hal ini disebut variabel akibat independent variable yang timbul karena adanya pengangkutan butir 1.
2. Kerugian yang Terjadi
Kejadian Hukum Pengangkutan yang Tidak Dikehendaki oleh Pihak-Pihak dalam Pengangkutan
Meliputi musibah atau kecelakaan yang terjadi sebelum, selama atau sesudah penyelenggaraan pengangkutan, misalnya, kecelakaan lalu lintas,
tenggelamnya kapal, jatuhnya pesawat udara, ataupun kereta api keluar rel. Keadaan Hukum Pengangkutan yang Juga Tidak Dikehendaki oleh Pihak-Pihak
dalam Pengangkutan Meliputi situasi atau kondisi yang terjadi dalam pengangkutan, yang
menjadi kendala kelangsungan pengangkutan, misalnya kemacetan lalu lintas, mogoknya alat pengangkut, terjadi huru hara selama pengangkutan, putusnya jalan
karena longsor atau jalan raya yang dijadikan tempat parkir dan tempat pedagang kaki lima.
3. Penyelesaian Sengketa yang Terjadi
Hal-hal yang menyangkut penyelesaian suatu sengketa dalam pengangkutan barang melalui laut pada umumnya telah diatur di dalam konosemen atau Bill of
Lading sebagai suatu persyaratan pengangkutan. Hal-hal yang menyangkut pilihan hukum dan yurisdiksi ini menjadi klausul yang sangat penting. Pilihan hukum adalah
hal mengenai hukum apa yang berlaku dalam melaksanakan perjanjian yang
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan termasuk dalam penyelesaian sengketa. Sedangkan yurisdiksi pada hakekatnya mengenai masalah pilihan pengadilan mana yang dikehendaki untuk
menyelesaikan sengketa. Termasuk pula adanya kemungkinan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Persyaratan pengangkutan Conditiona of carriage sebagaimana dimaksud, tercantum di dalam Bill of Lading di halaman belakang dari Bill of Lading itu sendiri.
Ditulis dalam ukuran huruf yang kecil, hampir tidak terbaca karena memang tempat yang disediakan untuk mencetaknya hanya seluas halaman BL itu sendiri. Halaman
BL ini sama pentingnya dengan halaman depannya. Dan bilamana diminta perusahaan pelayaran harus dapat memberikan dan menjelaskanya dengan jelas agar
calon pengirim dapat mempelajari syarat-syarat pengangkutan dari Bill of Lading tersebut.
Bill of Lading itu merupakan perjanjian yang sifatnya unilateral sepihak
akan tetapi meskipun demikian persyaratan dan pengaturan yang berada di dalamnya berlaku juga bagi pihak-pihak lain yang tersangkut didalamnya seperti shipper
maupun consignee. Hal ini tertera dalam cassatoria clause yang terdapat dalam BL yang mengandung arti:
“Dengan menerima surat muatan BL maka pengirim, penerima atau pemilik dan pemegang surat muatan ini dengan tegas menyetujui semua ketetapan dan
persyaratan baik yang tertulis , tercetak maupun yang disetempel atau yang dimuat pada bagian muka atau belakang surat muatan ini.”
Universitas Sumatera Utara
Bahwa barang siapa menghendaki barang muatanya diangkut oleh perusahaan pelayaran maka harus tunduk kepada semua persyaratan BL perusahaan pelayaran
yang bersangkutan. Jadi untuk melindungi kepentingan para pengirim atau penerima barang dari ketentuan cassatoria clause maka pada umumnya perusahaan pelayaran
menunjuk pada hukum yang tertinggi paramount clause. yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dengan pengirim penerima barang. Untuk
perusahaan pelayaran samudera menunjuk hukum yang tertinggi The Hague Rules International Convention for Univication of Certain Rules Relating to BL, Brussel
1924, The Hamburg Rules United Nation Convention on the Carriage of Goods by Sea
, 1978 atau United Carriage of Goods by Sea Act 1936 USA Congsa 1936. Sedangkan untuk perusahaan pelayaran nusantara mengacu pada Pasal 470 KUHD.
Sebagai paramount clause untuk menyelesaikan sengketa tentang hak dan kewajiban yang timbul dalam pelayaran nusantara dan tampaknya pengaturan pada Hague
Rules, Congsa by Sea Act ataupun dalam KUHD terdapat pengaturan yang berbeda. Untuk perusahaan pelayaran di Indonesia, semuanya mengacu kepada Hague atau
Hague-Vsby-Rules dengan beberapa variasinya. Sebagai contoh pada Bill of Lading dari PT Djakarta Lloyd adalah BL untuk
pengangkutan barang ke Australia , yakni IndonesiaAustraliaStraits Service yang berbeda dengan BL dari Djakarta Loyd yang dipakai untuk pelayaran ke daerah lain.
Pada Pasal 3. Hague Rules Governing Law and Jurisdiction, memberi keterangan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“Bill of Lading ini berdasarkan Hague Rules yang dibuat di Brussel pada 25 Agustus 1924 serta protocol Hague Rules pada 28 Februari 1968 yang menjadi dasar
tanggung jawab pengangkut. Barang yang dimuat dengan kapal berdasarkan BL ini dilindungi oleh Hague- Visby Rules dan hukum dari Negara Republik Indonesia.
Tidak ada tuntutan terhadap pengangkut, seperti yang tertulis di BL, kecuali bila dilakukan di pengadilan di Negara Indonesia kecuali jika pengangkut menghendaki
dilakukan di Negara lain. Jadi pasal ini menerangkan bahwa yang berkalu hanya Hague-Visby Rules serta hukum Negara Republik Indonesia.” Begitu pula dengan
Bill of Lading dari perusahaan pelayaran asing maka biasanya akan diberlakukan
hukum dari Negara asal dan hukum internasional lain yang mereka anut. Hal-hal yang telah diatur didalam Bill of Lading maka tidak bisa diganggu
gugat adanya kecuali pihak pengangkut kemudian memutuskan lain karena alasan tertentu, dalam hal ini dimungkinkan karena pertimbangan kepentingan kelangsungan
bisnis.
C. Bentuk Klaim Dokumen dan Barang 1. Syarat Pengajuan Klaim
Bicara mengenai peraturan, biasanya - mungkin hampir selalu - , peraturan lokal mengacu ke peraturan internasional, hal ini lumrah karena memang sudah
seharusnya peraturan individual harus menyesuaikan mengikuti peraturan kolektif. Begitu pula dengan peraturang di Indonesia. Bank Indonesia sebagai Otoritas
pembuat peraturan mengenai perbankan di Indonesia memiliki peraturan
Universitas Sumatera Utara
mengenai penanganan dan tata kerja Letter of Credit di tingkat nasionallokal atau apa yang disebut SKBDN surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri.
Dalam banyak hal kalau tidak mau dibilang hampir semua hal Peraturan Bank Indonesia PBI No.562003 memang mengacu ke Uniform Custom and
Practice for Documentary Credit UCPDCterbitan International Chamber of Commerce ICC yang lebih dikenal dengan UCP 500 sebelum diganti UCP 600
bulan Juli tahun 2007. PBI No.562003 yang berlaku mulai tahun 2003 tersebut mencakup
bukan mencatut hampir semua ketentuan-ketentuan yang prinsipal dan nyaris sama dengan UCP 500.
Tapi ternyata ada sebagian Ketentuan yang tidak ada di UCP 500 tetapi ada sudah ada di PBI No.56PBI2003 dan setelah itu baru ada di UCP 600, yang nota
bene masa berlakunya setelah PBI No.562003 tersebut. Beberapa pasal di PBI No.56PBI2003 tidak termuat di UCP 500 tetapi
baru termuat di UCP 600, yaitu : 1.
PBI No.562003 untuk memperjelas definisi dan interpretasi sudah memuat format ketentuan umum definisi pasal 1 sedangkan UCP 500 belum, dan
baru ada di UCP 600. 2.
PBI No.562003 sudah secara tegas menentukan bahwa pihak tertarik wesel hanya Bank Pasal 8, ayat 3 sementara UCP 500 masih malu-malu dan belum
tegas dengan menyebutkan kata “seyogyanya” - padahal yogya itu kan adanya
Universitas Sumatera Utara
cuma di indonesia, kok sudah dikenal UCP :-. dan baru pada UCP 600 secara tegas ditetapkan bahwa tertarik harus Bank.
3. PBI No.562003 menegaskan bahwa Letter of Credit SKBDN Hanya untuk
Irrevocable pasal 5, ayat 2 di UCP 500 masih boleh LC revocable, sampai akhirnya tidak laku maksudnya tidak ada yang mau pakai barulah di UCP
600 secara tegas menyatakan bahwa LC harus Irrevocable. Ternyata orang-orang indonesia lebih pintar dan berfikiran lebih maju dari
orang asing. Walaupun UCP dibuat hasil keroyokan Negara-negara maju, tapi Indonesia sudah 4 tahun lebih dulu menetapkan lewat PBI No.562003 dibanding
produk asing yang tertuang di UCP 600 tahun 2007.
121
2. Mekanisme Pengajuan Klaim