Karakteristik sosis rasa ayam dari surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan penambahan isolat protein kedelai

(1)

NISA NANTAMI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai. Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan PIPIH SUPTIJAH

Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi olahan pangan digemari oleh semua lapisan masyarakat. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) saat ini cukup potensial untuk dimanfaatkan dan diolah. Sebagian masyarakat tidak menyukai lele dumbo karena bau amis. Oleh karena itu sosis ikan lele dumbo ini dibuat dengan penambahan perasa ayam. Komponen lain yang ditambahkan yaitu isolat protein kedelai (IPK), berfungsi sebagai bahan pengikat dan pengisi untuk menggantikan kandungan protein pada sosis ikan yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat produk diversifikasi olahan dari ikan lele dumbo dalam bentuk sosis, menemukan konsentrasi isolat protein kedelai (IPK) untuk menghasilkan sosis ikan terpilih, menganalisis karakteristik fisik dan nilai gizi yang terkandung dalam sosis ikan lele dumbo dan membandingkan sosis ikan lele dumbo dengan sosis komersial.

Metode penelitan dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kekuatan gel terpilih. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah frekuensi pencucian daging lumat (1 kali, 2 kali, dan 3 kali). Pada penelitian utama, sosis ikan dibuat dengan menggunakan surimi terpilih dari penelitian pendahuluan yang kemudian dilakukan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 13%, 16% dan 19%).

Hasil frekuensi pencucian daging lumat yang terpilih yaitu pencucian sebanyak 2 kali, dengan rendemen sebesar 18,72%. Hasil analisis untuk sosis ikan lele dumbo, formula terpilih yang disukai panelis yaitu IPK dengan konsentrasi 13%. Kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi yang tertinggi pada konsentrasi IPK 19% dengan nilai berturut-turut 292,45 (gf), 84,79%, dan 61,23%. Hasil analisis proksimat untuk kadar abu sebesar 1,60%, protein sebesar 15,97%, lemak sebesar 0,61%, karbohidrat sebesar 2,22%, kadar air sebesar 79,6% serta hasil TPC sebesar 5 cfu/g. Hasil uji perbandingan berpasangan dilakukan secara subjektif dan objektif. Hasil uji secara objektif pada parameter kekuatan gel, daya ikat air dan stabilitas emulsi menghasilkan nilai lebih rendah dibandingkan sosis komersial yaitu 220,55 gf, 79,36% dan 61,23%. Hasil uji perbandingan secara subjektif diketahui bahwa uji lipat, uji gigit, aroma dan rasa sosis ikan lele dumbo lebih disukai dibandingkan sosis komersial. Kandungan gizi protein dan karbohidrat sosis ikan lele dumbo lebih unggul dibandingkan sosis komersial.


(3)

NISA NANTAMI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(4)

Nama : Nisa Nantami

NIM : C34070093

Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui :

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Ir. Djoko Poernomo, B.Sc Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP : 19580419 198303 1 001 NIP : 19531020 198503 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP : 19580511 198503 1 002

     

 


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Nisa Nantami


(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian yang berjudul “Karakteristik sosis rasa ayam dari surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan penambahan isolat protein kedelai”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Teknologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini, terutama kepada:

1 Bapak Ir. Djoko Poernomo sebagai pembimbing akademik dan dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi hasil penelitian ini.

2 Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing II atas bimbingan dan saran kepada penulis.

3 Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl-Biol sebagai dosen penguji.

4 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. sebagai Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5 Keluarga tercinta terutama Mama, Papa, Aa, Mas dan Bibi yang selalu menyayangi dan menyemangati Penulis setiap waktu.

6 Teman satu bimbingan, Salman, Idris dan terutama partner saya Ibel terimakasih atas kerjasamanya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 7 Kakak THP 43 atas informasi, nasihat dan bantuannya selama penelitian. 8 Teman-Teman THP 44 atas persahabatan, kebersamaan, bantuan, doa dan

canda tawa yang diberikan.

9 Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi hasil penelitian ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dalam penyempurnaan penyusunan skripsi hasil penelitian ini.

Bogor, Agustus 2011


(7)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 26 Oktober 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga

bersaudara pasangan Dadang Sunandar, SH dan Dra. Tri Utami, MM. Penulis memulai jenjang pendidikan

formal di Taman kanak-kanak Anris, kemudian melanjutkan di SD Negeri 1 Lawanggintung (tahun 1995-2001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 7 Bogor (tahun 2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 4 Bogor (tahun 2004-2007).

Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2008 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa matakuliah Ikhtiologi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (Tahun 2009/2010), Asisten matakuliah Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan (2010/2011), dan Asisten matakuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2010/2011).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai,

dibawah bimbingan Bapak Ir. Djoko Poernomo dan Dra. Pipih Suptijah, MBA.  


(8)

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 3

2.2 Komposisi Gizi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 4

2.3 Sosis ... 4

2.3.1 Pembuatan sosis ... 5

2.3.2 Komposisi sosis ... 6

2.4 Protein Ikan ... 7

2.4.1 Protein miofibril ... 8

2.4.2 Protein sarkoplasma ... 8

2.4.3 Protein stroma ... 9

2.5 Surimi ... 9

2.6 Emulsi Ikan ... 11

2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi ... 12

2.7.1 Isolat protein kedelai ... 12

2.7.2 Tepung tapioka ... 15

2.8 Bahan Tambahan ... 16

2.8.1 Garam ... 16

2.8.2 Gula ... 17

2.8.3 Air ... 17

2.8.4 Lada putih ... 17

2.8.5 Bawang putih (Allium sativum) ... 18

2.8.7 Bawang merah (Allium ascalonicum) ... 18

2.8.7 Perasa ayam ... 18

2.8.8 Jahe (Zingiber officinale) ... 19

2.9 Lemak ... 20

2.10 Selongsong ... 20

3 METODOLOGI ... 22


(9)

3.3.2 Penelitian utama ... 24

3.4 Prosedur Analisis ... 25

3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998) ... 27

3.4.2 Analisis kimia ... 27

1) Analisis kadar air (AOAC 1995)... 27

2) Analisis kadar abu (AOAC 1995) ... 28

3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) ... 28

4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) ... 28

5) Analisis kadar karbohidrat by difference... 29

3.4.3 Analisis fisik ... 29

1) Kekuatan gel ... 29

2) Water Holding Capacity (WHC) ... 30

3) Stabilitas emulsi ... 30

4) Uji lipat ... 31

5) Uji gigit ... 31

6) Rendemen ... 31

3.4.4 Analisis mikrobiologi Total Plate Count (TPC) ... 32

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis data ... 32

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Penelitian Pendahuluan ... 34

4.1.1 Karakteristik fisik gel ikan ... 34

a) Rendemen ... 34

b) Uji lipat ... 35

c) Uji gigit ... 36

d) Kekuatan gel ... 38

4.1.2 Karakteristik sensori gel ikan ... 39

a) Penampakan ... 39

b) Warna ... 40

c) Aroma ... 41

d) Rasa ... 42

e) Tekstur ... 43

4.2 Penelitian Utama ... 44

4.2.1 Karakteristik fisik sosis ikan ... 44

a) Uji lipat ... 44

b) Uji gigit ... 46

c) Kekuatan gel ... 47

d) Water Holding Capacity (WHC) ... 48

e) Stabilitas emulsi ... 49

4.2.2 Karakteristik sensori sosis ikan ... 51

a) Penampakan ... 51

b) Warna ... 52


(10)

4.2.3.1 Analisis proksimat ... 58

a) Kadar air ... 59

b) Kadar abu ... 60

c) Protein ... 60

d) Lemak ... 61

d) Karbohidrat ... 61

4.2.3.2 Total Plate Count (TPC) ... 62

4.2.4 Analisis uji perbandingan berpasangan ... 62

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 72


(11)

No Hal

1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 4

2 Skema emulsi o/w dan w/o ... 11

3 Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai ... 15

4 Diagram alir penelitian pendahuluan pembuatan gel ikan ... 23

5 Diagram alir penelitian utama pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 25

6 Histogram rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 35

7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)... 37

8 Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 38

9 Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 39

10 Histogram rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 40

11 Histogram rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 41

12 Histogram rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 42

13 Histogram rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 43

14 Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 45

15 Histogram rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 46

16 Histogram kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 47

17 Histogram WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 49

18 Histogram rata-rata stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 50

19 Histogram rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 52

20 Histogram rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 53

21 Histogram rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 54

22 Histogram rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 55

23 Histogram rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 57


(12)

1 Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 4

2 Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 ... 7

3 Standar mutu surimi ... 10

4 Komposisi kimia isolat protein kedelai (bk) ... 13

5 Bahan dan bumbu pada penelitian utama... 24

6 Hasil analisis proksimat dan TPC sosis ikan lele dumbo ... 59


(13)

1 Lembar penilaian uji kesukaan (hedonik) kamaboko ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) ... 73 2 Lembar penilaian uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 74 3 Lembar penilaian uji gigit gek ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 75 4 Lembar penilaian uji sensori (hedonik) sosis ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) dengan perasa ayam ... 76 5 Lembar penilaian uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 77 6 Lembar penilaian uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 78 7 Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit kamaboko ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) ... 79 8 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji

lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 80 9 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian

terhadap uji lipat (Clarias gariepinus) ... 80 10 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji

gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 81 11 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian

terhadap uji gigit (Clarias gariepinus) ... 81 12 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) ... 82 13 Analisis ragam terhadap kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) ... 82 14 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap

penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 83 15 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap

warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)... 83 16 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap

rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 84 17 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap

aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 84 18 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap

tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 85 19 Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit sosis ikan lele dumbo ... 86


(14)

21 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan

konsentrasi terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo(Clarias gariepinus) ... 87

22 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 88

23 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .. 88

24 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel (Clarias gariepinus) ... 89

25 Analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 89

26 Grafik uji kenormalan galat WHC ... 90

27 Analisis ragam WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 90

28 Grafik uji kenormalan galat stabilitas emulsi... 91

29 Analisis ragam stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 91

30 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 92

31 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 92

32 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 93

33 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 93

34 Uji lanjut Multiple Comparison perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 94

35 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 94

36 Uji lanjut Multiple Comparison perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 94

37 Contoh perhitungan rendemen daging lumat dan rendemen surimi ... 95

38 Gambar hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian ... 96

39 Dokumentasi diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 97

40 Gambar hasil sosis ikan lele dumbo dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK ... 98


(15)

 

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Selain itu, semakin banyak masyarakat yang beralih ke produk perikanan yang dianggap aman untuk dikonsumsi, bila dibandingkan dengan produk hewan mamalia yang akhir-akhir ini banyak menimbulkan berbagai penyakit ternak misal sapi gila, anthrax, dan sebagainya.

Salah satu komoditas perikanan yang saat ini cukup banyak digemari oleh masyarakat adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Kebutuhan lele konsumsi dalam negeri terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin populernya lele sebagai hidangan yang sangat lezat. Data produksi untuk ikan lele dumbo di Indonesia beberapa tahun terakhir ini meningkat cukup signifikan pada tahun 2004 sebesar 60.000 ton, dan meningkat pada tahun 2005 menjadi 79.000 ton

dan pada tahun 2007 semakin meningkat menjadi 96.140 ton (Nurimala et al. 2009).

Namun, pemanfaatan ikan lele dumbo hingga saat ini masih terbatas misalnya digoreng, dan masih sedikitnya bentuk olahan ikan lele dumbo menjadi produk perikanan.

Upaya untuk meningkatkan konsumsi dan pendayagunaan terhadap hasil perikanan khususnya ikan lele dumbo, adalah diversifikasi olahan. Ikan lele dumbo diolah menjadi produk baru dengan tetap mempertahankan komposisi gizi yang terkandung di dalamnya. Beberapa keuntungan produk ini yaitu, harga relatif murah, enak, dan mudah didapat. Salah satu produk olahan ikan sebagai upaya diversifikasi yaitu sosis ikan.

Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi olahan pangan yang saat ini digemari oleh semua lapisan masyarakat. Mengingat aktivitas masyarakat yang sangat padat, kecenderungan mencari makanan yang praktis dengan kandungan energi dan gizi yang cukup. Sosis ikan merupakan pilihan yang tepat untuk dikonsumsi, karena merupakan makanan siap saji dan bergizi tinggi.

Sebagian masyarakat tidak menyukai lele dumbo karena bau amis yang tidak sedap. Oleh karena itu sosis ikan lele dumbo ini dibuat dengan penambahan


(16)

 

perasa ayam untuk menghilangkan bau amis ikan. Bahan perasa sendiri dari segi pembuatannya dibedakan menjadi dua, yaitu flavor natural (alami) dan sintetis (buatan). Perasa alami diambil dari bahan-bahan alami, misalnya rasa bawang maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa ayam diambil dari sari ayam (LPPOM 2010). Komponen sosis lainnya yang ditambahkan yaitu Isolat Protein Kedelai (IPK), penambahan IPK ini bertujuan sebagai bahan pengikat dan pengisi yang dapat menggantikan kandungan protein pada sosis ikan yang dihasilkan serta dapat mereduksi pemakaian bahan baku daging ikan pada pembuatan sosis, sehingga dapat menghasilkan sosis dengan kadar protein tinggi walaupun daging yang dipakai dalam jumlah sedikit. 

Oleh karena itu upaya pengembangan produk olahan ikan lele dumbo sangat perlu dilakukan. Hal ini untuk meningkatkan daya terima masyarakat terhadap ikan lele dumbo dan meningkatkan nilai ekonomis dari ikan tersebut, serta upaya diversifikasi sosis ikan ini diharapkan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap produk olahan ikan.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini meliputi:

1) Membuat produk diversifikasi olahan dari ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dalam bentuk sosis

2) Menemukan konsentrasi Isolat Protein Kedelai (IPK) yang dapat menghasilkan sosis ikan terpilih

3) Menganalisis karakteristik fisik dan nilai gizi yang terkandung dalam sosis ikan lele dumbo.


(17)

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan lele hasil perkawinan antara Clarias mossambicus dari Kenya dan Clarias fuscus dari Taiwan yang dibawa ke Indonesia oleh PT. Cipta Mina Sentosa (Suyanto 1999). Ikan ini dibudidayakan di Indonesia. Bentuk ikan lele dumbo yaitu, tubuh memanjang dan berkulit licin (tidak bersisik), bentuk kepala pipih dengan tulang keras sebagai batok kepala. Terdapat empat pasang sungut di sekitar mulut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar oksigen, karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen dari udara (Suyanto 1999).

Habitat dari ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu di sungai dengan arus air yang perlahan, telaga, rawa, waduk, dan sawah yang tergenang air. Ikan lele dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada 25-35 °C dan dapat tumbuh optimum pada suhu 30 °C. Ikan lele dapat memijah baik secara alami maupun dengan system suntik. Ikan lele bersifat nokturnal, yang berarti aktif mencari makanan di malam hari (Mahyuddin 2008).

Klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias


(18)

Menurut Prihartono et al. (2000), ikan lele dumbo memiliki beberapa keunggulan. Pertama, ikan lele dumbo dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan lele lokal. Kedua, lele dumbo dapat tumbuh lebih besar, satu ekor ikan lele mampu mencapai berat 2-3 kg. ketiga, telur ikan lele dumbo lebih banyak sehingga dapat menghasilkan benih lebih banyak. Keempat, biaya pemeliharaan untuk ikan lele dumbo lebih murah, karena dapat diberi berbagai macam pakan diantaranya pellet maupun berbagai jenis bangkai. Gambar ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

(Sumber: Anonim 2011)

2.2 Komposisi Gizi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Kandungan gizi dan kalori yang terdapat pada daging lele dumbo meliputi protein, lemak, karbohidrat, mineral, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B, air dan energi. Pada umumnya bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% dari berat ikan. Analisis proksimat dari komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi Mentah Rebus Goreng Panggang Kadar air (%) 75,68 71,08 63,32 65,76 Protein (%) 16,80 21,14 21,82 24,28

Lemak (%) 5,70 5,90 9,30 6,88

Kadar abu (%) 1,00 1,20 2,30 2,62

Sumber : Rosa et al. (2007)

2.3 Sosis

Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi pangan yang saat ini digemari oleh semua lapisan masyarakat. Sosis atau sausage berasal dari bahasa latin salsus yang berarti daging yang digarami atau diawetkan dengan


(19)

penggaraman. Saat ini sosis tidak hanya dibuat menggunakan daging saja, melaikan dari kedelai dan ikan. Pembuatan sosis ikan sekarang ini belum banyak dikenal masyarakat. Padahal jika ditinjau dari kandungan gizinya, ikan memiliki kandungan protein yang tinggi dan merupakan salah satu alternatif produk pangan yang mudah dikonsumsi (Suhartini dan Nur 2005).

Sosis ikan merupakan suatu produk berasal dari daging ikan yang dicampurkan dengan bahan tambahan, dicetak dalam selongsong serta mengalami proses pemanasan (Raju et al. 2003). Sosis adalah daging cincang yang diberi perlakuan penambahan pengawet berupa garam serta bahan lainnya meliputi bumbu-bumbu, bahan pengikat dan air yang kemudian dibentuk dengan ukuran yang sama menggunakan selongsong yang terbuat dari jaringan ikat usus hewan atau selulosa sehingga membentuk silinder (Kramlich 1971).

Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (oil in water). Struktur dasar emulsi adalah campuran dari bagian-bagian daging halus yang tersebar sebagai emulsi lemak dalam air. Berdasarkan metode pembuatannya, sosis dibagi menjadi 6 kelompok yaitu: sosis segar, sosis asap tidak dimasak, sosis asap dimasak, sosis masak, sosis fermentasi, dan daging giling masak. Sosis ready to eat merupakan konversi dari sosis fermentasi kering yang dilakukan dengan cara mengiris potongan, kemudian dikemas dengan metode vakum, modifikasi atmosfer yang cukup menjadi permeable atau penghalang aerobik. Penggunaan teknologi tradisional untuk menjaga sanitasi pemotongan dan pengemasan sosis fermentasi ready to eat, tidak mungkin dapat terlaksana (Cabeza et al. 2009).

2.3.1 Pembuatan sosis

Prinsip pembuatan sosis ikan meliputi penyiangan, pencucian, filleting,

penirisan, penggilingan bersama bahan pengikat dan bumbu-bumbu, pemasukan dalam casing, perebusan dan penggorengan. Menurut Shierly (2002), tahapan pembuatan sosis ikan adalah sebagai berikut:

a) Penyiangan dan pencucian

Pembuangan bagian yang tidak diperlukan dari tubuh ikan, antara lain isi perut, sirip ekor, serta daging bagian perut. Tujuan dari penyiangan dan pencucian


(20)

yaitu untuk menghilangkan segala kotoran, darah, dan lendir yang merupakan sumber bakteri pembusuk dan pathogen.

b) Filleting

Filleting merupakan proses memisahkan antara daging dengan tulang-tulangnya serta dilakukan pembuangan kulit.

c) Penggilingan

Penggilingan bertujuan untuk menghaluskan daging sehingga mudah dicampur dengan bahan-bahan lain untuk membentuk adonan. Penggilingan daging lumat bertujuan pula untuk memperkecil ukuran, memperoleh daging giling yang berukuran seragam, mengesktraksi protein larut dalam air dan larutan garam serta untuk proses emulsifikasi.

d) Pengadonan

Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar semua bahan tercampur merata. Suhu sangat berperan dalam menjaga kestabilan adonan.

e) Pengisian dalam selongsong

Adonan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong/casing, kemudian diikat menggunakan benang dengan ukuran yang seragam yaitu 10-15 cm.

f) Perebusan

Pemasakan sosis dilakukan dengan cara perebusan pada suhu 60-70 °C selama 15 menit. Perebusan yang dilakukan terlalu lama dapat menyebabkan zat makanan akan terkestraksi dan akhirnya terbuang saat perebusan. Setelah perebusan dilakukan pendinginan agar suhu sesuai dengan suhu ruang.

2.3.2 Komposisi sosis

Sosis merupakan produk olahan makanan sebagai usaha diversifikasi yang terbuat daging lumat ikan maupun daging yang banyak mengandung air, protein, lemak dan mineral-mineral.

a) Protein

Jumlah dan jenis daging serta jumlah bahan pengikat dapat mempengaruhi kadar protein pada sosis. Protein dalam daging dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kelarutannya, meliputi protein sarkoplasma yang dapat


(21)

larut dalam air, protein miofibril dapat larut dalam larutan garam, dan protein stroma yang tidak larut dalam larutan garam.

b) Air

Kadar air merupakan komponen sangat penting dalam bahan pangan, karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan citarasa. Kadar air pada sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jumlah pati maupun jumlah es yang ditambahkan (Rompis 1998).

c) Abu

Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kadar abu pada sosis berasal dari daging, tepung, sodium tripolifosfat maupun garam yang ditambahkan.

d) Lemak

Kandungan lemak dalam pembuatan sosis merupakan komponen penting. Kadar lemak dapat dipengaruhi oleh penambahan jenis dan jumlah daging serta lemak dalam pembuatan sosis.

e) Karbohidrat

Kadar karbohidrat daging segar yaitu kurang dari 1% dari berat daging dan umumnya dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kandungan karbohidrat pada sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan.

Tabel 2 Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna - Normal

1.4 Tekstur - Bulat panjang

2 Air %b/b Maks 67.0

3 Abu %b/b Maks 3.0

4 Protein %b/b Min 13.0

5 Lemak %b/b Maks 25.0

6 Karbohidrat %b/b Maks 8

Sumber: SNI 1995

2.4 Protein Ikan

Senyawa kimia yang kandungannya terdapat dalam jumlah terbesar dalam tubuh ikan setelah kadar air yaitu kadar protein. Protein terdapat dalam ikan


(22)

diperkirakan nilainya mencapai 11-27% (Shahidi dan Botta 1994). Protein ikan dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan tingkat kelarutannya, meliputi protein miofibril sebesar 65-75%, protein sarkoplasma sebesar 18-35%, dan jaringan ikat atau stroma (Mackie 1992).

2.4.1 Protein miofibril

Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan tubuh ikan, Protein miofibril berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Sifat protein ini yaitu larut garam atau disebut PLG (Protein Larut Garam). Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin). Aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein. Miosin merupakan fraksi miofibril yang paling berlimpah dalam otot ikan dan memiliki kontribusi sekitar 50-60% dari berat total jumlah protein. Aktin merupakan fraksi miofibril terbesar kedua setelah myosin, menyusun sekitar 20% dari kandungan total jumlah protein. Sedangkan tropomiosin dan troponin jumlahnya 10% dari total protein (Shahidi dan Botta 1994). Protein miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran nilai pH kurang dari 6,5 yang berdampak pada kemampuan pembentukan gel. Pembentukan gel oleh protein miofibril pada surimi dipengaruhi berbagai faktor diantaranya konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH, dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan (Lee 1984). 2.4.2 Protein sarkoplasma

Protein terbesar kedua adalah sarkoplasma. Protein sarkoplasma (albumin, mioalbumin, dan mioprotein) merupakan jenis protein yang larut dalam air, protein ini ditemukan dalam plasma sel. Fraksi protein ini jumlahnya 20-30% dari seluruh protein (Shahidi dan Botta 1994). Karakteristik dari protein ini adalah bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur bulat. Hal ini yang menyebabkan protein sarkoplasma memiliki daya larut yang tinggi dalam air. Protein sarkoplasma diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot dan pembawa oksigen. Protein ini tidak berperan sebagai pembentuk gel. Selama pembentukan matriks gel, protein ini dapat mengganggu cross-linking miosin karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan rendahnya kapasitas pengikatan air yang dimiliki.


(23)

Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi berdasarkan spesies ikan. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah mioglobin, yang terdiri dari dua komponen yaitu fraksi protein disebut globin, dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Protein tersebut berfungsi dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).

2.4.3 Protein stroma

Protein jaringan ikat (stroma) merupakan protein yang jumlahnya paling sedikit. Protein ini tidak larut dalam air, larutan asam HCl ataupun NaOH dan kontribusinya sebesar 10% dari total protein kasar (Shahidi dan Botta 1994). Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Penyusun dari stroma yaitu kolagen dan elastin. Jika jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen tersebut akan berubah menjadi gelatin. Ikan yang memiliki daging merah lebih banyak stromanya lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan daging putih (Suzuki 1981). Pada saat pengolahan surimi, protein ini tidak dihilangkan karena mudah larut dalam panas dan merupakan komponen netral pada produk akhir (Hall dan Ahmad 1992).

2.5 Surimi

Surimi merupakan produk antara yang digunakan dalam berbagai macam produk yang telah dikenal di berbagai negara. Surimi dapat dibuat dengan menggunakan ikan air tawar maupun ikan air laut. Untuk jenis ikan air tawar, sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi. Produk komersial surimi dibuat dengan cara memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang kemudian diikuti proses pencucian (1-3 kali) menggunakan air atau larutan garam. Selanjutnya dilakukan pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectant untuk mecegah denaturasi protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku. Sebagai sumber protein, surimi dari berbagai spesies ikan dapat digunakan di beberapa negara untuk memproduksi produk berbasis surimi seperti kue ikan, bola-bola ikan, burger ikan, sosis ikan, mie ikan dan stik imitasi (Shaviklo 2006).

Jenis ikan yang ideal untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, karena dapat


(24)

mempengaruhi elastisitas tekstur. Sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan segar (BPPMHP 1987 diacu dalam Muhibuddin 2010). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas surimi yaitu cara penyiangan, besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, peralatan, serta cara pencucian. Selain itu suhu air pencucian dan suhu saat penggilingan pun dapat mempengaruhi kualitas surimi. Jika suhu air lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam (Lee 1984).

Pencucian merupakan tahapan yang paling penting, khususnya untuk ikan-ikan yang memiliki kemampuan pembentukan gel yang rendah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel, serta menghilangkan komponen yang dapat mengurangi kualitas surimi (Park 2005). Selain itu, pengaruh pencucian adalah untuk mendapatkan warna daging yang putih (Suzuki 1981). Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara 5-10 °C. Pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Protein dapat hilang pada pencucian kedua dan ketiga berturut-turut sebesar 27% dan 38% pada pengolahan surimi (Benjakul et al. 1996 diacu dalam Muhibuddin 2010). Kadar air pada daging akan meningkat dari 82% menjadi 85% menjadi 90% hingga 92% setelah pencucian berulang kali. Untuk mengurangi kadar air ini dapat dilakukan penambahan cryoprotectant dan proses pembekuan (Park 2005).

Kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih, kuat dan dapat membentuk gel (Winarno 1993). Komponen yang berperan dalam pembentukan gel ini adalah protein miofibril yang dapat diekstrak menggunakan larutan garam. Standar mutu surimi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Standar mutu surimi Tingkatan mutu

(Grade)

Surimi Kadar air (%) pH Impurities

(Score)

Kekuatan gel (g cm) tanpa pati

1 75 ± 0,5 >7 10 >680

2 75 ± 0,5 7 >9 >680

3 75 ± 0,5 7 >8 >640

4 75 ± 1,0 7 >6 >520

5 75 ± 1,0 7 >5 >440

6 75 ± 1,0 7 >4 >310


(25)

2.6 Emulsi Ikan

Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (o/w). Emulsi merupakan dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, namun molekul dari kedua cairan tersebut tidak berbaur melainkan saling antagonistik. Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur tetapi saling ingin terpisah karena mempunyai berat jenis yang bebeda. Tiga bagian utama yang umumnya terdapat pada suatu emulsi, diantaranya bagian yang terdispersi yaitu butir-butir lemak (fase diskontinyu), bagian pendispersi (fase kontinyu) yang terdiri dari air, bagian emulsifier yang berfungsi untuk menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air (Winarno 1997). Pada emulsi minyak dalam air (O/W), air berperan sebagai fase pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi. Sebaliknya pada emulsi air dalam minyak (W/O), minyak sebagai fase pendispersi dan air sebagai fase terdispersi. Berikut ini merupakan skema tipe emulsi yang dapat dilihat pada Gambar 2.  

(a) (b)   Gambar 2 Skema emulsi (a) O/W dan (b) W/O

Terdapat tiga tipe protein yang berperan dalam pembentukan emulsi sosis, antara lain 1) protein sarkoplasma yang larut dalam air, namun kurang larut dalam garam, 2) aktin dan miosin yang sangat larut dalam larutan garam, 3) protein lainnya misalnya mioglobin yang larut dalam air dan garam. Untuk mendapatkan hasil emulsi yang baik dapat dilakukan dengan cara memecah atau melumatkan daging prerigor bersama-sama dengan es, garam dan baha curing, kemudian disimpan beberapa jam sehingga proses ekstraksi protein lebih efisien.

Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-active. Oleh karena itu, protein dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi minyak-air. Kemampuan protein dalam menstabilkan emulsi didasarkan oleh


(26)

adanya gugus polar dan non polar dari gugus asam amino. Emulsifier yang utama dalam emulsi sosis yaitu protein larut garam, meliputi aktin dan myosin yang digabung menjadi aktomiosin (Kramlich et al. 1973).

Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam system emulsi atau terdapat keseragaman molekul fase pendispersi dan fase terdispersi dalam kondisi baik. Untuk mendapatkan emulsi yang pekat dan stabil dari kedua cairan, maka diperlukan komponen ketiga, yaitu bahan pengemulsi. Fungsi dari komponen ketiga yaitu untuk mempercepat terjadinya emulsi dan memberikan atau meningkatkan kestabilan emulsi, karena struktur molekul pengemulsi mengandung dua bagian, satu bagian memiliki sifat polar atau hidrofil, bagian yang lain yaitu bersifat non polar atau hidrofob. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, viskositas emulsi, jumlah dan tipe protein yang larut (Kramlich 1971).

2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi

Penambahan bahan pengisi berfungsi untuk memperbesar jumlah produk sosis. Bahan pengisi (filler) yang ditambahkan dalam pembuatan sosis antara lain tepung tapioka yang memiliki kandungan pati yang tinggi namun rendah protein. Bahan pengikat (binder) yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis adalah lemak. Bahan pengikat berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki hasil irisan, memperbaiki aroma, memperbaiki rasa, menahan lemak, dan membentuk tekstur yang padat dan menarik air (Wilson 1960).

2.7.1 Isolat protein kedelai

Bahan pengikat yang umum digunakan pada pembuatan sosis adalah isolat protein. Isolat soy protein (ISP) dengan nama lain isolat protein kedelai merupakan produk dari protein kedelai yang berlemak rendah, protein ini diolah sedemikian rupa sehingga memiliki kandungan protein yang tinggi. Kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95 %. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai (Koswara 1992). Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industi pangan, karena banyak


(27)

digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Sifat yang diunggulkan dari isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Koswarab 2005). Berbagai macam bentuk isolat protein kedelai dengan sifat fungsional yang berbeda dapat diperoleh secara komersil. Sifat fungsional protein yang utama antara lain emulsifikasi, daya serap lemak dan daya serap air (Ulya 2005).

Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai campuran dalam makanan olahan daging dan susu. Prospeknya sangat luas, bukan hanya sebagai campuran tetapi juga bahan utama dalam industri makanan. Salah satu senyawa yang terdapat pada protein kedelai yaitu lesitin. Lesitin nabati paling baik dari lesitin hewani yang mempunyai sifat superior (dapat berfungsi sebagai peremaja sel tubuh, sehingga vitalitasnya meningkat). Lesitin memiliki sifat emulsif terhadap lemak. Protein kedelai memiliki memiliki dua peran dalam mekanisme emulsifikasi. Pertama, dapat membantu membentuk formasi emulsi O/W (oil in water) dan kedua, dapat menjaga stabilitas emulsi (Wolf 1990).

Isolat protein ini sudah banyak digunakan dalam industri daging karena kemampuannya dalam mengikat air dan lemak serta mampu membentuk gel selama pemanasan. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007). Produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan pengikat ini mengandung protein yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini dapat menstabilkan emulsi sosis yang terbentuk (Soeparno 1994). Komposisi kimia isolat protein kedelai (% bk) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia isolat protein kedelai (% berat kering)

Parameter Jumlah %

Protein (N x 6,25) 90-92

Lemak 0,5-1,0

Serat kasar 0,1-0,2

Abu 4,0-5,0

Kadar air 0

Karbohidrat (by difference) 3-4


(28)

Proses pembuatan isolat protein kedelai, pertama biji kedelai kering direndam 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai dikupas kulitnya dan dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), kemudian diencerkan hingga perbandingan kedelai kering : air = 1:8. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH hingga 8,5-8,7 dan diaduk selama 30 menit. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan larutan NaOH 2N dan dipanaskan hingga suhu 50-55 °C untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi protein. Setelah protein terekstrak, maka residu non protein harus dipisahkan dengan sentrifugal. Pada tahap ini sangat penting karena dapat menentukan kemurnian isolat protein kedelai yang dihasilkan. Semakin cepat sentrifugal dilakukan, maka semakin murni isolat yang dihasilkan dan kandungan proteinnya pun makin tinggi serta memiliki sifat fungsional yang semakin baik.

Filtrat yang diperoleh dari tahap pemisahan (berisi protein yang larut), kemudian diturunkan pH-nya sampai 4,5 sehingga protein akan mengendap. Penurunan pH ini dapat dilakukan dengan larutan HCl 2N atau larutan TCA kemudian dipisahkan dengan sentrifugal. Selanjutnya endapan tersebut dicuci (dicampur air lalu disentrifugal lagi ulangi beberapa kali). Endapan dibuat suspensi kental dengan air (1:2) dan dikeringkan dengan spray dryer. Selanjutnya didapatkan hasil berupa isolat protein kedelai. Jika setelah pencucian dilakukan netralisasi dengan NaOH 2N sampai pH 6-8 lalu dikeringkan, maka menghasilkan produk isolat proteinat kedelai. Produk ini lebih awet dibandingkan dengan isolat protein kedelai (Koswara 1992).

Cara diatas sering juga dimodifikasi yakni tanpa mengalami proses netralisasi. Proses ini akan menghasilkan protein kedelai dalam bentuk protein dalam keadaan isoelektriknya. Proses ini merupakan proses yang paling sering digunakan dalam memproduksi isolat protein kedelai secara komersial. Selain cara di atas masih banyak cara lainnya untuk memproduksi isolat protein kedelai, misal pemisahan berdasarkan perbedaan berat molekul, proses membran, ekstraksi dengan air, dan ekstraksi dengan larutan garam (Mervina 2009).

Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai yang dapat dilihat pada Gambar 3.


(29)

Tepung : air = 1:8

Gambar 3 Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai

(Sumber: Ulya 2005)

2.7.2 Tapioka

Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan dalam pembuatan sosis. Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari ubi kayu melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan

Tepung kedelai bebas lemak

Biji kedelai kering

Pencampuran

Perendaman Pengupasan kulit

Pembuatan bubur kedelai/ susu kedelai

Kulit ari

Ekstraksi

NaoH 2N, pH 8,5-8,7 Pengadukan

Suhu 50-55◦C Sentrifuse

Filtrat Residu (polisakarida, pigmen dan komponen nonprotein lain) Pengendapan pada pH 4,5

Filtrat Endapan protein

Pencucian

Pengeringan

Isolat Protein Kedelai


(30)

pengeringan. Pati merupakan komponen utama tepung tapioka yang tidak memiliki rasa dan bau sehingga dapat dipergunakan untuk modifikasi rasa. Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena selain harganya yang murah juga memberikan citarasa netral serta warna terang pada produk sosis. Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak meningkatkan elestisitas gel. Berdasarkan uji organoleptik yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10 % tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasa produk kamaboko ikan lele dumbo (Hermawan 2002).

2.8 Bahan Tambahan

Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan sosis ikan ini antara lain garam, gula, air, lada putih, bawang putih, bawang merah, minyak, lemak, jahe dan perasa ayam (kaldu ayam).

2.8.1 Garam

Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan pembuatan sosis untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur. Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada keperluan. Menurut Winarno (1997), makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi. Pemakaian garam dengan konsentrasi rendah (1 – 3 %) tidak bersifat membunuh bakteri, melainkan hanya memberikan cita rasa. Garam berfungsi sebagai pengawet karena garam berperan sebagai penghambat mikroorganisme tertentu. Selain itu, pemakaian garam juga dapat mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat mengakibatkan proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis (kadar air dalam sel bakteri berkurang, sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan bakteri mati) (Moeljanto 1992).

2.8.2 Gula

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa manis dan sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari bit atau gula


(31)

tebu. Adanya gula, sukrosa, pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita rasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al. 1987). Gula tebu dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) dan digunakan sebagai bahan pemanis alami. Rendemen tebu maksimal tercapai pada bulan Agustus, selanjutnya berangsur menurun karena tebu merupakan tanaman semusim. Sampai saat ini gula tebu masih dianggap sebagai pemberi rasa manis yang aman untuk kesehatan. Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap kandungan air dalam bahan pangan ini bisa memperpanjang masa simpan (Saparinto dan Hidayati 2006).

2.8.3 Air

Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan sosis. Kandungan air sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung dari jumlah cairan yang ditambahkan dan jenis daging (Soeparno 1994). Penambahan air atau es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting, untuk melarutkan garam, dan memudahkan ekstraksi protein serabut otot. Selain itu, air atau es juga berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga dihasilkan emulsi yang stabil. Protein miosin hanya dapat larut pada suhu 4-5 °C sehingga sangat penting menggunakan air dingin (Kramlich et al. 1973). Air atau es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu dan garam sehingga dapat tersebar lebih merata. Air akan banyak mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan penampakan.

2.8.4 Lada putih

Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993).


(32)

2.8.5 Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin, yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung beberapa vitamin diantaranya thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat, vitamin B, vitamin C dan mengandung β-karoten yang merupakan bentuk vitamin A dalam jumlah yang sedikit (Wibowo 1999). Karakteristik bawang putih akan terlihat apabila dilakukan pemotongan atau perusakan jaringan (Palungkun dan Budiarti 1992).

2.8.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.) 

Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Selain itu, umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan asam amino ini disebut dengan allin yang karena sesuatu hal berubah menjadi

allicin (Wibowo 1999). Bawang merah berperan sebagai antioksidan, berdasarkan penelitian diketahui bahwa ekstrak bawang merah dapat menurunkan bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas sebagai indikasi tingkat kerusakan minyak (Panagan 2010).

2.8.7 Perasa ayam

Pemicu pengunaan bahan perasa karena langkanya bahan baku yang menjadi dasar pembuatan produk itu sendiri. Misalnya saja pada hasil pertanian, biasanya bahan pangan yang dihasilkan mengalami perubahan mutu dan rasa seiring dengan perubahan musim dan iklim. Padahal perbedaan mutu dan rasa tersebut tidak diinginkan oleh konsumen, sehingga dalam produk industri dipakailah bahan perasa untuk mentabilkan mutu dan rasa.

Berdasarkan segi pembuatannya, perasa dibedakan menjadi dua, yaitu

flavor natural (alami) dan sintetis (buatan). Perasa alami diambil dari bahan-bahan alami, misalnya rasa bawang maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa ayam diambil dari sari ayam. Sedangkan untuk perasa buatan dihasilkan dari


(33)

bahan-bahan sintetis, seperti bahan-bahan kimia yang berasal dari turunan minyak bumi (LPPOM 2010).

Penggunaan perasa dari bahan sintetis pada bahan pangan perlu diperhatikan kadar pemakaiannya, karena pada perasa sintetis terdapat bahan kimia yang sengaja ditambahkan untuk menghasilkan turunan rasa yang diinginkan. Untuk bahan perasa alami tidak dibatasi dalam pemakaiannya. Pemakaian bahan perasa dapat menguntungkan bagi produsen misal dapat menghasilkan berbagai rasa hanya dengan menambahkan perasa (flavor) serta meminimalkan biaya produksi (Irham 2009).

Jenis perasa yang ditambahkan dalam pembuatan sosis yaitu bahan perasa alami. Perasa alami yang ditambahkan yaitu kaldu ayam. Saripati ayam atau dikenal dengan kaldu ayam sejak lama telah diketahui bahwa memiliki manfaat yang besar dalam menjaga stamina tubuh. Cara termudah untuk mendapatkan saripati ayam ialah membuat sendiri kaldu ayam atau membeli suplemen sariparti ayam yang tersedia di pasaran. Pembeda antara keduanya, hanya terletak pada kadar lemak yang sudah dihilangkan pada produk suplemen saripati ayam. Tidak mengherankan, orang China sering membuat sup kaldu ayam untuk mengobati penderita masuk angin. Selain itu, khasiat dari kaldu ayam tidak terbatas pada stamina tapi juga meningkatkan daya ingat seseorang. Selain minyak ikan, saripati ayam juga dapat meningkatkan kinerja otak. Konsumsi saripati ayam sendiri diperuntukkan bagi semua umur. Saripati ayam juga tidak menimbulkan efek ketergantungan atau efek samping sehingga tidak ada batasan dalam mengkonsumsi saripati ayam (Kompas 2010).

2.8.8 Jahe (Zingiber officinale)

Jahe dapat digunakan sebagai sebagai bumbu masak, pemberi aroma berbagai makanan dan minuman serta bahan obat-obatan tradisional. dan aneka keperluan lainnya. Kegunaan jahe antara lain dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Sifat khas jahe disebabkan terdapatnya kandungan minyak atsiri dan oleoresin jahe. Minyak atsiri menyebabkan aroma harum jahe, sedangkan oleoresin menyebabkan rasa pedas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1 – 3 %. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan


(34)

zingiberol. Oleoresin jahe banyak mengandung komponen pembentuk rasa pedas yang tidak menguap. Komponen dalam oleoresin jahe terdiri atas gingerol dan zingiberen, shagaol, minyak atsiri dan resin. Pemberi rasa pedas dalam jahe yang utama adalah zingerol (Koswaraa 2005). Bagian tumbuhan jahe yang digunakan adalah rimpang. Kandungan kimia dari rimpang jahe yaitu minyak atsiri yang terdiri dari senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral, dan zingiberal. Disamping itu terdapat juga pati, damar, asam-asam organik seperti asam malat dan asam oksalat, Vitamin A, B, dan C, serta senyawa flavonoid dan polifenol (Matondang 2008). 2.9 Lemak

Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan untuk membentuk sosis yang kompak, empuk dan kelezatan sosis, lemak hewani ataupun minyak nabati dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis (Erdiansyah 2006). Lemak yang ditambahkan pada sosis dapat berupa lemak nabati maupun lemak hewani, dengan kadar berkisar antara 5-25%. Keuntungan dari lemak nabati yaitu, mengandung kolesterol kandungan linoleat, oleat, dan linolenat yang lebih besar dibandingkan lemak hewani (Dotulong 2009). Sosis yang baik dapat dihasilkan dengan menggunakan penambahan lemak hewani. Dengan lemak hewani, tekstur sosis akan menjadi lebih baik. Sedangkan lemak nabati yang biasanya cair pada suhu kamar akan menghasilkan tekstur yang lebih lunak. Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% bobot daging (Erdiansyah 2006).

2.10 Selongsong

Selongsong (casing) merupakan pembungkus yang digunakan untuk membungkus dan membentuk sosis. Terdapat tiga jenis selongsong (casing) yang sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Selongsong alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan selongsong ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing


(35)

selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan. Saat ini telah dikembangkan poly amid casing, yaitu selongsong yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap panas, dan dapat dicetak (Astawan 2008).


(36)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2011. Bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik yang bertempat di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Laboratorium Pengolahan Pangan dan PAU (Pra Antar Universitas) di Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang didapat dari Pasar Ciampea, garam, ISP (Isolat Soy Protein) yang didapat dari toko kimia Setia Guna, tepung tapioka, gula, lada putih, air/es, bawang putih, bawang merah, jahe, dan plastik.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital, baskom, talenan, pisau, kompor, thermometer, panci, grinder, food processor, selongsong, sendok, benang kasur, stuffer, dan kain blacu. Alat yang digunakan untuk analisis produk meliputi timbangan analitik, oven, desikator, alat penjepit, gelas ukur, gelas piala, Texture analyzer, tabung reaksi, cawan petri, dan cawan porselen.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental. Metode eksperimental adalah salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki hubungan sebab akibat variable yang digunakan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan kekuatan gel terbaik pada gel ikan. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah frekuensi pencucian daging lumat (1 kali, 2 kali, dan 3 kali) dengan pencampuran garam yaitu sebesar 0,3% dari berat bahan untuk setiap perlakuan yang ditambahkan pada akhir pencucian setiap perlakuan Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hasil


(37)

terbaik yaitu dengan pengujian sensori, analisis fisik (uji lipat, uji gigit, kekuatan gel dan perhitungan rendemen. Kemudian diolah menggunakan uji nonparametrik (Kruskal Wallis). Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 4. Perlakuan pada penelitian pendahuluan:

a) Pencucian daging lumat sebanyak 1 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b b) Pencucian daging lumat sebanyak 2 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b

yang ditambahkan pada pencucian terakhir

c) Pencucian daging lumat sebanyak 3 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b yang ditambahkan pada pencucian terakhir

                               

Gambar 4 Diagram alir pembuatan gel ikan pada penelitian pendahuluan

Ikan Lele dumbo

Pembuatan fillet + pembuangan kulit

Pemerasan Pencucian (air:daging = 3:1)

air es+ garam 0,3% (b/b) 10 menit (5-10 °C)

Penyiangan

Pencucian (air) 10menit (5-10 °C) Pencucian (air) 10 menit (5-10 °C)

Pemerasan

Penggilingan

Pemerasan Pencucian

air + garam 0,3% (b/b) 10 menit (5-10 °C)

Pencucian (air) 10 menit (5-10 °C)

Pemerasan

Pemerasan

Pencucian air + garam 0,3% (b/b) 10 menit (5-10 °C) Pemerasan

Penimbangan

Pencetakan dalam tabung stainless diameter 3,25 cm dan tinggi 3 cm Perebusan 45-50 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit)

Gel ikan

Pengadonan + garam 2,5% (b/b) Daging lumat


(38)

3.3.2 Penelitian utama

Hasil pengujian yang mempunyai nilai terbaik dari penelitian pendahuluan digunakan dalam penelitian utama. Pada penelitian utama, sosis ikan dibuat dengan menggunakan surimi terbaik dari penelitian pendahuluan yang kemudian dilakukan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda. Selain itu, ditambahkan pula bumbu-bumbu antara lain garam, gula, lada putih, bawang putih, bawang merah, serta tepung tapioka sebesar 10% (dari berat total IPK+daging) dengan jumlah yang sama untuk tiap perlakuan. Konsentrasi bahan dan bumbu yang ditambahkan dalam penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Bahan dan bumbu pada penelitian utama

Bahan dan bumbu % bobot total (IPK + daging)

Garam 3% Gula 1,5%

Bawang putih 3%

Bawang merah 4%

Lada putih 0,5%

Jahe 0,25%

Perasa ayam 1%

Ekstrak lemak (ayam) 3%

Tapioka 10%

Air dingin 100%

Perlakuan penambahan Isolat protein kedelai (IPK) pada penelitian utama dengan perhitungan dari berat total 100% (daging + IPK) :

a) Penambahan IPK 10% dan daging 90% sebagai perlakuan 1 b) Penambahan IPK 13% dan daging 87% sebagai perlakuan 2 c) Penambahan IPK 16% dan daging 84% sebagai perlakuan 3 d) Penambahan IPK 19% dan daging 81% sebagai perlakuan 4

Selanjutnya dilakukan analisis fisik untuk menentukan konsentrasi penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) terbaik yaitu dengan pengujian sensori (warna, rasa, aroma, tekstur, penampakan), uji lipat, kekuatan gel, stabililitas


(39)

emulsi dan daya ikat air, serta dilakukan pula analisis kimia untuk mengetahui proksimat dari sosis ikan yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat.

Pembuatan sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama adalah sebagai berikut. Ikan lele dumbo disiangi, difillet dan dibuang kulitnya, serta digiling sehingga didapatkan daging lumat. Daging lumat dicuci dan diremas-remas dalam air dingin selama 10 menit sambil diaduk-aduk kemudian disaring dan diperas menggunakan kain blacu, pencucian diulangi sebanyak 2 kali dengan perbandingan antara air/es dengan daging lumat 3:1. Saat pencucian kedua dilakukan penambahan garam sebanyak 0,3 % dari berat daging. Surimi yang didapat selanjutnya diberi IPK dengan konsentrasi berbeda (10%, 13%, 16% dan 19%) pada setiap perlakuan, kemudian ditambahkan bahan pengisi berupa tepung tapioka sebesar 10% (dari berat total antara daging dan IPK). Selanjutnya ditambahkan bumbu-bumbu (dari berat total antara daging dan IPK): garam 3%, gula 1,5%, lada putih 0,5%, bawang merah 4%, bawang putih 3%, lemak 3%, jahe 0,25%, dan perasa ayam 1% dengan jumlah yang sama untuk setiap perlakuan. Pengadonan dilakukan hingga homogen dengan food processor selama ± 10 menit dan ditambahkan air dingin/es dengan perbandingan berat total 1:1. Adonan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam selongsong menggunakan stuffer dengan ukuran panjang untuk masing-masing sosis 10 cm dan diikat dengan benang kasur. Perebusan dilakukan sebanyak 2 tahap, perebusan pertama dilakukan pada suhu 45-50 °C selama 20 menit dan dilanjutkan perebusan kedua dengan suhu 80-90 °C selama 30 menit. Sosis ikan dapat diangkat dan didinginkan. Diagram alir pembuatan sosis ikan lele pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 5.

3.4 Prosedur Analisis

Teknik pengujian ada dua cara, yaitu secara subyektif dan secara obyektif. Analisis obyektif yang dilakukan meliputi analisis kimia dan analisis fisik. Analisis kimia dilakukan untuk sosis daging ayam (pembanding) dan sosis ikan lele dumbo yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Analisis fisik dilakukan pada sosis ikan yang


(40)

dihasilkan meliputi kekuatan gel, daya ikat air, stabilitas emulsi. Analisis secara subyektif dilakukan dengan cara uji organoleptik.

                                               

Gambar 5 Diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penelitian utama

Ikan lele dumbo

Penyiangan

Pemfiletan + skinless

Pencucian Penggilingan Pencampuran dan pengadonan ±10 menit Gula, garam, bawang merah, bawang putih, lada putih, lemak hewani, perasa ayam dan jahe Tepung tapioka,

Isolat Protein Kedelai 10,13,16,19% (berat total IPK+

daging)

Pemasukan dalam selongsong (pencetakan)

Perebusan 45-50 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit)

Sosis ikan Pendinginan

Pemerasan

Surimi hasil pencucian


(41)

3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik), panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatannya disebut skala hedonik, kemudian ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya. Dalam penelitian ini digunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan sosis ikan yang dihasilkan dengan pemberian kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan. Parameter rasa dinilai pada saat memakan sosis. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan mencium aroma sosis. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada saat sosis dimakan. Lembar uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1 untuk gel ikan lele dumbo dan Lampiran 4 untuk sosis ikan lele dumbo.

3.4.2 Analisis kimia

Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian pembuatan sosis ikan ini meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, protein dan karbohidrat.

1) Analisis kadar air (AOAC 1995)

Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan dengan desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven 100-102 °C selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar air (berat basah) : W3 X 100%

W1

Keterangan : W1 : Berat contoh

W2 : Berat contoh setelah dikeringkan


(42)

2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 °C, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan. Sampel dipanaskan di atas kompor listrik hingga uap air hilang atau sampai beratnya tetap. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 8 jam. Lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar abu (%) : Berat abu X 100%

Berat contoh

3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Kadar protein ditetapkan berdasarkan oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi ammonia. Selanjutnya ammonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk ammonium sulfat. Larutan dibuat menjadi basa dan ammonia diuapkan untuk kemudian diserap dalam larutan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan HCl 0,02 N. Penetapan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl-mikro.

Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1 tablet Kjeldahl dan 20 ml H2SO4 pekat. Kemudian didestruksi di

ruang asam sampai cairan jernih, kemudian didinginkan. Cairan yang diperoleh selanjutnya ke dalam labu takar 100 ml, dipipet sebanyak 10 ml ke dalam alat destilasi serta ditambahkan 10 ml NaOH pekat. Hasil destilasi ditampung dalam 10 ml asam borat (H3BO3) 4%, lalu dititrasi dengan larutan standar HCl 0,02 N

sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu atau biru. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Nitrogen (%) : (ml HCl-ml blanko) x N HCl x 14,007 x fp X 100%

mg sampel

4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Contoh diekstrak dengan pelarut heksana. Pelarut yang digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian ditimbang


(43)

dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi Soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan, dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet, lalu dialiri dengan air melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar lemak (%) : Berat lemak (gram) X 100%

Berat sampel (gram)

   

5) Analisis kadar karbohidrat by difference

Kadar karbohidrat dihitung dengan menghitung sisa (by diffrerence) yaitu dengan rumus sebagai berikut :

Kadar karbohidrat (%) : 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak)

3.4.3 Analisis Fisik

Analisis fisik yang dilakukan untuk menguji sosis ikan ini antara lain analisis kekuatan gel, daya mengikat air (DMA), stabilitas emulsi, uji gigit dan uji lipat.

1) Kekuatan gel

Pengukuran kekuatan gel (kekerasan) sosis dilakukan secara obyektif dengan menggunakan Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan sosis ikan dinyatakan dalam gram force tiap cm2(gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan di bawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali. Hasil


(44)

pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel pada suatu bahan.

2) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992) Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan di kertas saring dan dijepit dengan carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman 1 no 40. Luas area basah yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam sosis yang terlepas) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Berat air : Luas area basah - 8,0 0,0948

% air bebas : Berat air x 100 % 3000mg

WHC = kadar air total daging (%) - kadar air bebas (%)

3) Stabilitas emulsi ( AOAC 1995)

Pengukuran kestabilan emulsi dilakukan berdasarkan prinsip yaitu mengukur kestabilan emulsi sosis terhadap perubahan suhu yang ekstrim. Sampel sosis dihancurkan, lalu ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45 °C selama 1 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 0 °C selama 1 jam. Sampel dimasukkan kembali ke dalam oven pada suhu 45 °C selama 1 jam. Pengamatan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya pemisahan air dari emulsi. Jika terjadi pemisahan, maka emulsi dikatakan tidak stabil dan tingkat kestabilananya dihitung berdasarkan persentase fase terpisah terhadap emulsi keseluruhan. Stabilitas emulsi dapat dihitung dengan rumus berikut:

SE (%) = Berat fase yang tersisa x 100%  Berat total bahan emulsi


(45)

4) Uji lipat (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis. Uji ini dilakukan dengan cara mengiris produk setebal 4-5 mm, yang hasil irisannya dilipat dengan tangan, diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati kondisinya. Hasil pengamatan pada bagian lipatan dikonversikan dengan

score sheet yang telah disediakan yang dapat dilihat pada Lampiran 2 untuk gel ikan lele dumbo dan Lampiran 5 untuk sosis ikan lele dumbo.

5) Uji gigit (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekenyalan sosis. Uji ini dilakukan secara subjektif dari 30 panelis. Sampel sosis yang ingin diuji diiris dengan ukuran setebal 5 mm. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah, kemudian diamati daya lentingnya. Hasil pengamatan pada bagian gigitan dikonversikan dengan score sheet yang telah disediakan yang dapat dilihat pada Lampiran 3 untuk gel ikan lele dumbo dan Lampiran 6 untuk sosis ikan lele dumbo.

6) Rendemen

Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo utuh ditimbang sebagai berat awal (a). kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Rendemen daging dihitung dengan persamaan berikut ini.

Rendemen daging = b x 100% a

Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo ditimbang sebagai berat awal (a), kemudian daging lele tersebut dilumatkan, dilakukan pencucian dan pemerasan lalu ditimbang sebagai berat akhir (c). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan berikut ini.

Rendemen surimi = c x 100% a


(46)

3.4.4 Analisis mikrobiologi Total Plate Count (TPC)

Analisis mikrobiologi dilakukan terhadap Total Plate Count menggunakan media PCA (Potato Count Agar). Sampel sebanyak 25 gram disiapkan dan dicampurkan dengan 225 ml Buffered Peptone Water, lalu dihomogenkan. Selanjutnya dinyatakan pengenceran ke 1 (101). Pipet 1 ml dari pengenceran ke 1, dimasukkan ke dalam 9 ml Buffered Peptone Water, dilakukan sampai ke pengenceran 106 (101 s/d 106). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengencer dipipet dalam cawan petri steril secara single dan duplo. Selanjutnya dituangkan 18-20 ml media PCA yang telah dicairkan yang bersuhu 45 ± 1°C ke dalam setiap cawan petri. Campuran diratakan dengan membuat gerakan angka 8 pada tempat yang datar dan dibiarkan hingga membeku. Selanjutnya semua cawan petri dimasukkan dalam lemari pengeram (incubator) dengan posisi terbalik dan inkubasikan pada suhu 35 ± 1°C selama 24 – 28 jam. Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni setelah 48 jam. Kemudian angka lempeng total dalam cawan tersebut dihitung dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan (sesuai).

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan adalah nonparametrik (Kruskal Wallis) sedangkan penelitian utama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf.

a) Penelitian pendahuluan

Faktor yang dikaji dalam penelitian pendahuluan adalah perbedaan pencucian terhadap daging lumat yaitu sebanyak 1, 2, dan 3 kali. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis statistika nonparametrik menggunakan uji Kruskal-Wallis melalui perangkat lunak Statictical Package for Social Science

(SPSS) 13.0. Jika hasil analisis berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut

Multiple comparison. b) Penelitian utama

Faktor yang dikaji pada penelitian utama yaitu perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) yaitu 10%, 13%, 16%, dan 19% pada pembuatan sosis ikan. Model umum rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf yang digunakan adalah sebagai berikut :


(47)

Yij = μ + τi + εij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2)

μ = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan

τi = Pengaruh metode pengolahan pada taraf ke-i (i=1,2,3) εij = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j

Hipotesa terhadap data hasil uji fisik pada berbagai penambahan konsentrasi isolat protein kedelai adalah sebagai berikut:

H0 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh

terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo

H1 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh

terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo

Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo maka dilanjutkan dengan uji Duncan. 


(48)

4.1 Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan frekuensi pencucian daging lumat yang tepat (1 kali pencucian, 2 kali pencucian dan 3 kali pencucian) dalam menghasilkan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hasil frekuensi pencucian terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik (uji lipat, uji gigit dan kekuatan gel) dan uji sensori (hedonik). Surimi yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan dengan sifat fisika-kimia dan sensori terbaik dijadikan bahan dasar dalam pembuatan produk sosis ikan pada penelitian utama.

4.1.1 Karakteristik fisik surimi

Surimi yang dihasilkan dari perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dilakukan analisis fisik seperti analisis rendemen, uji lipat dan uji gigit.

a) Rendemen

Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat ikan utuh. Menurut Hadiwiyoto (1993), perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Rendemen yang dianalisis meliputi rendemen daging dan rendemen surimi. Hasil analisis rendemen daging dari berat ikan utuh sebesar 10000 gram didapat daging lumat sebesar 3102 gram dan rendemen daging lumat sebesar 31,02%. Frekuensi pencucian 1 kali bobot surimi yang didapat sebesar 630 gram dan rendemen surimi sebesar 18,9%. Frekuensi pencucian 2 kali bobot surimi yang didapat sebesar 624 gram dan rendemen surimi sebesar 18,72%. Frekuensi pencucian 3 kali bobot surimi yang didapat sebesar 619 gram dan rendemen surimi sebesar 17,7%.

Rendemen daging ikan lele yang didapatkan sebesar 31,02%, sedangkan rendemen surimi yang dihasilkan yaitu 18,9%, 18,72% dan 17,7%. Rendemen surimi tertinggi yaitu pada perlakuan frekuensi pencucian 1 kali. Nilai rendemen surimi ikan lele dumbo ini semakin menurun dengan semakin banyaknya pencucian. Pada frekuensi pencucian 1 kali menurunkan nilai rendemen daging sebesar 12,12 %, pada pencucian 2 kali menurunkan rendemen daging sebesar


(49)

12,3% dan pada pencucian 3 kali menurunkan rendemen daging sebesar 13,32%. Rendemen daging yang semakin menurun ini dikarenakan, adanya proses pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak, dan darah (Reynolds et al. 2002).

Hasil dari ketiga perlakuan tersebut, dapat dilihat perbedaan rendemen serta diketahui bahwa pencucian 1 kali memberikan rendemen tertinggi. Pencucian ini dilakukan bertujuan untuk menghasilkan mutu gel yang baik dan kuat namun tetap memperoleh rendemen yang tinggi. Oleh karena itu, frekuensi pencucian yang terpilih yaitu sebanyak 2 kali, dengan asumsi memiliki rendemen yang masih tinggi dan dapat menghasilkan gel yang baik. Menurut penelitian sebelumnya, pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat yaitu sebanyak 2 kali. Pencucian pertama dengan air untuk menghilangkan protein sarkoplasma, dan pencucian kedua dengan penambahan 0,3% garam untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996).

b) Uji lipat

Salah satu cara pengujian kualitas gel surimi yang dihasilkan dapat dilakukan dengan uji lipat. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 6.

      

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript

yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali


(50)

Nilai rata-rata uji lipat pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 3,83-4,70. Penilaian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran dan seperempat lingkaran. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 8. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini diduga karena pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin pekatnya protein miofibril, sehingga berpengaruh terhadap uji lipat yang dihasilkan. Hasil uji lipat berkaitan langsung dengan tekstur gel terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 9, diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian 3 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata dengan pencucian 1 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel sehingga pada frekuensi pencucian 2 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan pencucian 1 kali. Nilai rata-rata uji lipat pada pencucian 2 mengalami kenaikan, sedangkan pada pencucian 3 kali mengalami penurunan diduga karena menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Kadar air yang tinggi pun diduga dapat menurunkan kekuatan gel pada pencucian ketiga. Pencucian yang berulang pun dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).

c) Uji gigit

Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Gambar 7.


(51)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript

yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,90-7,63. Penilaian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu dapat diterima hingga agak kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 10. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori, keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel surimi. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan padaLampiran 11, diketahui bahwa perlakuan pencucian 1 kali berbeda nyata terhadap pencucian 3 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak berbeda nyata. Proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Riesnawaty 2007). Hal ini diduga meningkatkan nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan pada frekuensi pencucian 2 kali jika dibandingkan pencucian 1 kali. Pada frekuensi pencucian 3 kali pun menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi pencucian 2 kali. Peningkatan frekuensi pencucian secara terus-menerus dapat


(1)

Lampiran 32 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap aroma sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks

kode N Mean Rank

aroma SA3 30 54,98

VB5 30 64,50

XC2 30 70,35

FD4 30 52,17

Total 120

Test Statistics(a,b)

aroma

Chi-Square 5,563

df 3

Asymp. Sig. ,135 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode

Lampiran 33 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks

kode N Mean Rank

rasa SA3 30 80,20

VB5 30 60,72

XC2 30 57,77

FD4 30 43,32

Total 120

Test Statistics(a,b)

rasa

Chi-Square 18,558

df 3

Asymp. Sig. ,000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode


(2)

Lampiran 34 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo

rasa Duncan

kode N

Subset for alpha = .05

1 2 3

FD4 30 5,33

XC2 30 5,83 5,83

VB5 30 5,90

SA3 30 6,53

Sig. ,054 ,796 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.

Lampiran 35 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks

kode N Mean Rank tekstur SA3 30 49,32

VB5 30 54,07

XC2 30 62,43

FD4 30 76,18

Total 120

Test Statistics(a,b)

tekstur

Chi-Square 11,756

df 3

Asymp. Sig. ,008 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode

Lampiran 36 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo

tekstur Duncan

kode N

Subset for alpha = .05

1 2


(3)

Lampiran 37 Contoh perhitungan rendemen daging lumat dan rendemen surimi

Pencucian daging lumat dengan frekuensi pencucian 2 kali Ikan lele utuh = 10kg = 10000 gram

Daging lumat = 3102 gram (31,02%)

Daging lumat untuk tiap perlakuan = 1034 gram o Pencucian pertama

Air : daging (3:1) = 1034 gram x 3 = 3102 ml Hasil = 658 gram

o Pencucian kedua

Air : daging (3:1) = 658 gram x 3 = 1974 ml Garam = 658 gram x 0,3% = 1,9 gram Hasil = 624 gram

™ Bobot surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali = 624 gram ™ Rendemen surimi frekuensi pencucian 2 kali :

Rendemen surimi = bobot surimi x 100% (Bobot daging utuh : 3)

= 624 gram x 100% 3333 gram

= 18,72%

             


(4)

Lampiran 38 Gambar hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian   

Frekuensi pencucian 1 kali Frekuensi pencucian 2 kali

Frekuensi pencucian 3 kali Uji organoleptik kamaboko

               


(5)

Lampiran 39 Dokumentasi diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo dengan perasa ayam

     


(6)

Lampiran 40 Hasil sosis ikan lele dumbo dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK

       IPK konsentrasi 10 % IPK konsentrasi 13 %

IPK konsentrasi 16 %       IPK konsentrasi 19 %