proses filtrasi. Ukuran serbuk yang terlalu kecil kemungkinan dapat menembus filter dan bercampur dengan filtrate sehingga filtrate tidak murni.
3. Penetapan kadar air serbuk biji P. americana
Penetapan kadar air dari serbuk biji P. americana bertujuan untuk mengetahui kandungan air dalam serbuk sehingga diketahui apakah serbuk yang
dihasilkan memenuhi salah satu persyaratan serbuk yang baik, yakni kadar air kurang dari 10 Departemen Kesehatan RI, 1995. Serbuk biji P,americana tidak
mengandung senyawa volati dan mudah menguap sehingga pengujian yang dilakukan adalah penetapan kadar air. Penetapan kadar air serbuk biji P.
americana dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan alat moisture balance. Serbuk kering biji P. americana sebanyak 5 gram dipanaskan
pada suhu 105°C selama 15 menit. Penetapan suhu sebesar 105°C dimaksudkan agar kandungan air telah menguap dan dalam waktu 15 menit dianggap bahwa
kadar air telah memenuhi persyaratan parameter standarisasi non spesifik. Dari hasil pengujian penetapan kadar air menunjukkan bahwa serbuk biji P.americana
memiliki rata-rata kadar air sebesar 7,4 . Hasil pengujian ini, menunjukkan bahwa sebuk biji P. americana telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
Departemen Kesehatan RI, 1995.
B. Hasil Penimbangan Bobot Ekstrak Metanol Biji P. americana
Pembuatan ekstrak metanol dilakukan dengan metode penyarian yaitu dengan maserasi. Maserasi merupakan metode penyarian yang dilakukan dengan
cara memasukkan serbuk simplisia ke dalam labu erlenmeyer, yang kemudian
dituangi dengan cairan penyari berupa metanol 70 lalu ditutup dan dibiarkan selama 120 jam terlindung dari cahaya sambil diaduk sesekali lalu dilakukan
remaserasi selama 48 jam. Metode ini dipilih dalam metode penyarian karena selain menggunakan
peralatan yang sederhana dan cara pengerjaan serta pengoperasian alat yang mudah, metode ini cocok digunakan bila kandungan senyawa yang hendak dicari
terdapat dalam jumlah banyak dan mudah diperoleh. Metode ini dilakukan untuk menyari simplisia yang dilarutkan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan
pelarut ini didasarkan pada jenis kandungan zat aktif yang digunakan, agar ada kecocokan antara zat akif dengan larutan penyari sehingga zat aktif akan larut dan
bercampur dengan cairan penyari. Dalam biji P.americana mengandung senyawa golongan fenolik yang dapat larut di dalam air sehingga dalam larutan penyari
juga menggunakan air. Ekstrak yang diperoleh adalah berupa ekstrak kental yang dilihat dari
bobot pengeringan tetap sebagai parameter. Tujuan dilakukannya pengukuran parameter adalah untuk menghitung sisa zat setelah pengeringan pada suhu ±
70ºC. Ekstrak yang diperoleh ditimbang setiap 1 jam hingga diperoleh berat konstan yang bertujuan untuk menentukan batasan atau rentang mengenai
seberapa banyak senyawa yang hilang selama proses pengeringan yang akan berpengaruh terhadap konsentrasi dan dosis ekstrak. Rata-rata rendemen yang
diperoleh adalah 53,1 g dengan persen rendemen sebesar 26,55 .
C. Uji Pendahuluan
1. Penentuan dosis hepatotoksin
Pada penelitian ini digunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin. Pemilihan dosis karbon tetraklorida dilakukan untuk mengetahui dosis karbon
tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan pada hati tikus yang ditandai dengan peningkatan aktivitas ALT dan AST serum sebagai respon hati tikus
terhadap karbon tetralorida. Karbon tetraklorida merupakan hepatotoksin yang dapat menyebabkan
terjadinya perlemakan hati. Rajendran et al., 2009 dalam penelitiannya menyatakan bahwa peningkatan 2 kali aktivitas ALT serum dibandingkan dengan
kontrol sudah mampu menyatakan terjadinya kerusakan pada hati. Dosis yang digunakan pada penelitian ini, yaitu 2 mlkgBB, dengan pelarut yang digunakan
adalah olive oil dalam perbandingan 1:1 yang diberikan secara intraperitoneal. Penetapan dosis ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
oleh Janakat dan Al-Merie 2002. Deshwal et al. 2011 melaporkan bahwa dosis karbon tetraklorida yang dapat menginduksi kerusakan pada hati adalah sekitar
0,1 – 3mlkg berat badan dengan pemberian secara intraperitoneal. Penelitian oleh Talia 2013, pada penggunaan hepatotoksin karbon tetraklorida 50 dengan
dosis 2 mlkgBB, memberikan peningkatan aktivitas ALT serum sebesar 3 kali lipat dibandingkan dengan keadaan normal tanpa induksi hepatotoksin.
Pada penelitian ini diperoleh peningkatan aktivitas ALT serum pada pemberian dosis hepatotoksin 2 mlkgBB sebesar 2,6 kali lipat dibandingkan
dengan kontrol sebelum diinduksi hepatotoksin.
2. Penentuan dosis ekstrak metanol biji P. americana
Pada penelitian ini digunakan ekstrak metanol-air biji P.americana. Dosis yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari penelitian efek hepatoprotektif
jangka panjang ekstrak metanol-air biji P.americana yang menunjukkan bahwa dosis yang paling efektif adalah sebesar 350 mgkgBB yang diberikan secara
peroral dengan pelarut yang digunakan adalah CMC-Na.
3. Penentuan waktu pencuplikan darah
Penentuan waktu maksimal kehepatotoksikan karbon tetraklorida bertujuan untuk mengetahui waktu dimana karbon tetraklorida dosis 2 mlkgBB
memberikan efek hepatotoksik paling maksimal yang ditunjukkan dengan peningkatan tertinggi aktivitas ALT dan AST serum pada rentang waktu 24 dan 48
jam. Karbon tetraklorida diujikan pada tikus dengan dosis 2 mlkgBB dengan
waktu pencuplikan darah pada jam ke-24 dan 48. Sebelum hepatotoksin diujikan, serum darah tikus diambil terlebih dahulu sebagai jam ke-0 lalu diukur aktivitas
ALT dan AST serum dan digunakan sebagai pembanding nilai aktivitas ALT dan AST serum terhadap aktivitas ALT dan AST setelah pemberian hepatotoksin.
Hasil aktivitas ALT serum yang diperoleh dapat dilihat pada tabel I serta gambar 6 sedangkan aktivitas AST serum dapat dilihat pada tabel I serta gambar 7.
Dari data tabel I dan gambar 6 diagram batang tersebut, diketahui bahwa aktivitas ALT serum pada jam ke 0 sebelum perlakuan, jam ke-24 dan 48 secara
berturut-turut adalah 72,4 ± 6,2 ; 190,8 ± 11,7 dan 55,2 ± 3,7 UL. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa aktivitas ALT serum pada pencuplikan darah jam
ke-24 dengan pemberian perlakuan karbon tetraklorida dosis 2 mlkg BB lebih tinggi dibandingkan dengan pencuplikan darah pada jam ke 0 dan 48.
Tabel I. Aktivitas ALT dan AST serum setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkg BB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam
Selang Waktu jam
Purata Aktivitas serum ALT ± SE UL
Purata Aktivitas serum AST ± SE UL
72,4 ± 6,2 85,2 ± 3,3
24 190,8 ± 11,7
460,2± 18,6 48
55,2 ± 3,7 141,2 ± 5,9
Keterangan: SE = Standard Error
Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas ALT serum sel hati tikus setelah pemberian
karbon tetraklorida dosis 2 mlkg BB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam
Pada pencuplikan darah jam ke-24 didapatkan peningkatan aktivitas ALT serum 2-3 kali dari nilai normal yang dibandingkan terhadap jam ke-0 72,4 ± 6,2
UL. Pencuplikan darah pada jam ke-48 mengalami penurunan aktivitas ALT serum. Karena peningkatan aktivitas ALT serum tertinggi sudah memenuhi
kriteria terjadinya hepatotoksisitas, dan pada jam ke-48 sudah terjadi penurunan
aktivitas ALT dan maka tidak dilakukan lagi pengukuran pencuplikan darah pada jam ke-72. Rajendran et al., 2009 dalam penelitiannya menyatakan bahwa
peningkatan 2 kali aktivitas ALT serum dibandingkan dengan kontrol sudah mampu menyatakan terjadinya kerusakan pada hati. Selain itu dari uji statistik,
dapat diketahui bahwa kenaikan ALT serum pada jam ke-24, menunjukkan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan aktivitas ALT serum pada jam
ke-0 dan 48 yang dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II. Hasil uji statistik aktivitas ALT serum setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkg BB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0,
24 dan 48
BB= berbeda bermakna p0,05; TB = berbeda tidak bermakna p0,05
Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas AST serum sel hati tikus setelah pemberian
karbon tetraklorida dosis 2 mlkg BB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam
Perlakuan Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48
Jam ke-0 BB
TB Jam ke-24
BB BB
Jam ke-48 TB
BB
Tabel I dan gambar 7 menunjukkan adanya peningkatan aktivitas AST serum pada pencuplikan darah jam ke-24 dibandingkan dengan pencuplikan darah
pada jam ke-0 dan 48. Dapat diketahui bahwa aktivitas AST serum pada jam ke-0, 24 dan 48 secara berturut-turut adalah 85,2 ± 3,3 ; 460,2± 18,6 dan 141,2 ± 5,9
UL. Data menunjukkan adanya kenaikan aktivitas AST serum pada jam ke-24 sebesar 5-6 kali dari nilai normal AST serum yang dibandingkan terhadap jam ke-
0 85,2 ± 3,3 UL sehingga sudah dapat dikategorikan terjadi hepatotoksisitas, sedangkan pada jam ke-48, kenaikan aktivitas serum sebesar 1-2 kali dari jam ke-
0. Pada jam ke-48 sudah terjadi penurunan aktivitas serum. Dari data tersebut, kenaikan serum yang paling tinggi adalah pada jam ke-24. Hasil uji statistik
akivitas AST serum pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48 disajikan pada tabel III.
Tabel III.
Hasil uji statistik aktivitas AST serum setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mlkg BB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0,
24 dan 48
BB= berbeda bermakna p0,05; TB = berbeda tidak bermakna p0,05
Terdapat kenaikan aktivitas AST serum yang menunjukkan perbedaan yang bermakna p0,5 pada waktu pencuplikan darah jam ke-24 bila
dibandingkan dengan jam ke-0 dan 48. Dari data tersebut, aktivitas ALT dan AST serum secara statistik
menunjukkan perbedaan yang bermakna pada pencuplikan darah jam ke-24 p Perlakuan
Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48 Jam ke-0
BB BB
Jam ke-24 BB
BB Jam ke-48
BB BB
0,05 dibandingkan dengan pencuplikan darah jam ke-0 dan 48. Oleh sebab itu, pada penelitian jangka pendek dipilih waktu pencuplikan darah hewan uji pada
jam ke-24 setelah induksi CCl
4
dengan dosis 2 mlkgBB.
D. Efek Hepatoprotektif Jangka Pendek Ekstrak Metanol-Air biji