Dinamika Perbedaan Kepuasan Perkawinan pada Wanita Berdasarkan

29 dewasa madya memandang pasangannya sebagai pribadi yang seutuhnya Salkind, 2009, menerima kelebihan maupun kekurangan pernikahannya, mengenali pola konflik dengan baik, serta memiliki harapan yang lebih realistis terhadap satu sama lain karena telah melewati kehidupan rumah tangga yang cukup lama Santrock, 2002. Pernikahan yang telah berlangsung lama ini memiliki kecenderungan lebih kecil untuk bercerai karena kemapanan finansial dan emosional yang telah dibangun Papalia, Old Feldman, 2011. Pernikahan yang bertahan hingga masa dewasa madya dianggap telah mencapai stabilitas Campbell, dalam Santrock, 2002. Pada masa ini pula, wanita mengalami suatu fase dalam kehidupannya yang disebut sindrom sarang kosong. Sebutan ini digunakan untuk menyebutkan keadaan dimana seorang ibu merasakan kesepian karena anak-anak mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupannya sendiri. Dalam perkawinan yang baik, keadaan ini mungkin digunakan sebagai masa bulan madu kedua karena pasangan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Papalia Feldman, 2014.

C. Dinamika Perbedaan Kepuasan Perkawinan pada Wanita Berdasarkan

Tahapan Usia Dewasa Awal dan Dewasa Madya Kepuasan perkawinan menjadi salah satu penentu kesejahteraan dalam kehidupan perkawinan Hurlock, 1990. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan yaitu gender Helgeson, 2012. Helgeson 30 menyebutkan, karena wanita secara sosial berfokus pada lingkungan sekitarnya maka emosi dan perilaku pasangan lebih mempengaruhi penilaiannya terhadap perkawinannya. Wanita juga dikatakan lebih terlibat secara emosional dalam sebuah hubungan dibandingkan laki-laki sehingga apapun yang mempengaruhi keadaan emosionalnya akan mempengaruhi penilaiannya terhadap kepuasan perkawinan. Selain itu karakter kepribadian dari wanita juga lebih berpengaruh pada kestabilan perkawinan, hal ini yang kemuadian dinilai sebagai pemicu tingginya angka perceraian yang diajukan oleh wanita Helgeson, 2012. Selain gender, tahapan usia juga mempengaruhi kepuasan perkawinan Gorchoff, John Helson, 2008. Dalam penelitiannya, Gorchoff dkk menemukan bahwa dewasa madya lebih puas dalam perkawinannya dibandingkan dewasa awal. Perbedaan ini terkait dengan tugas perkembangan serta karakteristik wanita pada tahapan usia dewasa awal dan dewasa madya. Seperti yang diketahui, wanita pada tahapan usia dewasa awal mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya baik itu perubahan fisik, kognitif maupun emosi Papalia, Old, Feldman 2010. Dari segi fisik, wanita pada tahapan usia dewasa awal berada pada puncak kesehatan, kekuatan, daya tahan dan fungsi motorik mereka Papalia, Old, Feldman, 2010. Pada masa ini individu berada pada kondisi yang paling sehat, jarang mengalami penyakit kronis serta mengetahui bagaimana cara meningkatkan kesehatan Santrock, 2002. Masa dewasa awal juga merupakan usia reproduktif, artinya pada masa dewasa awal seorang wanita 31 akan mengalami perubahan peran ketika menikah dan memiliki anak atau bereproduksi Hurlock, 1990. Pada masa ini wanita mengalami perubahan menjadi ibu atau orangtua dan melakukan banyak penyesuaian terkait peran baru terutama dalam perkawinan. Secara kognitif wanita pada usia dewasa awal memiliki pemikiran yang lebih logis dan sistematis dibandingkan saat remaja Santrock, 2002. Horn dalam Santrock, 2002 mengatakan, pada masa dewasa awla individu memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstrak atau yang disebut Fluid Intelligence. Sementara itu menurut Schaie dalam Santrock, 2002 secara umum individu pada masa dewasa awal melewati dua fase kognitif yaitu fase mencapai prestasi dan fase tanggung jawab. Fase mencapai prestasi ini terjadi pada saat individu mulai menerapkan pengetahuannya pada suatu situasi tertentu yang memerlukan tujuan jangka panjang seperti pernikahan dan karir. Sementara fase tanggungjawab merupakan perluasan kemampuan kognitif dimana indivdu mulai memberikan perhatian dan meningkatkan tanggung jawab pada suatu hal baru misalnya bertanggungjawab pada keluarga baru Schaie dalam Santrock, 2002. Dari segi emosional, masa dewasa awal dipandang sebagai masa ketegangan emosional Hurlock, 1990. Ketegangan emosional lebih sering tampak pada wanita, hal ini dikarenakan dalam sebuah hubungan, wanita lebih menunjukkan ketergantungan emosional dibandingkan laki-laki Helgeson, 2012. Hal ini terjadi apabila wanita tidak mampu mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya terkait dengan peran barunya sebagai 32 seorang istri atau ibu Hurlock, 1990. Selain itu, wanita pada tahapan usia dewasa awal juga memiliki tugas perkembangan untuk membangun keintiman dengan orang lain yang biasanya terwujud dalam sebuah perkawinan Salkind, 2009. Perkawinan pada masa dewasa awal tidak luput dari masalah Gunarsa, 1990. Pasangan suami istri pada masa dewasa awal masih harus mencoba dan melakukan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan Hurlock, 1990. Perubahan dalam perkawinan ini lebih signifikan pada perempuan dimana terjadi pergeseran peran dari wanita single menjadi seorang ibu Dew Wilkox, 2011. Hal ini mengubah pola peran serta kehidupan mereka Trokan, 1998. Penyesuaian dan perubahan yang dilakukan dalam kehidupan seorang wanita dewasa awal yang menikah terkadang tidak berjalan mulus. Wanita dewasa awal seringkali menjumpai kesulitan dalam perkawinannya diantaranya kesulitan menyesuaikan diri dengan suami yang tidak sesuai harapannya, kehidupan ekonomi yang masih harus ditingkatkan, perubahan peran menjadi istri yang terikat dengan suami serta menjadi ibu, serta penyesuaian dengan mertua dan teman-teman Hurlock, 1990. Dalam menghadapi perkawinan, wanita dewasa awal lebih banyak mengandalkan kemampuan berpikir secara abstrak fluid intelligence dari pengetahuan yang didapatkan selama masa remaja Murray dalam Huston dkk, 2001. Wanita pada tahapan usia dewasa awal banyak melakukan penyesuaian baru dan lebih sering mencoba karena belum memiliki informasi yang cukup mengenai perkawinan. Dari segi emosional, emosi wanita dewasa 33 awal masih bergantung pada pasangannya sehingga bisa dikatakan wanita dewasa awal memiliki emosi yang belum stabil dibandingkan wanita pada masa dewasa madya Santrock, 2002. Hal ini mengakibatkan wanita dewasa awal memiliki penilaian yang cenderung rendah terhadap perkawinan. Hal ini pula yang mengakibatkan banyak wanita mengajukan gugatan cerai pada usia dewasa awal. Sementara itu wanita pada tahapan dewasa madya juga melalui beberapa perubahan dalam kehidupannya. Dari segi fisik, wanita pada tahapan usia dewasa madya mengalami perubahan terkait penurunan fungsi seksual dan reproduksinya Papalia, Old, Feldman, 2010 atau yang lebih dikenal dengan istilah menopause. Pada masa menopause ini, wanita mengalami beberapa sindrom seperti berhentinya menstruasi, berhentinya sistem reproduksi, tegang dan panas pada bagian tubuh tertentu Hurlock, 1990. Dari segi kognitif, individu yang berada pada tahapan usia dewasa madya mengalami penurunan dalam daya ingat Santrock, 2002. Namun menurut Horn kecerdasan kognitif yang membutuhkan kemampuan verbal Crystallized Intelligence meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu dari segi kognitif individu pada masa dewasa madya memasuki fase eksekutif dimana seseorang mulai bertanggungjawab pada sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial Schaie dalam Santrock, 2002. Secara emosional, wanita dewasa madya lebih bisa mengontrol emosinya, mementingkan rasa aman dan saling berbagi pengetahuan bersama 34 pasangannya Santrock, 2002. Wanita pada masa ini juga mengalami penurunan emosi negatif dan mulai belajar menerima apa yang terjadi dalam dirinya Papalia, Old, feldman, 2010. Dukungan sosial dari teman dan pasangan serta faktor agama berperan penting dalam memberikan kebahagiaan bagi wanita dewasa madya Myers dalam Papalia dkk, 2010. Hal ini yang menyebabkan wanita pada tahapan dewasa madya mudah beradaptasi dengan perubahan dalam perkawinannya. Meskipun mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya, wanita pada tahapan usia dewasa madya sudah bisa mengenali pola-pola konflik, cara mengatasinya dan lebih realistik terhadap perkawinannya dibandingkan pada masa dewasa awal Santrock, 2002. Selain itu pada masa dewasa madya wanita memiliki banyak waktu luang yang bisa dihabiskan bersama pasangan setelah melepas anak-anak yang beranjak dewasa Santrock, 2002. Fase ini disebut juga fase sarang kosong atau “empty nest’ dimana wanita lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan yang sesuai keinginan mereka sendiri secara bebas seperti hobi, olahraga ataupun membaca Santrock, 2002. Selain itu, pada masa ini wanita juga kembali mendekatkan diri dengan pasangan sehingga dapat kembali merasakan kebahagiaan serta kepuasan dalam perkawinannya, bahkan cenderung lebih puas dibandingkan selama 4 tahun pertama Papalia dkk, 2010. Vaillant dalam Santrock, 2002 menyebutkan, individu pada masa dewasa madya memiliki perasaan yang lebih rileks dalam menyikapi suatu masalah. Hal ini 35 membuat wanita lebih dapat mengontrol emosinya dan memandang pasangan serta perkawinannya secara lebih positif. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa madya juga mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupannya namun karena kondisi emosi yang cenderung stabil serta adanya waktu luang yang dapat dihabiskan bersama pasangan, wanita pada tahapan usia dewasa madya memandang perkawinannya dengan lebih positif dibandingkan wanita pada tahapan usia dewasa awal. Selain itu karena kemampuan kognitif wanita dewasa awal yang terbatas pada penalaran abstraksi membuat wanita dewasa awal kurang memiliki pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman sendiri mengenai perkawinan sehingga kurang mudah menyesuaikan diri dengan perkawinanya. 36

D. Skema Penelitian