1. 5. Stigma mengenai penyakit kulit

ditunjukkan secara sosial ideal-ideal yang ditunjukkan dari media, budaya, kelompok, dan keluarga, objective body dan tubuh ideal yang diinternalisir kompromi antara objective body dan ideal yang ditunjukkan secara sosial. Makin besar kesenjangan antara tubuh yang dipersepsi dan tubuh ideal, makin besarlah kekecewaan body image, yang berhubungan dengan harga diri yang lebih rendah. Pada pasien dengan gangguan kulit yang merusak sacara kronik, persepsi self image dapat berbeda yang tergantung pada sifat episodik, penampilan, dan visibilitas lesi kulit. Perilaku yang menghindar dan sembunyi, ritual kompulsif, depresi, dan ansietas sosial dapat juga terjadi. 1

2. 1. 4. Kesulitan Komunikasi

Studi-studi terbaru tentang hubungan antara gaya kelekatan dan membuka diri pada pasangan menunjukkan bahwa individu yang aman dan ansietas atau ambivalen dilaporkan lebih banyak penyingkapan diri dari pada dewasa yang menghindari. Pola komunikasi dari individu - individu dengan ikatan aman menunjukkan fleksibilitas yang lebih besar dan resiprositas emosional pada berbagai masalah. Pada individu dengan penyakit kulit, perubahan dalam jaringan sosial pasangan dapat terjadi melalui interaksi yang menurun dengan orang lain dan peningkatan dalam kegiatan-kegiatan yang terikat di rumah. Penghindaran bisa memiliki fungsi protektif, tetapi itu bisa juga menimbulkan kehilangan kawan dan jaringan sosial yang terbatas. Studi Inggris melaporkan bahwa 84 persen dari 186 pasien psoriasis menyatakan bahwa isolasi sosial adalah aspek terburuk dari penyakit mereka, berdasarkan kesulitan sosialnya. 1

2. 1. 5. Stigma mengenai penyakit kulit

Pada pasien dengan gangguan dermatologik analoginya kegagalan kulit dapat dibandingan terhadap kegagalan sistem organ lain dalam tubuh seperti kegagalan jantung atau ginjal, menyatakan kegagalan kulit sebagai organ ekspressi fisik, dengan demikian menimbulkan penolakan, malu, isolasi, dan hendaya psikososial. Menurut L. H. Ginsberg dan B. G. Link mengamati perasaan stigmatisasi pada pasien-pasien dengan psoriasis, dan analisis faktor dari data yang menyatakan bahwa kepercayaan tentang stigmatisasi dapat Universitas Sumatera Utara dikelompokkan ke dalam enam dimensi: antisipasi dari penolakan misalnya, saya merasa tidak menarik secara fisik dan seksual bila psoriasis saya buruk; sensitivitas terhadap pendapat orang lain misalnya, kadang-kadang saya merasa ditolak karena psoriasis saya; perasaan cacat misalnya, saya yakin orang lain berpikir bahwa pasien psoriasis adalah kotor; perasaan salah dan malu misalnya, psoriasis saya adalah sumber hinaan yang dalam dan malu bagi saya dan keluarga; kerahasiaan misalnya, saya mencoba untuk tidak membagi dengan anggota keluarga yang jauh dari saya bahwa saya mengalami psoriasis, dan sifat yang lebih positif yang tidak dipengaruhi oleh reaksi-reaksi negatif dari orang lain misalnya, jika anakku harus berkembang dengan psoriasis, dia dapat mengembangkan kemampuan dirinya seakan-akan mengalami psoriasis. Pengalaman penolakan sebelumnya dipertimbangkan sebagai prediktor yang kuat dari keyakinan tersebut. Beberapa orang dengan gangguan kulit sering yakin bahwa kesulitan utama mereka muncul dari reaksi orang lain terhadap penyakit mereka, daripada penyakit itu sendiri. 1 Orang dengan penyakit kulit cenderung mengkonsep dirinya sendiri sebagai yang tidak memiliki pengendalian permukaan tubuhnya. Studi-studi psikoanalitik telah menggambarkan kulit sebagai batasan self diri, yang mencakup segala sesuatu yang diduga tertutup di dalam. Dalam istilah unconscious, kulit dianggap sebagai pembatas terhadap kotoran, yang muncul dari tubuh baik secara realitas maupun simbolis. Produk-produk tubuh dipersepsi sebagai yang berbahaya dan merusak. Sigmund Freud merujuk kotoran sebagai ” materi yang keluar dari tubuh.” Mereka yang dipegaruhi dengan lesi kulit dalam bentuk gundukan, kemerahan, kelupasan atau eksudat tidak mampu mengendalikan kotoran milik mereka dan impuls-impuls yang kotor milik mereka secara simbolis. Infeksi-infeksi yang berhubungan dengan penyakit kulit yang jelas diasumsikan bersifat seksual. Perasaan bersalah yang unconscious tentang desakan seksual dapat menyatakan kurangnya pengendalian simbolik atas batin yang kotor atau pemikiran dan keinginan yang kotor dan lesi-lesi kulit di persepsi sebagai tanda kotoran, perjangkitan, bahaya dan hukuman. 1 Hal tersebut menunjukkan bagian dari narsisisme normal yang ingin dilihat dan dikagumi. Namun demikian, pada individu-individu dengan lesi kulit, Universitas Sumatera Utara akan dilihat dengan keheranan, takut atau memicu perasaan malu yang menyakitkan dan penghinaan. Orang dengan kulit normal pada umumnya cenderung menjauh secara fisik atau psikologis dari mereka yang menderita penyakit kulit. Menurut Iona Ginsburg menyarankan bahwa ini dapat melibatkan identifikasi melarikan diri dari orang yang menderita, yang diikuti oleh respons empati yang negatif. Lesi kulit yang jelas melambangkan betapa cacat dan rentannya seseorang, yang bila dipasangkan dengan perasaan malu dan keadaan memalukan yang diamati mencetuskan kilasan yang sebentar diikuti oleh penolakan dan kehilangan keharuan pada nyeri penderita dari kesadaran, menghasilkan penolakan dan menjauhi dari orang-orang penyakit kulit. Fenomena yang sama diamati pada pasien psoriasis, yang biasanya melaporkan bahwa mereka akan menghindari penderita psoriasis walaupun mereka tidak mengalami penyakit aktif. 1 2. 2. Depresi