setempat. Izin berlayar dikabulkan oleh syahbandar setelah nakhoda memenuhi semua persyaratan administratif dan kelayaklautan kapal.
96
Dalam hal ini, aspek hukum publik mempengaruhi keberlakuan hukum perdata. Dengan kata lain,
keberlakuan hukum publik lebih diutamakan daripada hukum perdata. Bagaimanapun pihak dalam perjanjian pengangkutan memaksakan keberangkatan
kapal sebagai pelaksanaan perjanjian. apabila syahbandar tidak mengizinkan berlayar, pengangkutan laut tidak dapat dilaksanakan.
2. Pelaksanaan Pengangkutan Perairan
Untuk kelancaran dan keselamatan pengangkutan perairan, nakhoda adalah pemimpin di atas kapal yang memiliki wewenang penegakan hukum dan
bertanggung jawab atas keselamatan serta keamanan dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan yang menjadi kewajibannya. Nakhoda sebagai pemimpin kapal
wajib memenuhi persyaratan pendidikan dan pelatihan, kemampuan dan keterampilan, serta kesehatan.
97
Persyaratan tersebut dibuktikan dengan sertifikat kemampuan yang diakui oleh pemerintah. Nakhoda atau pemimpin kapal yang
akan berlayar wajib memastikan bahwa kapalnya telah memenuhi persyaratan laik laut seaworthy. Nakhoda atau pemimpin kapal berhak menolak untuk
96
Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
97
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Universitas Sumatera Utara
melayarkan kapalnya jika mengetahui kapalnya tidak memenuhi persyaratan laik laut.
98
Selama dalam pelayaran, nakhoda atau pemimpin kapal wajib berada di kapal kecuali dalam keadaan yang sangat memaksa. Keadaan memaksa disini
adalah situasi darurat terancamnya jiwa dan keselamatan nakhoda atau pemimpin kapal tanpa ada kemungkinan upaya lain untuk menyelamatkannya. Dalam
keadaan kecelakaan kapal, nakhoda atau pemimpin kapal hanya dapat meninggalkan kapal setelah melaksanakan seluruh kewajibannya dan merupakan
orang terakhir yang meninggalkan kapal.
99
Sebagai pemimpin kapal, nakhoda memiliki wewenang penegakan hukum, antara lain, berupa tindakan memasukkan orang ke dalam sel demi keselamatan
pelayaran. Untuk menyelamatkan pengangkutan perairan, nakhoda atau pemimpin kapal berhak menyimpang dari rute yang telah ditetapkan dan mengambil tindakan
yang diperlukan walaupun penyimpangan tersebut akan menambah biaya operasional dan lama perjalanan.
100
Tanggung jawab pengangkut atau nakhoda yang mewakilinya berlangsung sejak penumpang naik ke kapal dan berakhir setelah penumpang turun dari
kapal.
101
Pada pengangkutan barang, tanggung jawab itu berlangsung sejak barang
98
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
99
Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
100
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
101
Pasal 522 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
diterima oleh pengangkut dan berakhir pada saat penyerahan kepada penerima.
102
Pasal 1 huruf e The Hague Rules 1924, yaitu Konvensi Internasional tentang Pengangkutan di laut menentukan:
”Carriage of goods covers the period from the time when the goods are loaded on to the time they are discharged from the ship
.”
103
Yang artinya: “Pengangkutan barang meliputi jangka waktu sejak saat barang dimuat di
atas kapal sampai dengan saat barang dibongkar dari kapal .”
Kata-kata ”dimuat di atas kapal” menunjuk pada pelabuhan pemuatan, sedangkan kata-kata ”dibongkar dari kapal” menunjuk pada pelabuhan
pembongkaran. Dengan demikian, tanggung jawab pengangkut berlangsung sejak barang dimuat di atas kapal di pelabuhan permuatan hingga barang dibongkar dari
kapal di pelabuhan pembongkaran. Jadi, tempat penerimaan dan tempat penyerahan barang lebih jelas dan tegas jika dibandingkan dengan ketentuan pasal
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia.
104
Selama perjalanan kapal, nakhoda dapat mengambil tindakan terhadap setiap orang yang secara tidak sah berada di atas kapal. Tindakan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan itu, antara lain, terhadap orang yang tidak memiliki karcis
padahal dia bukan pelayar awak kapal, melainkan sebagai penumpang gelap, pencopet, atau pencuri barang muatan. Nakhoda berwenang mengambil tindakan
102
Pasal 468 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia.
103
Pasal 1 e Konvensi Internasional Pengangkutan Laut The Hague Rules 1924.
104
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Universitas Sumatera Utara
memaksa yang bersangkutan untuk membayar biaya pengangkutan atau menurunkannya di pelabuhan terdekat. Jika dia membangkang atau melawan,
nakhoda dapat memasukkannya dalam sel di kapal. Tindakan ini dilakukan untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban di atas kapal.
Apabila dalam pelaksanaan pengangkutan laut itu timbul kerugian akibat pengoperasian kapal berupa:
a kematian atau lukanya penumpang;
b musnah, hilang atau rusaknya barang muatan;
c keterlambatan pengangkutan penumpang danatau barang; atau
d kerugian pihak ketiga;
maka perusahaan pengangkutan perairan laut bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Namun, jika perusahaan pengangkutan dapat membuktikan bahwa
kerugian itu bukan disebabkan oleh kesalahannya, dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Untuk menghindari tanggung jawab
tersebut, perusahaan pengangkutan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.
105
Selama dalam pelayaran dan sebelum mencapai pelabuhan tujuan yang ditentukan, muatan tidak dapat diserahkan kepada penerima di tempat pelabuhan
tujuan karena beberapa alasan: a
Jika karena keadaan setempat kapal tidak dapat sepatutnya mencapai tujuan terakhir, pengangkut atas biaya sendiri wajib mengusahakan membawa barang
yang diangkut itu ke tempat tujuan akhir dengan menggunakan kapal kecil atau dengan cara lain.
Universitas Sumatera Utara
b Jika sudah diperjanjikan bahwa pengangkut tidak usah mengangkut lebih jauh
daripada tempat yang dipandang aman untuk berlabuh, pengangkut berhak menyerahkan barang itu di tempat yang paling dekat dengan tempat tujuan
yang memenuhi syarat keamanan, kecuali jika halangan itu bersifat sementara, hanya mengakibatkan kelambatan sebentar saja.
106
Selama kapal belum sampai di tempat tujuan, pengangkut tidak wajib menurunkan penumpang atau menyerahkan barang kepada pemegang konosemen.
Jika terjadi penyerahan barang kepada pemegang konosemen karena peristiwa tertentu yang tidak pasti terjadinya, penyerahan itu harus disertai dengan syarat,
yaitu penerima harus menyerahkan semua lembar konosemen yang dapat diperdagangkan. Jika lembar konosemen tidak diserahkan semua, penerima harus
memberi jaminan atas kerugian yang mungkin timbul karenanya.
107
Kerugian yang mungkin timbul itu adalah tuntutan penyerahan barang dari pemegang konosemen
lembar kedua di tempat tujuan terakhir. Pada prakteknya pelaksanaan keselamatan angkutan di perairan belum
dilaksanakan secara optimal. Heru mengakui hal tersebut disebabkan oleh penegakan hukum yang lemah oleh syahbandar dan kualifikasi syahbandar yang belum
mencukupi. Dalam kasus Levina I, misalnya, terungkap jumlah penumpang dan kendaraan yang tercatat dimanifes tidak sama dengan yang sebenarnya. Syahbandar
masih tetap meloloskan mengizinkan kapal berangkat. Selain itu, keselamatan kapal juga dipengaruhi oleh alur pelayaran.
Pemeriksaan yang dilakukan Syahbandar tentu berbeda antara kapal yang alur
105
Pasal 86 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
106
Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang .
107
Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Universitas Sumatera Utara
pelayarannya menyusur pantai saja atau ke laut lepas. Tapi sayangnya, sampai sekarang Pemerintah belum melaksanakan amanat UU Pelayaran untuk membentuk
PP Alur Pelayaran. ini menimbulkan potensi sengketa antara Departemen Perhubungan dengan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Usaha lain untuk menunjang keselamatan angkutan di perairan adalah lewat Komite Nasional Keselamatan Transportasi KNKT dan Search and Rescue SAR.
Keduanya adalah lembaga non-struktural di bawah Depertemen Perhubungan, tapi KNKT lebih sering menjadi sasaran cercaan dari masyarakat ketika sebuah
kecelakaan terus berulang.
3. Kegiatan di Pelabuhan Tujuan