pengetahuan hukum dan asas-asas penulisan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses
menemukan kebenaran ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Di Indonesia, kriminalisasi pencucian uang dilakukan sudah cukup lama. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat dari upaya penanganan tindak pidana
pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian diubah
pula dengan undang-undang yang baru yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang selanjutnya
disebut UUTPPU. Ketentuan mengenai pembuktian dalam UUTPPU telah diatur ketentuan
khusus mengenai ketentuan pembuktian yang dilakukan pada saat pemeriksaan di persidangan. Ketentuan pembuktian tersebut diatur dalam UUTPPU diatur dalam
Pasal 77 dan 78 yakni mengenai ketentuan pembuktian terbalik. Ketentuan pembuktian terbalik yang diatur dalam pasal 77 UUTPPU,
menyatakan sebagai berikut : “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana”. Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 78 UUTPPU sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Hakim memerintahkan Terdakwa agar membuktikan bahwa Harta
Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1.
2. Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat 1 dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Dari ketentuan di atas, upaya untuk membuktikan tindak pidana pencucian
uang yang dilakukan pelaku menjadi lebih mudah. Kemudahan itu disebabkan karena beban pembuktian dalam persidangan ada pada terdakwa. Hal inilah yang menjadi
alasan bahwa dengan pembuktian terbalik akan memberikan efektivitas dalam membuktikan bahwa terdakwa bersalah atau tidak.
Menurut R. Soesilo, mengenai sistem atau teori pembuktian ada 4 Empat macam, yaitu :
1. “Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Yang Positif; Menurut sistem ini, maka salah atau tidaknya sejumlah alat-alat bukti yang
telah ditetapkan undang-undang. Menurut peraturan ini pekerjaan hakim semata-mata hanya mencocokkan apakah sejumlah bukti yang telah
ditetapkan dalam undang-undang sudah ada, bila sudah ia tidak perlu menanyakan isi hatinya yakin atau tidak, tersangka harus dinyatakan
salah dan jatuhi hukuman. Dalam sistem ini keyakinan hakim tidak turut mengambil bagian sama sekali, melainkan undang-undanglah ,yang
berkuasa disini.
2. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Yang Negatif; Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman, apabila
sedikit-dikitnya jumlah alat bukt i yang telah ditentukan adalah undang- undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa
Universitas Sumatera Utara
terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat- alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan
terdakwa, maka ,harus diputus bebas. Dalam sistem ini bukan undang- undang yang berkuasa melainkan hakim, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh
undang-undang.
3. Sistem Pembuktian Bebas; Menurut sistem ini, Undang-undang tidak menentukan peraturan seperti
sistem spembuktian yang harus ditaati oleh hakim, Sistem ini menganggap atau mengakui juga adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat
bukti ini tidak ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif dan sistem pembuktian menurut
undang-undang yang negatif. Dalam menentukan macam-macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menentukan
kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan itu. Adapun peraturan yang mengikat kepadanya adalah
bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasannya.
4. Sistem Pembuktian Melulu Berdasarkan Atas Keyakinan Belaka. Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti yang tertentu,
ia memutuskan, kesalahan terdakwa melulu berdasarkan atas keyakinannya. Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan yang penuh
dengan tidak dikontrol sama sekali. Tentunya selalu ada alasan berdasar pikiran secara logika, yang mengakibatkan seorang hakim mempunyai
pendapat tentang terbukti atau tidak dari suatu keadaan. Soalnya adalah bahwa dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan menyebut alasan-alasan
itu dan apabila hakim menyebutkan alat-alat bukti yang ia pakai, maka ,hakim dapat memakai alat bukti apa saja. Keberadaan sistem ini
ialah bahwa terkandung didalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketetapan kesan-kesan perorangan belaka dari seorang hakim.
Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti in adalah sukar untuk dilakukan, oleh karena badan pengawas tidak dapat tahu pertimbangan-
pertimbangan hakim, yang mengalirkan pendapat hakim kearah putusan”.
22
Setelah membahas teori-teori pembuktian dalam hukum acara pidana, maka timbulah pertanyaan bahwa sistem apakah yang sekarang ini dipakai di Indonesia?
22
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal
, Bogor : Politeia, 1985, hal. 6-8.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 183 KUHAP, ditentukan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, maka
hukum acara pidana di Indonesia memakai sistem pembuktian menurut undang- undang negatif. Oleh karena itu, sistem pembuktian yang dianut adalah sistem
pembuktian “negatief wettelijk stelsel”. Sistem pembuktian negatief wettelijk stelsel ini harus :
1. Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”; 2. Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan
bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Mengenai hukum pembuktian berkenaan dengan penanganan kejahatan
pencucian uang, UUTPPU mengatur jenis dan kekuatan alat bukti lebih luas daripada rumusan yang terdapat dalam KUHAP. Dalam UUTPPU disamping alat bukti yang
tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, juga ditambah dengan alat bukti lain sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 73 UUTPPU, bahwa alat bukti yang sah dalam
pembuktian TPPU ialah: 1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, yaitu :
a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli;
c. Surat; d. Petunjuk;
Universitas Sumatera Utara
e. Keterangan Terdakwa; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen. Pasal 1 Angka 16 UU TPPU, menetapkan bahwa
Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Penggunaan UUTPPU sangat mendesak untuk efektifitas pembuktian tindak
pidana narkotika. Apalagi penegak hukum di Indonesia baik itu Kepolisian ataupun Kejaksaan masih dididik, dibesarkan dan mempraktekkan paradigma lama dalam
pembuktian. Penegak hukum di Indonesia masih berpegang pada paradigma follow the suspect
. Maksudnya, untuk membuktikan tindak pidana narkotika, penegak hukum lebih mengandalkan kesaksian dari pelaku atau orang lain yang
mengetahuinya, dimana yang paling penting adalah saksi. Tetapi pendekatan tersebut tidak cukup memadai untuk membuktikan kasus-kasus narkotika yang semakin
berkembang. Para pelaku tindak pidana narkotika yang memahami instrumen pasar
Universitas Sumatera Utara
finansial mengerti bagaimana bank bekerja dan tahu berbagai produk investasi, akan mudah untuk menutupi jejak hasil kejahatan narkotika. Dengan mencuci uangnya,
maka kejahatan yang dilakukannya tidak akan terungkap.
2. Kerangka Konsep
Demi memudahkan pemahaman dan menghindari kesalahan penafsiran yang berbeda antara satu konsep dengan konsep lainnya maka digunakanlah kerangka
konsep. Kerangka konsep berisikan tentang konsep-konsep operasional dari penelitian bukan konsep-konsep dari Undang-Undang. Namun, penggunaan Undang-
Undang dimungkinkan apabila konsep sudah ada di dalamnya.
23
Jadi, tidak menutup kemungkinan dalam hal penggunaan Undang-Undang untuk memberikan definisi
mengenai konsep yang dikemukakan. Dikarenakan penelitian hukum adalah penelitian normatif yang bersifat kualitatif maka tidak menutup kemungkinan dalam
hal penggunaan semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan dengan judul dan permasalahan isu hukum yang sedang diteliti.
24
23
Perumusan konsep diserahkan kepada kebutuhan penelitian, yang dapat diperoleh dari semua sumber hukum yang dimiliki. Perumusan konsep dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman
inti dan dasar pijakan pada istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini adalah penelitian hukum jadi konsep operasional berasal dari Undang-Undang. Sumber :
Dian Puji N. Simatupang, “Penyusunan Proposal Penelitian”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 27 Februari 2008, hal. 16.
Lihat juga : Topo Santoso, “Penelitian Proposal Penelitian Hukum Normatif”, Pelatihan Penelitian Hukum, Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 April 2005, hal. 23. Mengatakan bahwa :
“Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkret daripada kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak kadangkala diperlukan definisi
operasional. Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional dapat diambil dari peraturan perundang- undangan”.
24
Alvi Syahrin, “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian Hukum, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009, hal. 3.
Dalam menentukan
Universitas Sumatera Utara
konsep harus berurutan sesuai dengan judul dan rumusan masalah. Adapun konsep dimaksud dalam penelitian ini, antara lain :
1. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut,
selanjutnya ia menyatakan menurut wujudnya atau sifatnya, tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan
masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan itu : melawan hukum, merugikan
masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana;
25
2. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya, atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan
maksud untuk menyumbangkan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah;
26
3. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu perbuatan yang diancam oleh sanksi pidana terhadap pelaku yang menyalahgunakan zat atau obat baik alamiah
25
Mulyatno dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Pustaka, 2004, hal. 84.
26
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku;
4. Kejahatan asal predicate offenses adalah sebuah pelanggaran kejahatan sebelumnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kalimat dikenakan
untuk kejahatan dikemudian, tindak pidana asal ditentukan oleh undang- undang dan tidak seragam pada setiap negara;
27
5. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang;
28
6. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
29
Adapun jenis-jenis putusan yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim, yaitu :
27
Henry Campbell Black, Richard A. Garner Ed., Op.cit., hal. 3429. “Predicate offense an earlier offense that can be used to enhance a sentence levied for a later conviction. Predcate offenses
are defined by statute and are not uniform from state to state ”.
28
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
29
Pasal 1 angka 11 Jo. Pasal 195, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
a. Putusan Bebas, dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 191 ayat 1 KUHAP putusan bebas
terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa;
b. Putusan Lepas, dalam hal ini berarti berdasarkan Pasal 191 ayat 2 KUHAP Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada Terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu tindak pidana onslagh;
c. Putusan Pemidanaan, dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk mendapatkan pemahaman mengenai objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
30
Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.
31
30
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta : Indonesia Hillco, 1990, hal. 106.
31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 1.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
Universitas Sumatera Utara
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.
32
1.
Dengan demikian secara umum objek penelitian terhadap penelitian ini adalah norma huku m yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan diterapkan oleh
Penegak Hukum yaitu Hakim dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana narkotika di
Indonesia khususnya Sumatera Utara di Medan. Secara khusus, objek penelitiannya adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. No. 1303K
Pid.Sus2013 tanggal 21 Agustus 2013 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 700Pid2012PT.Mdn
tanggal 8 Januari 2013 Jo. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1243Pid.B2012PN.Mdn tanggal 8 Oktober 2012 an. Maha Nathy Naidu alias
Rendy.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Penggunaan metode penelitian hukum normatif yuridis normatif dikarenakan penelitian ini dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.
33
32
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1996, hal. 6.
33
Mengenai istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman diantara para ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum dimaksud, yakni :
Soerjono Soekanto Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan Soerjono Soekanto Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 2001, hal. 13-14;
Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum doktrinal Soetandyo Wignjosoebroto,Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Editor : Ifdhal
Kasim et.al., Jakarta : Elsam dan Huma, 2002, hal. 147; Sunaryati Hartono, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif C.F.G.
Sunaryati Hartono,Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung : Alumni, 1994, hal. 139; dan
Data sekunder pada penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. No. 1303K Pid.Sus2013 tanggal 21
Agustus 2013 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 700Pid2012PT.Mdn tanggal 8 Januari 2013 Jo. Putusan Pengadilan Negeri Medan No.
1243Pid.B2012PN.Mdn tanggal 8 Oktober 2012 an. Maha Nathy Naidu alias Rendy.
Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif analisis yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
penerapan tindak pidana narkotika dalam dimensi pencucian uang di Indonesia berdasarkan Pasal 137 huruf b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Penelitian deskriptif analisis, dikaitkan dengan penelitian ini yaitu menggambarkan modus operandi yang digunakan oleh Terdakwa untuk melakukan
tindak pidana pencucian uang, dikarenakan di dalam putusan-putusan yang akan diteliti tersebut tidak ada menggambarkan modus operandi yang dilakukan.
2. Sumber Data
Penelitian hukum normatif yang menititikberatkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, yang terdiri atas :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen;
Ronny Hanitjo Soemitro Almarhum, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang doktrinal Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi
Penelitian Hukum dan Jurimetri , Cetakan Kelima, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
d. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
e. Putusan Mahkamah Agung RI No. No. 1303K Pid.Sus2013 tanggal
21 Agustus 2013 an. Maha Nathy Naidu alias Rendy; f. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 700Pid2012PT.Mdn tanggal
8 Januari 2013 an. Maha Nathy Naidu alias Rendy; g. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1243Pid.B2012PN.Mdn
tanggal 8 Oktober 2012 an. Maha Nathy Naidu alias Rendy. 2. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer,
yang terdiri dari : a. Buku-buku;
b. Jurnal-jurnal; c. Majalah-majalah;
d. Artikel-artikel; dan e. Berbagai tulisan lainnya.
3. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti :
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia;
Universitas Sumatera Utara
b. Kamus Ekonomi dan Perbankan; c. Black’s Law Dictionary.
3. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan library research dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen
dari berbagai sumber yang dipandang relevan.
34
34
Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber bahan
hukum lainnya. Dalam : Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Edisi Kedua, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Januari 2008, hal. 1.
Putusan Mahkamah Agung RI No. No. 1303K
Pid.Sus2013 tanggal 21 Agustus 2013 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 700Pid2012PT.Mdn tanggal 8 Januari 2013 Jo. Putusan Pengadilan
Negeri Medan No. 1243Pid.B2012PN.Mdn tanggal 8 Oktober 2012 an. Maha Nathy Naidu alias Rendy.
Selanjutnya bahan hukum yang ada di kolaborasi dengan buku-buku yang di dapat dari Perpustakaan. Dipilah mana yang hukum dan mana yang bukan hukum.
Setelah didapat pengelompokan sumber bahan hukum barulah selanjutnya dianalisis.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja.
35
Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari
tujuan analisis, maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1 Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan
memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2 Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena.
36
35
Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisaikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang
memberikan arti yangsignifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi dimensi uraian. Lihat : Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif,
Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 280.
36
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya
, Jakarta : Kencana, 2009, hal. 153.
Adapun fenomena hukum yang terjadi pada penelitian terhadap putusan- putusan pengadilan tersebut adalah bahwa terjadinya suatu tindak pidana pencucian
uang yang sudah lama dilakukan menyebabkan peredaran shabu-shabu di Indonesia khususnya di Sumatera Utara sangat luas. Selain itu juga, fenomena hukum yang
terjadi adalah bahwa putusan pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap
terjadinya suatu tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini dilakukan agar dapat mengetahui mengapa perbedaan antar tingkat pengadilan tersebut terjadi, lalu apa
yang mendasari Majelis Hakim dapat mengambil putusan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Setelah diketahui fenomena hukumnya apa-apa saja, selanjutnya makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena tersebut adalah berupa
jawaban kenapa tindak pidana pencucian uang tersebut terjadi, dan apa yang melatarbelakanginya.
Universitas Sumatera Utara
34
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UNDANG-