10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kepuasan Perkawinan
1. Perkawinan
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Landis Landis 1963 menyebutkan pengertian perkawinan sebagai suatu komitmen antara sepasang manusia
yang dimaksud adalah laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Yuwana dan Maramis 1991 menjelaskan perkawinan sebagai suatu
kesatuan yang menjanjikan keakraban dan pemenuhan kebutuhan- kebutuhan interpersonal. Tujuan dari perkawinan adalah penyatuan dan
dalam proses penyatuan itu suami dan istri diharapkan dapat mencapai kebahagiaan perkawinan. Perkawinan adalah relasi personal antara
seorang pria dan wanita yang mempu membangun persahabatan personal yang intensif dan ada hubungan timbal balik Raharso, 2008.
Secara garis besar perkawinan dapat didefinisikan sebagai suatu ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berkomitmen
11
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing serta memiliki tujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan perkawinan.
2. Kepuasan Perkawinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepuasan berarti merasa senang, merasa lega dan gembira karena sudah terpenuhinya hasrat hati.
Kotler 2000 mendefinisikan kepuasan sebagai sikap positif individu terhadap sesuatu, yang timbul berdasarkan penilaiannya terhadap hal
tersebut. Secara umum kepuasan berarti perasaan senang karena terpenuhinya keinginan atau kebutuhan seseorang terhadap suatu objek.
Kepuasan merupakan hasil dari penyesuaian antara harapan dan kenyataan Klemer dalam Andhianita Andayani, 2005. Apabila sesuatu terjadi
sesuai dengan apa yang diharapkan maka akan menimbulkan kepuasan. Secara garis besar kepuasan dapat didefinisikan sebagai reaksi positif dari
seseorang karena harapannya terhadap sesuatu terpenuhi. Beberapa ahli menyebutkan kepuasan perkawinan sebagai
kebahagiaan perkawinan Hurlock, 1990; Santrock, 2002; Papalia, 2014. Hawkins dalam Olson dan Hamilton, 1983 menjelaskan bahwa kepuasan
perkawinan yaitu perasaan bahagia, puas, dan senang yang bersifat subyektif yang dirasakan oleh pasangan suami istri sehubungan dengan
aspek-aspek yang terdapat dalam perkawinan. Wood dan Rhodes 1989 berpendapat, kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif dari
individu terhadap pengalaman yang didapatkan dari hubungan perkawinan.
12
Menurut Snyder 1979, kepuasan perkawinan adalah sejauh mana suami dan istri menilai aspek-aspek dalam hubungan perkawinannya. Sadarjoen
2005 menambahkan, kepuasan perkawinan dapat tercapai apabila kedua pasangan mampu memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing.
Atchley Kulik, 2002 mengatakan bahwa kepuasan perkawinan adalah persepsi individu terhadap kualitas perkawinannya. Kepuasan
perkawinan merupakan kondisi dimana seseorang mendapatkan manfaat dari pasangannya dalam kehidupan perkawinan Stone Shackelford,
2007. Semakin besar manfaat yang diperoleh dari suatu perkawinan maka kepuasan perkawinan akan semakin tinggi.
Menurut Lasswell dan Lasswell 1987, kepuasan perkawinan merupakan salah satu cara mengukur baik buruknya suatu perkawinan.
Pendapat Lasswell tersebut didukung oleh Chappel dan Leigh dalam Pujiastuti dan Retnowati 2004, yang menyatakan bahwa kepuasan
perkawinan merupakan evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan. Apabila pasangan puas terhadap perkawinan maka berarti keinginan dan
tujuan dalam perkawinan sudah terpenuhi dan kehidupan terasa lebih lengkap.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa kepuasan perkawinan merupakan reaksi atau perasaan senang yang
diperoleh oleh suami maupun istri karena terpenuhinya kebutuhan dan harapan keduanya dalam kehidupan perkawinan.
13
3. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan