Dewi, Kak Yunita Hrp, Masria S, Nurmaida, Audiary, Dinda dan Vella yang saling memberikan dukungan dan kehangatan kebersamaan selama penelitian di Laboratorium..

15. Teman seperjuangan di UKMI Ad-Dakwah USU, UKMI FKM USU dan Pertamina Foundation Schoolars, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan semangat serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi para pembaca. Amiin.

Medan, Maret 2014

Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Makanan Bayi ... 7

2.1.1. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) ... 7

2.1.2. Pola Pemberian MP-ASI Menurut Umur ... 9

2.1.3. Bahan Dasar MP-ASI ... 10

2.2. Pisang ... 12

2.2.1. Pisang Awak (Musa paradisiaca var. Awak) ... 14

2.2.2. Tepung Pisang Awak Masak ... 15

2.2.3. Pembuatan Campuran Tepung Beras-Pisang Awak Masak ... 16

2.3. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 18

2.4. Kacang Kedelai (Glycine max L. Merrill) ... 21

2.4.1. Kecambah Kedelai ... 24

2.4.2. Tepung Kecambah Kedelai ... 27

2.5. Penilaian Kualitas Protein Makanan ... 28

2.5.1. Evaluasi Kualitas Protein ... 31

2.6. Kerangka Konsep ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 37

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.3. Sampel Penelitian ... 38


(11)

3.4.1. Tahapan Pertama ... 39

3.4.2. Tahapan Kedua ... 39

3.5. Mekanisme Tahapan Penelitian ... 40

3.5.1. Tahapan Pertama : Pembuatan Bahan Dasar ... 40

3.5.2. Tahapan Kedua : Pembuatan Ransum ... 42

3.6. Persiapan Hewan Percobaan ... 46

3.6.1. Pengukuran Parameter Uji Kualitas Protein ... 48

3.7. Analisis dan Pengolahan Data ... 49

3.8. Definisi Operasional ... 51

BAB VI HASIL PENELITIAN ... 53

4.1. Karakteristik Tepung Beras-Pisang Awak Masak yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo dan Tepung Kecambah Kedelai ... 53

4.2. Kandungan Zat Gizi pada Tepung Beras-Pisang Awak Masak yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo dan Tepung Kecambah Kedelai ... 54

4.3. Karakteristik Hewan Percobaan ... 54

4.4. Pola Pertumbuhan Berat Badan Mencit Selama 28 Hari Pengamatan ... 55

4.5. Kualitas Protein TPLK dan TPL ... 56

4.5.1. Nilai PER ... 56

4.5.2. Nilai BV ... 57

4.5.3. Nilai NPU ... 58

BAB V PEMBAHASAN ... 59

5.1. Pertumbuhan Berat Badan Mencit ... 59

5.2. Kualitas Protein TPLK dan TPL ... 60

5.2.1. Nilai PER ... 62

5.2.2. Nilai BV ... 64

5.2.3. Nilai NPU ... 65

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

6.1. Kesimpulan ... 68

6.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Komposisi Gizi dalam 100 gram MP-ASI Bubuk Instan ... 12

Tabel 2.2. Kandungan Gizi Pisang Awak dan Tepung Campuran Beras-Pisang Awak Masak ... 17

Tabel 2.3. Kandungan Gizi Daging Ikan Lele Dumbo per 100 gram ... 21

Tabel 2.4. Susunan Asam Amino Esensial Ikan Lele ... 21

Tabel 2.5. Komposisi Zat Gizi Kedelai ... 23

Tabel 2.6. Komposisi Zat Gizi Berbagai Jenis Kecambah dalam 100 gram Bahan ... 25

Tabel 2.7. Komposisi Asam Amino Kecambah Kedelai Dibandingkan Kedelai Kering dan Tempe dalam 100 gram Bahan ... 27

Tabel 2.8. Pola Kebutuhan Asam Amino Esensial yang Disarankan dalam Diet Menurut Kelompok Umur ... 29

Tabel 2.9. Hasil Analisis Kandungan Asam Amino Pada Tepung TPLK dan TPL dalam Komposisi 100 gram Bahan ... 30

Tabel 3.1. Pengkodean Perlakuan Berdasarkan Jenis Ransum yang Diberikan ... 42

Tabel 3.2. Komposisi Ransum untuk Penetapan PER in vivo ... 42

Tabel 3.3. Komposisi Ransum untuk Perlakuan (per 100 gram Ransum) ... 43

Tabel 3.4. Pengelompokan Hewan Percobaan Berdasarkan Perlakuan ... 48

Tabel 3.5. Daftar Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap ... 49

Tabel 4.1. Kandungan Proksimat Tepung TP, TPLK dan TPL per 100 gram Bahan ... 54

Tabel 4.2. Nilai PER kelompok Mencit Berdasarkan Perlakuan yang Diberikan ... 56

Tabel 4.3. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) PER pada P1, P2 dan P3 ... 57


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Pisang Awak Masak (Musa paradisiaca var. Awak) ... 14

Gambar 2.2. (a) Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus), (b) Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 19

Gambar 2.3. Kacang Kedelai (Glycine max L. Merrill) ... 22

Gambar 2.4. Kecambah Kedelai ... 24

Gambar 2.5 Mencit Jantan (Mus muscullus) ... 32

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian ... 36

Gambar 3.1. Skema Rancangan Acak Lengkap Penelitian ... 38

Gambar 3.2. Skema Pembuatan Ransum P1, P2 dan P3 ... 46

Gambar 4.1. Karakteristik Tepung TP, TPLK dan TPL ... 53


(14)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 2. Surat Selesai Penelitian

Lampiran 3. Hasil Analisa Nitrogen Feses dan Urin Mencit

Lampiran 4. Pertumbuhan Berat Badan Mencit selama 28 Hari Pengamatan Lampiran 5. Konsumsi Ransum Mencit Selama 28 Hari Pengamatan

Lampiran 6. Konsumsi Protein Ransum yang Diberikan Selama 28 Hari Pengamatan per 100 gram Ransum

Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Rancangan Acak Lengkap PER Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian


(15)

ABSTRAK

Kualitas protein merupakan syarat penting dalam pembuatan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Pembuatan MP-ASI yang berkualitas memenuhi >70% kualitas kasein.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk menganalisis kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang divariasikan dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kecambah kedelai (Glycine max L. Merrill). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 taraf perlakuan yaitu tepung protein whey, tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai (TPLK) dan tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo (TPL). Kualitas protein diketahui dengan menghitung nilai Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) dari hewan percobaan yaitu mencit jantan lepas sapih (Usia 23 hari) sebanyak 18 ekor.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Gizi Pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara selama Oktober-Desember 2013. Selanjutnya dilakukan analisis kadar nitrogen feses dan urin mencit di Balai Riset Standardisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk perhitungan nilai BV dan NPU.

Kualitas protein berdasarkan nilai PER pada TPLK dan TPL yaitu : 1,28 dan 0,94. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada nilai PER menunjukkan bahwa pemberian ransum TPLK dan TPL tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan mencit. Kualitas protein berdasarkan nilai BV pada TPLK dan TPL yaitu 17,33% dan 14,47 %. Sedangkan nilai NPU pada TPLK dan TPL masing-masing sebesar 18,53% dan 16,22%. Berdasarkan nilai PER, BV dan NPU yang diperoleh menunjukkan bahwa TPLK dan TPL belum memenuhi standard MP-ASI sesuai dengan 224/Menkes/SK/II/2007.

Disarankan pembuatan tepung TPLK dan TPL sebaiknya dilakukan dengan pengolahan yang sekaligus sehingga mengurangi proses pengeringan berulang yang menyebabkan kerusakan pada kandungan gizi khusunya protein. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan hewan uji tikus untuk melihat perbedaan pertambahan berat badan dan PER yang diperoleh.

Kata Kunci: Kualitas Protein, Pisang Awak, Tepung Kecambah Kedelai, Ikan Lele Dumbo


(16)

ABSTRACT

Protein quality is an important requirement in the manufacture of complementary feeding. Standard of complementary feeding quality was >70% casein quality.

This experimental research aims to analyze the protein quality of the flour mixture rice-banana ‘Awak’ ripe (Musa paradisiaca var. Awak) that varied with African catfish (Clarias gariepinus) and soybean sprouts (Glycine max L.Merrill). This research used a Completely Randomized Design with three treatments were: whey protein powder, banana ‘Awak’ ripe flour mixture African catfish and soybean sprouts (TPLK) and the mixture of banana ‘Awak’ ripe flour and african catfish (TPL). Protein quality was calculating the value of Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV) and Net Protein Utilization (NPU) of 18 male mices, 23 days old. This research was conducted in the Laboratory of Food Nutrition of Public Health Faculty, University of North Sumatera during October to December 2013. Further, analysis of feces and urine’s nitrogen of mice in Industry Standardization Research Center Medan (BARISTAND).

Protein quality of TPLK and TPL from PER value were: 1.28 and 0.94. The results of analysis of variance (ANOVA) showed the PER value of TPLK and TPL doesn’t give a significantly different effect of the mice’s growth. The BV value were 17.33% and 14.47%, and the NPU value were 18.53% and 16.22%. Based on PER, BV and NPU values showed that TPLK and TPL hasn’t met the standard of complementary feeding appropriate 224/Menkes/SK/II/2007.

It’s suggested, making TPLK and TPL flour should be done at a time so reduce the drying process repeatedly that damage the nutritional content especially protein. Besides, need further research using rats to see the difference weight gain and PER value.

Keywords: Protein quality, Banana “Awak”, Soybean Sprouts Flour, African Catfish.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Status gizi yang baik pada masa bayi dapat dipenuhi dengan pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan pertama bayi. Hal ini dikarenakan ASI adalah makanan bergizi dan berenergi tinggi yang mudah untuk diterima bayi. ASI memiliki kandungan yang dapat membantu penyerapan gizi. ASI merupakan zat gizi yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi yang penting untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai berusia enam bulan.

Namun pasca 6 bulan, pemberian ASI saja tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan makanan bayi. Pemberian ASI saja pada usia pasca 6 bulan hanya akan memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan bayi. Sedangkan yang 30-40% harus dipenuhi dari makanan pendamping atau makanan tambahan. Sementara itu, pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat dalam kualitas dan kuantitasnya dapat menyebabkan bayi menderita gizi kurang (Indiarti, 2008).

Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai


(18)

kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Depkes RI, 2010), prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur) pada anak balita di Indonesia sebesar 17,9 persen sedangkan anak balita gizi lebih sebesar 12,2 persen. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek juga masih tinggi yaitu sebesar 18,0 persen dan 18,5 persen.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi tersebut dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan, dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit degeneratif pada usia tua. Keseluruhan hal tersebut akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa.

Untuk mengatasi masalah ini Indonesia telah menyepakati untuk menjadi bagian dari Scaling Up Nutrition (SUN) Movement sejak Desember 2011, melalui penyampaian surat keikutsertaan dari Menteri Kesehatan kepada Sekjen PBB. Di Indonesia Gerakan SUN Movement berupa Gerakan Sadar Gizi yang bertujuan menurunkan masalah gizi yang fokus pada 1000 hari pertama kehidupan (270 hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia 2 tahun) disingkat menjadi Gerakan 1000 HPK. Gerakan ini terdiri dari intervensi gizi spesifik, seperti promosi


(19)

ASI eksklusif serta MP-ASI dan intervensi gizi sensitif yaitu kegiatan diluar sektor kesehatan (Laksono, 2012)

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; (1) memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, (2) memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, (3) memberikan MP-ASI sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan (4) meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.

Pemberian MP-ASI lokal memiliki beberapa dampak positif, antara lain; ibu lebih memahami dan lebih terampil dalam membuat MP-ASI dari bahan pangan lokal sesuai dengan kebiasaan dan sosial budaya setempat, sehingga ibu dapat melanjutkan pemberian MP-ASI lokal secara mandiri. (DepKes RI, 2006)

Makanan pendamping ASI pertama sebaiknya adalah golongan beras dan serelia, karena berdaya alergi rendah. Secara berangsur-angsur dapat dikombinasikan dengan buah, sayur, dan sumber protein (tahu, tempe, ikan, daging sapi, daging ayam, hati ayam, dan kacang-kacangan). Sebagian masyarakat kita memanfaatkan buah pisang diantaranya pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) sebagai MP-ASI karena rasanya yang manis dan tekstur yang lembut sehingga mudah diterima oleh bayi.

Pemberian MP-ASI dari pisang awak masak juga sering dikombinasikan dengan tepung beras ataupun nasi yang merupakan makanan pokok rakyat Indonesia.


(20)

Secara empiris, pemberian pisang awak masak yang dikerok baik langsung diberikan maupun dicampur dengan nasi sebagai MP-ASI telah lama dilakukan oleh sebagian masyarakat khususnya di Aceh.

Berdasarkan hal tersebut, pembuatan MP-ASI untuk memenuhi gizi bayi dapat dilakukan dengan mengombinasikan pisang awak masak yang umumnya kaya akan vitamin, karbohidrat, serat, energi, dan mineral namun sedikit mengandung protein dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kedelai (Glycine max L. Merrill) sebagai penyumbang protein untuk memenuhi gizi tumbuh kembang bayi selanjutnya.

Kombinasi antara kacang-kacangan dan serelia juga akan menghasilkan suatu pola komposisi asam amino esensial yang lebih mendekati pola standar bila dibandingkan dengan pola konsumsi asam amino esensial bahan makanan tersebut secara sendiri-sendiri (Nursanyoto, 1992) dikarenakan protein kacang-kacangan umumnya kaya akan lisin, leusin, dan isoelusin, tetapi terbatas dalam hal metionin

dan sistin. Hal ini menyebabkan protein sering dikombinasikan dengan serelia, karena kaya akan metionin dan sistin tetapi miskin lisin (Astawan, 2008).

Pembuatan tepung beras-campuran pisang awak masak yang dikombinasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai sebagai MP-ASI dapat lebih mudah dibentuk dan disajikan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak.

Untuk menentukan kualitas protein suatu pangan dapat dilihat dari seberapa banyak protein tersebut dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Suatu protein yang


(21)

mudah dicerna menunjukan besarnya jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan tubuh karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Muchtadi, 1989).

Dengan demikian, penulis tertarik untuk menganalisis kualitas protein secara biologi pada campuran tepung beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai, dikarenakan manfaat yang dihasilkan dari nilai gizi yang terkandung pada ketiga pangan tersebut dalam pemenuhan gizi penting pada bayi dan balita usia 6-24 bulan. Selain itu, pemanfaatan pangan lokal juga bisa meningkatkan kelestarian terhadap budaya dan kecintaan produk dalam negeri.

Untuk mengetahui mutu biologi protein tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai dapat menggunakan beberapa indikator yaitu: Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Utilization (NPU) dan Biological Value (BV). Penentuan kualitas protein melalui indikator-indikator tersebut berdasarkan pengukuran aktivitas protein pada tubuh mencit jantan (Mus musculus) yang memiliki kemiripan fisiologis dan anatomis dengan manusia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan pada penelitian ini adalah: Bagaimana kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai.


(22)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang divariasikan dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kecambah kedelai (Glycine max L. Merrill).

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kualitas protein tepung campuran beras-pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai (TPLK).

2. Untuk mengetahui kualitas protein tepung campuran beras-pisang awak masak dengan ikan lele dumbo (TPL).

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai makanan lokal sebagai MP-ASI yang mudah disajikan.

2. Memberikan informasi mengenai kualitas dan daya cerna protein tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Bayi

Makanan bayi dan anak usia 6-24 bulan adalah terdiri dari Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) (Depkes RI, 2006). ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. ASI dapat diberikan kepada bayi sampai 6 bulan. Hanya dengan mengonsumsi ASI, seorang bayi dapat tumbuh kembang dengan baik. Susunan ASI tiap 100 ml mengandung 60-65 kalori, 1-1,2 gr protein, 2,5-3,5 gr lemak dan Rasio protein per kalori 7,7 % (Waluyo, 2010).

WHO telah menetapkan bahwa ASI harus tetap diberikan eksklusif sampai 6 bulan dan MP-ASI harus mulai diberikan pada usia ini. Kebijakan ini juga telah disetujui di Inggris yang juga merekomendasikan agar makanan selain susu tidak diperkenalkan sebelum usia 4 bulan (Barasi, 2009).

2.1.1. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

Makanan Pendamping Air Susu Ibu adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI.

Kandungan gizi adalah jumlah zat gizi terutama energi dan protein yang harus ada di dalam MP-ASI lokal setiap hari yaitu sebesar 250 Kalori, 6-8 gram protein untuk bayi usia 6 – 12 bulan dan 450 Kalori, 12 - 15 gram protein untuk anak usia 12 - 24 bulan.

Kebutuhan gizi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 Kalori dan 16 gram protein. Kandungan gizi ASI adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka kebutuhan


(24)

yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein. Kebutuhan gizi bayi usia 12 – 24 bulan adalah sekitar 850 Kalori dan 20 gram protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 Kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein.

MP-ASI sebaiknya berasal dari bahan lokal yaitu MP-ASI yang diolah di rumah tangga atau di Posyandu, terbuat dari bahan makanan yang tersedia setempat, mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh masyarakat, dan memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi bayi (Depkes RI, 2006).

Pemberian MP-ASI penting untuk memenuhi kebutuhan bayi 6 bulan keatas. Beberapa alasan pentingnya diperkenalkan MP-ASI sebagai makanan tambahan bayi adalah: (1) penyedian lebih banyak energi dan nutrien agar kebutuhan pertumbuhan terpenuhi, (2) penyedian zat besi, karena cadangan yang disuplai sewaktu lahir telah menyusut, (3) stimulasi perkembangan: gerakan tangan ke mulut, perkembangan wajah dan rongga mulut bersifat esensial bagi kemampuan berbicara, (4) agar anak mampu mencerna, mengabsorbsi, dan mengekspresikan makanan lain, (5) perkembangan keterampilan sosial, makan bersama keluarga, dan (6) agar anak memperoleh kemampuan membedakan rasa (Barasi,2009).

Menurut laporan WHO tahun 2007, sekitar 1,5 juta anak meninggal karena pemberian makanan yang tidak benar. Kurang dari 15% bayi diseluruh dunia diberi ASI eksklusif selama 4 bulan dan seringkali pemberian MP-ASI tidak sesuai dan tidak aman. Hasil penelitian menunjukkan, gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan anak usia di bawah 5 tahun (balita) antara lain akibat kekurangan gizi


(25)

sejak dalam kandungan (pertumbuhan gizi yang terhambat), pemberian MP-ASI terlalu dini atau terlambat, tidak cukup mengandung energi dan zat gizi terutama mineral, dan tidak berhasil memberikan ASI eksklusif (Waluyo, 2010)

Perkenalan MP-ASI yang terlalu dini juga dapat meningkatkan reaksi alergi karena belum sempurnanya saluran cerna, dan mungkin berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi dada serta obesitas. Sedangkan jika perkenalan dilakukan terlambat, fase perkembangan kemampuan mengunyah akan terlewatkan sehingga terjadi kegagalan pertumbuhan akibat tidak terpenuhinya gizi.

Suplemen tetes vitamin yang mengandung vitamin A, C, dan D direkomendasikan untuk semua anak dibawah usia 2 tahun di Inggris. Anak yang mengikuti persentil pertumbuhannya dan menyukai berbagai jenis makanan adalah indikator yang baik untuk keberhasilan penyapihan (Barasi, 2009).

2.1.2. Pola Pemberian MP-ASI Menurut Umur

Pemberian MP-ASI baik jenis, porsi, dan frekuensinya tergantung dari usia dan kemampuan bayi. Sulistyoningsih (2011) menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian MP-ASI agar kebutuhan gizi bayi terpenuhi dengan baik yaitu:

1. Memberikan ASI terlebih dahulu kemudian memberikan MP-ASI

2. Makanan padat atau MP-ASI pertama harus bertekstur sangat halus dan licin 3. Bubur nasi diberikan 3 kali sehari dengan porsi disesuaikan menurut umur. Bayi

usia 6 bulan sebanyak 6 sendok makan, bayi usia 7 bulan sebanyak 7 sendok makan, bayi usia 8 bulan sebanyak 8 sendok makan, bayi usia 9 bulan sebanyak


(26)

9 sendok makan, bayi usia 10 bulan sebanyak 10 sendok makan, dan bayi usia 11 bulan sebanyak 11 sendok makan.

4. Berikan makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, berupa biskuit, pisang, bubur kacang hijau, nagasari, ataupun sari buah manis yang disaring. 5. Bubur saring hanya boleh diberikan jika bayi telah tumbuh gigi, sedangkan

makanan yang dicincang diberikan setelah bayi pandai mengunyah.

6. Setiap kali makan perkenalkan satu jenis makanan apa saja dalam jumlah kecil. Jika bayi alergi terhadap jenis makanan tertentu maka hentikan pemberian.

7. Tambahkan telur ayam/ikan/tahu/tempe/daging sapi/wortel/bayam/santan/minyak pada MP-ASI

8. Memperkenalkan sayuran dan buah yang rendah serat seperti bayam, wortel, tomat, jeruk, pisang, pepaya, alpukat, dan pir.

9. Makanan sebaiknya tidak dicampur karena bayi harus mempelajari perbedaan tekstur dan rasa makanan.

10. Makanan padat jangan dimasukkan kedalam botol susu atau membuat lubang dot lebih besar sehingga mengesankan seperti bayi menyusu

11. Bayi dapat diajari makanan dan minum sendiri dengan sendok dan cangkir 12. Tetap berikan ASI sampai anak berusia 2 tahun.

2.1.3. Bahan Dasar MP-ASI

Pada umumnya bahan penyusun MP-ASI bubur bayi terbuat dari tepung terigu. Kandungan gizi pada tepung terigu menurut SNI 01-3751-2006 (1991) adalah


(27)

kadar air maksimal 14,5%, kadar abu 1,83%, kadar lemak 2,09%, protein 7% - 14,45%, pati 78,74%, karbohidrat 82,35% dan serat kasar 1,92%.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu sebagai bahan dasar pembuatan MP-ASI bubur bayi maka diperlukan komoditi lain yang bisa dipakai sebagai alternatif. Menurut SK Menkes (2007), MP-ASI bubuk instan terbuat dari campuran beras. Untuk mengoptimalkan kandungan gizi pada bubur bayi sesuai dengan SK Menkes (Tabel 2.1.), maka perlu ditambahkan bahan penyusun lain seperti pisang yang merupakan salah satu dari tiga rasa yang disukai oleh bayi.

Pisang juga memiliki aroma khas yang harum dan mempunyai kandungan gizi sangat baik, antara lain menyediakan energi dari karbohidrat cukup tinggi dibandingkan buah-buahan lain. Pisang mengandung vitamin dan mineral seperti vitamin C, B kompleks, B6, serotonin, kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium.

Pemanfaatan buah pisang selama ini belum optimal masih terbatas sebagai buah konsumsi segar dan produk olahan tradisional baik dari buah masih mentah maupun dari buah yang sudah masak. Hal ini perlu diantisipasi adalah lonjakan produksi pada saat panen raya di sentra-sentra produksi pisang sedangkan serapan pasar yang tidak berimbang menyebabkan banyaknya buah yang terbuang. Pisang terutama yang sudah masak, dapat sebagai penyedia energi dalam makanan dan minuman (Ardhianditto, 2013).

Agar kebutuhan protein dalam MP-ASI tercukupi, maka dibutuhkan tambahan protein dari ikan dan kacang-kacangan seperti ikan lele dumbo dan kecambah kedelai yang bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi,


(28)

tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu MP-ASI yang disajikan (Mervina, 2009).

Tabel 2.1. Komposisi Gizi dalam 100 gram MP-ASI Bubuk Instan

No. Zat Gizi Satuan Kadar

1 Energi kkal 400 – 440

2 Protein (kualitas protein tidak kurang

dari 70% kualitas kasein) g 15 – 22

3 Lemak (kadar asam linoleat minimal 300 mg per 100 kkal atau 1,4 gram per 100 gram produk)

g 10 – 15

4

Karbohidrat

4.1. Gula (sukrosa) g maksimum 30

4.2. Serat g maksimum 5

5 Vitamin A mcg 250 – 350

6 Vitamin D mcg 7 – 10

7 Vitamin E mg 4 – 6

8 Vitamin K mcg 7 – 10

9 Thiamin mg 0,3 – 0,4

10 Riboflavin mg 0,3 – 0,5

11 Niasin mg 2,5 – 4,0

12 Vitamin B12 mcg 0,3 – 0,6

13 Asam Folat mcg 40 – 100

14 Vitamin B6 mg 0,4 – 0,7

15 Asam Pantetonat mg 1,3 – 2,1

16 Vitamin C mg 27 – 35

17 Besi mg 5 – 8

18 Kalsium mg 200 – 400

19 Natirum mg 240 – 400

20 Seng mg 2,5 – 4,0

21 Iodium mcg 45 – 70

22 Fosfor mg Perbandingan

Ca:P = 1,2 – 2,0

23 Selenium mcg 10 – 15

24 Air g maksimal 4

Sumber : SK Menkes RI (2007) 2.2. Pisang

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika


(29)

(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Di Jawa Barat, pisang disebut dengan Cau, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang.

Kedudukan tanaman pisang dalam sistematika (taksonomi) botani adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiacal L. Jenis pisang dibagi menjadi empat, yaitu:

1) Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiaca var Sapientum, M. nana atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, cavendish, barangan dan mas.

2) Pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak yaitu M. paradisiaca forma typical atau disebut juga M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok.

3) Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya. Misalnya pisang batu dan klutuk.


(30)

2.2.1. Pisang Awak (Musa paradisiaca var. Awak)

Berdasarkan jenis-jenis pisang yang diuraikan diatas, pisang awak termasuk pada jenis pisang yang pertama yaitu pisang yang dapat dikonsumsi langsung maupun diolah terlebih dahulu. Pisang jenis ini memiliki panjang sekitar 15 cm dengan diameter 3,7 cm. dalam satu tandan, jumlah sisir ada 18 yang masing-masing terdiri 11 buah. Bentuk buah lurus dengan pangkal bulat. Warna daging buah putih kekuningan dengan kulit yang tebalnya 0,3 cm. Lamanya buah masak dari saat berbunga adalah 5 bulan (Supriyadi dkk, 2008).

Gambar 2.1. Pisang Awak Masak (Musa Paradisiaca var. Awak) Pemberian pisang awak sebagai MP-ASI di daerah Aceh sudah menjadi hal yang umum dilakukan secara turun temurun. Pemberian pisang bisa dilakukan baik langsung diberikan kepada bayi dengan mengorek bagian dagingnya memakai sendok maupun dicampur dengan bubur/nasi tim yang dihaluskan.

Menurut hasil penelitian, pisang awak (dalam 100 gram) kaya akan mineral antara lain: zat besi 0,3 mg, magnesium 29 mg, seng 0,2 mg, fosfor 20 mg, mangan 0,15 mg, tembaga 0,1 mg dan natrium 1 mg. Pisang awak juga kaya akan kandungan


(31)

vitaminnya. Beberapa vitamin tersebut yaitu vitamin A sebesar 8 mg (126 IU), vitamin C sebesar 9 mg, vitamin B1 sebesar 0,05 mg, vitamin B2 sebesar 0,1 mg, niasin sebesar 0,5 mg, asam folat sebesar 19 mg, vitamin B6 sebesar 0,58 mg, dan asam pantotenat sebesar 0,26 mg (Jumirah dkk, 2011).

Tradisi pemberian pisang awak masak sebagai MP-ASI tersebut sangat menarik sebagai upaya melestarikan budaya pemberian MP-ASI menggunakan pangan lokal.

2.2.2. Tepung Pisang Awak Masak

Pisang adalah buah yang sangat bergizi yang merupakan sumber vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Pisang dijadikan buah meja, sale pisang, pure pisang dan tepung pisang (Prihatman, 2000). Pisang sebagai salah satu tanaman buah-buahan mempunyai potensi besar diolah menjadi tepung sebagai subtitusi tepung beras. Tepung pisang merupakan produk yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat (17,2-38%) (Kurniawan, 2009).

Penelitian tentang pemanfaatan pisang awak sebagai bahan MP-ASI yang telah dilakukan menggunakan tepung pisang awak tua 3/4 masak sebagai campuran makanan tambahan bayi. Pisang mentah mengandung zat tepung (starch) lebih tinggi yaitu sekitar 20-25% dibandingkan pisang masak yang mengandung zat tepung sekitar 1-2% (kandungan tepung yang tinggi sulit untuk dicerna, sehingga diyakini dapat mengakibatkan konstipasi), dan pisang masak mengandung zat antioksidan


(32)

lebih tinggi dibandingkan pisang mentah. Namun, selama ini pembuatan tepung pisang secara umum diperoleh dari pisang tua yang belum masak atau masih mentah.

Keuntungan dari tepung pisang yang dibuat dari pisang masak yaitu kandungan gula yang tinggi, cocok untuk bahan dasar produk makanan yang memerlukan kelarutan, kemanisan, dan kandungan energi yang tinggi seperti makanan untuk bayi (Jumirah dkk, 2011).

2.2.3. Pembuatan Campuran Tepung Beras-Pisang Awak Masak

Pembuatan tepung pisang awak masak akan lebih mudah jika dicampurkan dengan beras giling (tepung beras). Proses pembuatan tepung pisang awak masak mengacu pada penelitian Jumirah dkk (2011) dilakukan dengan cara berikut:

1. Pembuatan adonan pisang awak: a. Pemilihan pisang awak masak

b. Mengambil bagian daging pisang (tanpa kulit dan biji) dengan pisau stainless steel.

c. Menghaluskan daging pisang dengan blender

d. Menimbang sejumlah yang diperlukan (masing-masing 100 gram)

e. Menimbang sejumlah tepung beras yang diperlukan setelah diayak terlebih dahulu (10 gram, 15 gram…dst hingga 60 gram)

f. Mencampurkan dan mengaduk campuran pisang yang telah dihaluskan dan tepung beras sehingga terbentuk pasta yang homogen.


(33)

2. Pengeringan adonan dengan tahapan:

a. Memindahakan pasta ke talam yang dialasi kertas roti, dengan cara granulasi sederhana, buat merata dan tidak terlalu tebal agar mudah dikeringkan

b. Masukkan ke oven, atur suhu sekitar 55oC sampai 60oC. Panaskan hingga mengering (24 jam)

c. Timbang hasil pengeringan (setelah didinginkan hingga suhu kamar)

3. Penggilingan tepung pisang awak dengan blender, kemudian dilanjutkan dengan pengayakan Mesh 60 hingga diperoleh tepung pisang awak yang halus. Masukkan ke dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.

Tabel 2.2. Kandungan Gizi Pisang Awak dan Campuran Tepung Beras-Pisang Awak Masak

Kandungan Gizi Pisang Awak

masak F40 F50 F60

Air (%) 65,80 6,15 5,90 4,20

Karbohidrat :

- Total (%) 13,80 59,60 61,70 62,10 - Glukosa (%) 7,91 31,40 26,80 24,60 Lemak (%) 0,14 1,01 1,02 1,15 Protein (%) 1,18 5,42 5,65 5,79 Abu (%) 1,00 1,07 1,09 1,15 Serat Kasar (%) 1,345 1,40 1,51 1,65 Mineral (mg/kg) :

- Besi < 0,03 < 0,03 < 0,03 < 0,03 - Seng < 0,002 < 0,0025 < 0,002 < 0,002 - Kalsium 8,45 14,6 14,7 14,9 - Selenium < 0,90 < 0,90 < 0,90 < 0,90 - Kalium 57,43 62,48 62,60 62,75 - Posfor Tidak nyata Tidak nyata Tidak nyata Tidak nyata

Sumber: Jumirah dkk, 2011. Keterangan :

-F40: Formula yang dibuat dari pisang awak masak 100 gram + tepung beras 40 gram.

-F50: Formula yang dibuat dari pisang awak masak 100 gram + tepung beras 50 gram.


(34)

2.3. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan Lele (Clarias) adalah marga (genus) ikan yang hidup di air tawar. Ikan ini mempunyai ciri-ciri khas dengan tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang serta memiliki sejenis kumis yang panjang, mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Ikan ini sebenarnya terdiri atas berbagai jenis (spesies).

Sedikitnya terdapat 55 spesies (jenis) ikan lele di seluruh dunia. Jenis ikan yang digunakan adalah lele lokal yang merupakan lele asli di perairan umum Indonesia. Lele lokal sudah dibudidayakan sejak tahun 1975 di Blitar, Jawa Timur. Daging lele lokal sangat gurih dan renyah karena tidak mengandung banyak lemak. Morfologi ikan lele adalah bagian kepalanya pipih ke bawah (depressed), bagian tengahnya membulat dan bagian belakang pipih ke samping (compressed) serta dilindungi oleh lempengan keras berupa tulang kepala.

Sejak tahun 1986 telah diimpor jenis lele baru dari Taiwan. Lele ini kemudian diperoleh dengan sebutan “ Lele Dumbo“ atau bahasa ilmiahnya disebut Clarias fuscus. Menurut keterangan importirnya, lele dumbo merupakan hasil kawin silang antara betina lele Clarias fuscus yang asli taiwan dengan pejantan Clarias mossambicus (dengan nama sinonim Clarias gariepinus) yang berasal dari Afrika dan pertumbuhannya tergolong cepat (Djatmiko, 1986 dalam Siregar R. dkk, 2011) .

Ikan lele menurut klasifikasi berdasarkan taksonomi yang dikemukakan oleh Weber de Beaufort digolongkan sebagai berikut:

Filum : Chordata, yaitu binatang bertulang belakang.


(35)

Subkelas : Teleostei, yaitu ikan yang bertulang keras.

Ordo : Ostariophysi, yaitu ikan yang di dalam rongga perut sebelah atasnya memiliki tulang sebagai alat perlengkapan keseimbangan yang disebut tulang weber (weberian oscicle).

Subordo : Siluroidaea, yaitu ikan yang bentuk tubuhnya memanjang berkulit licin (tidak bersisik).

Famili : Clariidae, yaitu suatu kelompok ikan yang mempunyai ciri khas bentuk kepalanya pipih dengan lempeng tulang keras sebagai batok kepala. Selain itu, ciri khas lainnya adalah bersungut (kumis) sebanyak 4 pasang, sirip dadanya terdapat patil dan mempunyai alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga ingsang. Alat pernapasan tersebut memungkinkan ikan lele mengambil oksigen langsung dari udara.

Spesies : Clarias batrachus (ikan lele lokal)

Clarias gariepinus (hibrida)(ikan lele dumbo)

Sumber: Siregar R.dkk (2011)

(a) (b)

Gambar 2.2. (a) Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus) (b) Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)


(36)

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor telah meneliti mengenai penamaan spesies lele dumbo secara ilmiah, yaitu keadaan morfologi, warna tubuh, ukuran perbandingan panjang batok kepala dibanding panjang badan dan sifat-sifat lainnya.

Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masing-masing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya.

Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri. Disimpulkan bahwa lele dumbo tidak mirip dengan Clarias fuscus, tetapi lebih mirip C. mossambicus dari Afrika, yang memiliki panjang batok kepala 1/5 bagian dari badannya (Suyanto, 2007).

Keistimewaan ikan lele dumbo adalah tahan hidup dan tumbuh baik di perairan yang kualitas airnya jelek bahkan yang telah tercemar sekalipun. Keistimewaan lainnya adalah mudah dikembangbiakkan, pertumbuhannya relatif cepat, mudah beradaptasi, serta efisien terhadap aneka macam dan bentuk ataupun ukuran pakan yang diberikan. Lele disukai konsumen karena berdaging lunak, sedikit tulang, tidak berduri, dan murah sehingga sangat memungkinkan untuk diolah menjadi MP-ASI lokal (Siregar R. dkk, 2011).


(37)

Sebagai salah satu sumber protein hewani, ikan lele juga mengandung zat gizi lainnya (Tabel 2.3.). Selain itu, protein ikan lele mengandung semua asam amino esensial (Tabel 2.4) dalam jumlah yang cukup untuk melengkapi asam amino dari campuran tepung beras dan pisang awak dalam pembuatan MP-ASI.

Tabel 2.3. Kandungan Gizi Daging Ikan Lele Dumbo per 100 gram.

Komponen Jumlah

Protein (g) Lemak (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Air (mg) Energy (kal) 17,00 4,50 20,00 200,00 1,60 150,00 0,05 7,60 113,00 Sumber: Mudjiman, 1984 dalam Siregar, R. dkk ,2011) Tabel 2.4. Susunan Asam Amino Esensial Ikan Lele

Asam Amino Protein (%)

Arginin Histidin IsoLeusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Valin Triptofan Total esensial Nonesensial 6,3 2,8 4,3 9,5 10,5 1,4 4,8 4,8 4,7 0,8 49,9 50,1 Sumber: FAO 1972 dalam Astawan 2008

2.4. Kacang Kedelai (Glycine Max L. Merrill)

Kacang kedelai (Glycine Max L. Merrill), telah dikenal masyarakat sebagai tanaman yang bermultifungsi. Secara taksonomi, tanaman kedelai yang termasuk


(38)

Nama ilmiah : Glycine max L. Merrill

Spesies : Max Genus : Glycine Sub family : Papilionoideae Famili : Leguminosae Ordo : Polypetaes

Gambar 2.3. Kacang kedelai (Glycine max L. Merrill)

Kedelai ini merupakan komoditas pangan jenis kacang-kacangan ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung yang berperan sebagai sumber protein nabati yang memiliki arti penting dalam peningkatan gizi masyarakat (Kusdiarjo, 2002).

Terdapat banyak alasan yang menjadikan kedelai sebagai salah satu bahan pangan favorit para pakar kesehatan. Food and Drug Administration (FDA) mempublikasikan data bahwa dengan mengonsumsi 25 gram kedelai perhari, dapat menurunkan resiko penyakit jantung. Penelitian lain menunjukkan kecambah kedelai mampu menurunkan resiko kanker prostat, kanker kolon, kanker payudara, dan osteoporosis karena mengandung genistein yang merupakan senyawa antikanker yang bekerja lebih efektif ketika bibit kanker sudah mulai tumbuh, saat sel kanker


(39)

membutuhkan banyak suplai gizi, maka genistein memblokade suplai gizi tersebut (Kusumo, 2010)

Komposisi zat gizi pada ekstrak jernih kedelai dapat dlihat pada tabel 2.5. berikut ini.

Tabel 2.5. Komposisi Zat Gizi Kedelai

Komponen Kandungan dalam 100 g Ekstrak

Jernih Kedelai Asam Lemak tidak jenuh Ganda (PUFA)

Asam lemak jenuh Pottasium (mg) Vitamin A (IU) Energi (kkal) Sodium (mg) Kalsium (mg) Protein (g) Karbohidrat (g) Lemak (g) Besi/ Fe (mg) Serat Kasar (mg) Thiamin/ B1 (mg)

Riboflavin/ B2 (mg)

Kolesterol (mg) Vitamin C (mg)

Tinggi Rendah 133.40 41.20 36.00 21.60 21.60 3.20 3.00 1.50 1.20 0.10 0.05 0.03 0.00 0.00 Sumber : Winarti, 2010

Protein umumnya menyumbang 10-12% dari energi, kecuali jika makanan pokok yang dikonsumsi mengandung hanya sedikit protein, seperti ubi kayu atau

plantain (semacam pisang berwarna hijau) (Barasi, 2009).

WHO telah menetapkan bahwa jika dikonsumsi sesuai anjuran konsumsi protein harian, protein kedelai mengandung semua asam amino esensial lengkap dan seimbang yang mencukupi kebutuhan tubuh manusia dan dapat disejajarkan dengan protein hewani (Winarti, 2010) serta kandungan asam lemak tak jenuhnya juga lebih tinggi dibandingkan kacang-kacangan lain (Kusumo, 2010). Oleh karena itu, kedelai


(40)

dinobatkan sebagai sumber protein ideal bagi penganut pola makan vegetarian, karena konsumsi kedelai juga berfungsi memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak juga penting untuk pertumbuhan tubuh sebagaimana didapatkan dari protein hewani.

Sebagai pengganti sumber protein hewani, protein di dalam kedelai dapat dikonsumsi dalam berbagai cara. Selain dikonsumsi dalam bentuk aslinya, kedelai juga biasa dinikmati dalam berbagai jenis produk olahannya, seperti tahu, tempe, kembang tahu, kecap, dan sebagainya. Produk susu dari kedelai juga tidak asing lagi ditemukan di pasar swalayan maupun industri-industri rumahan. Kedelai juga dijadikan bahan baku pembuatan daging nabati serta bahan tambahan pada beraneka produk dari daging seperti sosis, kornet, nugget, dan sebagainya.

2.4.1. Kecambah Kedelai

Perkecambahan (germinasi) merupakan suatu proses keluarnya bakal tanaman (tunas) dari lembaga yang disertai dengan terjadinya mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji ke bagian vegetatif (sumbu pertumbuhan embrio atau lembaga). Biji kacang hijau, kacang tunggak, atau kedelai yang dikecambahkan umumnya disebut tauge atau kecambah.


(41)

Tauge atau kecambah dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah maupun setelah dimasak. Tujuan pemasakan agar adalah agar zat gizi yang ada pada kecambah dapat tersedia sesuai selera. Namun, ahli gizi menyarankan untuk mengonsumsi kecambah dalam keadaan mentah sebagai salad, karedok atau jus karena dalam kondisi tersebut, masih terkandung zat yang berguna bagi peremajaan tubuh.

Selama proses perkecambahan, bahan makanan cadangan diubah menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna tubuh. Proses perkecambahan juga meningkatkan jumlah protein dan vitamin, sedangkan kadar lemaknya mengalami penurunan (Astawan, 2008).

Jika diperlukan, kecambah dapat ditumis atau dikukus sebentar saja, atau memasukkan tauge sesaat sebelum masakan diangkat agar kadar vitamin C dan enzim yang rusak tidak lebih dari 20% akibat proses pemanasan (Kusumo, 2010). Nilai gizi berbagai jenis kecambah disajikan pada tabel 2.6. dibawah ini.

Tabel 2.6. Komposisi Zat Gizi Berbagai Jenis Kecambah dalam 100 g Bahan

Zat gizi Jenis kecambah

Kacang Hijau Kacang Kedelai Kacang Tunggak Energi (kkal) 23.00 67.00 35.00

Protein (g) 2.90 9.00 5.00 Lemak (g) 0.20 2.60 0.20 Karbohidrat (g) 4.10 6.40 5.80 Kalsium (mg) 29.00 50.00 57.00 Posfor (mg) 69.00 65.00 88.00 Besi (mg) 0.80 1.00 1.00 Vit A (SI) 10.00 110.00 0.00 Vit B1 (mg) 0.07 0.23 0.07 Vit C (mg) 15.00 15.00 15.00


(42)

Manfaat kesehatan dari kandungan gizi kedelai dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi ketika kedelai dikecambahkan. Menurut Cahyadi (2007), pada saat berkecambah terjadi proses hidrolisis karbohidrat dan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna. Kedelai dalam bentuk kering yang dikecambahkan mengalami peningkatan kadar protein.

Selain itu, pengecambahan melipatgandakan jumlah vitamin A sebanyak 300 persen dan vitamin C hingga 500-600 persen. Vitamin C yang awalnya tidak terdapat pada kedelai, ternyata mulai terbentuk pada hari pertama berkecambah hingga mencapai 12 mg per 100 gram kecambah setelah 48 jam. Demikian juga dengan vitamin E, mengalami peningkatan dari 24-230 mg per 100 gram biji kering menjadi 117-662 mg per 100 gram kecambah.

Manfaat dari pengecambahan kacang kedelai tidak hanya pada peningkatan nilai gizinya tetapi juga dapat menghilangkan zat antigizi pada kedelai yang menghambat penyerapan mineral pada kecambah tersebut. Salah satu zat antigizi yang diinaktifkan saat mengonsumsi kedelai selama proses pengecambahan adalah asam fitat yang dapat mengganggu penyerapan zat besi. Dengan mengonsumsi kecambah, zat gizi yang ada dapat terserap secara utuh karena senyawa-senyawanya lebih sederhana dan mudah dicerna.

Proses perkecambahan kacang-kacangan yang menghasilkan kecambah (sprouts) yang kemudian ditepungkan, ternyata dapat menghilangkan berbagai senyawa anti gizi didalamnya, dapat mempertahankan mutu proteinnya dan mengandung vitamin C yang cukup tinggi. Beberapa senyawa antigizi terpenting yang terdapat dalam kacang-kacangan adalah : antitripsin, hemaglutin atau lektin,


(43)

oligosakarida, dan asam fitat. Kenaikan asam amino juga terjadi ketika proses perkecambahan (Astawan, 2008). Peningkatan tersebut dapat dilihat pada table 2.7. berikut ini:

Tabel 2.7. Komposisi Asam Amino Kecambah Kedelai dibandingkan Kedelai Kering dan Tempe dalam 100 gram Bahan

Protein Esensial Kecambah Kedelai

Kedelai Kuning

Kedelai

Hitam Tempe

Iso Leusin 313 290 253 333 Leusin 525 494 473 529 Metionin + Sistin 88 165 125 171 Fenil alanin + Tirosin 456 506 474 475 Treonin 363 247 272 245 Triptofan 143 76 86 77 Valin 350 291 254 332 Arginin 300 428 2098 407 Histidin 169 168 900 169

Sumber : Balai Penelitian Pertanian (1985) dalam Astawan (2008)

2.4.2. Tepung Kecambah Kedelai

Kecambah memiliki potensi gizi yang sangat potensial, namun daya simpan kecambah rendah. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk membuat kecambah menjadi lebih tahan lama. Salah satu upayanya yaitu dengan pembuatan tepung kecambah.

Penambahan 10% tepung kecambah untuk menggantikan tepung terigu pada pembuatan roti dapat menghasilkan roti yang bernilai gizi lebih baik, dengan warna, rasa, dan bau yang dapat diterima oleh konsumen. Selain pada roti, tepung kecambah juga dapat ditambahkan pada makanan jajanan (Astawan, 2009).

2.5. Penilaian Kualitas Protein Makanan

Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu membangun serta memelihara jaringan. Disamping itu, asam amino sebagai


(44)

penyusun protein bertindak sebagai precursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial bagi kehidupan (Almatsier,2009).

Pada masa balita, kebutuhan protein dan zat gizi lainnya sangat penting dipenuhi untuk mencapai tumbuh kembang yang optimum. Pemberian MP-ASI yang tepat dan kaya gizi mampu membantu tumbuh kembang anak mencapai windows of opportunity.

Selain kuantitas protein dan zat gizi lainnya, kualitas protein juga penting diperhatikan pada pembuatan MP-ASI dikarenakan kualitas protein menggambarkan seberapa besar kandungan protein yang dapat dicerna dan digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.

Kualitas suatu pangan dipengaruhi oleh kelengkapan asam amino penyusunnya. Protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Beberapa jenis protein mengandung semua asam amino esensial, namun masing-masing dalam jumlah terbatas nemun cukup untuk perbaikan jaringan tubuh saja, bukan untuk pertumbuhan. (Almatsier, 2009).

Pola asam amino yang disarankan dalam diet menurut kelompok umur yang dijelaskan pada tabel 2.8. menunjukkan bahwa asam amino yang dibutuhkan oleh bayi lebih tinggi dibandingkan kelompok umur yang lain. Pemenuhan asupan protein bagi bayi merupakan hal yang penting yang diperlukan tubuh untuk : (1) pertumbuhan dan pengembangan tubuh, (2) perbaikan dan pergantian sel-sel jaringan tubuh yang rusak atau tua, (3) produksi enzim pencernaan dan metabolisme, dan (4)


(45)

bagian yang penting dari hormon-hormon tertentu misalnya tiroksin dan insulin (Barasi, 2009).

Asam amino secara alamiah terdapat pada tanaman dan hasil ternak. Masing-masing asam amino memiliki fungsi unik. 8 diantaranya essensial bagi orang dewasa yaitu fenilalanin, triptofan, lisisn, leusin, isoleusin, valin, treonin. Asam amino kesembilan yaitu histidin esensial bagi bayi dan anak, sedangkan asam amino kesepuluh yaitu arginin esensial bagi pertumbuhan bayi. Asam amino sisanya dapat dibentuk tubuh yang disebut asam amino endogen (non esensial) (Winarno, 2004). Tabel. 2.8. Pola Kebutuhan Asam Amino Esensial yang Disarankan dalam Diet

Menurut Kelompok Umur Asam Amino Esensial

(mg/g protein) FAO/WHO/UNU 1985 Bayi Anak usia pra-sekolah (2-5 tahun) Anak Usia Sekolah (10-12 tahun) Dewasa*

Histidin 26 19 19 16

Iso Leusin 48 28 28 13

Leusin 93 66 44 19

Lysin 66 59 44 16

Metionin+cystein 42 25 22 17

Phenyl alanin+ Tyrosin 72 63 22 19

Threonin 43 34 28 9

Triptophan 17 11 9 5

Valin 55 35 25 13

Sumber : J.Boye et. al. (2012)

Keterangan : * Berdasarkan konsumsi harian protein orang dewasa 0.75 g protein/ kg per hari.

Asupan protein yang baik pada bayi diatas 6 bulan melalui MP-ASI dapat membantu tumbuh kembang bayi secara optimal. Kombinasi dua jenis protein nabati atau penambahan sedikit protein hewani ke protein nabati akan menghasilkan protein bermutu tinggi dengan harga relatif rendah. Sumber protein terbaik tidak hanya dilihat dari jumlahnya, tetapi juga kualitasnya.


(46)

Untuk mendapatkan kualitas protein yang baik, harus diketahui dari mana protein berasal serta ditentukan oleh jumlah dan kelengkapan 10 asam amino esensialnya karena bahan yang memiliki kandungan protein tinggi, belum tentu kualitasnya baik jika susunan asam aminonya tidak lengkap seperti daging, ikan, telur, susu, dan kacang-kacangan. Analisis asam amino pada TPLK dan TPL yang telah dilakukan oleh jumirah, dkk (2013) disajikan pada tabel 2.9. berikut.

Tabel 2.9. Hasil Analisis Kandungan Asam Amino Pada Tepung TPLK dan TPL dalam Komposisi 100 gram Bahan.

No. Asam Amino (%) Bahan MP-ASI

TPLK TPL

Asam Amino Non Esensial

1. L-aspartic acid 1,539 1,708

2. L-serine 0,758 0,737

3. L-glutamic acid 2,545 2,737

4. L-Glycine 0,763 0,815

5. L-Tyrosine 0,360 0,265

6. L-agrinine 0,748 0,763

7. L-Cystine TT TT

8. L-alanine 0,899 1,022

9. L-proline 0,758 0,744

Asam Amino Esensial

10. L-histidine 0,356 0,361

11. L-threonine 0,086 0,728

12. L-Valin 0,828 0,882

13. L-Methionine 0,331 0,391

14. L-lysine HCl 0,976 1,173

15. L-Isoleucine 0,733 0,776

16. L-Leucine 1,271 1,392

17. L-Phenylalanine 0,919 0,810

18. L-Tryptophan TT TT

Total asam amino 13,870 15,304

Sumber : Jumirah,dkk (2013) Keterangan: TT = tidak terdeteksi

Sumber protein baik hewani maupun nabati memberikan banyak keuntungan, seperti halnya mendapat sumber energi, pembentukan dan perbaikan sel jaringan,


(47)

sebagai sintesis hormon, enzim antibodi, pengatur keseimbangan asam basa dalam sel serta sumber protein yang kita konsumsi memengaruhi baik tidaknya mutu protein (Almatsier, 2009).

Dengan demikian, perlu dilakukannya analisis kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan iken lele dumbo dan tepung kecambah kedelai sehingga protein dan zat gizi lainnya yang penting bagi bayi dapat diserap dengan baik.

2.5.1. Evaluasi Kualitas Protein

Evaluasi nilai gizi khususnya protein biasanya melibatkan aktivitas protein pada tubuh hewan uji yaitu mencit jantan dikarenakan mencit merupakan hewan pengerat (rodensia) yang cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar, serta sifat-sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik sehingga dapat menggambarkan kualitas protein suatu pangan dengan baik.

Menurut Harington klasifikasi mencit (Mus musculus) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Cordata Subfilum : Vertebrata Ordo : Rodentia Kelas : Mammalia Famili : Muridae Spesies : Mus musculus


(48)

Gambar 2.5. Mencit Jantan (Mus muscullus)

Mencit mempunyai berat bobot lahir 0,5 – 1,0 gram, masa menyusu 19-21 hari, dan disapih umur 21 hari. Umur mencit dewasa adalah 35 hari, bobot jantan dewasa adalah 20-40 gram dan berat bobot betina dewasa adalah 18-35 gram. Mencit mulai bereproduksi umur 8 minggu, masa kebuntingan 19-21 hari dengan jumlah anak rata-rata 6 ekor. Siklus hidupnya biasa mencapai 1-2 tahun dengan masa produksi ekonomis 9 bulan.

Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan manusia, yaitu: karbohidrat (terdiri dari pati, gula dan sellulosa), minyak/ lemak (asam lemak esensial terutama lioleat dan linolenat), protein (asam amino esensial : lisin, triptofan, histidin, fenilalanin, leusin, isoleusin, treonin, metionin, valin dan arginin), mineral (makro elemen dan mikro elemen) dan vitamin-vitamin (Muchtadi, 1989).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi pakan 3-5 g /hari. Mencit bunting atau menyusui memerlukan pakan yang lebih banyak. Pakan yang sering digunakan adalah pakan ayam dengan kandungan protein 20-25%, lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar 5% dan abu 4-5%.


(49)

Malole, dkk (1989) menyatakan bahwa air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk sehari berkisar antara 4-8 ml.

Pada umumnya mencit laboratorium ditempatkan dikotak dari metal atau plastik dengan luas dasar 97 cm2 per ekor untuk yang dewasa, tinggi kandang minimal 13 cm, temperature tidak kurang dari 18oC-29oC, dan kelembaban relatif udara 30%-70%. Beberapa indikator penentuan mutu protein adalah sebagai berikut : 1. Protein Efficiency Rasio (PER)

Metode PER yang dikembangkan oleh Osborne, Mendel, dan Fery pada tahun

1919 merupakan prosedur penilaian kualitas protein yang paling banyak digunakan. Bahkan juga telah diterima oleh FDA (Food and Drug Administration, USA) dalam penentuan mutu protein untuk protein labeling. Prosedur untuk penentuan PER adalah metode yang terdapat dalam AOAC 1984. Perhitungan PER didasarkan pada kebutuhan asam amino melalui pertumbuhan tikus uji.

Percobaan Osborne, Mendel dan Fery ini menggunakan beberapa kelompok mencit yang baru disapih (berumur 21 hari), telah diadaptasikan selama 4 hari dan berbobot badan sama. Berat badan dan konsumsi ransum harus diukur secara berkala (umumnya berat badan tiap 2 hari sedangkan konsumsi ransum diukur tiap hari) selama 4 minggu. Rumus perhitungan PER (Muchtadi, 1989) :

Nilai PER dihitung pada tiap ekor mencit dan nilai rata-rata untuk tiap kelompok. Angka PER merupakan indikator growth promoting effect suatu protein,


(50)

namun juga dapat dipakai untuk penilaian daya suplementasi suatu protein/suatu asam amino terhadap protein lain.

Namun metode PER yang menggunakan pengamatan pada tikus (tikus uji), pada dasarnya berkaitan dengan kandungan asam amino dari protein makanan untuk kebutuhan asam amino dari tikus, bukan manusia. Ada perbedaan penting antara kebutuhan asam amino tikus dan manusia. Sebagai contoh, tikus memiliki kebutuhan yang lebih tinggi untuk asam amino yang mengandung sulfur yang mendukung pertumbuhan tikus dibandingkan kebutuhan bayi dan anak-anak. Penggunaan tikus dalam studi makan akan memberikan hasil yang relative tinggi pada kualitas protein hewani dibandingkan kualitas dari protein nabati (Boye J. dkk 2012).

2. Biological Value (BV)

Pada uji biologis ini, dilakukan dua percobaan keseimbangan nitrogen. pertama dilakukan terhadap hewan uji dengan perlakuan pemberian ransum uji, dan kelompok kedua diberikan ransum protein whey sebagai kontrol, kemudian dilakukan pengukuran keluaran (ekskresi) dari air seni dan feses mencit uji. Metode BV dapat diukur dengan rumus dibawah ini :

Keterangan :

Npangan = kadar nitrogen yang dikosumsi kelompok mencit uji

Nfeses = kadar nitrogen pada feses kelompok mencit uji

Nmet = kadar nitrogen pada feses kelompok mencit kontrol


(51)

Nend = kadar nitrogen urin pada kelompok mencit control

3. Net Protein Utilization (NPU)

Cara ini juga melibatkan penggunaan hewan uji mencit jantan lepas sapih yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mencit uji diberi ransum yang mengandung protein yang akan diuji mutunya. Sedangkan kelompok kedua merupakan kelompok pembanding (kontrol) yang diberi ransum protein whey. Baik air dan ransum diberikan ad libitum (selalu tersedia). Dengan rumus dibawah ini, NPU protein dapat diketahui.

Keterangan :

Nf = kadar nitrogen feses pada kelompok mencit uji

Nmet = kadar nitrogen feses pada kelompok mencit kontrol

Nurin = kadar nitrogen urin pada kelompok mencit uji

Nakhir = kadar nitrogen kelompok mencit control

2.6. Kerangka Konsep

Peningkatan kuantitas protein dan zat gizi lainnya pada tepung beras- pisang awak masak terjadi ketika divariasikan dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Jumirah, dkk (2011) mengenai kandungan gizi pada formula campuran 100 gram pisang awak masak dan 50 gram tepung beras dihasilkan protein sebesar 5,65% Kandungan protein tersebut mengalami peningkatan menjadi 18,10% ketika dikombinasikan dengan ikan lele dumbo pada tepung TPL dan meningkat lebih baik lagi menjadi 19,78% ketika


(52)

dikombinasikan dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai pada tepung TPLK. Selain protein, peningkatan kandungan zat gizi lainnya seperti kadar lemak, serat, air, dan mineral juga terjadi pada tepung TPLK dan TPL.

Penelitan ini menunjukkan bahwa tepung pisang awak masak memiliki potensi sebagai MP-ASI yang kaya karbohidrat, vitamin dan mineral namun rendah protein sehingga dibutuhkan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai sebagai penyumbang protein dan asam amino penting yang dibutuhkan dalam komposisi MP-ASI sebagai penunjang gizi bayi dan balita 6-24 bulan.

Dengan kombinasi tersebut, diasumsikan dapat meningkatkan kualitas protein pada tepung TPLK dan TPL melalui uji biologis. Maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Ikan Lele Dumbo +

Tepung Kecambah Kedelai

Peningkatan Kuantitas Protein MP-ASI Tepung

Beras-Pisang Awak Masak

Peningkatan Kualitas Protein MP-ASI


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilakukan dalam dua tahapan penelitian. Tahapan pertama berupa pembuatan ransum control protein whey dan campuran tepung beras dan pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai menghasilkan tepung TPLK dan TPL. Pada tahapan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) searah 3 perlakuan (whey, TPLK dan TPL) dan 2 kali pengulangan.

Tahapan kedua berupa pengujian aktivitas protein yang melibatkan penggunaan hewan uji (mencit jantan usia sapih) terhadap tepung TPLK dan TPL untuk mengetahui mutu biologi protein tersebut. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap searah dengan 3 taraf perlakuan yaitu perlakuan ransum control protein whey (P1), perlakuan ransum TPLK (P2), dan perlakuan Ransum TPL (P3) dengan 3 ulangan. Rancangan penelitian digambarkan pada skema berikut:

- MW RW2 RW4 RW6 RW28

Fe1 Fe2 Fe3 Fe4 Fe5 Fe6 Fe28

U1 U2 U3 U4 U5 U6 U28

SM2 SM4 SM6 SM28

- MTPLK RTPLK2 RTPLK4 RTPLK6 RTPLK28

Fe1 Fe2 Fe3 Fe4 Fe5 Fe6 Fe28

U1 U2 U3 U4 U5 U6 U28


(54)

- MTPL RTPL2 RTPL4 RTPL6 RTPL28

Fe1 Fe2 Fe3 Fe4 Fe5 Fe6 Fe28

U1 U2 U3 U4 U5 U6 U28

SM2 SM4 SM6 SM28

Keterangan : -MW :Mencit yang diberi Perlakuan P1; RW: Pemberian Ransum P1 tiap 2 hari

selama 28 hari

-MTPLK : Mencit yang diberi Perlakuan P2 ; RTPLK: Pemberian Ransum P2 tiap 2

hari selama 28 hari

-MTPL : Mencit yang diberi Perlakuan P3 ; RTPL: Pemberian Ransum P3 tiap 2 hari

selama 28 hari

-Fe : Pengumpulan Feses mencit tiap hari selama 28 hari -U : Pengumpulan Urin mencit tiap hari selama 28 hari

-BB : Pengukuran Berat Badan mencit tiap 2 hari selama 28 hari -SM : Pengukuran Sisa Makanan mencit tiap 2 hari selama 28 hari

Gambar 3.1. Skema Rancangan Acak Lengkap Penelitian 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tahap pertama yaitu pembuatan tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai dilakukan di Laboratorium Gizi Pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya penelitian tahap kedua dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk pengukuran nitrogen feses dan urin mencit. Penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Oktober–Desember 2013.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa unit sample analysis yaitu protein whey sebagai ransum control (P1), tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai yang menghasilkan tepung


(55)

TPLK sebagai ransum uji (P2) dan tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo yang menghasilkan tepung TPL sebagai ransum uji (P3).

Pemberian ransum sesuai dengan kelompok mencit yang telah ditentukan. Ransum disediakan berbentuk pellet dengan berat 10 gram per 2 hari selama 28 hari, sehingga sampel yang digunakan sebanyak 840 gram untuk ransum TPLK dan TPL, sedangkan ransum whey yang digunakan sebanyak 1.380 gram dikarenakan ransum

whey juga diberikan pada masa adaptasi mencit selama 6 hari. 3.4. Alat dan Bahan

3.4.1. Tahapan Pertama

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung TPLK dan TPL yaitu: oven, healthy mix, spatula, alat pengukus, wadah/baskom, sendok/centong, kertas roti, pisau, dan ayakan .

Bahan-bahan yang digunakan adalah pisang awak masak, ikan lele dumbo, kecambah kedelai, air, susu bubuk, minyak nabati, gula halus, dan daun.

3.4.2. Tahapan Kedua

Alat-alat yang digunakan dalam pengujian aktivitas protein pada tubuh mencit jantan adalah timbangan OHAUS, kandang pemeliharaan, botol minum, tempat pakan, wadah penampung urin dan feses mencit.

Bahan yang digunakan adalah ransum Whey, tepung TPLK dan TPL. Bahan sebagai campuran ransum control yaitu: protein whey (merek dagang susu L-Men), minyak nabati (merek dagang Mazola corn oil), garam, vitamin mix merek dagang Fitkom, pati jagung merek dagang Hann stratch corn dan air.


(56)

3.5. Mekanisme Tahapan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan pembuatan bahan dasar yaitu tepung beras-pisang awak masak, ikan lele, dan tepung kecambah kedelai. Setelah itu mempersiapkan ransum P1, P2 dan P3, kemudian dilanjutkan dengan analisis kualitas protein secara biologi terhadap ketiga perlakuan tersebut.

3.5.1. Tahapan Pertama : Pembuatan Bahan Dasar

Tahapan pembuatan bahan dasar tepung pisang awak masak, penyiapan daging ikan lele dumbo, dan pembuatan tepung kecambah kedelai adalah sebagai berikut :

1. Pembuatan tepung beras-pisang awak masak

Pembuatan tepung pisang awak masak diawali dengan memilih buah pisang awak yang telah masak dan berwarna kuning dilanjutkan dengan mengupas pisang awak dari kulitnya lalu dicuci bersih dengan air mengalir kemudian iris pisang sekalian pisahkan serat dan biji yang ada pada pisang. Pisang awak yang sudah bersih kemudian di blender sampai halus. Pisang awak yang telah halus di timbang 100 gram. Setelah itu dicampurkan dengan tepung beras 50 gram atau perbandingan 2:1 hingga membentuk pasta.

Kemudian pasta diletakkan di talam pemanggang hingga merata, setelah itu dipanaskan dalam oven pada suhu 55-60°C hingga kering. Setelah kering adonan di potong kecil-kecil dan digiling dengan healthy mix hingga berbentuk tepung, kemudian diayak 80 mesh hingga dihasilkan tepung pisang awak homogen.


(57)

2. Persiapan campuran daging ikan lele dumbo

Untuk pemisahan daging ikan lele dumbo, diawali dengan menimbang ikan lele sebanyak 2kg dilanjutkan dengan mencuci ikan lele hingga bersih dan memberikan perasan jeruk nipis pada ikan lele untuk menghilangkan bau amis pada ikan lele. Kemudian ikan lele dikukus selama ±10 menit hingga empuk, setelah empuk ikan lele dipotong dan diambil bagian dagingnya dengan memisahkan ikan lele tersebut dari duri-duri dan tulang yang menempel pada daging ikan lele.

Dari 2 kg ikan lele dumbo ukuran besar diperoleh 700 gram daging ikan lele dumbo yang dapat digunakan sebagai bahan campuran MP-ASI.

3. Pembuatan tepung kecambah kedelai

Proses pembuatan tepung kecambah kedelai mengacu pada prosedur pembuatan kecambah oleh Astawan (2008) dan pembuatan tepung kecambah kedelai oleh Aminah, S. dkk (2012) dengan modifikasi.

Tahapan pembuatan tepung kecambah kedelai diawali dengan pemilihan (sortasi) kacang kedelai kuning sehingga kedelai yang terpilih adalah kedelai yang baik, kemudian pencucian kedelai untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada kedelai, setelah itu dilakukan perendaman selama satu malam (8 jam). Selanjutnya kedelai dicuci dengan air mengalir, ditebarkan pada wadah yang dialasi daun dan ditutup dengan daun kembali. Dikecambahkan pada suhu ruangan selama 48 jam dengan penyiraman setiap 4-5 kali sehari.

Kecambah kedelai yang terbentuk, diblanching dengan pengukusan pada suhu ±90°C selama ±5menit untuk memperbaiki aroma, rasa, dan tekstur dari kecambah


(58)

kedelai. Selanjutnya kecambah kedelai didinginkan dan dikeringkan pada suhu 55-60°C pada oven selama 24 jam (sampai kering). Kecambah yang telah kering digiling dengan Healthy mix dan diayak 80 mesh sehingga menghasilkan tepung yang homogen.

Dari 500 gr kacang kedelai diperoleh 1 kg kecambah kedelai kukus. Setelah ditepungkan dan dikeringkan, berat tepung kecambah kedelai menjadi 500 gr.

3.5.2. Tahapan Kedua : Pembuatan Ransum

Ransum yang diberikan pada mencit terdiri atas 3 jenis ransum, yaitu : ransum P1, P2 dan P3. Selanjutnya dilakukan pengkodean sesuai dengan jenis ransum yang digunakan. Pengkodean dapat dilihat pada tabel 3.1. dibawah ini.

Tabel 3.1. Pengkodean Perlakuan Berdasarkan Jenis Ransum yang Diberikan

Perlakuan Kode Jenis Ransum

1 P1 Ransum Protein Whey

2 P2 Ransum TPLK

3 P3 Ransum TPL

Komposisi pembuatan ransum sesuai dengan penentuan PER in vivo berdasarkan ketentuan AOAC (1995) yang disajikan pada tabel 3.2.

Tabel 3.2. Komposisi Ransum untuk Penetapan PER In Vivo

Bahan Pakan Evaluasi Protein Diet Basal

Protein P = (1.60 × (100)/ % N sampel)

Minyak jagung 8 – [(P × % ekstrak eter)/100] Campuran garam 5 – [(P × % abu/ 100)

Campuran vitamin 1

Selulosa 1 – [ 1 - (P × % serat kasar / 100)

Air 5 – ( P × % kadar air sampel)

Sukrosa atau pati jagung Pembuat menjadi 100% Sumber : AOAC (1995) dalam Tejasari, 2005

Penyusunan ransum berdasarkan perhitungan komposisi ransum pada tabel 3.2. akan menghasilkan komposisi ransum yang disajikan pada tabel 3.3. berikut :


(59)

Tabel 3.3. Komposisi Ransum untuk Perlakuan (per 100 gram Ransum)

Perlakuan Komponen (gram)

Protein Minyak Mineral Vitamin Selulosa Air Pati P1 12.50 7.94 4.57 1.00 0.96 3.60 69.43 P2 46.19 3.35 3.60 1.00 1.76 1.97 42.14 P3 55.25 1.43 4.17 1.00 1.93 1.61 34.62 1. Pembuatan Ransum P1

Pada penelitian ini digunakan ransum protein whey sebagai control (P1). Selama masa adaptasi, mencit diberikan ransum ini. Pembuatan ransum P1 diawali dengan mencampurkan bahan-bahan penyusun ransum control (Tabel 3.2.), kemudian semua bahan diaduk sambil dipanaskan hingga membentuk pasta. Setelah masak, pasta dicetak membentuk pellet di talam pemanggang kemudian pellet dikeringkan di oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam, setelah pellet kering dan dingin, simpan pellet pada wadah kering dan tertutup.

Pemilihan protein whey dari susu komersial merek dagang L-Men sebagai ransum control dikarenakan produk susu tersebut mengandung protein whey yang memiliki kualitas protein baik, bahkan kualitas protein whey lebih tinggi dibandingkan kasein yang umumnya digunakan sebagai ransum control. Selain itu, untuk campuran vitamin pada ransum control digunakan multivitamin merek dagang Fitkom dengan komposisi vitamin yang lengkap (tercantum pada label kemasan). 2. Pembuatan Ransum P2

Tahapan pembuatan ransum P2 adalah sebagai berikut :

1) Campurkan tepung pisang awak dengan daging ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai dengan perbandingan 1:2:4, lalu diaduk hingga homogen. Letakkan adonan tersebut diatas talam pemanggang yang telah dilapisi kertas


(60)

roti, kemudian ratakan dan keringkan adonan di dalam oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam. Setelah kering adonan digiling menggunakan healthy mix hingga halus kemudian diayak hingga diperoleh tepung TPLK, setelah itu simpan tepung di dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.

2) Untuk pembuatan pellet TPLK sebagai Ransum P2 dilakukan dengan mencampurkan TPLK dengan air, minyak nabati, tepung susu, dan tepung gula dengan perbandingan 100gr:100ml:10ml:10gr:10gr. Tahapan pemasakannya yaitu: siapkan bahan-bahan yang diperlukan, kemudian panaskan bahan tersebut sambil diaduk hingga kental dan masak.

3) Setelah masak, pasta didinginkan dan dicetak berbentuk pellet. Setelah itu, pellet dikeringkan di oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam, setelah kering dan dingin, potong pellet berukuran ±1 cm.

4) Dari 100 gram TPLK dengan penambahan bahan lain menghasilkan pellet P2 seberat 130 gram. Penambahan bahan-bahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki rasa dari tepung TPLK.

3. Pembuatan Ransum P3

Tahapan pembuatan Ransum P3 adalah sebagai berikut :

1) Campurkan tepung pisang awak dengan ikan lele dengan perbandingan 1:1, lalu diaduk hingga homogen. Kemudian letakkan campuran homogen tersebut diatas talam pemanggang yang telah dilapisin kertas roti, ratakan dan keringkan di dalam oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam. Setelah kering campuran tersebut digiling menggunakan healthy mix hingga halus kemudian


(61)

diayak hingga diperoleh tepung TPL, setelah itu simpan di dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.

2) Untuk pembuatan pellet TPL sebagai ransum P3 dilakukan dengan mencampurkan tepung TPL dengan air, minyak nabati, tepung susu, dan tepung gula dengan perbandingan 100gr:100ml:10ml:10gr:10gr. Tahapan pemasakannya yaitu: siapkan bahan-bahan yang diperlukan, kemudian panaskan bahan tersebut sambil diaduk hingga kental dan masak.

3) Setelah masak, dinginkan pasta dan cetak berbentuk pellet. Setelah itu, keringkan di oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam, setelah kering dan dingin, potong pellet berukuran ±1 cm.

4) Dari 100 gram TPL dengan penambahan bahan lain menghasilkan pellet P3 seberat 120 gram. Penambahan bahan-bahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki rasa dari tepung TPL. Skema pembuatan ransum P1, P2 dan P3 disajikan pada gambar 3.2.

Setelah menyiapkan ransum yang akan diuji secara biologi, selanjutnya dilakukan pemeliharaan mencit dengan pemberian ransum P1, P2 dan P3 tersebut selama 28 hari. Kemudian dilakukan pengukuran berat badan dan konsumsi mencit selama 2 hari sekali serta pengumpulan feses dan urin mencit setiap hari selama 28 hari pengamatan terhadap ketiga perlakuan tersebut. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai PER, BV dan NPU sebagai indikator analisis kualitas protein secara


(62)

3.6. Persiapan Hewan Percobaan

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan uji kualitas protein tepung campuran beras-pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah

Tambahkan 10 ml minyak nabati, 10 gram susu bubuk, 10 gram gula halus dan air

Campurkan bahan-bahan hingga

Panaskan adonan sampai mengental dan

100 gr Tepung campuran pisang awak masak , ikan lele dumbo dan kecambah kedelai

Keringkan dalam oven pada suhu 55-60ᴼC Dinginkan pasta dan cetak berbentuk pellet

Potong pellet ukuran 100 gr Tepung campuran

tepung pisang awak masak dan ikan lele 12,5 gr Tepung

Protein Whey

Tambahkan 8 ml minyak jagung, 5 gr garam halus, 1 gr vitamin, 70 gr pati

Campurkan bahan-bahan hingga Campurkan bahan-bahan hingga Panaskan adonan sampai mengental dan

Panaskan adonan sampai mengental dan

Dinginkan pasta dan cetak berbentuk pellet

Dinginkan pasta dan cetak berbentuk pellet

Keringkan dalam oven pada suhu 55-60ᴼC

Keringkan dalam oven pada suhu 55-60ᴼC

Potong pellet ukuran ±1 Potong pellet ukuran ±1

Pellet Ransum P2 Pellet Ransum P3 Pellet Ransum P1


(1)

Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Rancangan Acak Lengkap PER

Ulangan Perlakuan Total

(Yij) Kelompok Whey Kelompok TPLK Kelompok TPL

1 0,00 1,56 1,49 3,05

2 0,16 0,06 0,55 0,77

3 0,39 2,24 0,77 3,40

Rataan 0,18 1,28 0,94

Yij 0,54 3,85 2,81 7,21

1. Derajat Bebas (db)

a. Db perlakuan = (r-1) = (3-1) = 2

b. Db galat = (rt-1)-(r-1) = (3.3-1)-(3-1) = 6 c. Db jumlah = (rt-1) = (3.3-1) = 8

2. Faktor Koreksi (FK)

= = = 5,77

3. Jumlah Kuadrat (JK)

a. Jumlah Kuadrat Total JKT = ⅀Yij²-FK

= [(0.00)2+(0,16)2+….+(0,77)2] - 5,77 = 4,94

b. Jumlah Kuadrat Perlakuan

= – 5,77

= 1,90

c. Jumlah Kuadrat Galat JKG = JKT-JKP

= 4,94 – 1,90 = 3,04


(2)

4. Kuadrat Total (KT)

a. Kuadrat Total Perlakuan

- = 0,95

b. Kuadrat Total Galat (KTG)

- = 0,51

5. F Hitung

- = 1,88

6. F Tabel

F Tabel anova pada V2/V1 yaitu 5,14

Kesimpulan : F Hitung < F Tabel, maka H0 diterima. Artinya, tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata dari pemberian TPLK ataupun TPL terhadap pertumbuhan mencit.


(3)

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Pisang Awak Masak Gambar 2.Tepung Pisang Awak Masak

Gambar 3. Ikan Lele Dumbo Gambar 4.Pengukusan Ikan Lele Dumbo


(4)

Gambar 7. Kecambah Kedelai 48 jam Gambar 8. Kecambah Kedelai Setelah di Oven

Gambar 9.Pencampuran tepung pisang awak, ikan lele dan kecambah kedelai (TPLK dan TPL)

Gambar 10.Pengayakan tepung TPLK dan TPL


(5)

Gambar 14.Pengadonan MP-ASI TPLK dan TPL

Gambar 13. Bahan-bahan campuran Formula MP-ASI TPLK dan TPL

Gambar 15.Proses Pencetakan MP-ASI TPLK dan TPL berbentuk pelet sebagai ransum uji

Gambar 16.Pelet ransum uji TPLK dan TPL setelah di oven pada suhu 55-60ᴼC

Gambar 17.Pelet ransum whey sebagai kontrol

Gambar 18.Pelet TPLK dan TPL sebagai ransum uji


(6)

Gambar 19. Penimbangan pellet ransum per 100 gram

Gambar 20. Hewan percobaan mencit jantan usia sapih (23 hari)

Gambar 21. Kandang pemeliharaan hewan percobaan

Gambar 22.Proses pengumpulan feses, pergantian ransum dan pembersihan kandang pemeliharaan

Gambar 24. Wadah pengumpulan feses dan urin mencit