21
terkait perannya sebagai seorang ibu Dew dan Wilcox, 2011. Dibandingkan keluarga yang tidak memiliki anak, pasangan dengan
anak lebih menunjukkan kepuasan dalam perkawinannya. g.
Latar belakang keluarga Kepuasan perkawinan dari orangtua pasangan dapat mempengaruhi
kepuasan perkawinan pasangan itu. Latar belakang keluarga meliputi perceraian orangtua dan dukungan dari orangtua serta mertua Larson
Holman, 1994. Sementara itu Larson dalam Holman dkk 1994 juga menjabarkan
beberapa faktor pra-perkawinan yang juga mempengaruhi kepuasan perkawinan, antara lain: alasan menikah, kepercayaan atau harapan,
perilaku sebelum menikah, asal-usul keluarga, karakteristik kepribadian individu, relasi sosial, proses interaksi pasangan, hubungan orangtua dan
anak, kepuasan perkawinan orangtua. Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kepuasan perkawinan diantaranya, gender, agama, tahapan usia, penyesuaian diri, latar belakang keluarga, kepribadian pasangan, ada
atau tidak adanya anak, lama perkawinan, dan pola interaksi yang terjadi antar pasangan.
B. Wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya
1. Wanita Dewasa Awal
Masa dewasa awal dimulai pada usia 22 tahun hingga 39 tahun Santrock, 2002. Menurut Havighurst dalam Mappiare 1983, wanita
22
dewasa awal memiliki tugas perkembangan yaitu memilih pasangan dan hidup berkeluarga. Penelitian Whitehead Poponoe menemukan bahwa
90 dewasa awal akan memilih untuk menikah Papalia dan Feldman, 2014. Menurut Erikson, wanita dewasa awal berada dalam tahap
perkembangan intimasi vs isolasi. Intimasi berarti individu dewasa awal memiliki tugas perkembangan untuk membangun keintiman Erikson
dalam Monks dkk, 2006. Keintiman berarti komitmen individu terhadap orang lain yang membuahkan hubungan yang hangat dan bermakna
melalui interaksi yang intim Salkind, 2009. Salah satu cara membangun keintiman yaitu dengan membina hubungan dengan lawan jenis melalui
pacaran pada masa remaja. Keintiman yang terjalin pada masa remaja ini akan mencapai puncaknya pada masa dewasa awal yaitu mulai
berkomitmen melalui perkawinan. Bagi perempuan, perkawinan merupakan hal yang penting karena ia dapat hidup bersama dengan laki-
laki yang dicintainya Kartono, dalam Eriany, 1997. Jika individu mampu membangun keintiman maka ia akan mulai membangun keluarga baru,
namun apabila individu tidak berhasil pada tahap ini maka ia akan terjebak dalam tahap isolasi dimana individu akan cenderung menutup diri dari
dunia luar. Santrock 2002 juga menambahkan, wanita pada usia dewasa awal
memiliki beberapa tugas perkembangan diantaranya memilih jodoh, belajar hidup dengan suami, membentuk keluarga, dan menemukan
kelompok sosial. Pada masa ini pula indvidu mulai memilih pasangan dan
23
menikah dengan tujuan membangun intimasi, berkomitmen, mendapatkan dan memberikan afeksi, menjalin persahabatan, memenuhi kebutuhan
seksual, mendapatkan pendampingan, sumber identitas baru, dan harga diri Myers dalam Papalia dan Feldman 2014.
Davidoff dalam Desmita 2006 menjabarkan problem perkawinan dewasa awal diantaranya:
a. Pasangan gagal mempertemukan dan menyesuaiakan kebutuhan dan
harapan satu sama lain b.
Salah satu pasangan kesulitan menerima perbedaan dalam kebiasan kebutuhan, pendapat, kerugian dan nilai, masalah keuangan dan anak-
anak c.
Perasaan cemburu dan perasaan memiliki yang berlebihan, pasangan kurang mendapat kebebasan
d. Pembagian tugas dan wewenang yang tidak adil
e. Kegagalan dalam berkomunikasi, dikarenakan pasangan muda masih
memiliki ego yang kuat sehingga cenderung tidak mau mengalah. Selain itu pasangan awal tidak terbuka dalam mengungkapkan
perasaan. f.
Masing-masinng pasangan tumbuh dan berkembang ke arah yang berbeda, tidak sejalan mencari minat dan tujuan.
g. Pasangan muda atau dewasa awal kesulitan menyesuaikan diri dengan
peran dan tanggungjawab baru
24
Wanita dewasa awal yang menikah tentu harus melakukan penyesuaian terhadap perkawinannya. Hurlock 1990 menyebutkan
beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan pasangan yang baru menikah diantaranya, penyesuaian terhadap pasangan, penyesuaian seksual,
penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Wanita dewasa awal juga mengalami beberapa penyesuaian terkait
perbedaan pandangan dan harapan yang ia miliki dengan pandangan dan harapan yang dimiliki pasangannya Kail Cavanaugh, 2010.
Perkawinan bagi wanita dewasa awal merupakan hal yang penting karena ia dapat hidup bersama dengan laki-laki yang dicintainya melalui
sebuah perkawinan Kartono, dalam Eriany, 1997. Namun perkawinan pada masa dewasa awal juga dapat menjadi suatu hal yang tidak
menyenangkan apabila suami atau istri sulit menyesuaikan diri dengan peran dan peraturan baru dalam rumah tangga mereka. Selain itu, wanita
dewasa awal cenderung memiliki konsep pasangan yang ideal. Apabila konsep pasangan ini tidak sesuai dengan kenyataan saat menikah maka
wanita dewasa awal cenderung tidak puas dan memiliki penilaian yang rendah terhadap perkawinannya.
Hurlock 1990 menjabarkan beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan pasangan pada usia dewasa awal dalam menghadapi perkawinan
diantaranya: a.
Penyesuaian dengan pasangan
25
Dalam menyesuaiakan diri dengan pasangan, wanita dewasa awal diharapkan mampu menerima perbedaan yang ada pada dirinya dan
pasangannya, menjalin komunikasi secara terbuka dan menjaga hubungan yang hangat dan mesra.
b. Penyesuaian seksual
Wanita dewasa awal diharapkan mampu membuat kesepakatan bersama suaminya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
harapan dalam melakukan hubungan seksual. c.
Penyesuaian Ekonomi Pasangan suami istri tentu harus mulai memikirkan cara mengolah
keuangan keluarga, dan membuat kesepakatan mengenai siapa yang akan bekerja serta bagaimana mengelola kehidupan ekonomi mereka.
d. Penyesuaian Peran
Hal ini paling sering dirasakan oleh wanita yang mengalami perubahan peran dari wanita single menjadi seorang istri maupun ibu.
Dalam hal ini wanita dewasa awal yang menikah perlu mendapatkan dukungan dari suaminya agar dia bisa menyesuaikan diri dengan
peran barunya. e.
Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan Seringkali dijumpai wanita dewasa awal yang menikah memiliki
hubungan yang kurang menyenangkan dengan mertua. Pasangan baru harus bisa menyesuaiakan diri dengan keluarga pasangannya, dan
26
menganggap keluarga pasangan sebagai bagian dari keluarganya yang baru.
2. Wanita Dewasa Madya
Pada umumnya usia dewasa madya atau usia setengah baya berada pada rentang usia 40 hingga 60 tahun Hurlock, 1990. Masa tersebut pada
akhirnya akan ditandai oleh perubahan fisik menopaus. Masa dewasa madya bagi wanita merupakan masa transisi menjadi seorang ibu dengan
anak remaja, masa mempertahankan prestasi yang didapatkan, serta masa dimana harus melakukan penyesuaian baru dalam kehidupannya.
Santrock 2002 menjabarkan tugas-tugas perkembangan yang harus dituntaskan pada usia dewasa madya diantaranya:
a. Memantapkan pengamalan ajaran agama
b. Mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga Negara
c. Membantu anak yang sudah remaja untuk belajar menjadi orang
dewasa yang bertanggung jawab sesuai tahap generativity dari Erikson yaitu untuk membimbing generasinya menjadi lebih dewasa dengan
member contoh, mengajar dan mengontrol d.
Menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan fisik e.
Mencapai dan mempertahankan standar hidup ekonomis serta mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam
karier serta aktif dalam organisasi sosial desmita, 2006 f.
Memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa dan mencapai tanggungjawab sosial secara penuh
27
Levinson Monks, 2006 menyebutkan masa dewasa madya sebagai fase menjadi diri sendiri, mencapai kestabilan, serta menguasasi dan
mengatasi kelemahan. Pada usia ini wanita memiliki lebih sedikit tanggung jawab dirumah karena anak-anak sudah beranjak dewasa
Desmita, 2006. Wanita dewasa madya akan puas jika mampu mengajar anak-anak, menolong anak menjadi dewasa, menyediakan bantuan bagi
orang lain, melihat bahwa sumbangan yang diberikan memberikan manfaat.
Meskipun demikian, menurut Hurlock 1990 wanita dewasa madya juga mengalami beberapa stress dalam kehidupannya yaitu:
a. Stress somatik, yang disebabkan oleh keadaan fisik yang melemah dan
berubah pada usia tua. b.
Stress ekonomi, meliputi beban keuangan untuk pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
c. Stress psiklogis, yang bisa berasal dari kematian pasangan, kepergian
anak dari rumah, atau kebosanan terhadap perkawinan. Selain itu, wanita dewasa madya juga mengalami beberapa kendala
dalam perkawinannya diantaranya: a.
Perubahan peran Wanita dewasa madya yang sudah menjalani kehidupan sebagai
seorang ibu selama bertahun-tahun harus menyesuaikan diri dengan peran baru saat anak-anaknya telah beranjak dewasa dan
28
meninggalkan rumah. Banyak wanita dewasa madya yang merasa kesepian karena ditinggal anak-anaknya.
b. Kebosanan
Wanita dewasa madya yang menjalani kehidupan berumah tangga selama bertahun-tahun terkadang dilanda kebosanan. Apalagi bagi
wanita dewasa madya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarga sementara merasa tidak puas karena tidak ada kesempatan
untuk mengembangkan diri. c.
Tidak puas dengan penyesuaian seksual Hal ini disebabkan karena keinginan untuk melakukan hubungan
seksual bagi pria dan wanita berbeda pada usia dewasa madya sehingga menimbulkan beberapa perselisihan.
d. Perasaan curiga
Perasaan curiga bahwa suami berselingkuh dengan wanita lain sering dialami wanita dewasa madya yang suaminya lebih sibuk dengan
pekerjaannya dan dia hanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Wanita dewasa madya juga sering merasa pekerjaannya dirumah tidak
dihargai suami atau suami lebih mementingkan karir daripada istrinya. Namun demikian, kebanyakan wanita dewasa madya juga mampu
menyesuaiakan diri terhadap perkawinannya dengan lebih baik. Hal ini dikarenakan wanita dewasa madya sudah memiliki pengalaman dalam
berumahtangga yang cukup lama sehingga lebih positif dalam menilai perkawinannya Santrock, 2002. Dalam perkawinan, wanita pada masa
29
dewasa madya memandang pasangannya sebagai pribadi yang seutuhnya Salkind, 2009, menerima kelebihan maupun kekurangan pernikahannya,
mengenali pola konflik dengan baik, serta memiliki harapan yang lebih realistis terhadap satu sama lain karena telah melewati kehidupan rumah
tangga yang cukup lama Santrock, 2002. Pernikahan yang telah berlangsung lama ini memiliki kecenderungan lebih kecil untuk bercerai
karena kemapanan finansial dan emosional yang telah dibangun Papalia, Old Feldman, 2011. Pernikahan yang bertahan hingga masa dewasa
madya dianggap telah mencapai stabilitas Campbell, dalam Santrock, 2002.
Pada masa ini pula, wanita mengalami suatu fase dalam kehidupannya yang disebut sindrom sarang kosong. Sebutan ini digunakan
untuk menyebutkan keadaan dimana seorang ibu merasakan kesepian karena anak-anak mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk
menjalani kehidupannya sendiri. Dalam perkawinan yang baik, keadaan ini mungkin digunakan sebagai masa bulan madu kedua karena pasangan
lebih banyak menghabiskan waktu bersama Papalia Feldman, 2014.
C. Dinamika Perbedaan Kepuasan Perkawinan pada Wanita Berdasarkan