antara lain Jalan Tol Simpang Susun Waru-Bandara Juanda di Surabaya, Depok- Antasari, Bogor-Ring Road melalu Jasa Sarana.
IV.4.2.3 PT.Margabumi Matraraya MBMR
MBMR mengoperasikan jalan tol Surabaya-Gresik sepanjang 21 km. Jalan tol yang dibangun tahun 1991 dan dioperasikan tahun 1993 ini menghubungkan
wilayah industry di Gresik menuju ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
IV.4.2.4 PT.Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta JLJ
JLJ mengoperasikan Jalan Tol Lingkar Jakarta JORR sepanjang 43,10 km dari Ulujami sampai dengan Cilincing. Perusahaan yang berdiri tahun 2000 ini
mayoritas sahamnya dimiliki oleh Jasa Marga.
IV.5 Kendala-Kendala Dalam Pembiayaan Pembangunan Jalan Tol
Gambaran umum pembangunan infrastruktur di Indonesia pasca krisis bisa dikatakan jalan di tempat, dalam arto tidak ada kemajuan yang dicapai secara
signifikan. Anggaran yang disediakan untuk pembangunan infrastruktur baru sangat minim, demikian pula anggaran untuk pemeliharaan ada, keterbatasan dana
yang dialokasikan untuk infrastruktur merupakan kendala utama. Sebagai ilustrasi, apabila sebelum krisis pemerintah masih dapat mengalokasikan dana
APBNAPBD untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur sebesar + 5
Universitas Sumatera Utara
dari total Produk Domestik Bruto PDB, jumlah tersebut menyusut hingga tinggal + 2 dari total PDB setelah krisis terjadi.
Pemerintah di prediksi hanya mampu menyediakan dana sebesar US 40,8 miliar. Sedangkan sisanya, yakni sebesar US 31,4 miliar diharapkan akan
dapat dipenuhi dari pihak swasta. Sementara itu, untuk membangun infrastruktur yang diprioritaskan untuk tahun 2006-2010, diperlukan dana sekitar Rp. 200
triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah diperkirakan hanya mampu mengalokasikan anggaran sebesar 20 atau sekitar Rp. 40 triliun. Namun
demikian, pihak swasta juga sulit untuk diharapkan kesediannya untuk membangun infrastruktur, karena beberapa hal antara lain: 1 besarnya dana yang
diperlukan untuk pembangunan infrastruktur dalam ukuran pihak swasta sebagai entitas bisnis, 2 rendahnya return yang diperoleh dari pembangunan infrastruktur
pada umumnya, serta 3 ketidakjelasan dan sering berubahnya regulasi yang berkaitan dengan perubahan infrastruktur.
Secara umum kondisi infrastruktur jalan di Indonesia adalah sebagai berikut pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat lambat
dibandingkan dengan di negara-negara tetangga lainnya. Pembangunan jalan tol di Indonesia telah dimulai sejak 26 tahun lalu, namun total panjang jalan tol yang
telah dibangun hingga saat ini hanya 570 kilometer km. Padahal di Malaysia yang baru memulai pembangunan jalan tol 20 tahun lalu, total panjang jalan tol
yang berhasil dibangun sudah mencapaia sudah mencapai 1,230 km. Di China, panjang jalan tol mencapai lebih dari 100.000 km dan jalan arteri sekityar 1,7 juta
km dengan tingkat kepadatan jalan 1,384 km1 juta penduduk. Rendahnya tingkat
Universitas Sumatera Utara
pembangunan jalan tol di Indonesia terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 disebabkan antara lain oleh:
a. Belum adanya perencanaan sistem jaringan jalan tol yang dapat
mendorong terjadinya kompetisi antar operator. b.
Belum adanya regulasi, tata cara dan aturan yang mengatur penyelenggaraan jalan tol oleh pihak swasta dan
c. Selama ini belum ada prosedur pemilihan investor yang kompetitif,
pengadaan lahan, cost sharing, masa konsesi, dan dasar pembagian pendapatan.
Permasalahan infrastruktur Indonesia tercermin dari: a.
Kualitas pelayanan yang rendah b.
Kuantitascakupan pelayanan yang terbatas c.
Kelanjutan pelayanan kurang terjamin d.
Kebijakan tarif yang tidak adil dan tidak terbuka e.
Kerangka peraturan per-UU-an yang kadang kurang konsisten f.
Pembebasan tanah yang sering tidak menentu dan bahkan mengalami kegagalan
g. Pembiayaan infrastruktur yang terbatas.
Proyek jalan tol merupakan proyek jangka panjang dan memerlukan dana investasi yang besar dengan jangka waktu pengembalian yang panjang, sehingga
risiko yang mungkin timbul selama masa konsensi sangat besar. Risiko-risiko yang di bidang jalan tol di Indonesia adalah risiko pada tahap pra konstruksi,
tahap konstruksi dan tahap pasca konstruksi. Risiko pada tahap pra konstruksi yaitu risiko perijinan dan pembebasan lahan. Risiko pada tahap konstruksi yaitu
Universitas Sumatera Utara
risiko tingkat bunga masa konstruksi. Sedangkan risiko pada tahap pasca konstruski yaitu risiko penyesuaian tarif yang terkait dengan fluktuasi tingkat
bunga, inflasi nilai tukar rupiah dan devaluasi, risiko pasar berkenaan dengan proyeksi volume lalu lintas yang akurat. Sebenarnya risiko pasar bisa diselesaikan
dngan penyesuaian tarif, tetapi ketidakpastian penyesuaian tarif di Indonesia masih sangat besar.
Pembangunan jalan tol pada kurun waktu 2005-2010 seperti yang telah diprogramkan oleh pemerintah terdapat 19 ruas jalan tol yang sudah ditanda
tangani PPJT namun terbengkalai dalam tahap konstruksinya. Terbengkalainya pembangunan ruas jalan tol yang sudah ditanda tangani PPJT tersebut
dikarenakan beberapa hal, antara lain pembebasan lahan, pembiayaan bank, serta aspek risiko karena begitu panjangnya jangka waktu proyek yang dialami
investor.
IV.5.1 Kendala Pembebasan Lahan
Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol sering mengalami kendala proses pembebasan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah betul-betul menjadi
kendala besar dalam pembangunan jalan tol. Proses pengadaan tanah sebaaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 dilaksanakan oleh
pemerintah berdasarkan tata ruang wilayah kabupatenkota. Pengadaan tanah tersebut dapat menggunakan dana yang berasal dari pemerintah danatau badan
usaha. Pada kenyataannya, proses pembebasan lahan ini tidak sederhana, bahkan bisa sampai ke proses pengadilan, terutama apabila sudah melibatkan banyak
pihak. Hal ini menyebabkan penbangunan jalan tol mengalami keterlambatan
Universitas Sumatera Utara
cukup lama. Akibatnya, penyelesaian proyek tertunda, yang secara otomatis akan menimbulkan beban bunga yang sangat merugikan bagi investor. Melonjaknya
harga tanah yang luar biasa sangat mengkhawatirkan investor karena proyeknya dapat menjadi tidak layak.
IV.5.2 Kendala Pembiayaan Bank
Khusus terkait dengan pembiayaan bank, banyak perbankan nasional baik bank pemerintah maupun bank swasta yang masih mengalami trauma dengan
pembiayaan pembangunan jalan tol. Salah satu hal yang masih mengganggu adalah aspek pembebasan lahan, karena lembaga keuangan ini belum
diperkenankan untuk melakukan biaya pembebasan lahan. Padahal resiko terbesar dari pemilik konsesi adalah pada saat membebaskan lahan. Oleh karena itu
diperlukan peranan pemerintah melalui lembaga yang disebut dengan Badan Layanan Umum BLU untuk turut menanggung upaya pembebasab lahan atau
dengan mekanisme langsung secara tunai. Penggunaan dana BLU pun dirasakan menciptakan beban tersendiri karena
adanya pembayaran bunga, provisi, dan diperlukannya jaminan. Jadi belum benar- benar suatu government commited effort karena masih mengandung aspek
komersialisasi dana BLU tersebut. Di negara-negara lain pun, pembangunan jalan tol, selalu diawali dengan campur tangan pemerintah yang begitu dalam,
mengingat resiko yang begitu tinggi dengan panjangnya jangka waktu investasi, serta besarnya nilai investasi.
Khusus di negara berkembang seperti Indonesia, pembebasan tanah memiliki keunikan dan kesulitan yang besar. Di banyak negara yang sudah cukup
Universitas Sumatera Utara
maju dan berpengalaman, pembiayaan perbankan telah memiliki berbagai macam terobosan untuk menyiasati pendekatan-pendekatan klasik, misalnya dengan
adanya fasilitas pembiayaan yang dikenal dengan nama mezzanine financing, yaitu bank turut serta dalam pembiayaan modal khusus untuk pembiayaan
infrastruktur seperti halnya jalan tol.
IV.5.3 Kendala Aspek Resiko
Sehebat apapun perhitungan ekonomi untuk proyek dengan jangka waktu 30 tahun, aspek resiko tidak dapat diprediksi dari sekarang. Memang harus ada
terobosan khusus untuk mengembangkan proyek jalan tol. Terdapat delapan ruas tol yang konsesinya dimiliki swasta dan sebagian besar telah memiliki
pembiayaan baik dari perbankan nasional maupun perbankan asing. Tidak seluruh konsesi tersebut diperoleh pada pemerintahan saat ini. Beberapa diperoleh di era
sebelum krisis moneter 1998 dan saat ini kesempatan untuk kembali menjalankan konsesi tersebut terbuka lebar dengan gencarnya upaya pemerintah untuk memacu
penyelesaian ruas tol Trans Jawa. Bisnis tol merupakan bisnis yang beresiko dan banyak pihak yang
traumatis baik perbankan maupun investor sendiri. Boleh dikatakan dari delapan pemegang konsesi tersebut adalah yang masih baru masuk dalam bidang jalan tol
tetapi muka lama selaku pengusaha Indonesia, seperti pengusaha Edwin Suryajaya, Sandiaga Uno, Kelompok Kompas Gramedia, maupun keluarga
Bakrie. Menarik pula untuk disimak adalah peran bank pemerintah yang begitu aktif untuk pembiayaan jalan tol. Tentunya hal ini harus diapresiasi khusus.
Universitas Sumatera Utara
Adanya persetujuan kredit perbankan untuk membiayai proyek infrastruktur itu merupakan sesuatu yang positif bagi percepatan implementasi
kebijakan infrastruktur. Yang jadi masalah, sampai saat ini kredit yang telah disetujui ternyata belum satupun yang dapat dicairkan oleh para investor jalan tol
yang dimaksud. Itu karena adanya kendala teknis yang belum teratasi. Apabila diteliti lebih lanjut, kendaa teknis tersebut tidak terlepas dari latar belakang
pembiayaan proyek jalan tol yang memang mengandung potensi bermasalah : •
Pertama, dalam proses pembebasan lahan. Faktor kenaikan harga tanah karena praktek percaloan, serta penolakan sebagian masyarakat telah
menghambat proses pembebasan lahan tersebut. •
Kedua, investor debitor rata-rata kesulitan memenuhi kewajiban sharing dana sendiri yang sebesar minimal 35 dari total project cost.
• Ketiga, feasibility study FS proyek jalan tol sebagian menunjukkan
adanya cash deficiency sampai sekitar tujuh tahun pertama dari jangka waktu proyek. Artinya, apabila kredit diberikan selama 10 tahun, maka
bank sedang menghadapi resiko ketidakmampuan debitor membayar kewajiban berjalan.
Selain permasalahan diatas, pembiayaan proyek jalan tol juga menyimpan potensi resiko buat bank. Antara lain karena miss match pendanaan, yaitu dana
jangka pendek dipergunakan untuk membiayai kredit jangka panjang sekitar 10 tahun. Sementara itu, hasil FS sebagian proyek menunjukkan adanya cash
deficiency dan proyek yang lain menunjukkan sebaliknya. Perbedaan kondisi cash flow ini akan menjadi pertimbangan sendiri bagi bank. Bukan tidak mungkin
FS proyek jalan tol yang tidak mengambarkan adanya cash deficiency, di tahun-
Universitas Sumatera Utara
tahun awal proyek telah disusun berdasarkan asumsi-asumsi yang terlalu optimistis. Sehingga, jika bank tidak melakukan penyesuaian asumsi
dikhawatirkan kreditnya menjadi bermasalah. Mengamati kendala diatas, wajar bila akhirnya perbankan memberikan
persyaratan kredit yang cukup ketat. Implikasinya, walaupun kredit disetujui, investor debitor akan tetap kesulitan mencairkan kredit itu. Dengan demikian,
tidak ada artinya kredit disetujui perbankan, kalau proyek tetap gagal direalisasikan.
IV.6 Upaya Mengatasi Kendala Pendanaan