Narkoba Dalam Pengaturan Perundang-Undangan

60

BAB III ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN

KEJAHATAN ASAL TINDAK PIDANA KEJAHATAN NARKOBA PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 1243PID.B2012PN.MDN TERTANGGAL 08 OKTOBER 2012

A. Tindak Pidana Kejahatan Narkoba

1. Narkoba Dalam Pengaturan Perundang-Undangan

Dalam sejarah, perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu :

a. Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie

Pada masa ini pengaturan tentang narkotika tidak seragam karena setiap wilayah mempunyai Ordonantie Regie masing-masing seperti Bali Regie Ordonantie, Jawa Regie ordonantie , Riau Regie Ordonantie, Aceh Regie Ordonantie, Borneo Regie Ordonantie , Celebes Regie Ordonantie, Tapanuli Regie ordonantie, Ambon Regie Ordonantie dan Timor Regie Ordonantie. Dari berbagai macam Regie Ordonantie tersebut, Bali Regie Ordonantie merupakan aturan tertua yang dimuat dalam Stbl. 1872 No. 76. Disamping itu narkotika juga diatur dalam 66 1 Morphine Regie Ordonantie Stbl. 1911 No. 373, Stbl. 1911 No. 484 dan No. 485; : 2 Ookust Regie Ordonantie Stbl. 1911 No. 494 dan 644, Stbl. 1912 No. 255; 3 Westkust Regie Ordonantie Stbl. 1914 No.562, Stbl. 1915 No. 245; 4 Bepalingen Opium Premien Stbl. 1916 No. 630. 66 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Cet. I, Bandung : Mandar Maju, 2003. Universitas Sumatera Utara

b. Berlakunya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl. 1927 Nomor 278 Jo.

No. 536 Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S peraturan tentang Obat Bius Nederland Indie disesuaikan dengan peraturan obat bius yang berlaku di Belanda asas konkordansi. Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad Van Indie mengeluarkan Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536 tentang Verdovende Midellen Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang-Undang Obat Bius. Undang-Undang ini bertujuan untuk menyatukan pengaturan mengenai candu dan obat-obat bius lainnya yang tersebar dalam berbagai ordonantie. Di dalam Undang-Undang ini juga dilakukan perubahan serta mempertimbangkan kembali beberpa hal tertentu yang telah diatur dalam peraturan sebelumnya. Verdovende Midellen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536 tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1928. Ketentuan Undang-Undang ini kemudian menarik 44 Perundang-undangan sebelumnya guna mewujudkan unifikasi hukum pengaturan narkotika di Hindia Belanda.

c. Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika

Undang-Undang ini mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya. Undang-Undang No. 9 tahun 1976 ini diberlakukan pada tanggal 26 Juli 1976 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 3086. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut : a. Mengatur jenis-jenis narkotika secara lebih terinci; b. Pidananya sepadan dengan jenis-jenis narkotika yang digunakan; Universitas Sumatera Utara c. Mengatur tentang pelayanan kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya; d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika meliputi penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas pengangkutan serta penggunaan narkotika; e. Acara pidananya bersifat khusus; f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran tindak pidana narkotika; g. Mengatur kerja sama internasional dalam penanggulangan narkotika; h. Materi pidananya banyak yang menyimapng dari KUHP dan ancaman pidana yang lebih berat. Latar belakang digantinya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl. 1927 No. 278 jo No. 536 dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini dapat dilihat pada penjelasan UU No. 9 Tahun 1976, diantaranya adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran perdagangan gelap narkotika di Indonesia.

d. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 3698. Adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini yaitu peningkatan Universitas Sumatera Utara pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Selain itu mengingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika.

e. Berlakunya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 143, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 5062. Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tidak dapat mencegah tindak pidana Universitas Sumatera Utara narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-Undang Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan dan kewenangan BNN yang sangat besar. 1 Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narktotika secara ilegal. 2 Pengobatan dan Rehabilitasi Pasien dapat memiliki, menyimpan, danatau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah . Universitas Sumatera Utara Melalui UU No. 352009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri . Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu dapat dikategorikan sebagai tempat pihak yang melakukan rehabiltasi medis dan sosial? 3 Kewenangan BNN dan Penyelidikan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki Universitas Sumatera Utara penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3 × 24 jam ditambah penyadapan. Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, kemudian kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN? Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian. 4 Putusan Rehabilitasi Bagi Para Pecandu Narkotika Walaupun prinsip dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam Undang-Undang ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan : Apakah penggunaan kata “dapat” menjadi suatu acuan mutlak agar hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu narkotika menjalani proses rehabilitasi?; Universitas Sumatera Utara dan Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan?. 5 Peran Serta Masyarakat Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika. Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang. 6 Ketentuan Pidana Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memiliki kencederungan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Universitas Sumatera Utara Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika. Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 sebagai berikut: a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam tindak pidana narkotika; Penggunaan kata “Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan. b. Penggunaan sistem pidana minimal; Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memperkuat asumsi bahwa undang-undang tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung. c. Kriminalisasi bagi orang tua dan masyarakat; Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan kurungan bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang Universitas Sumatera Utara menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak- pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil. d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai; Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan. Universitas Sumatera Utara

2. Jenis Narkoba Yang Sering Disalahgunakan

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Kejahatan Asal Tindak Pidana Narkoba Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1243/PID.B/2012/PN.MDN. Tanggal 08 Oktober 2012

4 105 142

Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 66 142

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Penanggulangan Kejahatan Trafficking Melalui Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

1 54 130

Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 39 136

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN)

2 58 104

Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Kejahatan Asal Tindak Pidana Narkoba Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1243/PID.B/2012/PN.MDN. Tanggal 08 Oktober 2012

0 3 20